BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
2. Corporate Governance
Definisi mengenai corporate governance saat ini sangatlah beraneka
ragam. Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001: 1) mendefinisikan
corporate governance sebagai:
“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
commit to user
kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.”
Definisi lain diungkapkan oleh The Indonesian Institute for Corporate
Governance (2000) yang melihat corporate governance sebagai proses dan
struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholder yang lain. Menurut Surat Keputusan
Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No.
23/M PM/BUMN/2000, corporate governance adalah prinsip korporasi yang sehat
yang perlu diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan.
Dari beberapa definisi mengenai corporate governance, dapat disimpulkan
bahwa corporate governance merupakan suatu sistem (struktur dan mekanisme)
yang baik untuk mengendalikan dan mengelola suatu perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai pemegang saham serta mengakomodasi berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan seperti kreditur, pemasok, asosiasi bisnis, konsumen, karyawan, pemerintah dan masyarakat luas.
Menurut Ho dan Wong (2001), corporate governance dipandang sebagai
cara yang efektif untuk menggambarkan hak dan tanggungjawab masing-masing
kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan dimana transparansi merupakan
indikator utama standar corporate governance dalam sebuah ekonomi.
Corporate governance diperkenalkan untuk mengontrol masalah keagenan
pemegang saham. Selain itu, pengaruh dari corporate governance terhadap pengungkapan informasi sosial perusahaan dapat bersifat sebagai tambahan atau pengganti (Ho dan Wong, 2001).
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), corporate
governance memiliki asas-asas yang harus diterapkan pada setiap aspek bisnis dan
di semua jajaran perusahaan yakni:
1. Transparansi (transparency). Transparansi yaitu keterbukaan dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas (accountability). Perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.
3. Responsibilitas (responsibility). Perusahaan harus mematuhi peraturan
perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan
usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good
commit to user
4. Independensi (independency). Untuk melancarkan pelaksanaan asas
tata kelola perusahaan yang baik, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain
5. Kesetaraan dan kewajaran (fairness). Perusahaan harus memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain
berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Fairness juga mencakup
adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor, khususnya pemegang saham minoritas dari berbagai bentuk kecurangan (Mintara, 2008)
Dalam mekanisme corporate governance, sebuah perusahaan harus
memiliki rapat umum pemegang saham (RUPS), dewan komisaris, direksi dan komite audit yang masing-masing telah memliki tugas, fungsi, dan wewenang
sebagaimana diatur dalam Pedoman Good Corporate Governance Indonesia tahun
2006.
RUPS
RUPS sebagai organ perusahaan merupakan wadah para pemegang saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal yang ditanam dalam perusahaan, dengan memperhatikan ketentuan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada kepentingan usaha perusahaan dalam jangka panjang. RUPS dan atau pemegang saham tidak dapat melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi dan wewenang dewan komisaris dan direksi dengan tidak mengurangi wewenang
RUPS untuk menjalankan haknya sesuai dengan anggaran dasar dan undang-undang, termasuk untuk melakukan penggantian atau pemberhentian anggota dewan komisaris dan atau direksi.
Dewan Komisaris
Komisaris dibentuk sebagai organ perseroan yang bertugas melakukan tugas mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perseroan dan memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan Perseroan. Namun demikian, dewan komisaris tidak boleh turut serta dalam mengambil keputusan operasional. Kedudukan masing-masing anggota dewan komisaris termasuk komisaris utama adalah setara. Tugas komisaris utama
sebagai primus inter pares adalah mengkoordinasikan kegiatan dewan komisaris.
Fungsi dari dewan komisaris menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) adalah berikut :
a. Melakukan pemberhentian dewan direksi secara sementara jika
diperlukan.
b. Menggantikan fungsi dewan direksi untuk sementara dalam situasi
yang tidak biasa.
c. Dewan komisaris dalam fungsinya sebagai pengawas, menyampaikan
laporan pertanggungjawaban pengawasan atas pengelolaan perusahaan oleh direksi, dalam rangka memperoleh pembebasan dan
pelunasan tanggung jawab (acquit et decharge) dari RUPS.
d. Dalam melaksanakan tugasnya, dewan komisaris dapat membentuk
commit to user
Peran penting dalam melaksanakan corporate governance berada pada
dewan komisaris yang berfungsi sebagai pengawas aktivitas dan kinerja bank serta sebagai penasihat direksi dalam memastikan bahwa perusahaan
melaksanakan corporate covernance yang baik (Komite Nasional Kebijakan
Governance, 2006). Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance
yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (FCGI, 2001). Pada intinya, dewan komisaris merupakan suatu mekanisme pengawasan dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan.
Menurut Herwidayatmo (2000), Indonesia menganut two tier boards
system, artinya bahwa komposisi dewan pengurus perseroan terdiri dari fungsi
eksekutif yaitu dewan direksi dan fungsi pengendalian yaitu dewan komisaris.
Berdasarkan kerangka hukum yang ada, fungsi independent (non-executive)
directors pada single-board system dapat direpresentasikan dengan fungsi dewan
komisaris pada two tier board system. Oleh karena itu, sistem pengawasan yang
ada pada perusahaan di Indonesia terletak pada dewan komisaris.
Jumlah anggota dewan komisaris yang optimum akan lebih efektif daripada jumlah yang kecil (Dalton et al, 1999). Hasil penelitian Abeysekera
(2008) menyatakan bahwa corporate governance yang direpresentasikan dengan
ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap intellectual capital disclosure.
antar anggotanya sehingga berpengaruh terhadap kualitas informasi yang
disampaikan perusahaan termasuk juga berkaitan dengan voluntary risk.
Dewan Direksi
Direksi merupakan organ perseroan yang menjalankan tugas melaksanakan pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagai amanat dari pemegang saham yang ditetapkan dalam RUPS. Sebagai pemegang amanat dari pemegang saham, direksi harus bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan. Berdasarkan Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), fungsi dewan direksi adalah sebagai berikut :
a. Berkaitan dengan kepengurusan, seperti menyusun visi dan misi
perusahaan, mengendalikan sumber daya, memperhatikan kepentingan yang wajar pada pemangku kepentingan, dsb.
b. Berkaitan dengan manajemen risiko, seperti melaksanakan
manajemen risiko yang ditetapkan perusahaan, melaksanakan pengambilan keputusan dengan hati-hati dan seksama, dsb.
c. Berkaitan dengan pengendalian internal, seperti menyusun dan
melaksanakan sistem pengendalian internal perusahaan yang handal.
d. Berkaitan dengan komunikasi, seperti memastikan kelancaran
komunikasi antara perusahaan dengan pemangku kepentingan dengan memberdayakan fungsi sekretaris perusahaan, dan menjamin kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan dilakukan oleh sekretaris perusahaan.
commit to user
e. Berkaitan dengan tanggung jawab sosial, seperti memastikan
dipenuhinya tanggung jawab sosial perusahaan, dan mempunyai perencanaan tertulis yang jelas dan fokus dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Komite Audit
Komponen penting lain yang mendukung terlaksananya corporate
governance yang baik, yaitu komite audit (FCGI, 2001). Sesuai dengan
Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: kep. 29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan dan pengelolaan perusahaan.
Komite audit dibentuk oleh komisaris dan bertanggungjawab kepada komisaris. Berdasarkan Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa:
a. Laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum,
b. Struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik,
c. Pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan
standar audit yang berlaku,
d. Tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
Adapun tugas komite audit adalah memberikan pendapat profesional yang independen kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi (Herwidayatmo, 2000). Sedangkan menurut Abeysekera
(2008) komite audit merupakan mekanisme untuk memastikan tidak ada tindakan
manajemen yang merugikan stakeholder.
Keanggotaan komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota, seorang diantaranya merupakan komisaris independen perusahaan yang sekaligus merangkap sebagai ketua komite audit, sedangkan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen. Syarat untuk menjadi anggota komite audit adalah independen atau tidak memiliki hubungan usaha maupun afiliasi dengan perusahaan, direktur, komisaris, maupun pemegang saham utama (Herwidayatmo, 2000). Wallace and Zinkin (2005) dalam Yuan et. al (2009) menemukan bahwa peran komite audit akan lebih efektif ketika jumlah anggota komite audit kecil antara 3 – 6 anggota.