• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

B. Luas Daerah Jelajah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.2.4 Karakteristik Daerah Jelajah

Lima harimau sumatera yang diamati dilepas-liarkan di empat lokasi yang berbeda, yaitu TN Bukit Barisan Selatan, TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat dan kawasan hutan Ulu Masen. Hasil overlay antara data posisi dengan peta tutupan vegetasi MODIS (Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer), menunjukkan bahwa areal yang dijadikan daerah jelajah harimau jantan JD-1 di TNBBS didominasi oleh vegetasi belukar/hutan sekunder muda (83,62%) dan hutan dataran rendah (13,95%). Daerah jelajah harimau jantan JD-2, yang juga dilepas-liarkan di TNBBS, juga umumya merupakan vegetasi belukar/hutan sekunder muda (90,00%) dengan sebagain kecil hutan dataran rendah (9,24%) (Lampiran 12).

Elevasi di dalam daerah jelajah JD-1 dan JD-2 seluruhnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-500 meter dpl (Lampiran 13), yang mayoritas topografi datar (kelas slope 0-8 persen) (87,46%) dengan sedikit landai (kelas slope 8-15 persen) (12,04%) (Lampiran 14). Selama pengamatan, kedua harimau baik JD-1 maupun JD-2 menghabiskan seluruh waktunya (100%) pada areal dataran rendah dengan ketinggian 0-500 meter dpl, dan seluruh waktunya (100%) pada areal-areal yang datar dengan kelerengan 0-8 persen. Sesuai dengan pernyataan O‟Brien et. al. (2003) bahwa medan pada ketinggian 0-500 meter dpl di TNBBS didominasi oleh

82

dataran dan perbukitan. Kawasan yang dijadikan daerah jelajah JD-1 dan JD- 2 merupakan kaki Pegunungan Bukit Barisan dengan kisaran curah hujan antara 3.000 mm hingga lebih dari 4.000 mm per tahun, dan memiliki suhu udara 22 hingga 35°C. Hasil penelitian O‟Brien et. al. (2003) menunjukkan bahwa di kawasan tempat dimana JD-1 dan JD-2 ditranslokasikan memiliki kepadatan harimau lokal 1,6 harimau/100 km2. Hewan mangsa utama yang umum dijumpai di dalam daerah jelajah JD-1 dan JD-2 adalah babi hutan (Sus scrofa) and rusa sambar (Rusa unicolor). Hasil survey transek sign

sepanjang 92 km di lokasi translokasi TNBBS, menghasilkan kelimpahan relatif (KR) harimau lokal sebesar 0,05 jejak/km dan KR hewan mangsa utama (babi hutan, rusa sambar dan kijang) sebesar 0,80 jejak/km (Lampiran 1).

Areal yang menjadi daerah jelajah harimau jantan JD-3 di TNGL secara umum didominasi oleh vegetasi hutan pegunungan rendah (50,22%) dan hutan dataran rendah (36,87%), dengan sebagian kecil hutan pegunungan tinggi (7,54%) serta vegetasi belukar/hutan sekunder muda (5,36%) (Lampiran 12). Ketinggian elevasi pada wilayah jelajah JD-3 bervariasi mulai dari kurang dari 100 meter hingga diatas 2.000 meter dpl, namun kelas ketinggian yang mendominasi wilayah tersebut adalah berturut-turut hutan antara 500-1.000 meter dpl (34,18%), 0-500 meter dpl (33,82%), dan 1.000- 1.500 meter dpl (26,24%) (Lampiran 13). Kondisi medan (terrain) sangat curam (kelas slope > 40 persen) (60,38%) medominasi lokasi translokasi JD- 3, dimana topografi yang lainnya adalah curam (17,37%) dan agak curam (10,74%). Sementara itu areal dengan topografi datar dan landai (kelas slope

0-15 persen) hanya 10,16% dari total luas areal (Lampiran 14). Namun, selama 2,5 bulan observasi harimau jantan JD-3 menghabiskan 38% waktunya untuk menjelajah pada areal dengan ketinggian 0-500 meter dpl dan 44% waktunya mengeksplorasi areal dengan elevasi 500-1.000 meter dpl. Selain itu, 42% waktu JD-3 digunakan untuk menjelajah pada daerah-daerah yang datar, dan 41% waktu lainnya digunakan untuk berkelana pada daerah- daerah dengan topografi sangat curam.

83

Seperti daerah-daerah lain di Sumatera, kawasan sekitar daerah jelajah JD-3 memiliki kisaran curah hujan antara 2.000 mm hingga 3.000 mm per tahun, dengan fluktuasi suhu udara mulai 21-28 °C. Wibisono & Pusparini (2011) melaporkan bahwa kepadatan harimau lokal minimum di sekitar lokasi translokasi JD-3 adalah 0,3 harimau/100 km2. Mereka juga mendapati bahwa rusa sambar (Rusa unicolor), babi hutan (Sus scrofa) dan kijang (Muntiacus muntjac) merupakan hewan-hewan mangsa utama harimau di lokasi tersebut. Berdasarkan hasil transek sign sepanjang 83 km di sekitar lokasi translokasi JD-3 di TNGL diketahui bahwa KR harimau lokal sebesar 0,01 jejak/km dan KR hewan mangsa sebesar 0,45 jejak/km (Lampiran 1).

Tutupan vegetasi mayoritas di dalam daerah jelajah harimau jantan JD- 5 di TNKS adalah belukar/hutan sekunder muda (40,37%) dan hutan dataran rendah (37,11%). Selain itu, di dalam daerah jelajah JD-5 juga terdapat vegetasi hutan pegunungan rendah (17,99%), hutan pegunungan tinggi (3,93%) dan perkebunan sawit skala besar (5,01%) (Lampiran 12). Daerah jelajah JD-5 juga didominasi oleh areal dengan ketinggian 0-500 meter dpl (62,59,80%) dan 500-1.000 meter dpl (26,72%) (Lampiran 13), serta mayoritas topografinya datar (61,53%) dan landai (19,57%) (Lampiran 14). Harimau jantan JD-5 menghabiskan sebagian besar waktunya (65%) menjelajah pada areal yang datar dan landai (12%). Harimau JD-5 juga memilih wilayah pada ketinggian 0-500 meter dpl (64%) dan 500-1.000 meter dpl (34%) sebagai tempat mencari hewan mangsa dan beraktivitas lainnya. Menurut Linkie et al. (2006), rata-rata curah hujan tahunannya sekitar 3.000 mm dan kisaran suhu udara antara 7 hingga 28°C. Lebih jauh Linkie et al. (2006) memperkirakan bahwa kepadatan harimau di areal translokasi JD-5 di TNKS adalah sekitar 1,5-3,3 harimau/100 km2. Dinata & Sugadrjito (2008) mengidentifikasi bahwa hewan mangsa utama harimau di kawasan ini adalah babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Rusa unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac). Survey transek sign sepanjang 136 km di TNKS menghasilkan KR harimau lokal 0,09 jejak/km dan KR hewan mangsa 0,31 jejak/km (Lampiran 1).

84

Kawasan yang dijadikan daerah jelajah harimau betina BD-1 di Ulu Masen didominasi oleh tiga tipe tutupan vegetasi, yaitu belukar/hutan sekunder muda (33,29%), hutan pegunungan rendah (30,84%), dan hutan pegunungan tinggi (17,73%); sedangkan hutan dataran rendah hanya 11,56% dari luas total daerah jelajah BD-1 (Lampiran 12). Mayoritas kawasan tersebut merupakan dataran tinggi pada elevasi > 2.000 meter dpl (29,22%) dan antara 1.500-2.000 meter dpl (25,88%). Selebihnya adalah areal-areal dengan ketinggian 1.000-15.00 meter dpl (18,32%) dan 0-500 meter dpl (19,76%) (Lampiran 13). Areal-areal dengan topografi sangat curam (kelas

slope > 40 persen) dan curam umum dijumpai di sekitar daerah jelajah BD-1 (Lampiran 14). Namun, harimau betina BD-1 menghabiskan lebih dari separuh waktunya (64%) beraktivitas pada daerah dengan topografi datar dan landai. BD-1 juga menghabiskan 64% waktunya dihabiskan di areal-areal dengan ketinggian 0-500 meter dpl dan 500-1.000 m dpl (15%). Pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa survey transek sepanjang 129 km di sekitar lokasi translokasi BD-1 di Ulu Masen menghasilkan KR harimau lokal 0,09 jejak/km dan KR hewan mangsa 0,25 jejak/km.

5.2 Pola Aktivitas

Harimau jantan JD-1 terdeteksi aktif pada 1.483 (42,8%) dari 3.469 data aktivitas yang terbaca, sedangkan jantan JD-5 terdeteksi aktif pada 3.465 (49,5%) dari 7.007 data aktivitasnya. Hasil penelitian serupa pada jenis Felidae lainnya di Thailand mengungkapkan bahwa macan dahan (Neofelis nebulosa) jantan dan betina aktif selama masing-masing 57% dan 59% selama masa pengamatan (Grassman et al. 2005). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa harimau sumatera jantan pada malam hari (antara pukul 18:00-06:00) menghabiskan 45,5% waktunya untuk beraktivitas dan bergerak. Menurut Sunquist (1981) harimau bengal di Nepal menghabiskan 42% waktu malam harinya untuk beraktivitas dan melakukan pergerakan. Aktivitas harimau pada malam hari mungkin ada hubungannya dengan suhu udara dan aktivitas hewan mangsa harimau karena harimau umumnya melakukan

85

perburuan pada malam hari. Karanth & Sunquist (2000) menyatakan harimau memanfaatkan gelapnya malam dalam melakukan perburuan mangsanya.

Pola grafik yang dibentuk oleh signal X dan Y (Gambar 13) menunjukkan bahwa kedua harimau jantan JD-1 dan JD-5 banyak melakukan pergerakan dan waktu paling aktifnya adalah mulai sore hari menjelang gelap hingga petang/malam hari. Harimau jantan JD-5 juga banyak melakukan pergerakan atau aktif pada waktu subuh menjelang pagi; sedangkan harimau JD-1 sedikit lebih aktif pada pagi hari. Kedua harimau mengurangi aktivitasnya pada pagi hari hingga tengah hari dan pada tengah malam hingga menjelang subuh. Waktu aktivitas harimau-harimau ini diduga berkaitan dengan waktu aktivitas hewan-hewan mangsa pada masing-masing lokasi dimana mereka ditranslokasikan. Hal ini karena umumnya harimau berhasil melakukan perburuan ketika hewan mangsanya beraktivitas.

Gambar 13. Pola aktivitas harimau sumatera yang ditranslokasikan yang di- pantau dengan signal X dan Y pada kalung GPS (total N JD-1= 1.599 dan JD-5= 3.643).

86

Sunquist (1981) menyatakan bahwa waktu aktivitas harimau tidak ada hubungannya dengan waktu terbit dan terbenamnya matahari, namun memang cenderung lebih nokturnal karena kadang-kadang ditemukan aktif pada siang hari. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa pada siang hari harimau translokasi meningkat aktivitasnya dimulai pada pukul 14:00 WIB dan terus meningkat hingga malam. Pada malam hari, peningkatan aktivitas harimau translokasi terjadi hingga pukul 22:00 WIB dan meninkat kembali pada waktu subuh hingga awal pagi. Sunquist (1981) menjelaskan bahwa harimau memiliki pola aktivitas musiman yang sepertinya dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, termasuk jadwal waktu aktivitas hewan mangsa dan suhu udara. Lebih jauh dijelaskan juga bahwa manakala tidak ada perbedaan dalam jumlah waktu aktivitas antara jantan dan betina, mungkin dipengaruhi oleh status sosial atau kondisi reproduktif setiap individu.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa periode waktu paling aktif harimau jantan adalah pada petang/malam hari, yaitu antara pukul 18:00- 22:00 WIB (w= 1,19; Lampiran 15). Secara individual ada sedikit perbedaan dimana harimau jantan JD-1 yang ditranslokasikan ke TNBBS memilih waktu paling aktifnya pada petang/malam (pukul 18:00-22:00) dan pagi (pukul 06:00-10:00) hari (Gambar 14). Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam penggunaan waktu aktif harimau

(χ2

hitung = 91,96; χ2 0,05; 5 = 11,07). Pola waktu aktif harimau JD-1 ini

sepertinya sangat erat kaitannya dengan waktu aktivitas hewan mangsanya, karena di hutan-hutan Sumatera hewan-hewan mangsa utama harimau seperti rusa sambar, kijang dan babi hutan, umumnya mencari pakan pada awal pagi hari dan pada sore hari hingga menjelang malam. Selain itu, dengan berkurangnya waktu aktivitas harimau pada siang hari mengindikasikan bahwa harimau sumatera translokasi juga menghindari panasnya sinar matahari. Penelitian-penelitian sebelumnya baik di Nepal maupun di Sumatera telah membuktikan bahwa pola aktivitas harimau sangat erat kaitannya dengan waktu aktif hewan mangsanya. Hal ini karena harimau akan lebih mudah melakukan perburuan hewan mangsanya pada saat

87

aktivitas hewan mangsa tinggi, yaitu ketika matahari mulai terbenam hingga menjelang tengah malam serta ketika matahari mulai terbit hingga awal pagi hari (Sunquist 1981, Fata 2011, Linkie & Ridout 2011).

Gambar 14. Grafik pola persentase pola aktivitas harimau sumatera yang di- translokasikan dalam 24 jam berdasarkan interval waktu setiap 4 jam.

Temuan waktu aktif harimau ini hampir serupa dengan hasil penelitian sebelumnya menggunakan camera-trapping (Fata 2011) yang melaporkan bahwa peningkatan aktivitas harimau sumatera terjadi pada selang waktu menjelang subuh hingga awal pagi, akhir siang menjelang sore, serta senja hingga menjelang tengah malam. Meskipun Sunquist (1981) dan Sunquist (2010) menyatakan bahwa harimau bengal di cenderung nokturnal, namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa ternyata harimau sumatera yang ditraslokasikan tidak sepenuhnya nokturnal, bahkan ada kecenderungan merupakan satwa krepuskular, yakni hanya aktif pada senja menjelang malam hari saja. Temuan ini didukung oleh Perry (1964 diacu dalam Sunquist 1981) yang menyatakan bahwa harimau adalah satwa yang nokturnal dan krepuskular.

88

Perbedaan waktu aktif harimau sumatera translokasi dengan dengan harimau bengal di Nepal, dimana mereka umumnya aktif dan bergerak mulai matahari terbenam hingga menjelang pagi (Sunquist 1981), kemungkinan diakibatkan oleh adanya perbedaan waktu perilaku makan pada hewan-hewan ungulata mangsa harimau di kedua tempat tersebut. Schaller (1967) melaporkan bahwa harimau bengal di India waktu paling aktifnya adalah pada malam hari dan beristirahat mulai pagi menjelang siang hingga menjelang sore, namun kadang-kadang ada juga harimau yang berburu pada siang hari apabila harimau tersebut gagal menangkap hewan mangsa pada malam hari sebelumnya. Sunquist (1981) telah membuktikan bahwa waktu aktif harimau erat kaitannya dengan temperatur udara, dimana harimau bengal di Nepal umumnya beristirahat pada areal dengan tutupan vegetasi rapat di sepanjang aliran sungai pada siang hari di musim panas. Hamilton (1976) melaporkan hal yang sama, dimana macan tutul di Afrika umumnya tidak beraktivitas pada saat suhu udara panas di siang hari.