• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biografi Buya Hamka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Biografi Buya Hamka"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

Biografi Buya Hamka, Ulama dan Sastrawan

Biografi Buya Hamka, Ulama dan Sastrawan Indonesia

Indonesia

Buya Hamka

Buya Hamkalahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau,lahir pada tahun 1908 di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, HAMKA sendiri merupakan singkatan dari nama beliau yakni

Sumatera Barat, HAMKA sendiri merupakan singkatan dari nama beliau yakni Haji AbdulHaji Abdul Malik Karim Amrullah

Malik Karim Amrullah, Hamka merupakan putra dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yg, Hamka merupakan putra dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yg  juga merupak

 juga merupakan ulama di tanah minang, diawali bekerja sebaan ulama di tanah minang, diawali bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 digai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958.

Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958.

Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Buya Hamka merupakan sosok otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan Perancis, Inggris dan Jerman, beliau juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.

menjadi seorang ahli pidato yang andal.

Hamka aktif dalam Muhammadiyah, terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Hamka aktif dalam Muhammadiyah, terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada

(2)

tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka  juga

 juga pernah menjadi pernah menjadi editor editor majalah Pedoman majalah Pedoman MasyaraMasyarakat, kat, Panji Panji MasyarakMasyarakat, at, dan dan Gema Gema Islam.Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.

(3)

tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi beliau juga wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka  juga

 juga pernah menjadi pernah menjadi editor editor majalah Pedoman majalah Pedoman MasyaraMasyarakat, kat, Panji Panji MasyarakMasyarakat, at, dan dan Gema Gema Islam.Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.

(4)

karya- karya buya HAMKA karya- karya buya HAMKA

 Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab. 

 Si Sabariah. (1928)Si Sabariah. (1928) 

 Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929. 

 Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).Adat Minangkabau dan agama Islam (1929). 

 Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). 

 Kepentingan melakukan tabligh (1929).Kepentingan melakukan tabligh (1929). 

 Hikmat Isra' dan Mikraj.Hikmat Isra' dan Mikraj. 

 Arkanul Islam (1932) di Makassar.Arkanul Islam (1932) di Makassar. 

 Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.Laila Majnun (1932) Balai Pustaka. 

 Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar.Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar. 

 Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar. 

 Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934. 

 Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka. 

 Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. 

 Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. 

 Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi. 

 Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940. 

 Tuan Direktur 1939.Tuan Direktur 1939. 

 Dijemput mamaknya,1939.Dijemput mamaknya,1939. 

 Keadilan Ilahy 1939.Keadilan Ilahy 1939. 

 Tashawwuf Modern 1939.Tashawwuf Modern 1939. 

 Falsafah Hidup 1939.Falsafah Hidup 1939. 

 Lembaga Hidup 1940.Lembaga Hidup 1940. 

 Lembaga Budi 1940.Lembaga Budi 1940. 

 Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepang 1943).Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepang 1943). 

 Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946. 

 Negara Islam (1946).Negara Islam (1946). 

 Islam dan Demokrasi,1946.Islam dan Demokrasi,1946. 

 Revolusi Pikiran,1946.Revolusi Pikiran,1946. 

(5)

 Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.  Dibantingkan ombak masyarakat,1946.

 Didalam Lembah cita-cita,1946.  Sesudah naskah Renville,1947.

 Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.

 Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.  Ayahku,1950 di Jakarta.

 Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.  Mengembara Dilembah Nyl. 1950.  Ditepi Sungai Dajlah. 1950.

 Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.  Kenangan-kenangan hidup 2.

 Kenangan-kenangan hidup 3.  Kenangan-kenangan hidup 4.

 Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.  Sejarah Ummat Islam Jilid 2.

 Sejarah Ummat Islam Jilid 3.  Sejarah Ummat Islam Jilid 4.

 Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.  Pribadi,1950.

 Agama dan perempuan,1939.

 Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.

 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).  Pelajaran Agama Islam,1956.

 Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.  Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.

 Empat bulan di Amerika Jilid 2.

 Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor

Honoris Causa.

 Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.

 Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka

Panjimas, Jakarta.

 Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.  Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.

 Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.

 Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.

 Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.  Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.

 Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).  Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).

 Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.  Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.

 Himpunan Khutbah-khutbah.  Urat Tunggang Pancasila.

 Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.  Sejarah Islam di Sumatera.

(6)

 Bohong di Dunia.

 Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di

Padang).

 Pandangan Hidup Muslim,1960.

 Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.

Referensi :

- http://www.kaskus.us/showthread.php?t=11384959

Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah ( HAMKA). Pengenalan

Tokoh dari tanah seberang ini sengaja dipilih untuk disisipkan dalam koleksi ini kerana  Almarhum Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah atau dikenali sebagai Prof.

Dr Hamka adalah ulama besar Nusantara yang sangat terkenal. Lebih-lebih lagi beliau berasal dari tanah Minangkabau yang mempunyai pertalian dengan masyarakat adat perpatih di Negeri Sembilan. Setiap orang di negara ini yang pernah melihat dan

mendengar kuliah agama yang disampaikan oleh tokoh ini pastinya merasai kerinduan yang mendalam terhadap nastolgia lampau. Penyusun sendiri tanpa sedar boleh

menitiskan airmata apabila tokoh „idola‟ ini tersedu dalam ceramah dakwahnya di kaca TV kira-kira awal tahun 1970an dahulu. Gayanya yang tersendiri dalam berdakwah amat memukau sekali bagai magnet yang boleh menyentuh hati setiap insan yang mendengar.

Latar Belakang Ulama

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.

Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

HAMKA (1908-1981), adalah lebih terkenal daripada nama sebenar. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 14 Muharram 1326H bersamaan 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, yang tersohor dan dianggap pula pembawa reformasi Islam (

(7)

kaum muda). Menariknya pula, datuk beliau adalah ulama tarekat yang bersuluk terkenal. Tuan Kisa-i ( datuk Hamka) tetap mengamal Thariqat Naqsyabandiyah, istiqamah mengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i sama dengan pegangan „Kaum Tua‟, tetapi pada zaman beliau istilah „Kaum Tua‟ dan „Kaum Muda‟ belum tersebar luas. Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang pelopor dan termasuk tokoh besar d alam perjuangan „Kaum Muda‟. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekali gus menolak ikatan „taqlid‟, tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh. Manakala ibunya pula bernama Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah. sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Menurut sejarahnya, bapa beliau pernah dibuang daerah oleh penjajah Belanda ke Sukabumi dalam tahun 1941 lantaran fatwa beliau yang dianggap membahayakan penjajah dan keselamatan umum. Haji Abdul Karim adalah tuan guru kepada Sheikh Haji Ahmad Jelebu[1] yang riwayat hidupnya turut disajikan dalam koleksi ini. Beliau meninggal dunia pada 21 Jun 1945.

Hamka mendapat didikan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran

bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar  di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Aqqad, Mustafa

al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud,  Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin

membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau

mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali

pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak  jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah

(8)

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi

pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan

Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan

Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara

novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan

antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas

al- Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar  Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah  jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

Pendidikan

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Masa kecilnya, seperti kanak-kanak lain beliau juga dikatakan lasak dan nakal. Ini diceritakan sendiri oleh Sheikh Haji Ahmad

(9)

Jelebu bahawa Hamka pernah menyimbah air kepada penuntut lain semasa mengambil wuduk. Selepas itu beliau berguru pula kepada Sheikh Ibrahim Musa di Bukit Tinggi. Dalam tahun 1924, Hamka berhijrah ke Jawa sempat menuntut pula kepada pemimpin gerakan Islam Indonesia seperti Haji Omar Said Chakraminoto. Lain-lain gurunya ialah Haji Fakharudin, Ki Bagus, Hadi Kesumo dan iparnya sendiri Rashid Sultan Mansur. Kerjaya Hidup

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang panjang pada tahun 1929. Hamka bergiat aktif bagi menentang gejala khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di sana. Beliau menubuhkan Madrasah Mubalighin pada 1929 dan dua berikutnya, Pak Hamka berpindah pula ke Kota Makasar, Sulawesi untuk menjadi pimpinan Muhamadiah. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas

Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Keilmuan dan ketokohan yang ada pada beliau mendorong beberapa buah universiti mengambilnya sebagai pensyarah dalam bidang agama dan falsafah. Antara universiti itu ialah Universiti Islam Jakarta, Universiti Mohamadiah Sumatera Barat, Universiti Islam Pemerintah di Jogjakarta dan Universiti Islam Makasar. Bagi mengiktiraf  keilmuannya, Universiti Al Azhar, Mesir telah menganugerahkan Doktor Kehormat

dalam tahun 1958 dan beliau turut menerima ijazah Doktor Persuratan UKM pada 7 Jun 1974.

Karya Buya Hamka

Keistimewaan Pak Hamka ialah kebolehannya menulis novel dan menghasilkan kitab-kitab agama yang terkenal. Berikut ialah beberapa buah buku karangan tersebut:

1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab. 2. Si Sabariah. (1928)

3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929. 4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).

5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). 6. Kepentingan melakukan tabligh (1929).

(10)

7. Hikmat Isra‟ dan Mikraj.

8. Arkanul Islam (1932) di Makassar. 9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.

10. Majallah „Tentera‟ (4 nomor) 1932, di Makassar. 11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.

12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.

13. Di Bawah Lindungan Ka‟bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.

14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. 15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi. 17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.

18. Tuan Direktur 1939. 19. Dijemput mamaknya,1939. 20. Keadilan Ilahy 1939. 21. Tashawwuf Modern 1939. 22. Falsafah Hidup 1939. 23. Lembaga Hidup 1940. 24. Lembaga Budi 1940.

25. Majallah „SEMANGAT ISLAM‟ (Zaman Jepun 1943).

26. Majallah „MENARA‟ (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946. 27. Negara Islam (1946).

28. Islam dan Demokrasi,1946. 29. Revolusi Pikiran,1946.

(11)

30. Revolusi Agama,1946.

31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946. 32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946.

33. Didalam Lembah cita-cita,1946. 34. Sesudah naskah Renville,1947.

35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.

36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar. 37. Ayahku,1950 di Jakarta.

38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950. 39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950. 40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950.

41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950. 42. Kenangan-kenangan hidup 2.

43. Kenangan-kenangan hidup 3. 44. Kenangan-kenangan hidup 4.

45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950. 46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.

47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3. 48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.

49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950. 50. Pribadi,1950.

51. Agama dan perempuan,1939.

(12)

53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950). 54. Pelajaran Agama Islam,1956.

55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952. 56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.

57. Empat bulan di Amerika Jilid 2.

58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor  Honoris Causa.

59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.

60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.

61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta. 62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.

63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.

64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.

65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang. 66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968. 67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).

68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).

69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970. 70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.

71. Himpunan Khutbah-khutbah. 72. Urat Tunggang Pancasila.

73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974. 74. Sejarah Islam di Sumatera.

(13)

75. Bohong di Dunia.

76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).

77. Pandangan Hidup Muslim,1960.

78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.

79. Tafsir Al- Azhar Juzu‟ 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno. Majalah * Kemahuan Zaman ( 1929) * Al Mahdi ( 1933) * Pendoman Masyarakat ( 1936 – 1942) * Semangat Islam ( 1944- 1948) * Menara ( 1946-1948) * Panji Masyarakat ( 1959)

Hasil tulisan beliau ini banyak memberi petunjuk dan ilham kepada para pembacanya. Malah karya-karya Almarhum Pak Hamka mampu membangkit semangat perjuangan seperti karya-karyanya dalam majalah selepas perang. Majalah Panji Masyarakat sendiri telah telah diharamkan oleh pemerintahan Sukarno dalam tahun 1960 iaitu setahun selepas penerbitannya. Bagaimanapun, majalah ini diterbitkan semula dalam pemerintahan order baru Suharto tahun 1966.

Pak Hamka pernah dipenjarakan awal tahun 1960an. Zaman pemerintahan Sukarno dan ketika kominis bermaharajalela, selain ditangkap buku-buku Almarhum ada yang dibakar. Di dalam penjara inilah, beliau melahirkan kitab Tafsir Al Azhar yang menjadi bacaan ummah sekarang. Penahanan batang tubuhnya dalam sangkar besi itu tidak dapat membunuh semangatnya untuk beribadah kepada Tuhannya.

Penyusun pernah membaca kisah riwayat Presiden Sukarno yang penuh kontroversi itu. Dinyatakan apabila bekas Presiden itu meninggal dunia, Pak Hamka telah dijemput dan dirayu supaya mengimami sholat jenazah Sukarno. Peringkat awalnya, Almarhum agak keberatan menunaikannya kerana sikap Sukarno masa hidupnya amat

dipertikaikan. Namun apabila teringat tentang sifat Allah yang Maha Pengampun untuk mengampun dosa-dosa hambaNya. Buya Hamka maju juga ke hadapan untuk

mengetuai sholat jenazah itu, dikatakan saat akhir hidupnya Sukarno mulai kembali kepada fitrah mengingati penciptanya.

(14)

Berdakwah

Penyusun amat bersetuju dengan pandangan bahawa Pak Hamka adalah tokoh Ulama besar dan pendakwah tersohor yang pernah dilahirkan untuk abad kedua puluh di

Nusantara ini. Kewalian dan sifat karamah maknawiyah yang dimilikinya, mampu menyentuh hati dhamir ribuan insan yang mendengar kata bicaranya yang lunak dan menyegarkan. Penyusun ingin mengutip tulisan Saudara Abdul Ghani Said,[2]

penyusun buku “ 7 wali Melayu” bahawa Keistimewaan karamah maknawiyah antara lain ialah kata-katanya memberi kesan pada hati pendengar hingga mendorong orang membuat perubahan pada jalan kebaikan..”

Kekuatan minda dan kefasihan lidahnya untuk berdakwah dengan susun kata yang memukau jarang dimiliki oleh kebanyakan pendakwah. Kalau ada kisah tentang burung boleh berhenti terbang di udara apabila mendengar kemerduan bacaan Kitab Zabur  oleh Nabi Daud A.S, maka Buya Hamka juga mempunyai magnet yang boleh meruntun  jiwa pendengarnya untuk melabuhkan punggung mendengar sebentar ceramah

dakwahnya. Hati yang keras bisa terlunak dan terpegun. Memang Allah memberi keistimewaan besar kepadanya iaitu senjata sulit berdakwah dengan lidahnya. Di Negara kita, Pak Hamka sering juga berkunjung dan memenuhi undangan untuk berceramah termasuk di kaca TV hingga awal tahun 1980an. Beliau sering diundang menyertai muktamar Islam peringkat antarabangsa dan pernah berdakwah hingga ke Benua Eropah dan Amerika Syarikat. Kata Dr H. Ibnu Sutowo, hampir kesemua

perjalanan hidupnya di dunia ini dimaksudkan untuk agama. Kembali Ke Rahmatullah

Ulama istimewa ini kembali menemui Al Khaliqnya sewaktu berusia 72 tahun pada 24 Julai 1981 jam 11.10 pagi waktu Malaysia. Almarhum dipercayai mengalami serangan penyakit jantung. Penyusun berharap agar paparan kisah hidup tokoh nusantara yang agong ini dapat mengimbau kembali kenangan kita terhadap Pak Hamka yang dikasihi dan kita tidak rugi apabila mengingati orang-orang yang soleh kerana ia boleh

mendatangkan rahmah. Rasulullah sendiri pernah bersabda yang bermaksud

“ Sesungguhnya perbandingan ulama di bumi sepertilah bintang- bintang di langit yang boleh dijadikan panduan di dalam kegelapan di bumi dan di laut..”

Golongan yang cuba mengelak diri dari mendampingi ulama atau memusuhi mereka yang ikhlas untuk memandu kita di dunia ini perlulah berwaspada. Ingatlah, peringatan  Allah SWT dalam Hadith Qudsi :“ Barang siapa memusuhi waliKu ( ulama), maka Aku

akan mengisytiharkan perang terhadapnya” ( Riwayat Al Bukhari). [1] Maklumat dari Haji Mahmud Fasih.

(15)

# Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, terbitan Yayasan Nurul Islam, cetakan kedua 1979.

Walaupun bukan orang yang berasal dari Sumatera Barat, saya mengerti bahasa Minang dengan cukup baik. Petikan lagu Minang yang diperuntukkan bagi Buya HAMKA di atas artinya kira-kira begini:

(Merasa) gamang kampung dan bangsa (Merasa) kehilangan umat seagama (Islam)

(Gunung) Marapi dan Singgalang pun menagis mengenang

 Danau Maninjau (daerah tempat lahir HAMKA – pen.) telah ditinggalkan Buya-nya (maksudnya, ditinggalkan karena meninggal dunia – pen.)

(Dulu) sewaktu Buya bercerita/berceramah/memberikan petuah  Menangislah yang muda-muda/para anak muda (mendengarkannya)  Baik itu (berupa) petuah agama yang menyentuh rasa/hati

(Maka) berangsur menjadi lurus/benar apa yang salah (di masyarakat) selama ini.

Sosoknya bersahaja, pandangan matanya tajam tapi teduh, bahasanya satun dan nyaman

didengar, bak air mengalir. Saya tidak pernah bertemu dengan beliau, tapi begitulah pengakuan setiap orang yang pernah berjumpa dengannya. Saya hanya mengenal beliau melalui buku-bukunya, melalui rekaman-rekaman ceramahnya.

Ia dipanggil dengan sebutan Buya HAMKA. Buya dalam sebutan orang Minang atau Melayu berasal dari bahasa Arab, yakni Abiatau Abuya, yang berarti Bapak Kamiatau orang tua yang dihormati. Sedangkan HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah.

Hari ini, tanggal 17 Februari, adalah tanggal lahirnya di tahun 1908 yang lalu. Tujuh puluh tiga tahun setelah itu, tepatnya 24 Juli 1981, ia telah berpulang ke rahmatullah. Maka, tulisan ini, adalah tulisan untuk mengenangnya.

(16)

Pesonanya, menjelaskan siapa Buya HAMKA

1. HAMKA ulama yang santun, bersahaja, dan mudah didekati

Mbak Linda, seorang wartawati senior sebuah surat kabar, menuliskan kesan pertamanya saat berjumpa Buya HAMKA:

―Tahun 1977…, seorang gadis remaja baru mulai belajar menjadi wartawan. Datanglah ia ke rumah Buya HAMKA, di depan mesjid Al-Azhar, Kebayoran Baru. Berbagai pertanyaan yang dilontarkan secara hati-hati, dijawab oleh bapak tua ini dengan ramah.

Sorot mata yang teduh, jalan pikiran yang bersahaja, bening, dan bahasa tubuh yang santun, menjadi kenangan gadis remaja itu sampai sekarang.

Andaikan Buya berusia panjang, tentu gadis remaja itu akan minta terus kepada pemimpin redaksinya di kantor, untuk sering-sering memperoleh penugasan mewawancarainya lagi. Gadis remaja yang terkesima kepada Buya HAMKA puluhan tahun lalu itu, adalah saya.‖

(17)

 2. Ulama modern yang berpendidikan formal rendah, tapi berilmu sangat banyak dan luas

Pendidikan formal Buya HAMKA hanya Sekolah Dasar di Maninjau dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Selebihnya, ia belajar otodidak tentang filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik.

Ia tak hanya membaca kitab-kitab agama dan kesusasteraan Arab. Ia juga membaca karya-karya penulis barat; seperti Karl Marx, Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold

Toynbee, Jean Paul Sartre, dan Pierre Loti.

Fondasi ilmu agama yang kuat dan bacaannya yang banyak itu, membuat ia menjadi seorang ulama yang berpikiran modern dan siap bertukar pikiran dengan siapa saja.

 3. Ulama yang memanfaatkan banyak media untuk dakwah

Ia tak hanya berceramah di mimbar, di televisi, dan di radio. Ia juga menyampaikan pesan-pesan agama melalui sastra. Ia pun tak hanya menjelaskan hukum tentang suatu perkara, tapi ia juga menyentuh kedalaman perasaan dan jiwa. Lihatlah petikan tulisannya dalam novel karangan beliau, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck :

―Maafkan saya Hayati, jika saya berbicara ter us terang, supaya jangan hatiku menaruh dosa walaupun sebesar zarah terhadapmu. Cinta yang sejati, adikku, tidaklah bersifat munafik, pepat di luar pancung di dalam. Akan saya katakan perasaan hati terus terang, walaupun lantaran itu saya akan kau bunuh mi salnya, bahagialah saya lantaran tanganmu.‖

―Hayati!… Apa yang saya lihat kemarin? Mengapa telah berubah pakaianmu, telah berubah gayamu? Mana baju kurungmu? Bukankah Adinda orang dusun! Saya bukan mencela bentuk  pakaian orang kini, yang saya cela ialah cara yang telah berlebih-lebihan, dibungkus perbuatan ‗terlalu‘ dengan nama ‗mode‘. Kemarin, Adinda pakai baju yang sejarang-jarangnya, hampir separuh dada Adinda kelihatan, sempit pula gunting lengannya, dan pakaian itu yang dibawa ke tengah-tengah ramai…‖

 4. Ulama yang berani dan teguh dalam pendirian, namun tak meninggalkan kesantunannya Ia pernah dipenjarakan oleh Presiden Soekarno (1964-1966) karena dituduh pro Malaysia. Ia meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum MUI (1981) karena nasihatnya tak diindahkan oleh pemerintah.

―Kalau memdalami tokoh-tokoh masa lalu, seakan bertanya kepada diri, siapkah menulis sejarah sebagaimana yang dituliskan Buya HAMKA, menjadi pelaku sejarah bukan pengamat sejarah, pendirian yang teguh di tengah tentangan arus yang melenakan. Itulah sejatinya Buya HAMKA,

(18)

mampu mempertahankan apa yang diyakininya benar, apapun resikonya…‖ tulis Irsupardi di Kompasiana.

 5. Mashur bukan hanya di Indonesia, tapi juga di Asia Tenggara

HAMKA adalah ulama yang produktif dalam menulis, juga aktif dalam berbagai kegiatan

agama, sosial, bahkan politik. Sebagai ulama ataupun sastrawan, HAMKA tak hanya dikenal dan diterima di Indonesia saja. Jasanya pun di kenang orang di Malaysia dan Singapura.

Bahasa dalam tulisannya halus dan menyentuh, tak lekang dari generasi ke generasi. Penggambarannya tentang seuatu pun jelas dan mudah dipahami.

―Jikalau dia melukiskan cinta, sebenar-benar cintalah yang digambarkannya. Kekecewaan hati, keremukan pikiran, pikiran yang sedang buntu nasib seorang yang hidup sebatang kara,

semuanya itu digambarkannya dalam karangannya, dengan wajah yang sejelas-jelasnya. Karena orang yang menangis tak dapat menceritakan gelak orang yang tertawa; orang yang bergirang tak  dapat melukiskan tangis orang yang bersedih,‖ tulis Buya HAMKA dalam sebuah novelnya. Saya sudah berusaha untuk tidak membuat tulisan ini menjadi panjang. Tapi, keinginan saya itu tak bisa diwujudkan, tulisan ini panjang jua akhirnya. Namun demikian, tulisan ini belumlah mampu mewakili seluruh pesona yang dimiliki Buya HAMKA.

Selebihnya, hanya do‘a yang senantiasa dipanjatkan untuk Buya: ―Selamat jalan, Buya. Semoga rahmat dan ridha Allah selalu bersamamu di seluruh alam. A min…‖

Nasehat Buya Hamka untuk Penulis Pemula

OPINI | 08 November 2011 | 20:40

(19)

Sastrawan Indonesia

Satu hal yang tidak pernah H Ridwan Saidi Tokoh Masyarakat Betawi lupakan adalah ketika pada satu hari ulama besar itu memanggilnya. Buya Hamka sebelumnya telah membaca tulisan nya yang dimuat di surat kabar lokal. ” Kamu pintar menulis, tapi kamu punya tulisan belum ada tuahnya.”

Dari nasihat itu, Ridwan yang saat ini sering muncul di acara dialog salah satu stasiun TV itu menangkap bahwa Buya menghendakinya untuk menulis dengan hati nurani dan kritis

menangkap persoalan di tengah masyarakat.

Rasanya malu sekali diri ini ditengah keributan mempertentangkan sastra di kompasiana, ketika menyaksikan peng anugerah an gelar Pahlawan Nasional untuk Buya Hamka. Kita belum

begitu memahami seluk beluk menulis dengan benar tetapi telah bertengkar tak tentu arah. Nasehat Buya sangat tepat sekali, tuah atau roh tulisanitulah yang belum kita dapat. Sebagai penulis pemula pantaslah rasa penuh hormat disampaikan kepada Sastrawan Indonesia yang telah menulis begitu banyak karya sastra yang menjadi bacaan wajib pecinta sastra.

Ya, Alhamdulillah akhirnya Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Prof Dr Abdul Malik  Karim Amrullah (Buya Hamka) (Alm) Tokoh Pejuang dari Sumatera Barat sebagai Pahlawan Nasional.

(20)

Seperti banyak ditulis di media, Buya Hamka adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis yang karyanya telah memperkaya khasanah pemikiran Indonesia. Karya sastra pria kelahiran Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 itu telah diangkat ke layar lebar. Yakni, novel “Di Bawah Lindungan Kabah” yang ditulisnya pada 1936. Buya Hamka wafat di Jakarta pada 24 Juli 1981, meninggalkan 11 anak. Buya Hamka juga telah menulis novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk , Si  Sabariah, Dijemput Mamaknya, Merantau ke Deli , dan kumpulan cerpen Di Dalam Lembah Kehidupan.

Diantara buku tersebut, terakhir saya menemukan buku Di dalam lembah kehidupan ditengah buku buku bekas, sungguh sangat menyedihkan.

Buya Hamka adalah seorang ulama dan ia pengarang. Novel novel lebih banyak ditulis ketika masih berusia muda. Setelah itu Beliau kosentrasi di pembinaan umat, namun ditengah

kesibukannya Buya Hanya tetap menulis. Karya momumental beliau adalah, ketika menulis Tafsir Al Qur‘an 30 Juz, yang diberinya judul dengan nama masjid yang di imaminya dan dicintainya, Tafsir Al Azhar.

Saya dapat membayangkan ditengah keterbatasan fasilitas tulis menulis di zaman nya, Buya tetap produktif melahirkan karya sastra gemilang. Hanya bermodalkan mesin ketik biasa beliau gigih melampiaskan rasa hati nya, sungguh sangat luar biasa dan mengagumkan. Mungkin

seandainya Buya dilahirkan sezaman dengan kita dengan fasilitas komputer, internet, fotocopy, email dan segala macam teknologi termodern, entah berapa banyak lagi karya sastra yang bisa Buya lahirkan.

Nah, penulis di zaman teknologi modern saat ini, mungkin yang diperlukan adalah

mengumpulkan simpul simpul semangat dalam menulis. Kemudian dengan ‖ sepenuh hati ‖ menuangkan inspirasi hasil olah pikirnya untuk menghasilkan karya karya yang memiliki ruh seperti yang di nasehatkan Buya Hamka. Kemudahan teknologi hanya berisyarat instan ketika menyajikan (posting) tulisan, namun sejujurnyan tulisan itu sejatinya telah melalui proses panjang sebelum menekan tuts publish. Tulisan adalah gambaran sebenarnya dari kepribdian seseorang, siapa yang mau kepribadiannya di nilai tidak elok oleh para penggemar sastra,

katanya.

Menulis ala Buya Hamka

OPINI | 04 September 2011 | 22:02

(21)

Dibawah Lindungan Ka'bah

Siapa yang tidak mengenal Buya Hamka. Saat ini di banyak Teater 21 sedang diputar film besutan sutradara Hanny R. Saputra, ―Dibawah Lindungan Ka‘bah‖ yang dibintangi Herjunot Ali dan Laudia Cynthia Bella, judul sama yang diangkat dari roman karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (disingkat HAMKA). Beliau lahir di Kampung Molek Maninjau, Sumatera Barat, pada Tahun 1908 dan berpulang di Jakarta dalam usia 73 tahun pada tanggal 24 Juli 1981.

Penulis dan Pengarang yang pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesa (MUI) era Menteri Agama Mukti Ali pernah berkata, “Saya Menulis dengan Ilham”. Ketika akan menulis, beliau akan langsung duduk di depan mesin ketik, dan langsung mengetik apa saja yang ada dalam hati dan pikirannya. Jari tangannya bergerak menekan tuts mesin ketik mengikuti kata hati dan pikirannya dan membiarkan ide

(22)

dan gagasannya mengalir begitu saja, terus menerus apa adanya seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir. Sejarah kemudian mencatat betapa produktifnya beliau menulis dan Tulisan  – tulisannya mendapatkan penerimaan yang baik bagi kalangan pembacanya, bahkan hingga kini masih sering buku-bukunya mengalami cetak ulang.

Buya Hamka, menulis dengan ilham. (foto : google)

Kenapa Buya Hamka begitu lancar menumpahkan segala buah pikiran dan hatinya dalam sebuah tulisannya. Tentunya jejak rekamnya sebagai pencinta ilmu membantunya menemukan kosa kata dan deretan kalimat menarik serta bernas dalam tulisannya. Akan sangat mudah menulis dengan lancer jika kita focus dan komitmen pada apa yang paling kita ketahui. Buya Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahirannya berbahasa arab, Buya Hamka menyelidiki karya ulama dan pujangga besar Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Beliau juga mendalami karya sarjana barat seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

(23)

Buya Hamka juga seorang aktivis politik di masa hidupnya. Perkenalan dan persahabatannya dengan beberapa tokoh sejarah penting seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo membuatnya dapat menganalisis dan kritis ketika menulis tentang sosial politik dalam negeri, disamping memupuk dirinya sebagai orator yang handal. Menulis ala Buya Hamka adalah menuliskan apa yang dipikirkan dan dialaminya. Dan ketika semua pikiran dan pengalaman tersebut akan dituliskan, cukup duduk di depan mesin ketik dan langsung mengetik apa saja yang terbersit dalam pikiran dan hati. Tidak perlu memaksakan diri untuk mengetik apa yang telah ditulis atau mengomentari tulisan orang lain, tapi membebaskan diri menulis apa saja yang ada dalam hati dan pikiran, dan itu berarti kita telah menjadi diri kita seperti yang kita mau. Di saat semua fasilitas menulis sudah lengkap dan menggunakan komputer, kita seharusnya malu jika tak sanggup menelorkan karya apa – apa.

Dengan ratusan tulisannya diberbagai bidang tersebut, Hamka boleh dibilang pribadi yang lengkap. Beliau adalah Wartawan (aktif sekitar Tahun 1920-an di Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah), Editor (aktif di Majalah Kemajuan Masyarakat pada tahun 1928), Pemimpin Penerbitan / Pemimpin Redaksi (Menerbitkan Majalah al-Mahdi di Makassar, Pedoman Masyarakat pada tahun 1936 - 1942, Mimbar Agama Majalah Departemen Agama pada Tahun 1950  – 1953, Panji Masyarakat dari tahun 1956, dan Gema Islam), Sastrawan (Beberapa karya romannya yang diterbitkan Balai Pustaka : Laila Majnun (1932), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Di Dalam Lembah Kehidupan (1939), dan Merantau ke Deli (1940).

(24)

Yang tak kalah pentingnya, Beliau adalah seorang ulama yang mencerdaskan umat dengan pengajaran, ceramah dan tulisan – tulisannya. Buya Hamka juga seorang politisi islam yang disegani. Ia pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi orator utama dalam Pemilihan Umum Tahun 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1960 dan Buya Hamka

dipenjarakan oleh Rezim Soekarno (1964 – 1966). Selama beliau dipenjara, Buya Hamka menelorkan karya terbesarnya, ―Tafsir al-Azhar‖ yang terdiri atas puluhan jilid itu. Sungguh luar biasa. Kreatifitasnya dalam menulis tidaklah ikut terkungkung, pikirannya tetap merdeka dan yakin akan kebenaran yang diperjuangkannya meski fisiknya terpenjara. Keluar dari penjara, Beliau tetap dihormati dan disegani sebagai Ulama, Pelaku Sejarah dan Budayawan, Sastrawan dan Akademisi. Kharisma keilmuan dan tulisan-tulisannya diakui di dalam maupun di luar negeri. (*)

---Hal lain yang menarik adalah sosok Buya Hamka sendiri sebagai penulis di mata putranya. Pak Afif  bercerita bahwa beliau juga membaca dan mempertanyakan jalannya cerita yang ditulis sang ayah.

Kenapa selalu berakhir sedih, seperti kisah cinta Zaenab dan Hamid yang tak pernah sampai dan akhirnya sama-sama dibawa mati. Alm. Buya Hamka menjawab kritikan putranya dengan cerdas. ―Ah kamu

 bisanya mengkritik saja, kalau mau jalan cerita yang berbeda, tulis sendiri ceritamu,‖ begitu kira -kira ujar beliau.

Di antara 9 putra Alm. Buya Hamka, ada 3 orang yang terjun ke dunia kepenulisan. Pak Afif sendiri adalah mantan wartawan Panji Masyarakat. Namun yang pak Afif harus akui, menjadi penulis membawa  barokah, bahkan ketika si penulisnya sendiri sudah wafat. Dalam bahasa beliau, ‗kami sekeluar ga besar

masih mendapatkan uang saku dari ayah sampai sekarang, dari royalti buku-buku dan novel-novel beliau yang diajarkan di negara jiran, misalnya.‖ (Tidakkah menyedihkan sebenarnya ketika di anak -anak kita sendiri tidak mengenal karya sastra terbaik dari bangsa sendiri). Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wyk kabarnya juga akan difilmkan. Kata pak Afif, ―sebagian royaltinya sudah masuk ke saku kami.‖ Menulis memang membebaskan. Itu yang saya tangkap dari cerita pak Afif Hamka. Buya Hamka yang ulama bisa menulis kisah cinta yang indah, meski banyak orang pada jaman beliau mempertanyakan ini, ‗kok ulama menulis cerita roman?‖ Dalam salah satu dialog di novel antara Rosna dan Zaenab, Buya Hamka ‗memberikan‘ jawabannya. ―cinta itu adalah perasaan yang mesti a da tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit, bersih dan suci, Cuma tanahnya lah yang berlainan

menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus t umbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan,

kedustaan, penipuan, langkah serong dan lain-lain perangai yang tercela. Tetapi kalau ia jatuh ke tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budipekerti yang tinggi dan lain-lain  perangai yang terpuji.‖

---Buya Hamka dan Tuduhan Plagiat Itu

by Sastra Dan Cerita on Saturday, November 27, 2010 at 2:55am

oleh Asep Sambodja

Tahun 1962 adalah tahun yang berat bagi Buya Hamka. Sebab, pada September 1962, Abdullah Said Patmadji menuduh Hamka sebagai plagiat. Ini adalah tuduhan yang sangat menyakitkan.

(25)

Abdullah S.P. menilai Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka (1939) merupakan plagiat dari novel Al Majdulin karya sastrawan Mesir, Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi. Novel Al  Majdulin atau Magdalaine atau Magdalenadalam edisi bahasa Indonesia itu merupakan novel

saduran dari novel Sous les Tilleuls (‗Di Bawah Pohon Tilia‘) karya sastrawan Prancis, Alphonse Karr. Untuk memperkuat tuduhannya itu, Abdullah S.P. membuat idea strip berikut:

A: MagdalaineB: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck 

1) A. Magdalaine menyurati Suzanne tentang kedatangan pemudaStevens (hlm. 3-4)B. Hayati menyurati Khadijah tentang kedatangan pemudaZainuddin (hlm. 35)2) A. Stevens tinggal di kamar atas rumah orangtua Magdalaine yangsedianya kosong (hlm. 3-4)B. Zainuddin tinggal di rumah bakonya yang tidak jauh dari rumahorangtua Hayati (hlm. 35)3) A. Perikatan janji

 prasetia antara Magdailaine dan Stevens ―dibawah naungan bunga tilia‖ disusul dengan adegan asmara didanau (hlm. 37-40)B. Pertemuan di waktu hujan ―di bawah sebuah payung‖

disusuldengan perikatan janji prasetia di sebuah danau (hlm. 47-51)4) A. Hubungan asmara antara Magdalaine dan Stevens tidak disetujuiorangtua Magdalaine karena pemuda Stevens miskin dan diusir(hlm. 52-56)B. Hubungan asmara antara Hayati dan Zainuddin tidak  disetujuiorangtua Hayati karena Zainuddin melarat dan diusir(hlm. 52- 56)…6) A. Suzanne mengecoh Magdalaine sehingga membenci Stevens(hlm. 115-117)B. Khadijah mengecoh Hayati sehingga membenci Zainuddin(hlm. 83- 86)…11) A. Perkawinan Magdailaine dengan Edward (hlm. 180-190)B. Perkawinan Hayati dengan Aziz (hlm. 123- 131)…14) A. Edward bunuh diri di sebuah hotel di Chicago (hlm. 241-243)B. Aziz bunuh diri di sebuah hotel di Banyuwangi (hlm. 175-176)15) A. Magdalaine mati bunuh diri tenggelam di sebuah sungai(hlm. 245-254)B. Hayati mati karena kecelakaan tenggelam di laut bersama kapalVan der Wijck (hlm. 177-180)16) A. Stevens mati mendadak di atas kursi di depan pianonya(hlm. 280-284)B. Zainuddin mati

mendadak di atas kursi di depan meja tulisnya(hlm. 198-200)+) A. Stevens dikubur di samping Magdalaine berdasarkan wasiatStevens.B. Zainuddin dikubur di samping Hayati berdasarkan wasiatZainuddin.

Berdasarkan ―temuannya‖ itulah Abdullah S.P. menuduh Hamka sebagai plagiat. Pramoedya Ananta Toer sebagai redaktur lembaran ―Lentera‖ di harian Bintang Timur pun menuduh Hamka telah melakukan jiplakan mentah-mentah. Pramoedya menganjurkan agar Hamka meminta maaf  kepada masyarakat pembaca Indonesia. Sejak Februari 1962 itulah Hamka menjadi

bulan-bulanan Bintang Timur, terlebih latar belakang politik Hamka adalah sebagai anggota Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) — sebuah partai politik yang bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI) dilarang Presiden Soekarno pada Agustus 1960, karena elite kedua partai itu selalu bermusuhan dengan Soekarno selama bertahun-tahun; oposisi mereka terhadap Demokrasi Terpimpin dan keterlibatan mereka dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia

(26)

Kritikus sastra H.B. Jassin menolak tuduhan itu. Menurut Jassin (dalam Pradopo, 2002), yang disebut ―plagiat‖ itu adalah pengambilan karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan

membubuhkan nama sendiri seolah- olah kepunyaannya. Di samping ―plagiat‖, ada saduran, yaitu karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu karangan lain, misalnya cerita luar negeri disesuaikan dengan alam sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan suasananya. Saduran itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain ―plagiat‖ dan ―saduran‖, ada juga ―pengaruh‖, yakni hasil ciptaan pengarang sendiri mendapat pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja maupun tidak.

Dalam hal roman Hamka itu, H.B. Jassin mengatakan bahwa karya itu bukan plagiat atau  jiplakan, karena Hamka tidak hanya menerjemahkan dan membubuhkan nama sendiri dalam

terjemahan itu, melainkan ia menciptakan karya dengan ―seluruh kepribadiannya‖.

Vicente Cantarino (dalam Pradopo, 2002) mengatakan bahwa dalam sastra ada tradisi

mentransformasikan karya-karya sebelumnya ke dalam karya sendiri dengan bentuk yang baru. Hal ini bukan merupakan jiplakan, sebab ide dan konsepnya milik sendiri, sementara karya sebelumnya sebagai ―bahan‖. Dalam hal ini, menurut Rachmat Djoko Pradopo (2002) dalam buku Kritik Sastra Indonesia Modern, Hamka membuat transformasi dari karya Manfaluthi yang merupakan hipogramnya, dengan memasukkan pikiran-pikiran keislaman di dalamnya,

mengubah jalan ceritanya, dengan penambahan-penambahan, semuanya disesuaikan dengan situasi Indonesia, Minangkabau khususnya, untuk menampilkan masalah adat, khususnya adat kawin paksa, dengan memasukkan pikiran-pikiran baru sesuai dengan ajaran Islam.

Hamka sendiri sebenarnya banyak diamnya. Ia menyerahkan persoalan itu kepada ahlinya. Kepada wartawan Berita Minggu(30 September 1962), Hamka mengakui bahwa memang ia terpengaruh dengan Manfaluthi. Dalam Gema Islam(1 Oktober 1962), Hamka mengatakan bahwa caci-maki dan tuduhan plagiat itu tidak akan menjatuhkan dia dan persoalan belum

selesai. Ia mengharapkan agar Tenggelamnya Kapal Van der Wijck diteliti secara ilmiah oleh ahli sastra untuk menentukan apakah itu hasil curian, saduran, atau asli secara pasti. Hamka berharap dibentuk Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah di bawah Fakultas Sastra Universitas

Indonesia dan ia bersedia memberikan keterangan (Pradopo, 2002).

H.B. Jassin dan Junus Amir Hamzah (1963) telah membukukan polemik itu dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik . Setelah membaca tulisan-tulisan yang menuduh Hamka sebagai plagiat maupun yang menolaknya, Umar Junus (dalam Hamzah, 1963) menyimpulkan bahwa pertama, Hamka menggunakan pola dan plot yang ada dalam karya

(27)

Manfaluthi, tetapi ia mengisi tema dan idenya sendiri. Kedua, Hamka sangat terpengaruh Manfaluthi sehingga menyenangi dan menggunakan hal-hal yang sama dengan Manfaluthi, termasuk cara pengucapannya. Hal ini mungkin karena keaslian pengucapan belum menjadi mode pada masanya.

Dalam disertasinya, Rachmat Djoko Pradopo menilai bahwa persoalan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah persoalan plagiat atau jiplakan, melainkan masalah intertekstual, yakni

transformasi dari satu teks ke teks yang baru.

Hamka sendiri bisa mengambil ―hikmah‖ dari polemik itu. Bagaimanapun sebuah buku yang selalu menjadi bahan pembicaraan atau pergunjingan, pujian atau makian, akan selalu diburu orang. Pemberian cap ―dahsyat‖ sebagaimana ucapan Sapardi Djoko Damono terhadapSaman maupun cap ―plagiat‖ sebagaimana tulisan Abdullah S.P. terhadap novel Hamka, sama-sama membawa berkah bagi penerbit buku itu. Terkadang berkah bagi pengarang juga. Novel

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck merupakan salah satu karya sastra Indonesia yang terbilang laku di pasaran. Hamka sendiri mengakui dalam cetakan keempat buku itu, bahwa belum berapa lama diterbitkan, buku itu sudah ludes. ―Belum berapa lama tersiar, dia pun habis,‖ tulis Hamka. Saya sendiri membeli buku itu pada 1999 — yang sudah merupakan cetakan ke-23. Kelarisan buku ini dapat disejajarkan dengan Layar TerkembangSutan Takdir Alisjahbana dan SamanAyu Utami.

“Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi, kesenangannya buat orang lain. Buat dirinya sendiri tidak. Sesudah dia menutup mata, barulah orang akan insaf siapa  sebetulnya dia…” (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, hlm. 212-213).***

Citayam, 8 Oktober 2009

Sumber: Blog Bp. Asep Sambodja Dia Hanya Seorang

Pengarang

Minggu, 29 November 2009 01:08 Oleh Ahan Syahrul

''Mengarang, pada awalnya. Dan, pada akhirnya.'' Hanya kalimat itulah yang terucap dari Hamka ketika dipuja tentang kebesarannya. Dia mengatakan hanya seorang biasa saja, seorang

(28)

ulama, agamawan, wartawan Pedoman Masyarakat, serta pemimpin redaksi majalah Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Dia juga tercatat sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Bahkan, Hamka pernah menjabat rektor Universitas Moestopo Jakarta dan Universitas Islam Jakarta. Seorang besar, tetapi dalam hidupnya tidak pernah merasakan tamat dari SD, apalagi diwisuda layaknya sarjana. Seorang yang kebingungan mencari pekerjaan sesaat setelah prosesi seremonial

penerimaan ijazah diterima. Gugup menghadapi zaman, bingung mempertautkan nasib, tak tahu arah apa yang harus dilakukan setelah lulus. Hal yang tidak pernah ada dalam kamus hidupnya, meskipun dia berpendidikan rendah.

Mozaik manusia tercerahkan itu wajib kita tiru jejak langkahnya. Berpendidikan formal hanya sampai kelas dua SD. Tetapi, selama hidupnya dia mampu menulis 113 buku. Menafsirkan

Alquran dalam penjara saat dituduh kontra terhadap pemerintahan Soekarno. Buku karya Hamka yang terkenal itu berjudul Tafsir Al Azhar. Buku itu diakui sebagai karya terbaiknya. Tercipta saat kesunyiaan di balik terali besi, diselesaikan dalam keterbatasan.

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mencuatkan namanya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri seberang, Malaysia. Di negeri jiran tersebut buku itu sampai dicetak  sembilan kali. Di Indonesia, roman berwajah kearifan adat yang dibumbui cinta kasih tersebut naik cetak hingga 14 kali. Namun, buku itu menjadi kontroversi setelah Buya Hamka meninggal. Dia dituduh plagiat. Sebab, karya tersebut mempunyai kemiripan cerita dengan karya sastrawan Prancis Alphonse Karr yang disadur dalam bahasa Arab oleh pengarang Mesir bernama

Musthafa Luthfi Al Manfaluthi.

Benarkah seorang yang berani menolak keinginan penguasa Soekarno menjadi pegawai negeri dengan lebih memilih kebebasan hati nuraninya, melakukan hal yang remeh-temeh, bahkan mencuri karya orang lain? Dia adalah seorang genius negeri yang membaca karya Marx, Freud, Toynbee, Sarte, dan Camus bukan dalam bahasa Indonesia, tetapi bahasa Arab. Seorang yang menulis tentang nilai-nilai agama, filsafat, dan moralitas. Seorang yang dengan tekun menimba ilmu kepada HOS Tjokrominoto, Ki Bagus Hadikusumo, A.R. Fachrudin, RM Soerjopranoto, ataupun kepada A.R. Mansur.

Akankah dia melakukan hal memalukan itu? Apakah hal tersebut merupakan pengejawantahan dan penerusan kenakalannya semasa kecil, saat dia lebih senang menjadi wasit sepak bola, menjadi jockey, atau pendekar silat daripada belajar agama walaupun dia dititipkan ayahnya kepada ulama besar di Bukit Tinggi?

Sungguh hal yang patut dipertanyakan. Mempertanyakan pula bagaimana seorang yang tidak  lulus SD, tetapi mampu membaca karya-karya besar cendekiawan masa Renaisans, pembawa masa gelap Eropa kepada terang pengetahuan, tidak dalam bahasa ibunya, tetapi dalam bahasa Arab. Bagaimana dia belajar keras menempa dirinya? Di manakah dia menemukan spirit

menyala dan berkobar tak pernah padam untuk terus berkarya?

Spirit pembelajaran itulah yang kiranya perlu kita bidik, kita teladani. Dalam masa hidupnya yang relatif panjang, 73 tahun, 113 buku bukan merupakan karya yang sedikit.

Fenomena Buya Hamka adalah realitas sejarah yang harus mendapat apresiasi. Karya-karyanya menunjukkan bagaimana etos kerjanya yang tiada pantang menyerah. Buku-buku karangannya adalah kesejatian dirinya, fosil yang terus hidup sampai akhir zaman. Prasasti kehidupan yang patut kita tiru.

Wujud 113 buku menandakan bagaimana dia teguh menulis di tengah kesibukannya beraktivitas sebagai politikus, dosen, ulama, sastrawan, maupun akademisi. Jarang kita temui tokoh yang bisa hidup dalam kesunyiaan dunia tulis-menulis, tetapi bisa hidup berdampingan dengan ramainya

(29)

kehidupan. Apalagi, sebagai seorang aktivis politik, Buya seakan tidak terpengaruh untuk terus menulis dan menulis. Kebesarannya cukup diungkapkan dengan kata-kata sederhana bahwa dia hanyalah seorang pengarang. (*)

“kalau menulis dengan hati, maka sampainya juga di hati. tapi kalau menulis dengan jari,

maka sampainya di mata, untuk menidurkan pembaca”  (Buya Hamka di Buku Falsafah Hidup)

Kapan Ada Buya Lagi?

"Dasar kepengaran saya adalah cinta."  (Buya Hamka)

Suatu hari rumah Buya Hamka kedatangan tamu. Kali ini tamunya sepasang muda-mudi. Si perempuan lantas mengenalkan diri sebagai putri dari Pramoedya Ananta Toer. Mengetahui itu, Buya ramah bertanya, "Oh, anak Pram. Apa kabar bapakmu sekarang?" Perempuan itu

menjawab, "Sudah bebas, Buya." Lalu mengalir dari mulut Buya pujian untuk karya-karya

Pramoedya seperti Keluarga Gerilya, Subuh, dan lain-lain. Lepas bincang soal Pramoedya, Buya bertanya maksud kedatangan sepasang tamunya itu. Dijelaskan: mereka hendak menikah,

masalahnya, si calon mempelai pria, kekasih putri Pram, belum memeluk Islam dan hendak  meminta Buya untuk meng-Islam-kannya. Dari sastrawan, Buya kembali tampil menjadi guru agama. Mengajarkan beberapa dasar agama Islam. Setelah itu dua anak muda itu pamit.

"Sampaikan salam untuk ayahmu," kata Buya ramah. Anak Pram menangis. Buya juga nyaris menangis.

Cerita semacam itu bisa kita baca dari Pribadi dan Martabat, sebuah buku catatan Rusydi Hamka, putra Buya Hamka, yang terbit pertama kali pada 1981. Rusydi, yang menyaksikan pertemuan itu dari awal hingga akhir sedikit protes kepada ayahnya. "Lupakah ayah siapa Pramoedya itu?" tanya Rusydi. "Tidak," jawab Buya. "Betapapun dia membenci kita, kita tak berhak 

menghukumnya." Jagat sastra tanah air tentu tak pernah melupakan polemik besar-besaran di akhir era pemerintahan Orde Lama. Di mana kekisruhan politik merembes hampir di tiap lapangan kehidupan bangsa, termasuk kesusastraan. Lembaga Kebudayaan Rakyat lewat

berbagai media yang dimilikinya, menjadikan Buya Hamka bulan-bulanan dengan mengatakan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck sebagai hasil plagiasi. Ramai-ramai orang menyorot Buya Hamka. Caci maki tak henti berbulan-bulan lamanya.

***

(30)

Syeikh Abdulkarim Amrullah. Di tahun 1918, Syeikh Abdulkarim mendirikan pondok pesantren, Sumatera Thawalib. Pada masa-masa itu, perdebatan-perdebatan agama antara kaum tua dan kaum muda sedang marak. Syeikh Abdulkarim termasuk salah seorang tokoh kaum muda yang menonjol. Dalam suasana perdebatan-perdebatan seperti inilah Abdul Malik dibesarkan.

Sebagaimana kebiasaan yang terjadi, Abdul Malik merantau dari tanah kelahirannya. Awalnya ke Yogyakarta, di mana ia banyak belajar pada tokoh-tokoh pergerakan Islam semacam H.O.S. Tjokroaminoto, Kibagus Hadikusumo, dan lain-lain. Usianya pada saat itu baru 16 tahun. Lepas dari Yogyakarta, dia kembali ke Sumatera menjadi aktivis Muhammadiyah, mengiringi A.R. Sutan Mansur, tokoh Muhammadiyah yang juga kakak iparnya. Lalu Abdul Malik menetap di Medan. Dari Medan inilah, pada tahun 1925, berusia 19 tahun, ia bertolak ke Mekah,

menunaikan ibadah haji dan bekerja pada sebuah percetakan di sana. Sepulang haji, ia kembali ke Medan dan menjadi guru agama di sebuah perkebunan. Lepas dari itu, sampai akhir hayatnya, seolah hidupnya diserahkan sepenuhnya pada perkembangan Islam di tanah air.

Di Medan, selain tetap konsern pada kegiatan keagamaan, HAMKA (akronim dari namanya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah) menggeluti dunia kesusastraan. Pada dekade 30-an sampai 40-an, Medan dapat dikatakan sebagai salah satu kota yang menonjol dalam bidang literasi selain Jakarta. Penulis-penulis berkomunitas dan terbitan-terbitan marak. Sebagian penerbit

menerbitkan buku-buku agama, sebagian lain menerbitkan roman-roman. A Teeuw, pengamat Sastra Indonesia, menempatkan Hamka sebagai seorang pengarang terkemuka di antara

pengarang-pengarang Medan lainnya.

Buya Hamka memang penulis produktif. Sejak usia 17 tahun dia telah menerbitkan bukunya, Khatibul Ummat, sebuah buku agama tiga jilid yang beredar di Padang Panjang. Roman awal yang ditulis berjudul Si Sabariyah, berbahasa Minangkabau dan menggunakan aksara Arab Melayu. Roman ini sempat mengalami tiga kali naik cetak, yang mana kemudian honornya ia gunakan untuk biaya pernikahannya dengan Siti Raham pada tahun 1929. Selanjutnya, seperti tak henti tangannya menggerakan pena atau mengetik di mesin tulis (dan memang inilah kebiasannya: mengetuk-ngetukan jari-jarinya di meja seolah sedang mengetik) melahirkan karya-karyanya, baik dalam bidang agama atau dalam bidang kesusastraan seperti Di Bawah Lindungan Kabah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Terusir, termasuk karya terjemahan Margaretta Gauthier, dan lain-lainnya. Yang paling fenomenal, tentu saja Tafsir Al Azhar. Selasai menulis lengkap tafisri tersebut, Buya Hamka berkata bahwa kini tugasnya selesai, matipun rela. Sepanjang hidupnya, tercatat 115 lebih buku berhasil ia tulis.

Sebagai seorang jurnalis, bisa dibilang majalah Panji Masyarakat tentu tak akan pernah bisa lepas dari nama Buya Hamka sendiri. Dia mendirikan dan mengasuh majalah itu. Hingga

kemudian kekisruhan politik era Orde Lama menyebabkan majalah tersebut dibredel (bersamaan dengan pembredelan beberapa majalah lainnya) dan Buya Hamka ditahan.

Namun agaknya Buya memang sosok yang patut dijadikan contoh. Ditahan nyaris tiga tahun raganya dan diperlakukan tak terhormat dalam rangkaian pemeriksaan mengenai tuduhan yang mengada-ada tentang upaya kudeta dan pembunuhan Soekarno, tak membuat dirinya merasa harus membenci Soekarno. Mendengar Soekarno sakit dan wafat, air matanya tumpah. Lebih dari itu, ia mengimami Sholat Jenazah Soekarno. Tak peduli banyak orang yang mengkritik dan

(31)

menyayangkan sikap Buya Hamka tersebut. Mengenai Pramoedya, pada tahun 1969 di Taman Ismail Marzuki, Buya Hamka menyatakan ketidaksetujuannya pada pelarangan karya-karya Pram. "Janganlah buku itu dilarang. Tetapi tandingi dengan tulisan," ujar Buya.

Sikap-sikap seperti inilah yang mungkin membuat kita agaknya merasa perlu merindukan sosok  seperti Buya Hamka. Agamawan ramah yang menampilkan agama yang ramah. Agamawan yang tak hanya pandai di atas mimbar, tapi juga bisa menghanyutkan lewat rangkaian aksara indah. printed version: Pikiran Rakyat

HAMKA adalah ulama Indonesia yang reputasinya diakui Universitas Al-Azhar, Kairo  – Mesir, dengan menganugerahinya gelar Doctor HC. Dia pernah menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dia melahirkan karya tulis lebih dari 115 judul dalam berbagai bidang seperti sastra, sejarah, dan agama. Tafsir Al-Azhar adalah karya paling utamanya.

Sekitar awal 1964 HAMKA ditahan rezim Orde Lama dengan tuduhan subversi, sebuah tuduhan yang sampai dia bebas dua tahun empat bulan kemudian tak pernah bisa dibuktikan secara

hukum.

HAMKA berkisah tentang pengalamannya di hari- hari pertama dia ditahan: ―Kalau saya bawa bermenung saja kesulitan dan perampasan kemerdekaan saya itu, maulah rasanya diri ini gila. Tetapi, akal terus berjalan, maka ilham Allah datang. Cepat-cepat saya baca Al- Qur‘an, sehingga pada lima hari penahanan yang pertama saja, tiga kali Al- Qur‘an khatam dibaca‖.

Lalu, HAMKA atur jam-jam buat membaca dan menulis Tafsir Al- Qur‘an Al-Azhar. Maka, menyusul kekacauan politik yang disebabkan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia, pada Mei 1966 HAMKA dibebaskan. Saat itu, dia telah mengkhatamkan Al- Qur‘an 150 kali, dan selesai pula tafsir 28 juz. Sementara, yang dua juz yaitu juz 18 dan 19 telah

diselesaikannya sebelum dia ditahan.

Pada 1968, HAMKA beserta istri dan seorang anaknya berhaji. Lebih dari separo biaya berhaji mereka berasal dari royalti Tafsir Al-Azhar juz 1. Maka, berdasar pengalaman pribadinya itu, HAMKA – yang meninggal pada 1980-an- berhak menasihati kita, bahwa hendaknya kita

―Jangan gentar menghadapi kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal kita mempergunakan otak buat memecahkannya. Sungguh, Allah tidak akan mengecewakan orang-orang yang bertawakkal kepada- Nya.‖

(32)

 Allah SWT berf irman: “Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya engkau

berharap.” [TQS.a- Insyiraah: 5-8].

Marilah kita bercermin pada kisah Alm.Buya Hamka yang ia nukilkan pada tafsirnya ‘al - Azhar’:

--Pada bulan Januari 1964, saya ditangkap oleh rezim orde lama selama dua tahun empat bulan dengan kezaliman dan sewenang-wenang. Itu adalah kesulitan! Kalaulah saya bawa bermenung saja, kesulitan dan perampasan kemerdekaanku itu, maulah diri ini gila. Tapi akal terus berjalan, maka hidayah Allah datang. Cepat-cepat saya baca al-Quran, sehingga pada 5 hari penahanan yang  pertama saja, 3 kali a- Quran khatam dibaca. Lalu saya atur waktu untuk membaca al-Quran dan

waktu untuk mengarang tafsir al-Quran yang saya baca itu. Demikianlah hari berjalan terus dengan tidak mengetahui dan tidak banyak memikirkan kapan akan keluar. Akhirnya terjadilah kekacauan politik 30 September 1965 dan di bulan Mei 1966 saya dibebaskan. Saya telah selesai membaca al-Quran sampai khatam lebih dari 150 kali dan saya telah selesai pula menulis tafsir al-Quran sebanyak 28 Juz dalam masa penahanan saya itu. Dua juz lainnya  yaitu juz 18 dan 19 telah saya tafsirkan sebelum tertangkap dalam masa dua tahun. Hal yang luar biasa terjadi adalah, pada tahun 1968, saya dan almarhumah istri dapat naik haji. Kami membawa pula anak kami yang kelima, Irfan. Lebih dari separuh biaya perjalanan kami bertiga adalah dari hasil royalty tafsir al-Azhar Juz 1.

--Dapatkah kita membayangkan, bahwa jika tidak ada penjara, apakah Buya Hamka dapat  menyelesaikan tafsir al-Azhar yang terkenal itu? Sebuah tafsir yang selalu menjadi rujukan bagi kita dan menjadi amal shaleh Alm.Buya Hamka yang terus mengalir sampai akhir jaman. Tidakkah kita

dapat mengambil pelajaran? 

Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi

Sabtu, 26 November 2011 06:07 WIB

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas

Setelah Pemilihan Umum Pertama (1955), Hamka terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Masyumi mewakili Jawa Tengah. Setelah Konstituante dan Masyumi dibubarkan, Hamka memusatkan kegiatannya pada dakwah Islamiah dan memimpin jamaah Masjid Agung

Al-Azhar, di samping tetap aktif di Muhammadiyah. Dari ceramah-ceramah di Masjid Agung itu lah lahir sebagian dari karya monumental Hamka, Tafsir Al-Azhar.

(33)

Zaman demokrasi terpimpin, Hamka pernah ditahan dengan tuduhan melanggar Penpres Anti-Subversif. Dia berada di tahanan Orde Lama itu selama dua tahun (1964-1966). Dalam tahanan itulah Hamka menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar.

Waktu menulis Tafsir Al-Azhar, Hamka memasukkan beberapa pengalamannya saat berada di tahanan. Salah satunya berhubungan de ngan ayat 36 Surah az- Zumar, ―Bukan kah Allah cukup sebagai Pelindung hamba- Nya...‖. Pangkal ayat ini menjadi perisai bagi hamba Allah yang beriman dan Allah jadi pelindung sejati.

Sehubungan dengan maksud ayat di atas, Hamka menceritakan pengalaman beliau dalam tahanan di Sukabumi, akhir Maret 1964. Berikut kutipan lengkapnya. ―Inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder  buat menyadap pengakuan saya.‖

―Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan, saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Tuhan dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun.‖

―Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah sembahyang, dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahatlah dahulu malam ini, ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.

Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, Alhamdulillah bapak selamat! Alhamdulillah! Mengapa, tanya saya. Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M itu adalah setrum. Kalau dikontakkan ke badan bapak, bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati.

Demikian jawaban polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata. Bapak sangka tape recorder, jawabku sedikit tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Tuhan. Moga-moga Allah memelihara diri Bapak. Ah! Bapak orang baik, kata anak itu.

Dalam menghadapi paksaan, hinaan, dan hardikan di dalam tahanan, Hamka selalu berserah diri kepada Allah SWT. Termasuk ketika Inspektur M datang membawa bungkusan malam itu, Hamka tetap dengan pendirian. Bukankah Allah cukup sebagai pelindung hamba-Nya. Redaktur:Siwi Tri Puji B

Referensi

Dokumen terkait

Kenang-kenangan Bekerja Sama dengan Hamka dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka.. Jihad Makna

Perbedaan pemikiran Hamka dan Nurcholish Madjid dalam memandang masalah toleransi beragama adalah mengenai batas-batas dalam bertoleransi, Hamka membatasi toleransi

Dalam tafsir al-Azhar, Hamka juga mengemukakan bahasan tentang fiqih akan tetapi lebih kepada menjelaskan makna ayat yang ditafsirkan, dan untuk menunjang tujuan pokok

Pendidikan Karakter terdapat di dalam buku karya Buya Hamka yang berjudul Lembaga Budi, Lembaga Hidup, Falsafah Hidup, Tasawuf Modern dan Dari Hati ke Hati, telah terkandung

Dari hasil pembahasan tentang analisis ayat riba dalam Tafsir Al- Azhar karya Buya Hamka di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, setiap pembahasan ayat-ayatnya Buya Hamka membuat

Konstruksi pernikahan samara perspektif Buya Hamka : Pertama, sakinah dipahami bahwa dalam kehidupan manusia sejatinya menemukan jodoh, setelah menemukan

Sehubung dengan keterbatasan hasil penelitian dan setelah diketahui hasilnya dari kontribusi Buya HAMKA dalam perkembangan dakwah Muhammadiyah pada tahun 1925-1981

, Buya HAMKA didalam bukunya Sejarah Umat Islam menulis, pada tahun 674M- 675M, Cina kedatangan salah seorang sahabat Rasulullah, Muawiyah bin Abu Sufyan (Dinasti Umayyah),