• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Zooplankton 6 Crustacea 14 Nauplius 28.707 31.707

7 15 Diacyclops 18.707 18.707 16 Diaptomus 17.707 21.707 8 17 Brachionus - 17.707 Total 31.707 39.707 Total (K) Plankton 235.707 138.707

Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang K : kelimpahan

Kelimpahan plankton pada tambak 1 lebih tinggi dari pada tambak 2. Kelimpahan plankton pada tambak 1 adalah 235.707 ind/l dan pada tambak 2 adalah 138.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 220.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 31.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 2 adalah 115.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 39.707 ind/l.

Berdasarkan hasil penelitian kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah

657.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 148.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 2 adalah 2283.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 344.707 ind/l. Kelimpahan plankton pada pada masing-masing tambak pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Kelimpahan plankton pada masing-masing tambak pengamatan

Bentuk fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae dapat dilihat pada Gambar 12, bentuk fitoplankton dari kelas Chlorophyceae dapat dilihat pada Gambar 13, bentuk fitoplankton dari kel Gambar 14, bentuk fitoplankton dari kelas Cyanophyceae dan dapat dilihat pada Gambar 15, bentuk fitoplankton dari kel dapat dilihat pada Gambar 16. Sedangkan bentuk zooplankton dari kelas

Crustacea, dan dapat dilihat pada Gambar 17,

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i)

Gambar 12. Fitoplankton kelas Bacillariophyceae (a) Bacteriastrum (b) Coconeis (c) Gyrosigma (d) Melosira (e) Navicula (f) Nitzchia (g) Surirella (h) Terpsinoe (i) Triceratium

(a) (b)

(a) (b) (c)

Gambar 14. Fitoplankton kelas (a) Coscinodiscus (b) Isthmia (c) Thalassiosira

(a) (b)

Gambar 15. Fitoplankton kelas Cyanophyceae da Oscillatoria (b) Synedra

(a) (b)

(a) (b) (c)

Gambar 17. Zooplankton kelas KelasCrustacea,da

(a) Daphnia (b) Nauplius (c) Brachionus

(a) (b)

Gambar 18. Zooplankton kelas(a) Diacyclops (b) Diaptomus

Teknik Budidaya Udang Windu

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, teknik budidaya udang windu meliputi proses persiapan tambak, penebaran benur, pemeliharaan, dan pemanenan.

Pembahasan

Analisis Vegetasi Mangrove

Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove yang telah dilakukan, jenis Rhizhopora apiculata pada tambak 1 cenderung lebih dominan, baik untuk tingkat semai, pancang maupun pohon. Pada tambak 2 jenis Rhizophora apiculata cenderung dominan untuk tingkat pancang, sedangkan untuk tingkat pohon hanya ditemukan jenis Sonneratia alba.

Jenis Rhizhopora apiculata yang ditemukan pada tambak 1 banyak ditemukan pada bagian tengah tambak dan pada tambak 2 banyak ditemukan pada bagian tanggul tambak. Mangrove jenis Rhizhopora apiculata sering digunakan oleh petambak untuk ditanam pada areal tambak silvofishery, hal ini dikarenakan akar jenis Rhizhopora apiculata yang kuat sehingga dapat mencegah terjadinya abrasi pada bagian tanggul tambak. Menurut Hikmawati (2000, diacu oleh Harahab, 2010) jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul dan di tengah/pelataran tambak adalah Rhizhopora sp.

Kerapatan mangrove pada tambak 1 lebih besar daripada tambak 2. Kerapatan yang lebih besar dapat meningkatkan jumlah pakan alami yang masuk kedalam tambak yang berasal dari serasah daun, batang maupun biji mangrove yang dapat dimanfaatkan oleh udang. Menurut Hikmawati (2000, diacu oleh Harahab, 2010) kerapatan pohon mempengaruhi banyaknya sampah organik yang masuk kedalam tambak. Kerapatan yang lebih kecil sesuai untuk budidaya ikan, sedangkan kerapatan yang lebih besar sesuai untuk budidaya udang atau kepiting bakau. Berdasarkan hal tersebut, maka kerapatan mangrove pada tambak 1 sesuai untuk budidaya udang windu.

Parameter Kualitas Air

Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air. Suhu perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 29 – 31 0C dan pada tambak 2 yaitu 29 – 32 0C. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, suhu perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 28.5 – 31.5 0C. Dengan demikian, suhu perairan pada tambak 1 optimum dan pada stasiun 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu.

Kecerahan merupakan faktor fisika yang menentukan jauhnya penetrasi cahaya yang masuk kedalam perairan. Kecerahan perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 57 – 62.5 cm dan pada tambak 2 yaitu 29.5 – 36 cm. Kecerahan perairan pada tambak 1 lebih tinggi karena pada tambak 1 kedalamannya lebih tinggi dibandingkan pada tambak 2. Menurut Yuliana dan Asriana (2012) ketersediaan cahaya dalam badan air sangat tergantung pada waktu, tempat (kedalaman).

Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, kecerahan perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 30 – 40 cm. Selain itu menurut Boyd (1990, diacu oleh Herman, 2000), nilai kisaran kecerahan yang optimum bagi udang windu adalah 30 – 40 cm. Dengan demikian, kecerahan perairan pada tambak 1 kurang optimum dan pada tambak 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu.

Salinitas perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 7 – 10 ‰ dan pada tambak 2 yaitu 7 – 9.5 ‰. Salinitas pada masing-masing tambak tergolong rendah. Rendahnya salinitas pada masing-masing tambak disebabkan jauhnya jarak antara tambak dengan laut sehingga perairan pada masing-masing tambak lebih banyak tercampur dengan air tawar. Menurut Herman (2000) salinitas di tambak dipengaruhi oleh percampuran antara air laut dan air tawar, selain itu juga dipengaruhi oleh curah hujan.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, Salinitas perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 15 – 25 ‰. Menurut Poernomo (1989, diacu oleh Saladin, 1995), pada salinitas 35 – 40 permil pertumbuhan udang lebih lambat dibandingkan pada salinitas 15 – 25

permil. Selain itu menurut Kordi (2010) untuk pertumbuhan optimal udang windu di dalam tambak kisaran salinitas terletak antara 15 – 25 ‰. Dengan demikian, salinitas perairan pada tambak 1 dan tambak 2 kurang optimum untuk budidaya udang windu.

pH digunakan untuk menggambarkan kondisi asam atau basa suatu perairan. pH perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 6.8 – 7.5 dan pada tambak 2 yaitu 6.6 – 7.7. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, pH perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 7.5 – 8.5. Selain itu menurut Sualia, dkk (2010) pH normal untuk pemeliharaan udang windu di dalam tambak adalah 7.5 – 8.5. Dengan demikian, pH perairan pada tambak 1 dan tambak 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu.

Oksigen terlarut (DO) merupakan jumlah oksigen yang ditemukan terlarut di dalam air. DO perairan saat dilakukan pengukuran pada tambak 1 yaitu 6.3 – 6.9 mg/l dan pada tambak 2 yaitu 6.4 – 9.0 mg/l. Oksigen terlarut (DO) pada tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1 karena jumlah fitoplankton yang ada pada tambak 2 lebih banyak dari pada tambak 1. Menurut Herman (2000) sumber oksigen terlarut di tambak tradisional berasal dari proses fotosintesis fitoplankton. Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004, DO perairan yang optimum untuk budidaya udang windu adalah 3.0 – 7.5 mg/l. Dengan demikian, DO perairan pada tambak 1 optimum dan pada tambak 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kondisi kualtas air pada masing-masing tambak pengamatan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Kondisi kualitas air pada masing-masing tambak pengamatan No. Parameter Tambak 1 Tambak 2

Fisika

1 Suhu Optimum Cukup optimum

2 Kecerahan Kurang optimum Cukup optimum

Kimia

3 Salinitas Kurang optimum Kurang optimum

4 pH Cukup optimum Cukup optimum

5 DO Optimum Cukup optimum

Keterangan : Tambak 1 : tambak dengan kerapatan mangrove sedang Tambak 2 : tambak dengan kerapatan mangrove jarang

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi kualitas air pada tambak 1 terdapat dua kondisi optimum, satu kondisi cukup optimum, dan dua kondisi kurang optimum. Pada tambak 2 terdapat empat kondisi cukup optimum, dan satu kondisi kurang optimum. Berdasarkan kondisi tersebut, maka kualitas air pada tambak 1 lebih sesuai untuk pemeliharaan udang windu daripada tambak 2 karena kondisi kualitas air pada tambak 1 sebagian besar memenuhi kriteria untuk budidaya udang windu daripada tambak 2.

Kelimpahan Plankton

Pada pengamatan ke-1 kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 dan tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Bacillariophyceae yaitu genus Cocconeis. Pengamatan ke-1 adalah ketika benur udang windu ditebar yaitu ketika fase post larva. Kelas Bacillariophyceae merupakan makanan bagi benur udang windu. Menurut Saladin (1995) bahwa kelas Bacillariophyceae merupakan pakan utama udang pada periode larva dan post larva. Selain itu menurut Boyd (1990, diacu oleh Elfinurfajri, 2009) fitoplankton yang diharapkan untuk tumbuh adalah

dari kelas Bacillariophyceae karena kelas ini dapat dijadikan sebagai pakan alami bagi udang windu.

Pada pengamatan ke-1 kelimpahan zooplankton pada tambak 1 diperoleh

kelimpahan tertinggi dari kelas. Kelimpahan

zooplankton pada tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Crustacea yaitu genus Nauplius. Menurut Setyaningsih (1989, diacu oleh Saladin, 1995) bahwa zooplankton dari genus Nauplius ditemukan dalam lambung udang windu. Hal ini mengindikasikan bahwa genus Nauplius merupakan sumber pakan alami bagi udang windu.

Pada pengamatan ke-2 kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 dan tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Cyanophyceae yaitu genus Oscillatoria. Menurut kordi (2010) fitoplankton yang dapat dimakan udang windu adalah Oscillatoria, Skeletonema, Tetrasesimis dan Chlorella. Kelimpahan zooplankton pada tambak 1 dan tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Maxillopoda yaitu genus Diacyclops.

Pada pengamatan ke-3 dan pengamatan ke-4 kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Cyanophyceae yaitu genus Oscillatoria yang merupakan fitoplankton yang dapat dimakan oleh udang windu. Pada tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Coscinodiscophyceae yaitu genus Isthmia. Pada pengamatan ke-3 dan pengamatan ke-4 kelimpahan zooplankton pada tambak 1 dan tambak 2 diperoleh kelimpahan tertinggi dari kelas Crustacea yaitu genus Nauplius yang merupakan sumber pakan alami bagi udang windu.

Berdasarkan hasil penelitian kelimpahan plankton pada tambak 2 lebih tinggi dari pada tambak 1. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 adalah 657.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 148.707 ind/l. Kelimpahan fitoplankton pada tambak 2 adalah 2283.707 ind/l sedangkan zooplankton adalah 344.707 ind/l. Hal ini diduga disebabkan oleh vegetasi mangrove yang terdapat pada tambak 1 lebih banyak daripada tambak 2, sehingga adanya persaingan perolehan cahaya yang lebih banyak antara fitoplankton dengan vegetasi mangrove.

Menurut Murachman (2010) kelimpahan fitoplankton yang optimal untuk tambak udang windu adalah 3.628–11.533 ind/l, sedangkan zooplankton adalah 243–699 ind/l. Berdasarkan hal tersebut maka kelimpahan fitoplankton pada tambak 1 dan tambak 2 cukup optimum untuk budidaya udang windu, sedangkan kelimpahan zooplankton pada tambak 1 cukup optimum dan pada tambak 2 optimum untuk budidaya udang windu.

Teknik Budidaya Udang Windu Persiapan Tambak

Persiapan tambak dilakukan dengan cara menangkap ikan dan biota lainnya yang berada di dalam tambak dengan menggunakan jaring hingga tidak ada lagi ikan dan biota lainnya yang tertangkap. Hal ini dilakukan agar ikan tidak memangsa udang yang akan di tebar. Setelah itu, di dalam tambak dipasang hapa sebagai tempat pemeliharaan benur atau biasa disebut pendederan. Hapa adalah tempat pendederan benur yang terbuat dari jaring nilon atau disebut waring. Hapa dipasang di dalam tambak dengan cara mengikatnya pada tiang yang ditancapkan di dasar tambak.

Penebaran Benur

Benur yang ditebar berukuran PL 15, masing-masing tambak sebanyak 21.000 ekor. Benur yang ditebar tergololng masih kecil, oleh karena itu dilakukan pendederan dengan menggunakan hapa selama 30 hari agar benur tersebut cukup kuat dan tahan terhadap kondisi tambak yang luas serta mampu menghindar dari berbagai predator yang akan memangsa. Sebelum ditebar, benur di aklimatisasi terlebih dahulu. Menurut Kordi (2010) aklimatisasi adalah adaptasi atau penyesuaian terhadap kondisi lingkungan yang berbeda. Aklimatisasi dilakukan untuk menjegah terjadinya stres pada benur yang dipindahkan dari satu lingkungan ke lingkungan lain yang berbeda kondisinya. Tahap aklimatisasi ketika penelitian dilakukan sebagai berikut :

1. Benur yang terdapat pada kemasan kantong plastik diapungkan di dalam tambak. Biarkan sekitar 30 menit agar suhu air di dalam kantong plastik sama dengan suhu air di tambak.

2. Setelah 30 menit, kantong plastik yang berisi benur tersebut dibuka satu per satu. Tambahkan air dari tambak ke dalam kantong plastik sebanyak 1

4 dari volume air yang ada di dalam kantong plastik. Penambahan air dari tambak ke kantong plastik untuk penyesuaian salinitas dan pH. Lalu biarkan selama 30 menit.

3. Setelah 30 menit, miringkan kantong plastik yang berisi benur sampai benur keluar sendiri dari kantong plastik dan menyebar di dalam hapa.

Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan selama 30 hari di hapa. Setelah 30 hari, benur diangkat dari hapa dengan menggunakan seser berukuran kecil kemudian dihitung jumlahnya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan jumlah benur yang tersisa pada tambak 1 yaitu 3.700 ekor, sedangkan pada tambak 2 yaitu 2.575 ekor. Mortalitas benur pada masing-masing tambak tergolong tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh penurunan salinitas dari hatchery ke tambak yang cukup tinggi. Salinitas di hatchery yaitu 20 ‰, sedangkan salinitas di tambak yaitu 7 ‰.

Menurut Haryanti (1993, di acu oleh Kordi, 2010) bahwa produksi udang windu dapat menurun karena perubahan salinitas. Penurunan salinitas dari 25 menjadi 10 ‰, walaupun laju pertumbuhannya tinggi namun kelulusan hidupnya rendah. Apalagi jika salinitas tambak udang turun antara nilai 20 – 5 ‰ atau 15 – 0 ‰, kelulusan hidupnya sangat rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya mortalitas disebabkan oleh penurunan salinitas yang tinggi dari hatchery ke tambak. Tingginya mortalitas juga disebabkan pada hapa tidak diberi daun kelapa maupun daun nipah yang berfungsi sebagai tempat berlindung bagi benur udang windu dari sinar matahari. Menurut Kordi (2010) untuk mencegah terik matahari menembus ke dalam hapa tempat pendederan udang windu, maka hapa diberi daun kelapa maupun daun nipah.

Setelah jumlah benur yang tersisa dihitung, kemudian benur dipindahkan ke petak tambak. Di dalam petak tambak, pemeliharaan dilakukan selama empat bulan. Pergantian air ketika pemeliharaan udang di hapa maupun di petak tambak dilakukakan sebanyak empat kali dalam sebulan, yaitu pada saat akhir bulan ketika kondisi air pasang tinggi dengan rentang waktu pergantian air dua hari

sekali. Sebelum dilakukan pergantian air, kondisi air yang akan dimasukkan yang berasal dari sungai diamati terlebih dahulu. Apabila kondisi air sungai keruh, pergantian air akan ditunda. Hal ini untuk menghindari fluktuasi parameter kualitas air dan mencegah stres pada udang.

Pergantian air dilakukan dengan cara membuka pintu air yang ada di tambak, kemudian air yang ada di dalam tambak dikeluarkan melalui pintu air pada saat kondisi air surut yaitu sekitar pukul 19.00 WIB. Air yang dikeluarkan setinggi 20 cm dari volume air yang ada di dalam tambak. Pintu air ditutup kembali setelah selesai mengeluarkan air dari tambak. Setelah dua hari, buka pintu air yang ada di tambak, kemudian masukkan air yang berasal dari sungai melalui pintu air pada saat kondisi air pasang yaitu sekitar pukul 01.00 WIB. Air yang dimasukkan setinggi 20 cm dari volume air yang ada di dalam tambak. Pintu air ditutup kembali setelah selesai memasukkan air dari sungai. Proses pergantian air dilakukan untuk membersihkan sisa metabolisme udang maupun sampah-sampah yang terdapat di dalam tambak.

Pemanenan

Proses pemanenan dilakukan ketika udang sudah berumur 5 bulan. Dua hari sebelum panen, dilakukan penambahan air yang berasal dari sungai melalui pintu air ke dalam tambak. Air yang dimasukkan setinggi 20 cm dari volume air yang ada di dalam tambak. Setelah dua hari, proses pemanenan kemudian dilakukan yaitu pada saat kondisi air surut sekitar pukul 19.00 WIB. Hal ini dilakukan karena udang bersifat nokturnal, yaitu aktif pada malam hari. Selain itu, udang juga bersifat mengikuti arus sehingga memudahkan untuk proses pemanenan. Menurut Kordi (2010) udang windu adalah hewan nokturnal atau

hewan yang aktif dan mencari makan pada malam hari. Pada siang hari, udang lebih suka beristirahat, baik dengan cara membenamkan diri di dalam lumpur maupun menempel pada sesuatu benda yang terbenam di dalam air.

Proses pemanenan dilakukan dengan cara menyiapkan jaring kantong terlebih dahulu. Setelah itu jaring kantong diletakkan pada pintu air, kemudian pintu air dibuka dan ditunggu sampai 30 menit. Setelah 30 menit, jaring kantong kemudian diangkat. Udang yang tertangkap kemudian dimasukkan kedalam Styrofoam dan diberi es untuk menjaga kesegaran udang. Hal ini dilakukan sampai tidak ada lagi udang yang tertangkap di jaring kantong.

Berdasarkan hasil penelitian, produksi udang windu pada tambak 1 lebih tinggi dari pada tambak 2. Hasil produksi udang windu pada tambak 1 yaitu 42 kg/5 bulan (size 26) dan pada tambak 2 yaitu 29 kg/5 bulan (size 26). Hal ini disebabkan oleh kondisi kualitas air pada tambak 1 sebagian besar memenuhi kriteria untuk budidaya udang windu berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : 28 Tahun 2004.

Selain itu, ditemukan cukup banyak klekap yang tumbuh pada tambak 1. Klekap merupakan pakan alami bagi udang windu yang hidup di permukaan tambak, sehingga ketersediaan pakan alami berupa klekap yang ditemukan pada tambak 1 menyebabkan produksi udang windu lebih tinggi didandingkan pada tambak 2. Produksi udang windu pada tambak 1 lebih tinggi dari pada tambak 2 juga disebabkan oleh pada tambak 2 terdapat banyak lumut yang tumbuh di dasar tambak sehingga pakan alami udang windu berupa mollusca, udang kecil, benthos, dan klekap menjadi sedikit.

Hasil produksi pada masing-masing tambak tergolong rendah, selain disebabkan oleh rendahnya salinitas pada tambak, hal ini juga disebabkan pada tambak tradisional tidak diberi pakan tambahan dan hanya mengharapkan pakan alami. Sehingga banyak terjadi persaingan dalam memanfaatkan pakan alami. Tidak diberikannya pakan tambahan ketika penelitian karena dikhawatirkan sisa-sisa dari pakan yang tidak termakan akan menyebabkan tambak menjadi terlalu subur sehingga dapat membahayakan kehidupan udang. Walaupun kelimpahan plankton pada masing-masing tambak cukup optimum untuk budidaya udang windu, namun udang yang sudah dewasa lebih menyukai pakan alami berupa cacing maupun udang yang berukuran kecil yang terdapat di dalam tambak.

Menurut Hermansah (2000, diacu oleh Herman, 2000) bahwa udang lebih menyukai plankton selama 30 hari pertama setelah penebaran. Setelah berumur lebih dari 30 hari, walaupun masih memakan plankton tetapi udang sudah mulai memakan makanan yang berukuran lebih besar yaitu gastropoda, dan kemudian pada umur 60 hari udang menjadikan makrozobenthos sebagai makanan utamanya. Selain itu, menurut Mudjiman (1985, diacu oleh Raharjo, 2003) udang dewasa suka memakan Mollusca (kerang, tiram, cacing Annelida), udang-udangan (Crustaceae), benthos, dan pakan alami yang tumbuh di tambak seperti klekap.

Hasil udang windu yang dipanen selama pemeliharaan 5 bulan pada masing-masing tambak yaitu ukuran (size) 26, artinya dalam 1 Kg terdapat 26 ekor udang dengan harga jual Rp. 95.000/Kg. Petembak menjual hasil panen udang windu di PT. Seafood Sumatera Perkasa. Harga udang windu pada setiap ukuran berbeda. Harga udang windu pada setiap ukuran dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Harga udang windu pada setiap ukuran Ukuran (size) Harga/Kg (Rp)

15 132. 000 20 101. 000 25 96. 000 30 90. 000 35 85. 000 40 81. 000 50 74. 000 60 57. 000

Walaupun hasil panen udang windu pada masing-masing tambak tergolong rendah, namun dengan tingginya harga jual udang windu maka usaha budidaya udang windu masih layak untuk dikembangkan, tetapi waktu yang diperlukan dalam pemeliharaan di tambak tradisional cukup lama.

Dokumen terkait