• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Habitat dan Daerah Jelajah 1 Habitat

2.2.2 Daerah Jelajah

Daerah jelajah atau home range adalah satu wilayah yang biasa dikunjungi dan digunakan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas satwaliar (Owen 1980). Daerah jelajah ini merupakan wilayah yang secara tetap dikunjungi satwaliar karena dapat mensuplai makanan, minuman, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur serta tempat kawin (Boughey 1973, Pyke 1983). Owen (1980) juga menyatakan bahwa daerah jelajah satu individu satwaliar dapat diketahui melalui penangkapan, penandaan, dan pelepasan kembali satwaliar tersebut.

25

Selain itu, daerah jelajah dapat diketahui melalui tanda-tanda satwaliar seperti feses, jejak tapak kaki dan sebagainya. Daerah jelajah satwaliar yang individunya dapat dibedakan melalui tanda-tanda khusus, seperti harimau berdasarkan pola belangnya, dapat ditentukan melalui survey kamera-trap (Maddox at al. 2004, 2007).

Secara umum, daerah jelajah harimau berkisar antara 26-78 km2, kecuali harimau siberia yang daerah jelajahnya bisa mencapai 310 km2 (STF 2007 diacu dalam Soehartono et al. 2007). Ukuran daerah jelajah harimau sangat tergantung pada keberadaan dan jumlah hewan mangsa yang tersedia. Oleh karenanya, ketersediaan hewan mangsa memainkan peran penting dalam menetukan daerah jelajah individu harimau (Aheams et al. 2001). Luas daerah jelajah harimau sumatera jantan bervariasi antara 40-250 km2, sedangkan betina antara 15-25 km2. Namun, menurut hasil penelitian Franklin et al. (1999), ukuran daerah jelajah harimau sumatera jantan telah diketahui sekitar 110 km2 dan betina mempunyai kisaran ukuran daerah jelajah antara 50-70 km2. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi luas jelajah harimau sumatera adalah ketersediaan hewan mangsa. Semakin tinggi kelimpahan hewan mangsa utamanya, maka semakin kecil pula daerah jelajah satu individu harimau.

Daerah jelajah harimau juga tidak eksklusif, artinya bisa saja satu jalur harimau digunakan oleh beberapa individu yang berbeda pada waktu yang berlainan. Selain itu, daerah jelajah ini keberadaannya tumpang tindih antara indvidu harimau. Daerah jelajah satu harimau jantan dewasa biasanya tumpang-tindih dengan daerah jelajah dua hingga tiga betina dewasa. Sementara itu, jarang terjadi tumpang-tindih daerah jelajah antar harimau jantan dewasa.

2.3 Penggunaan Ruang

Pola penggunaan ruang merupakan keseluruhan interaksi antara satwa lair dengan habitatnya (Legay & Zie 1985 diacu dalam Muntasib 2002). Tata cara tentang bagaimana satwaliar menggunakan ruang (space use atau

26

penggunaan spasial) di habitatnya dapat mempengaruhi beberapa aspek biologi, termasuk pola pemanfaatan sumberdaya dan persaingan intra- spesifik (Oli et al. 2002). Perilaku spasial pada satwaliar mungkin dapat memediasi interaksi yang bersifat kompetitif di antara individu dalam satu spesies, yaitu dapat mengurangi biaya atau kerugian atas adanya perjumpaan intra-spesifik, serta dapat memaksimalkan kemampuan/kecocokan (fitness) (Wilson 1975). Perilaku spasial juga telah diketahui dapat memainkan peran penting dalam pengaturan populasi satwaliar (Krebs 1978). Pada mamalia, pola keruangan tersebut umumnya dikaji dengan cara mempelajari dinamika daerah jelajahnya (Oli et al. 2002).

Mace & Harvey (1983) serta Alikodra (1990) menyatakan bahwa ukuran daerah jelajah akan semakin luas seiring dengan semakin bertambahnya ukuran tubuh satwa. Namun, kepadatan populasi berkorelasi negatif dengan luas daerah jelajah (Maza et al. 1973, O'Farrell 1974, Massei

et al. 1997, Olie et al. 2002). Krebs & Davis (1993) berpendapat bahwa penyebaran geografis dan ketersediaan makanan dapat digunakan sebagai dasar dalam memprediksi pola pemanfaatan ruang oleh satwaliar.

Struktur habitat yang diperlukan oleh satwaliar dapat dilihat dari beberapa keadaan, antara lain kebutuhan dasar, tipe habitat, faktor-faktor kesejahteraan yang spesifik, serta komponen faktor-faktor kesejahteraan (Bailey 1984).

Bagi satwa foliovora, tipe habitat terutama tipe vegetasi sangat menentukan tingkat kesejahteraan bagi kehidupannya. Namun, bagi satwa karnivora, yang menjadi faktor penentu kesejahteraannya adalah kualitas habitat, terutama kelimpahan hewan mangsanya. Menurut Mutasib (2002), setiap spesies akan memerlukan faktor-faktor kesejahteraan khusus, misalnya harimau, selain sangat bergatung pada keberadaan hewan mangsa mereka juga memerlukan sumber air (Sunquist & Sunquist 1989) dan tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap hewan mangsanya (Lynam et al. 2000).

27

Daya dukung suatu habitat satwaliar dapat ditingkatkan melalui letak dan komposisi komponen-komponennya sehingga terbentuk lebih banyak titik pertemuan antara berbagai komponen habitat (covey). Pada suatu tempat dengan luasan yang sama dapat mempunyai covey yang berbeda, selain itu tempat-tempat yang mempunyai lebih banyak covey akan lebih tinggi daya dukungnya terhadap kehidupan satwaliar (Alikodra & Soedargo 1985 diacu dalam Alikodra 1990). Menurut Wahyu (1995 diacu dalam Muntasib 2002), mobilitas, luas dan komposisi daerah jelajah merupakan tiga parameter yang paling banyak digunakan sebagai indikator dan strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar.

2.4 Translokasi

IUCN mendefinisikan translokasi sebagai perpindahan satu individu atau populasi liar yang disengaja dari daerah jelajahnya untuk membentuk daerah jelajah baru di wilayah yang baru. Sementara itu menurut Griffith et al. (1989), translokasi dalam dunia konservasi satwaliar berarti menangkap dan mengangkut satwaliar dari satu lokasi, kemudian melepas-liarkannya di lokasi lain. Translokasi juga dapat diartikan sebagai kegiatan pelepasan satwaliar ke alam dalam upaya untuk membentuk, membangun kembali, atau menambah populasi suatu spesies. Selain itu, translokasi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengurangi resiko katastrofi atau bencana kepunahan pada spesies satwaliar dengan populasi tunggal, untuk memperbaiki heterogenitas genetik dari spesies yang populasinya terpisah- pisah satu sama lain, serta untuk membantu pemulihan alami dari satu spesies, atau untuk membangun kembali populasi spesies apabila terdapat hambatan yang menghalangi mereka untuk melakukannya secara alamiah (Shirey & Lamberti 2010).

Hingga saat ini translokasi juga sering dimanfaatkan sebagai satu alat untuk memitigasi konflik antara manusia dengan satwaliar, karena menurut Griffith et al. (1989) dan Wolf et al. (1997) translokasi pada satwa karnivora besar merupakan suatu alat mitigasi konflik yang dapat mengurangi resiko

28

kematian pada satwa yang terlibat konflik, serta sebagai tambahan individu satwaliar dalam membangun kembali populasi liarnya. Bahkan selama beberapa dekade terakhir, translokasi digunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi pemangsaan hewan ternak oleh satwa karnivora besar, seperti beruang cokelat (Ursus arctos) dan beruang hitam (U. americana) (Armistead et al. 1994, Blanchard & Knight 1995), kucing besar liar (Rabinowitz 1986, Stander 1990, Ruth et al. 1998, Goodrich & Miquelle 2005), dan serigala (Fritts et al. 1984, Bangs et al. 1998). Namun, biasanya pada kasus mitigasi konflik satwaliar, translokasi biasanya dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir seperti halnya eutanasia (Treves & Karanth 2003).

Menurut Linnell et al. (1997), secara umum satwa karnivora yang ditranslokasikan akibat terlibat konflik, menunjukkan bahwa kemampuan bertahan hidup dan kemampuan reproduksinya rendah, serta cenderung untuk mengulangi pemangsaan hewan ternak di lokasinya yang baru. Meskipun tingkat kematian individu yang ditranslokasikan juga tinggi, translokasi untuk kepentingan ini akan terus digunakan, karena menurut persepsi masyarakat translokasi merupakan suatu cara mitigasi konflik yang tidak mematikan sehingga menjadi alat pengelolaan konflik yang populer (Craven

et al. 1998), khususnya bagi spesies satwa langka atau yang terancam punah (Linnell et al. 1997).

Kegiatan translokasi juga telah dilakukan pada harimau dengan menggunakan cara dan tingkat keberhasilan yang berbeda. Goodrich & Miquelle (2005) melaporkan bahwa di timur jauh Rusia pernah dilakukan translokasi yang melibatkan empat ekor harimau siberia, yang ditangkap setelah memangsa hewan ternak pada tahun 2004. Dua harimau diantaranya dilepas-liarkan setelah mereka dikarantina selama sekitar 8 dan 13 bulan (soft release) karena kondisi kesehatan tidak baik. Sementara, dua ekor lainnya di lepas-liarkan segera setelah ditangkap (hard release). Namun, dua dari empat harimau tersebut mati ditembak setelah kembali menimbulkan konflik. Dalam kasus ini, Goodrich & Miquelle (2005) menyatakan bahwa sangat penting untuk mengetahui bahwa pada lokasi dimana harimau akan dilepas-

29

liarkan memiliki populasi harimau lokal yang sangat rendah, sehingga persaingan atas sumberdaya yang ada menjadi lebih kecil.

Seidensticker et al. (1976) menerangkan bahwa telah dilakukan translokasi terhadap seekor harimau jantan di India. Harimau bermasalah tersebut dilepas-liarkan di areal baru di hutan lindung Sundarbands, India, segera setelah tertangkap. Namun, beberapa waktu kemudian harimau tersebut ditemukan tewas akibat terluka setelah bertarung dengan harimau lokal. Oleh sebab itu diperlukan adanya kegiatan identifikasi untuk menentukan lokasi translokasi yang tepat, serta mengetahui organisasi sosial harimau lokal di calon lokasi pelepas-liaran.

Pada awal tahun 2011, untuk pertama kalinya dilakukan translokasi harimau yang terlibat konflik di Nepal. Di Bangladesh, pada bulan Pebruari 2011 lalu telah dilaksanakan translokasi pertama yang melibatkan seekor harimau betina yang tertangkap akibat memasuki kawasan pemukiman.

Kegiatan translokasi harimau untuk kepentingan program reintroduksi telah berhasil pada harimau bengal di India. Pada tahun 2004, pernah dinyatakan bahwa Suaka Margasatwa Sariska telah kehilangan semua populasi harimaunya akibat perburuan liar besar-besaran yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah India memutuskan untuk mereintroduksi harimau bengal dengan cara mentranslokasikan sepasang harimau dari Suaka Margasatwa Ranthambhore pada tahun 2008 (WPSI 2008). Kedua harimau betina dan jantan tersebut dilepas-liarkan setelah tiga dan delapan hari dikarantina, namun akhirnya keduanya berhasil menentukan daerah jelajah tetapnya masing-masing, serta dapat berburu hewan mangsa di habitatnya yang baru. Sampai dengan akhir tahun 2010 tercatat sebanyak tujuh ekor harimau ditranslokasikan ke Suaka Margasatwa Sariska. Namun, harimau jantan dewasa yang pertama kali dilepas-liarkan di tahun 2008 yang lalu, ditemukan mati diracun oleh orang yang tidak bertanggung-jawab pada November 2010 yang lalu.

Di Indonesia, kegiatan translokasi harimau sumatera seluruhnya dilakukan dalam rangka untuk mengatasi atau mengurangi konflik konservasi

30

harimau sehingga pengiriman harimau-harimau bermasalah ke lembaga konsevasi ex-situ dapat diminimalkan. Kegiatan translokasi seperti ini sebenarnya telah mulai dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang dibantu lembaga mitranya, Sumatran Tiger Conservation Program (STCP), di Riau pada tahun 2003. Dalam periode antara tahun 2003-2007, telah ditranslokasikan lima ekor harimau ke areal hutan Senepis, di kawasan pesisir timur Provinsi Riau. Harimau-harimau tersebut seluruhnya ditangkap akibat berkonflik dengan masyarakat desa di provinsi tersebut. Namun, tingkat keberhasilan dari upaya ini tidak dapat diketahui dengan pasti.

Upaya translokasi harimau sumatera lainnya juga dilakukan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kegiatan translokasi harimau yang pertama di provinsi ini dilaksanakan pada awal tahun 2008 oleh pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dibantu para mitra kerjanya. Harimau jantan dewasa yang ditangkap akibat berkonflik dengan masyarakat, dilepas- liarkan dengan bantuan helikopter di tengah hutan pegunungan di perbatasan antara dua kabupaten. Setelah itu, pada bulan Desember 2008 kembali ditranslokasikan dua ekor harimau (jantan dan betina) sumatera bermasalah ke dua areal hutan yang berbeda di Aceh. Sayangnya, harimau betina yang dilepas-liarkan di hutan dataran tinggi di provinsi tersebut diketahui mati terjerat oleh perangkap yang sengaja dipasang masyarakat untuk menagkap babi hutan yang menjadi hama pertanian, setelah tujuh bulan dilepas-liarkan.

Pada pertengahan tahun 2008, Kementerian Kehutanan yang didukung oleh berbagai pihak, kembali mentranslokasikan lima ekor harimau yang terlibat konflik dengan masyarakat di Aceh Selatan, ke kawasan TN. Bukit Barisan Selatan di Lampung. Dua ekor dilepas-liarkan pada bulan Juli 2008, dan dua lainnya dilepas-liarkan pada awal tahun 2010 (Gambar 5). Namun, satu ekor lainnya dinyatakan tidak layak untuk dilepas-liarkan kembali ke alam bebas.

Pada Juni 2009, BKSDA Sumatera Barat bersama dengan lembaga mitra mentranslokasikan harimau bermasalah ke salah satu hutan di wilayah TN Kerinci Seblat. Namun sayangnya harimau jantan muda tersebut

31

ditemukan mati terjerat di tengah hutan setelah satu minggu dilepas-liarkan. Setelah itu, kembali pihak BKSDA Sumatera Barat dibantu mitra-mitra kerjanya mentranslokasikan seekor harimau jantan pada Desember 2010. Harimau sumatera tersebut dilepas-liarkan di satu daerah di dalam kawasan TN. Kerinci Seblat, sekitar satu bulan setelah ditangkap akibat terpersosok dan terjebak di dalam perangkap lubang yang dipasang masyarakat untuk menangkap rusa.

Gambar 5. Pelepas-liaran harimau sumatera yang ditranslokasikan dari Aceh ke kawasan TN Bukit Barisan Selatan, Lampung, Juli 2008 (Dok: Hasbi Azhar & Rizal Pahlevi/Artha Graha Peduli).

32