• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi

Dalam dokumen Biografi Buya Hamka (Halaman 32-43)

--Pada bulan Januari 1964, saya ditangkap oleh rezim orde lama selama dua tahun empat bulan dengan kezaliman dan sewenang-wenang. Itu adalah kesulitan! Kalaulah saya bawa bermenung saja, kesulitan dan perampasan kemerdekaanku itu, maulah diri ini gila. Tapi akal terus berjalan, maka hidayah Allah datang. Cepat-cepat saya baca al-Quran, sehingga pada 5 hari penahanan yang  pertama saja, 3 kali a- Quran khatam dibaca. Lalu saya atur waktu untuk membaca al-Quran dan

waktu untuk mengarang tafsir al-Quran yang saya baca itu. Demikianlah hari berjalan terus dengan tidak mengetahui dan tidak banyak memikirkan kapan akan keluar. Akhirnya terjadilah kekacauan politik 30 September 1965 dan di bulan Mei 1966 saya dibebaskan. Saya telah selesai membaca al-Quran sampai khatam lebih dari 150 kali dan saya telah selesai pula menulis tafsir al-Quran sebanyak 28 Juz dalam masa penahanan saya itu. Dua juz lainnya  yaitu juz 18 dan 19 telah saya tafsirkan sebelum tertangkap dalam masa dua tahun. Hal yang luar biasa terjadi adalah, pada tahun 1968, saya dan almarhumah istri dapat naik haji. Kami membawa pula anak kami yang kelima, Irfan. Lebih dari separuh biaya perjalanan kami bertiga adalah dari hasil royalty tafsir al-Azhar Juz 1.

--Dapatkah kita membayangkan, bahwa jika tidak ada penjara, apakah Buya Hamka dapat  menyelesaikan tafsir al-Azhar yang terkenal itu? Sebuah tafsir yang selalu menjadi rujukan bagi kita dan menjadi amal shaleh Alm.Buya Hamka yang terus mengalir sampai akhir jaman. Tidakkah kita

dapat mengambil pelajaran? 

Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi

Sabtu, 26 November 2011 06:07 WIB

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas

Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Hamka terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Setelah Konstituante dan Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan kegiatannya pada dakwah Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung

Al-Azhar, di samping tetap aktif di Muhammadiyah. Dari ceramah-ceramah di Masjid Agung itu lah lahir sebagian dari karya monumental Hamka, Tafsir Al-Azhar.

Zaman demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Dia berada di tahanan Orde Lama itu selama dua tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar.

Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya berhubungan de ngan ayat 36 Surah az- Zumar, ―Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung hamba- Nya...‖. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati.

Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya. ―Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder  buat menyadap pengakuan saya.‖

―Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.‖

―Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini, ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.

Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati.

Demikian jawaban polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tuhan. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata anak itu.

Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya. Redaktur:Siwi Tri Puji B

Buya Hamka: Jejak Pemikiran dan Teladan

Posted on 22. Jan, 2009 by ave in Opini, Tokoh

BUYA Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Pemikirannya tidak hanya berlaku di zamannya, naman masih sangat kontekstual di masa kini. Produktivitas gagasannya di masa lalu sering menjadi inspirasi dan rujukan gagasan-gagasan kehidupan di masa kini.

Hamka mewakili sosok kepribadian yang cemerlang. Ratusan karya tulis dilahirkannya dari ketajaman memotret berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Tidak mengherankan bila dalam Oxford History of Islam (2000), John L Esposito pun menyandingkannya dengan pemikir besar Muslim terkemuka.

Menafsirkan berbagai karya Hamka di masa lalu yang masih aktual di masa kini bisa didapatkan kesimpulan bahwa diri dan pemikirannya mewakili sosok cendekiawan yang, meminjam Idi Subandy Ibrahim dalam Hamka, Jembatan Dua Dunia (Pikiran Rakyat 2008), humanis-religius. ‖Di Bawah Lindungan Ka`bah‖, ‖Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck‖, ‖Falsafah Hidup‖, ‖Islam dan Demokrasi‖, ‖Keadilan Sosial dalam Islam‖, dan lainnya menunjukkan kecintaannya yang mendalam akan nilai-nilai keadilan dalam bermasyarakat dan kepekaannya terhadap realitas sosial. Karya-karya tersebut menjadi penunjuk atas keluasan cakrawala berpikir seorang Buya Hamka.

Pemikiran Buya Hamka relevan di tengah-tengah masalah keberagamaan bangsa ini yang pasang surut di tengah tarik-menarik antara konflik dan kekerasan. Keberagamaan yang tidak  kontekstual dan hanya mementingkan tata cara keberagamaan formal sebagai ‖substansi‖  beragama dan ‖satu-satunya‖ cara terbaik beragama justru seringkali menyeret seseorang ke

dalam pemikiran yang sempit. Seolah-olah kehidupan ini dihuni oleh segolongan orang yang memiliki cara beriman dan beragama yang sama persis.

Secara kontekstual, kehidupan beragama seperti adanya inilah yang menjadi fakta masyarakat. Kekerasan dan konflik kerap dipicu oleh sentimen yang dibangun melalui sempitnya cara memandang hidup dan kehidupan. Pluralitas adalah kenyataan kehidupan. Dalam konteks ini dibutuhkan pemikiran yang bisa mengayomi semua dimensi kehidupan. Penghargaan dan sikap toleran atas perbedaan jauh lebih penting dikemukakan untuk menciptakan tata kehidupan yang damai.

Tafsir atas pemikiran Buya Hamka memang beragam. Namun perbedaan tafsir di dalamnya seharusnya dikokohkan dalam kerangka memperkaya khasanah keberagamaan dari sudut pandang substansinya. Ini akan sejalan dengan semangat pemikiran Buya Hamka sebagai intelektual yang mencintai keadilan dan memandang perbedaan sebagai suatu kenyataan hidup. Untuk mendapatkan contohnya, sosok pemikiran Buya Hamka seperti di atas dapat dijumpai dalam jejak-jejak pengaruhnya kepada, misalnya, pemikiran dan kepribadian

Buya Syafii Maarif, salah seorang mantan Ketua PP Muhammadiyah yang mengaku pembentukan kepribadiannya banyak dipengaruhi olehnya. Kecintaan atas keadilan dan

kemanusiaan menjadi semangat untuk memperbaiki kehidupan yang lebih damai di tengah realitas sosial yang beragam. Pribadi tangguh yang dilahirkan dari tanah Minang ini memberikan teladan untuk bersikap dewasa dan menghargai pluralisme serta mengakui perbedaan.

Perbedaan keyakinan bukan jalan atau peluang untuk saling bermusuhan. Hemat penulis, karakteristik keberimanan yang otentik seperti ini bila tidak dikembangkan justru berpeluang melahirkan keberimanan yang sempit yang menjadi jalan untuk melihat the others selalu sebagai

sosok yang harus dilawan dan dimusuhi.

Keberpihakannya pada keadilan tercermin dari persahabatan antara Buya dengan Kardinal Justinus Darmoyuwono.

Kedua tokoh agama tersebut bersatu menentang kekuasaan Soeharto pada tahun 1970an yang sudah mulai menampakkan tanda-tanda otoriterismenya. Buya Hamka dan Kardinal Darmoyuwono memiliki perbedaan prinsip keagamaan tetapi justru memiliki hubungan yang sangat baik. Pada saat menyangkut masalah kebangsaan mereka bersatu menentang kekuasaan pemerintahan yang zalim. Hal itulah yang saat ini sudah minimal, saat Indonesia kehilangan

tokoh-tokoh yang peduli pada masalah kebangsaan.

Saat ini tokoh-tokoh masyarakat dan elite politik kehilangan roh kerakyatan seperti yang dimiliki Buya Hamka.

Beliau adalah seseorang yang terbuka terhadap keyakinan orang lain. Selain itu, memiliki sikap bahwa manusia harus hidup berdampingan secara toleran, menghormati perbedaan, menjaga keyakinan dan menjunjung tinggi kebebasan. Pergaulan Buya melintas batas suku, bangsa, agama dan keturunan.

Kepribadiannya dicerminkan dari sikapnya yang terbuka. Buya juga membaca karya-karya sarjana Prancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud dan sebagainya. Ia seorang Muslim yang tidak harus antibarat hanya karena melihat barat dianggap terlalu banyak yang tidak sesuai dengan sikap keberagamaannya.

Ketegaran dan ketangguhan seorang cendekiawan seperti Buya Hamka inilah yang semakin  jarang ditemui di tengah dunia yang instan, pragmatis dan simplifikatif. Buya adalah seorang

yang berpendirian teguh memperjuangkan keadilan. Ia berani melawan kekuasaan yang zalim sehingga ia dipenjara berkali-kali. Keberaniannya sungguh-sungguh ditegakkan atas nama

kebenaran dan pembelaan atas ketidakadilan.

Sikap keberagamaan yang memerankan kepedulian pada realitas sosial akan melahirkan cara beriman yang lebih terbuka dan menghargai perbedaan.

Kemajemukan adalah fakta sosial yang tak bisa diingkari. Pemikiran yang sempit akan berkecenderungan untuk membela dirinya sendiri dengan kepedulian yang sangat kecil, bahkan musnah, terhadap orang lain. Bahkan dalam segolongan sekalipun, sikap seperti ini bisa membayakan perdamaian karena apapun yang terlihat berbeda selalui disikapi sebagai musuh. Sebagai musuh, tak ada cara lain selain ditundukkan, karena ia dianggap mengganggu.

Buya Hamka sudah menyelami realitas sosial seperti ini dalam khasanah kebangaan Indonesia di masa lalu. Keterbukaannya terhadap perbedaan sekaligus meletakkan sikap dasar toleransi

adalah jalan yang paling baik daripada menutup semua peluang dialog dan hidup berdampingan. Indonesia adalah bangsa yang dibangun atas dasar kesamaan nasib, bukan semata-mata kesamaan berkeimanan. Sudah selayaknya bangsa ini diolah dan dibangun dengan cara pandang yang terbuka pula.

Adapun keimanan bersifat membantu mendorong tumbuhnya semangat penghargaan ini. Apapun  jenis keimanan ini sifatnya lebih individualistik dan diharapkan memberikan semangat untuk 

lebih arif terhadap realitas sosial yang ada. Keimanan bukan untuk melahirkan permusuhan, melainkan untuk meretas persaudaraan setiap saat. Perbedaan bukan jalan menuju peperangan, melainkan jalan menuju kedamaian yang sesungguhnya. Dan untuk itu pula perbedaan itu ada. Buya Hamka memberikan banyak teladan kepada Indonesia sebagai bangsa di tengah-tengah realitas perbedaan yang ada. Sosok yang tangguh dan mau bersahabat dengan siapa saja yang memiliki kemanusiaan perlu dicontoh bukan hanya oleh mereka yang Muslim, melainkan siapa saja yang mengaku sebagai manusia Indonesia.

Sumbangsih pemikiran yang otentik dan kontekstual untuk kehidupan kebangsaan yang sehat itulah yang perlu digali dari sosok Buya Hamka. Menelusuri jejak-jejak pemikiran seharusnya memupuk keteladanan berpikir, bertindak dan berperilaku. Para elit politik, sosial, dan agama yang masih mengedepankan cara berpikir ‖segolongan‖ seharusnya lebih banyak menimba pemikiran Buya Hamka.

Bangsa ini merindukan lahirnya buya-buya baru yang berani belajar dari kegagalan masa lampau dan menatap masa depan dengan landasan utama: kemanusiaan dan keadilan.

 BENNY SUSETYO, adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Dewan Pembina Averroes Community

Teladan HAMKA

Selasa, 22 November 2011 06:00 Inspirasi

Oleh: Anwar Djaelani

Inpasonline.com, 22/11/11

HAMKA ulama besar. Tafsir Al-Azhar adalah karya terbaiknya di antara lebih dari seratus karya tulisnya. November 2011, Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Hal itu, semakin memberi alasan bahwa kita patut meneladaninya.

Alim dan Santun

Di situs www.muhammadiyah.or.id 1/6/2011 ada biografi ringkasnya. Nama HAMKA adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Dia tokoh Muhammadiyah. Lelaki –yang lahir 17/2/1908– ini mulai aktif 

di Muhammadiyah pada 1925 dan pada 1928 mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada 1929 HAMKA mendirikan Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah di Makassar. Lalu, menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat pada 1946. Pada 1953, HAMKA menjadi Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sekalipun pendidikan formalnya tak tinggi, dua universitas terkemuka tak ragu untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada HAMKA. Itu disampaikan Universitas Al-Azhar Mesir pada 1958 dan Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974.

Reputasi keulamaan dari tokoh yang wafat pada 24/71981 itu diakui kalangan luas. Pengaruhnya terasa hingga kini, bukan saja di Indonesia, melainkan juga di Malaysia dan Singapura.

Sekarang, kita lihat HAMKA di satu aspek saja, yaitu bagaimana sikap dia menghadapi persoalan furu’iyah

(bersifat cabang, bukan yang pokok). Ini penting, sebab perselisihan di aspek ini sesekali masih terjadi. Sekadar

menyebut dua contoh, baca qunut di shalat subuh itu perlukah? Adzan shalat Jum‟at, sekali atau dua kalikah?

Mari kita kenang dua fragmen menarik. Ini fragmen pertama. Suatu ketika HAMKA shalat subuh berjamaah bersama KH Idham Chalid (Ketua Umum PB NU 1956-1984, Ketua MPR/DPR 1971-1977, dan mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al -Azhar-Mesir). HAMKA yang mengimami. Pada rakaat kedua, HAMKA membaca doa qunut (Sabili 21/2/2008). Ini menarik, sebab membaca qunut tak biasa dilakukan HAMKA. Artinya,

kisah “qunut HAMKA” bisa memberi pelajaran yang dalam bagi kita.

Menarik pula, HAMKA dan Idham Chalid ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada waktu yang bersamaan, yaitu 8/11/2011.

Lalu, ini fragmen kedua, dipetik dari www.ustsarwat.com. Di sebuah Jum‟at, KH Abdullah Syafii

mengunjungi HAMKA di Masjid Al-Azhar Jakarta Selatan (catatan: HAMKA memimpin pelaksanaan ibadah sehari-hari dan pengajian di masjid tersebut sejak kali pertama digunakan, 1958). Hari itu seharusnya HAMKA yang menjadi khatib. Tapi, sebagai penghormatan kepada sahabat dan sekaligus tamunya, HAMKA dengan santun meminta Abdullah Syafii menjadi khatib.

Hal menarik terjadi. Saat itu, adzan Juma‟t dikumandangkan dua kali. Padahal, siapapun tahu, di masjid itu adzan Jum‟at selalu hanya satu kali. Rupanya, HAMKA menghormati Abdullah Syafii sebab melaksanakan adzan dua kali pada shalat Jum‟at adalah pendapat yang dipegang oleh sang sahabat.

Siapa Abdullah Syafii? Mari kita „berkenalan‟ dengan tokoh yang memiliki „latar-belakang‟ berbeda dengan

HAMKA itu. Situs www.majalah-alkisah.com 12/10/2011 menurunkan judul “KH Abdullah Syafii, Penjaga Benteng Moral Umat”. Berikut ini petikannya.

Dia ulama kelahiran Kampung Bali Matraman, Jakarta 10/8/1910 dan wafat pada 3/9/1985. Sedari kecil, telah memelajari Islam kepada sejumlah ulama di Jakarta. Dia juga pernah mengenyam pendidikan di Mekkah.

Abdullah Syafi‟i mengabdikan hidupnya untuk pendidikan umat. Saat usianya beranjak 17 tahun, Abdullah Syafii telah terjun ke masyarakat, mengajarkan agama. Selain itu dia juga kerap mengisi ta‟lim dan ceramah di

berbagai tempat. Gaya ceramahnya yang lantang, tegas, dan berapi-api membuatnya dikenal sebagai “Macan Betawi”.

Pada masa penjajahan, sebagian besar warga pribumi tidak mendapatkan pemahaman agama dengan baik. Maka, semangat dakwah Abdullah Syafii kian tidak terbendung. Dia merasa begitu terpanggil mensyiarkan Islam (antara lain dengan jalan memberantas buta huruf Al-Qur‟an). Berbagai keterbatasan dan kendala tidak

membuatnya patah semangat. Dia rela mengorbankan tenaga, pikiran, dan harta.

Abdullah Syafii memulai kegiatan ta‟limnya dengan sarana sangat sederhana. Beberapa tahun kemudian dia mendirikan lembaga pendidikan agama yang diberi nama “Madrasah Islamiyah Ibtidaiyah”. Puluhan tahun kemudian madrasah itu berganti nama menjadi “Asy-Syafi‟iyah” dan berkembang pesat, mulai dari TK hingga

Perguruan Tinggi Agama Islam. Ada juga pesantren tradisional putra dan putri serta pesantren khusus yatim. Lokasinya tak hanya di Jakarta, tapi juga di Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi. Ada sekitar 33 lembaga pendidikan, 19 lembaga dakwah, dan 11 lembaga sosial yang telah didirikannya.

Abdullah Syafii tercatat sebagai salah satu pendiri Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain pernah menjabat Wakil Ketua MUI Pusat, dia juga pernah menjadi Ketua Umum MUI DKI Jakarta.

Banyak jasa Abdullah Syafii. Peran dan perj uangannya dalam mendidik umat sangat bisa dirasakan. Maka, wajar, jika dia lalu mendapat penghargaan dari Pemerintah Indonesia berupa Bintang Maha Karya Putra Utama. Sementara, Pemerintah DKI Jakarta memberikan penghargaan dengan menamai salah satu jalan di Jakarta Selatan dengan nama Jalan KH Abdullah Syafii (www.ummatonline.net 1/8/2010).

Dari uraian di atas, tampak bahwa HAMKA, Idham Chalid, dan Abdullah Syafii berilmu tinggi. HAMKA punya Tafsir Al-Azhar dan Perguruan Al-Azhar. Idham Chalid memimpin PB NU dalam waktu yang sangat lama. Abdullah Syafii memiliki Pesantren Asy-Syafi‟iyah dan banyak alumnusnya yang juga sukses mengikuti jejak sang

guru.

Terlihat, mereka berinteraksi secara indah karena berprinsip saling menghormati. HAMKA

misalnya-dengan keluasan ilmunya, bisa „menyesuaikan diri‟ misalnya-dengan praktik ibadah yang berbeda dari saudara Muslim

lainnya.

Pelihara, Ayo!

HAMKA –ketua MUI 1977 sampai 1981- telah memberi teladan yang elok. Maka, masihkah akan ada di antara kita yang suka menyoal hal-hal furu’iyah? Mari, belajar ke pada HAMKA, ulama yang tidak kita ragukan lagi ketinggian ilmunya, InsyaAllah, antara lain dengan cara itu, ukhuwah Islamiyah dapat kita pelihara. []

Mengenal Buya Hamka

Oleh: Yanto, S.Pd, M.Ed

Pada tanggal 8 November 2011 yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugrahkan gelar pahlawan kepada Prof. Dr. Hamka. Seorang tokoh besar Indonesia abad ini. Namun generasi internet saat ini barangkali banyak yang tidak begitu mengenal beliau. Untuk itu penulis ingin membagi sedikit pengetahuan penulis mengenai beliau karena sempat melakukan penelitian mengenai sosok istimewa ini.

Profesor Doktor Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir pada tanggal 8 Februari 1908 di Maninjau, Sumatra Barat. Ayah beliau Haji Abdul Karim Amrullah adalah ulama berpengaruh di Sumatra Barat. Meski bergelar profesor doktor, namun sekolahnya hanya sampai kelas 5 SD. Gelar Profesor beliau dapat dari Universitas Mustopo Jakarta, sedangkan gelar Doktor Honoris Kausa beliau peroleh dari dua universitas besar yakni Universitas Al Azhar Kairo, Mesir dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Ketiga gelar kehormatan tersebut

memperlihatkan betapa keilmuan beliau diakui oleh dunia meski hanya mengenyam bangku sekolah formal tidak lebih dari lima tahun saja. Namun panggilan populer beliau adalah “Buya” yang di Minangkabau berarti orang yang dianggap ilmu agamanya tinggi.

Sosok buya Hamka menjadi sangat istimewa karena peranannya dalam sejarah Indonesia yang begitu penting. Uniknya adalah beliau tidak saja dikenal sebagai seorang ulama, namun juga sastrawan, sejarawan, orator, wartawan dan bahkan politisi. Di semua peran yang beliau mainkan dalam sejarah Indonesia, beliau menjadi aktor utamanya.

Sebagai Sastrawan

Buya Hamka adalah penulis produktif di zamannya. Tidak kurang 113 buku telah beliau tulis semasa hidupnya. Karya beliau banyak digemari oleh masyarakat karena gaya penulisannya yang memikat. Tidak hanya di Indonesia, di Malaysia pun karya-karyanya sangat di sukai. Beberapa novel karya buya Hamka menjadi best seller . Sebut saja Di bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Der Wich (1937), Merantau ke Deli (1940) serta ratusan karya yang lainnya. Bahkan Di bawah Lindungan Ka’bah saat ini telah diangkat ke layar lebar.

Keistimewaan Buya Hamka sebagai seorang sastrawan adalah produktivitas beliau dalam menulis. Seperti diketahui generasi sastra Indonesia dapat digolongkan kepada empat angkatan yakni Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45 dan Angkatan 66. Biasanya seorang penulis sastra Indonesia hanya bisa di golongkan kepada era sastra tertentu saja. Misalnya Khairil Anwar termasuk Angkatan 45, Taufik Ismail Angkatan 66. Namun Buya Hamka masuk ke dalam semua angkatan karena beliau sudah produktif menulis sejak berusia 17 tahun.

Tulisannya tidak saja dalam bentuk novel populer namun juga berupa buku sejarah Islam terutama sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Misalnya karya beliau yang berjudul “Sejarah Umat Islam” yang diterbitkan hingga empat edisi. Topik mengenai Islam mendominasi semua tulisan beliau karena tampaknya beliau menjadikan bacaan sebagai media dakwah yang memang sangat efektif ketika itu. Beliau juga dikenal sebagai seorang wartawan yang membidani lahirnya majalah Islam “Panji Masyarakat”.

Sebagai Politisi

Setelah kemerdekaan Buya Hamka ikut berpolitik guna memperjuangkan aspirasi umat Islam. Beliau bergabung dengan partai Masyumi. Namun partai ini pada tahun 1960 dinyatakan sebagai partai terlarang tanpa sebab yang jelas oleh pemerintahan Sukarno. Namun ini tentu saja berkaitan dengan penentangan Masyumi terhadap komunis di Indonesia. Sementara pemerintahan Sukarno ketika itu sangat dipengaruhi oleh orang-orang PKI. Pada tahun

Dalam dokumen Biografi Buya Hamka (Halaman 32-43)