• Tidak ada hasil yang ditemukan

Red Crowned Crane /Tanchou

BAB II PANDANGAN AKAN BURUNG BANGAU (TSURU) DALAM

2.1.1 Red Crowned Crane /Tanchou

“Tanchou” sebutan lainnya dikenal dengan “Red Crowned Crane atau The Japanese Crane dalam Bahasa Inggris, Burung Bangau bermahkota Merah dalam Bahasa Indonesia dan Grus Japonensis dalam Bahasa Latin”. Di negara China dinamakan sebagai “Xien he/ Fairy Crane”. Red Crowned Crane merupakan burung bangau langka tingkat dua di dunia, setelah Whooping Crane/ Grus Americana yang sedang menetap di Amerika Utara. Burung bangau Red Crowned dapat ditemukan di empat bagian pulau Jepang.

Burung bangau Red Crowned ini sangat langka dan unik dibandingkan dengan spesies yang lain, dimana burung ini terdapat bulu yang sangat bersih putih. Terdapat warna merah diatas kepalanya sewaktu menjelang remaja. Sangat sulit untuk membedakan jenis kelaminnya sewaktu kecil.

Burung bangau jantan biasanya berukuran lebih besar dari burung bangau betina dan mempunyai leher berwarna hitam dan kerongkongan

yang berwarna abu-abu gelap daripada betina. Sewaktu anak-anak burung bangau ini berwarna lebih suram, yaitu pencampuran bayangan putih, abu-abu dan coklat. Bulu putihnya hanya didapat ketika menjelang usia 2 tahun keatas.

Burung bangau Red Crowned ini dipelihara di tempat perairan yang sangat dalam. Mereka memakan hampir semuanya seperti serangga, binatang dan tumbuhan yang hidup di dalam air (Aquatic invertebrates), ikan, binatang ampibi/ binatang berdarah dingin, binatang pengerat (seperti tikus dan kelinci), buah arbei, jagung dan padi-padian. Masyarakat Jepang memelihara burung bangau ini di peternakan/ padang rumput pada musim panas dan pindah ke tempat area yang banyak airnya pada musim dingin. Di Hokkaido mereka memberi makanan jagung, padi-padian dan ikan selama musim dingin.

Burung bangau berkencan dengan pasangannya dengan mengeluarkan suara yang ribut sambil diiringi alunan gerakan-gerakan yang anggun seperti menari sehingga terkenal sebagai "dansa" burung bangau. Sekali berpacaran pasangan ini akan melaksanakan/ menjalankan suara seperti menangis yang dikenal dengan sebutan “Pemanggilan Bersama-sama/

mereka bertatapan menghadap langit. Pejantan akan mengeluarkan suara sekali dan Betina akan menjawab dengan suara lebih dari sekali (Bersumber dari Miller, Alden H. & Sibley, Charles G,1942:126-127)

Burung bangau Red Crowned ini akan menari lebih banyak dibanding dengan burung bangau spesies lainnya baik mengayunkan sayap, melompat, berlari, mengepakkan sayapnya dan melontarkan kayu atau rumput ke dalam air pada masa pacaran. Di samping itu masyarakat Jepang juga percaya gerakan-gerakannya dapat membantu meringankan penyerangan dari sifat agresi dan mengurangi sifat ketegangan pada masa perikatan kebersamaan antara kedua pasangan burung bangau ini.

Lebih kontras lagi pada gerakan yang anggun itu, burung bangau ini mempunyai suara yang kasar dan tajam serta kuat. Menurut Barrons (1989:76) mengemukakan, masyarakat Jepang mempunyai sebuah pepatah “Tsuru no Hitokoe/ The single cry of the crane is the voice of authority that silences all dispute”, bahwa artinya setetes air mata burung bangau berkekuasaan untuk bersuara, bahwa kesunyian akan dipenuhi dengan suara-suaranya.

yang sangat jauh, sedangkan beberapa spesies yang hidup di iklim panas bukan merupakan burung migran. Burung bangau hidup berkelompok dan jika jumlahnya cukup dapat membentuk kawanan yang besar.

Karena adanya asosiasi yang menjaga dan melestarikan burung bangau Red Crowned ini, burung bangau yang telah menetap di Hokkaido tidak berpindah ke tempat lain walaupun pada saat musim dingin. Akan tetapi populasi burung bangau Red Crowned di sekitar China Utara, Siberia dan Mongolia berpindah tempat ke China Timur dan Korea pada waktu musim dingin.

2.1.2 Hooded Crane/ Grus Monacha

Hooded Crane, atau sebutan lainnya yaitu Grus Monacha, burung bangau ini bentuknya lebih besar dan lebih anggun dibanding dengan spesies yang lain. Burung bangau Hooded ini mempunyai tubuh berwarna abu-abu kebiruan dan warna putih di bagian kepala dan leher. Ekornya berwarna hitam dan warna kakinya juga hampir kehitam-hitaman. Bulunya ditemukan hampir botak, bermahkota merah pada saat menjelang remaja, dimana burung bangau ini menonjolkan keluar atau menjulurkan bulu berwarna hitam.

Burung bangau Hooded ini diliputi dengan bulu hitam dan putih sepanjang setahun pertamanya. Bahan makanan juga berupa buah arbei, serangga, kodok, umbi-umbian, biji-bijian dan rumput. Selama musim dingin 80 persen dari populasinya dipelihara di area spesial buatan manusia di kota Izumi di Prefektur Kagoshima, Jepang, dimana mereka dihidangkan berbagai macam padi-padian. Spesies ini berkembang biak di tempat yang terpencil. Hutan, bukit daratan atas, termasuk juga rawa-rawa, tepi pantai dan ladang.

Prefektur Yamaguchi dan kota Izumi di prefektur kagoshima merupakan habitat musim dingin bagi spesies Grus Monocha/ burung bangau Hooded dan juga spesies Grus Vipio/ burung bangau White Naped, yang kedua-duanya merupakan satwa langka yang dilindungi oleh pemerintah Jepang.

Burung bangau Hooded ini hidup di daerah perairan di antara Korea Selatan dan China. Selain itu dapat ditemukan di area sungai Bikin di lembah sungai Rusia dan teluk Sucheon di Korea Selatan. Sejak tahun 1950-an, pemerintah Jepang memberikan dana untuk tetap melestarikan burung bangau di kota Izumi, arah bagian Selatan. Nara sumbernya dikutip dari Colleen Cancio, 1997,165.

Awalnya disana terdapat hanya beberapa ekor burung bangau Hooded, tetapi figur ini meningkat hingga mencapai sekitar 8000 ekor setelah abad-21. Pemerintah telah mengusulkan untuk mencoba meningkatkannya di area buatan manusia seperti peternakan sewaktu musim dingin untuk mengurangi resiko kepunahan akibat ancaman pemburuan, penyakit-penyakit.

Pada tahun 1996 di korea Selatan didirikan sebuah area “Spesial Cadangan Alam” untuk melestarikan burung bangau ini. Selain itu di pusat selatan dan Barat Daya Siberia, Mongolia juga mengikuti pelestarian burung bangau ini juga.

2.1.3 White Naped Crane/ Grus Vipio

White Naped Crane/ Grus Vipio juga disebut sebagai Burung bangau berkepala tenkuk putih atau berkuduk putih. Burung bangau berkembang biak di perbatasan antara Rusia, Mongolia dan China juga di lembah sungau Amur dan sungai Ussuri. Bangau White Naped ini berpindah sepanjang dataran Songnen dan teluk Bohai ke tanah lahan yang dingin di lembah sungai Yangtze di China, kawasan demilitarisasi (kawasan pelepasan miluter) antara Korea Utara dan Korea Selatan juga ada di

Kyushu arah sebelah selatan di Jepang.

Burung bangau White Naped ini ditemukan juga di hutan tropis, padang rumput dan reruputan basah, di lembah yang luas dan area daratan tinggi, bahkan di telaga danau, lahan peternakan dan kadang-kadang di tepi pantai.

Burung bangau White Naped ini dapat dideskripsi besar dan dapat diidentifikasikan dari lingkaran besar yang sederhana, kulit merah disekeliling masing-masing matanya. Bulu-bulunya berwarna abu-abu kebiruan yang menutupi hampir seluruh tubuhnya dan warna putih di tenggorokannya. Bulu putihnya yang tegak dari mahkota hingga lehernya. Kakinya panjang dan berwarna merah muda. Anakan burung bangau White Naped ini kecil dengan kepala berwarna coklat dan warna coklat muda di bagian tenggorokkannya. Burung bangau ini mempunyai celah-celah yang disebut sebagai “High pitched Call”.

Makanannya juga berupa serangga, tumbuhan dan binatang yang hidup di air juga berupa makanan biji-bijian, umbi-umbian bahkan akar umbi-umbian dan tanaman dari lahan basah lainnya. Di dalam semua species burung bangau, White Naped Crane kelihatan lebih aktifdan

sering terlihat keindahan dansanya dari gerakan-gerakan mengepakkan sayapnya, melontarkan rumput dan kayu-kayu, melompat, berlari juga mengayunkan tubuhnya (Colleen Cancio, 1997:198).

2.2 Penghormatan Masyarakat Jepang terhadap burung bangau (Tsuru/ Tanchou)

Selama ini burung bangau dikenal sebagai lambang yang selalu membawa kemujuran oleh masyarakat di segala penjuru. Bahwa kita dapat menemukannya dari melipat burung bangau (Origami) atau pada penyelengaraan burung bangau lainnya yang dikirim sebagai ucapan selamat juga permohonan rejeki dalam beberapa perayaan, khususnya pernikahan.

Burung bangau Origami yang telah dilakukan sejak 300 tahun yang lalu yang tradisinya melipat hanya dengan kertas putih, itu dipercayakan oleh masyarakat Jepang bahwa si pelipat akan dipenuhi permohonannya karena mereka telah menghabiskan banyak waktu dan kemampuan telah menkreasinya dengan susah.

Dapat juga kita temukan sering dibuatnya dalam seuntai benang yang dipasangkan beribu-ribu ekor origami burung bangau yang sering ditempati

di tempat-tempat tertentu sebagai permohonan dan permintaan yaitu banyak terdapat di kuil-kuil dan wihara. Seuntai burung bangau ini dibuat pada waktu adanya kesedihan, kehilangan atau juga kepada orang yang sakit sebagai lambang permohonan untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang diderita.

Seperti cerita yang sudah kita dengar yaitu cerita seorang anak yang bernama Sadako Sasaki yang berusia 2 tahun yang merupakan salah seorang yang selamat secara ajaib dari penyerangan pemboman Hiroshima. Sewaktu kelas 6, Sadako tiba-tiba terserang flu berat yang diagnosa oleh dokter bahwa menunjukkan ada kelainan pada tubuhnya. Penyakit Leukemia yang telah menyerangnya dari radiasi akibat bom yang dijatuhkan menyebar ke tubuhnya.

Sadako Sasaki yang percaya pada legenda burung bangau yang pernah didengarnya dari teman baiknya bahwa tradisi melipat 1000 ekor burung bangau dapat dikabulkan keinginannya. Harapan dia melipat 1000 ekor burung bangau ini adalah untuk meraih “Kedamaian Dunia”. Saat itu dia terbaring di tempat tidur Rumah Sakit dengan kesabarannya dia melipat burung bangau satu demi satu, mengharapkan agar keinginannya dikabulkan.

Namun sayangnya, penyakit Leukemia yang dideritanya semakin hari semakin banyak untuk tubuhnya yang masih anak-anak. Sadako Sasaki akhirnya meninggal pada 25 Oktober 1955 tepat di usia 12 tahun. Sadako Sasaki hanya menyelesaikan 644 burung bangau. Teman sekelasnya membantu menyelesaikan keinginannya dengan melipat sisa sisa burung bangau dan Sadako Sasaki dikubur bersama 1000 ekor bangau dengan jumlah penuh. Teman-temannya menyumbang mendirikan “Taman Perdamaian” (Peace Park) dan terdapat patung Sadako Sasaki yang sedang memegang origami burung bangau di tangannya di Hiroshima sekarang ini.

Cerita tentang Sadako Sasaki yang berusaha melipat burung bangau sebanyak 1000 ekor yang bertujuan mengharapkan mendapatkan kesehatan, kebahagiaan dan kedamaian dunia yang abadi melebar luas ke segala penjuru dunia. Meskipun dia meninggal sebelum mencapai keberhasilannya, tradisi mengirim burung bangau origami ke tugu peringatan Hiroshima ini terus bertahan, yang telah memikul arti sebagai simbol “Pengharapan Jepang untuk penghentian persenjataan mengakhiri Perang dan Kedamaian Dunia”. Nara sumber yang diambil oleh Seijiro Koyama, 1989.

ini. Karena dipercayakan bahwa burung bangau mempunyai pengaruh yang sangat kuat yang dapat membebaskan diri mereka dari kesedihan. Sampai kini masyarakat Jepang mengirim berwarna-warni hiasan bangau kertas ke tugu peringatan di Peace Memorial Park untuk mengenang seorang korban anak yang bernama “Sadako Sasaki”. Hal ini telah meluas hingga seluruh penjuru negara. Masyarakat dari negara lain juga menghormatinya dengan mengirim beratus-ratus ekor kertas burung bangau bahkan sampai beribu-ribu yang telah dipasang pada untaian benang.

Origami burung bangau dari Jepang juga tersebar hingga di Indonesia tepatnya di Banda Aceh, hadiah lebih dari 600 ekor burung bangau berwarna-warni yang dikirim dari UNESCO selaku direktur utama Koichiro Matsuura dari GIAJ (General Insurance Association Of Japan) selama kejadian forum umum di kobe tgl 19 Jan 2005 yang berjudul “Disaster Reduction” pada konferensi dunia UN, telah mendarat di Aceh Indonesia.

Burung bangau Origami yang telah dipercayakan membawakan kedamaian, kemujuran, keinginan dan rasa simpati dari anak-anak Jepang kepada anak-anak yang mengalami kejadian Tsunami di Aceh, ikut serta berpartisipasi mendorong semangat anak-anak di Aceh pada acara

Kebudayaan UNESCO. Serta mendorong semangat mereka dengan mendengarkan musik therapy yang berjudul “The rise of the Tsunami Children” yang diselenggarakan kepada korban tsunami pada 30 Mei 2005 (sumber dari http:www.unesco.or.id/activities/culture/completed/250.php ).

Masyarakat Jepang juga mendirikan beberapa asosiasi untuk menjaga dan melestarikan serta meningkatkan perkembangbiakan burung bangau dari kepunahan. Salah satunya adalah asosiasi ICF (International Cranes Foundation) yang telah menyelamatkan burung bangau dari jumlah yang terbatas akibat punah. Sejak tahun 1950an, pemerintah Jepang telah menetapkan memberikan dana untuk melestarikan beberapa macam spesies burung bangau yang ada di Jepang. Dari jumlah yang terbatas sejak Perang Dunia II, jumlah burung bangau meningkat hingga mencapai ribuan. Bersumber dari Johnsgard PA, 1983. Cranes of the World. Bloomington: Indiana University Press. Yang dikutip dari Meine CD, Archibald GW, 1996. The Cranes: Statue Survey and conservation action plan. Glan, Switzerland: IUCN.

Di negara Jepang burung bangau diamankan dengan ketat sesuai dengan spesies dan kelasnya dan juga cara pemberian makanannya. Ketika

terhadap burung bangau ini hilang. Dengan usaha mereka membawa kembali dari ambang kepunahan. Jepang mendirikan salah satu satelitnya khusus untuk perlindungan terhadap burung bangau. Sumber dari Barrons, 1989: 164.

Sepanjang ini tempat kediaman mereka makin sempit akibat diburu untuk dibuatkan berbagai jenis produk, burung bangau ini hampir punah. Pada abad-20 burung bangau ini hanya terdapat sekitar 20 ekor di negara Jepang. Karena burung bangau adalah burung yang sangat dipercaya akan membawakan kemujuran, maka masyarakat Jepang mendirikan berbagai asosiasi untuk melestarikan dan menjaga keselamatan burung bangau ini. Sekarang populasinya berkembang hingga mencapai 900 ekor yang terdapat diperbatasan pulau Utara Hokkaido. Burung bangau di pulau Hokkaido ini dijaga dan dilestarikan oleh pihak bantuan pemulihan “WBSJ (Wild Bird Society of Japan)”.

Di luar dari negara Jepang, Sebuah Asosiasi Muri (Musium Rekor Indonesia) pernah memberikan penghargaan kepada orang yang melipat burung bangau kertas sebanyak 50 ribu. Puluhan ribu burung bangau itu merupakan hasil origami dari negara Jepang. Grace Yanuar, seorang designer floral artist telah menyatukan ekor dan sayap kertas burung

bangau itu menjadi dekorasi interior dan eksterior yang indah. Hasilnya dipajang di atap dan juga di tangga pusat belanja di Serpong, Indonesia. Muri memberikan penghargaan kepada Grace sebagai pembuat origami terbanyak (Bersumber oleh Nurvita Indarini, 07/04/2008).

2.3 Burung Bangau (Tsuru) dalam karya sastra

Sampai kini di Asia, burung bangau ini disimbolkan sebagai lambang kesetiaan, kemujuran, kasih sayang dan panjang umur. Di China burung bangau mahkota merah ini dikenal sebagai “Burung Penyelamat” yang sering dimunculkan dalam cerita legenda yang sering dimunculkan/ diperankan sebagai binatang yang memberi tumpangan seperti kuda, yang dinaiki oleh tuannya.

Dalam legenda Jepang masyarakat Jepang harus menghormati adanya burung bangau karena burung ini dapat hidup selama beribu-ribu tahun. Burung bangau sering ditampilkan dalam cerita rakyat Jepang. Sejak zaman dahulu ada pepatah Jepang yang berbunyi “burung bangau akan hidup seribu tahun dan kura-kura akan hidup sepuluh ribu tahun”, walaupun secara pasti tidak ada bukti bahwa burung bangau bisa hidup sampai 1000 tahun.

Kecantikan burung bangau dan kekaguman berdansa sewaktu mereka berteman menitik-beratkan simbol burung bangau di berbagai kebudayaan dengan catatan yang dikutip sejak dahulu kala.

Sering kita temukan juga dalam lukisan-lukisan yang terdapat lukisan burung bangau dan lukisan kura-kura. Kedua binatang ini mempunyai arti yang hampir mirip, yaitu hidup beribu-ribu tahun dan biasanya dimuat juga dengan gunung Horaizan pada latar belakang lukisan ini, dimana gambar ini melukiskan wilayah ini merupakan wilayah keabadian dan selalu awet. Dalam cerita-cerita legenda kaum ibu-ibu masyarakat Jepang selalu meminta burung bangau ini mengawasi anaknya dengan kata-kata berikut:

……O Flock of heavenly Cranes

Cover my child with your wings……

Artinya,

……Oh, wahai burung bangau

Pada gambar tradisional di Jepang, burung bangau sering digambarkan sedang hinggap di dahan pohon pinus, padahal burung bangau merupakan burung yang hidup di atas tanah dan tidak pernah hinggap di dahan pohon. Kemungkinan besar para pelukis menggambar burung bangau sebagai pengganti ayam atau burung kuntul yang sedang hinggap di dahan pohon. Bersumber dari http://www.ancientsites.com/aw/article/837161.

Contoh cerita rakyat dari cerita burung bangau yaitu “Balas Budi Burung Bangau”, yang menceritakan tentang seorang pemuda yang telah melepaskan seekor burung bangau yang terjerat perangkap dari perangkat itu, bangau itu sangat gembira dan berputar-putar di atas kepala pemuda itu sebelum terbang ke angkasa. Sesampai dirumah, nampak seorang gadis yang sedang berdiri di depan rumahnya.

Gadis itu melayaninya dan meminta pemuda untuk menjadikannya sebagai seorang istri. Pemuda itu merasa sangat bahagia dan menjadikannya sebagai istri. Suatu hari sang istri menyuruh sang suami untuk membelikannya benang karena ia ingin menenun. Sang istri berpesan untuk tidak mengintipnya sewaktu dia menenun. Tetapi pesan itu tidak didengarkannya karena cemas terhadap sang istri yang makin lama kondisi

ternyata seekor burung bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain, sehingga bulu burung bangau itu hampir gundul. Sang istri sadar akan pengintipannya, dan berubah kembali menjadi burung bangau.

Cerita ini menceritakan bahwa burung bangau ini menjelma menjadi orang untuk membalaskan budi (Dikutip dari dongeng 1001 malam. Blogspot.com/2003/03/balas budi burung bangau.html)

Yasunari Kawabata (14 Juni 1899 – 16 April 1972) adalah seorang novelis Jepang yang prosa liriknya membuat ia memenangkan Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1968, Ia menjadi orang pertama yang memperoleh penghargaan tersebut. Karya-karyanya hingga kini masih dibaca bahkan di dunia Internasional. Yasunari Kawabata bekerja sebagai penulis dan ia juga bekerja sebagai wartawan di Mainichi Shinbun di Osaka dan Tokyo.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, kesuksesan Yasunari Kawabata dari novel terkenal yang berjudul “Negeri salju (1934)” berlanjut dengan novel yang berjudul “Seribu Burung Bangau (Senbazuru)” sekitar tahun 1949-1952, yang menceritakan tentang cinta yang bernasib malang akibat penyerangan di Hiroshima (Nara Sumber dari Okubo Takaki, Minerva Shobo, 2004).

Tomoji Ishizuka (20 September 1906 – 08 Febuari 1984) adalah seorang penulis novel dan Haiku (puisi). Tomoji Ishizuka lahir di prefektur Niigata pada tahun 1906. Untuk mengarang Haiku (puisi) dia mengabungkan dirinya dengan Hasegawa Reiyoshi. Kemudian dia menemukan majalah puisi (Haiku) yang berjudul “Tsuru (Crane) pada tahun 1937. Puisi anthology lainnya meliputi Iso Kaze (Beach Wind), Kojin (light Dust), dan Tamanawaa Sho. Tomoji Ishizuka meninggal pada tahun 1986

tepat di usia 79 tahun. Dikutip dari

BAB III

RELIGI MASYARAKAT JEPANG DAN BURUNG

BANGAU (TSURU)

3.1 Burung Bangau dalam Shintoisme

Masyarakat Jepang dewasa ini mempunyai beranekaragam agama dengan ciri-ciri khas masing-masing tetapi perkembangan agama tersebut hanya sebuah kepercayaan. Agama Shinto benar-benar mempunyai peranan dan pengaruh yang kuat bagi kalangan masyarakat Jepang. Kegiatan religi yang berlangsung pada suatu daerah akan dilaksanakan menurut kepercayaan yang dianut oleh penduduk daerah tersebu (Ito Nobuo, 1999:132).

Ajaran Shinto yang secara halfiah berarti “jalan para dewa”. Shin juga dibaca sebagai “Kami”. Ini adalah istilah untuk para dewa-dewi, jiwa para leluhur, setan dan jiwa alam seperti binatang, tumbuhan dan lain-lain. Shinto mulai dikenal pada periode Yayoi (300 SM). Shinto adalah agama asli orang Jepang pada masa lampau, dan masih dilaksanakan sampai saat ini dengan dilakukan banyak modifikasi terutama karena pengaruh dari ajaran Buddha dan Konghucu. Shinto pada saat ini lebih banyak diperingati

dalam bentuk ritual dan festival-festival keagamaan. Tempat pemujaan Shinto disebut Shrines (tempat suci) sedangkan untuk agama Buddha disebut “Temple (kuil).

Adapun beberapa dewa-dewi, mahkluk gaib, roh-roh, setan yang dipuja dalam Shinto antara lain: Naga (mahluk sejenis ular), Dosojin, Ebisu (salah satu dewa keberuntungan Jepang), dewa hachiman, Henge, Kappa, Kitsune (Roh Serigala), Oinari (Roh Serigala), Shishi (Singa), Ssu-ling (Empat Binatang Pelindung), Tanuki (Sejenis Dewa Anjing), Tengu. Pada intinya konsep Shinto adalah pemujaan kepada para dewa, jiwa para leluhur, jiwa para binatang, para dewa pelindung keluarga, jiwa alam (Lima Unsur). Kelima unsur ini sangat berhubungan dengan makhluk hidup yang hidup di alam seperti burung bangau. bersumber dari George Podesta, 1996:94.

Kamus Shinto menjabarkan KAMI sebagai berikut:

“KAMI bisa mengacu kepada keagungan, kekeramatan, spiritual, dan keajaiban dari sifat atau energi dari suatu tempat, dan benda, makhluk gaib dari mitologi local maupun kerajaan, roh-roh dari alam dan tempat, para pahlawan yang dipuja, leluhur, penguasa, dan negarawan”.

diciptakan untuk menjelaskan hubungan antara Kami dari Shinto dan para Buddha dan Boddhisatva dari Buddhisme yang memiliki arti inti hakekat mendasar dan perwujudan penjelmaan. Teori “Honji Suijaku” mengatakan bahwa sesungguhnya Kami dari Shinto adalah perwujudan sementara dari para Buddha dan Boddhisatva. Sedangkan teori “Honji Suijaku” merupakan perwujudan hakekat sesungguhnya.

Aliran shinto ini berhubungan dengan Shamanistic dan Animistic. Shamanistic artinya dewa dari ilmu kebahtinan yang berkenaan dengan roh sedangkan Animistic adalah dewa yang berhubungan dengan objek-objek yang ada di alam berupa tanaman dan binatang yang ada di alam. Di

Dokumen terkait