• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

B. Luas Daerah Jelajah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.2.1 Waktu Pembentukan Daerah Jelajah

Kajian terhadap data posisi setiap minggu menggunakan MCP100% memberi indikasi bahwa setiap harimau yang ditranslokasikan membutuhkan waktu yang berbeda, berkisar antara 8-17 minggu, untuk menetapkan daerah jelajah di lokasinya yang baru (Gambar 12). Pada harimau jantan daerah jelajah tersebut terbentuk masing-masing setelah 10 minggu untuk harimau JD-1, 11 minggu untuk JD-2, 8 minggu untuk JD-3, dan 13 minggu untuk JD-5. Sementara itu, harimau betina BD-1 membutuhkan waktu 17 minggu untuk menetapkan daerah jelajahnya.

72

Terdapat beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi lamanya waktu yang dibutuhkan setiap harimau translokasi dalam menetapkan daerah jelajahnya. Faktor-faktor tersebut antara lain umur dan jenis kelamin harimau, serta faktor kelimpahan harimau lokal dan hewan mangsa utama di lokasi tempat dimana harimau masing-masing dilepas-liarkan. Harimau betina BD-1 dan harimau jantan JD-5 membutuhkan waktu paling lama dalam menetapkan daerah jelajahnya, yaitu masing-masing 17 dan 13 minggu. Keduanya di translokasikan ke daerah dengan KR harimau lokal tertinggi (Tabel 8).

Gambar 12. Daerah Jelajah kumulatif (km2) mingguan yang dibentuk oleh harimau translokasi.

Dengan analisis korelasi rank Spearman (N=5) diketahui bahwa kelimpahan harimau lokal di lokasi pelepas-liaran (r= 0,949; P= 0,014) merupakan satu-satunya faktor yang secara signifikan paling berpengaruh terhadap lamanya waktu harimau translokasi menetapkan daerah jelajahnya (Tabel 8). Sementara itu, faktor kelimpahan hewan mangsa, umur dan jenis kelamin harimau tidak signifikan pengaruhnya terhadap lamanya waktu pembentukan daerah jelajah harimau translokasi. Meskipun melalui uji

73

statistik tidak berpengaruh, namun data menunjukkan adanya kecenderungan bahwa lamanya waktu harimau translokasi membangun daerah jelajah tetapnya, dipengaruhi juga oleh faktor kelimpahan hewan mangsa di lokasi pelepas-liaran serta umur harimau ketika dilepas-liarkan. Harimau JD-1 dan JD-2 ternyata relatif cepat dalam menetapkan daerah jelajah, yaitu 10 dan 11 minggu. Keduanya ditranslokasikan ke areal dengan KR hewan mangsa paling tinggi (yaitu 0,8 tanda/km) dibanding areal translokasi lainnya (Lampiran 1). Baik harimau JD-1 maupun JD-2, keduanya juga berumur paling tua (6 dan 4 tahun) ketika dilepas-liarkan, sehingga sepertinya mereka lebih siap untuk menempati areal kosong di antara daerah jelajah harimau yang telah ada lebih dahulu di sekitar lokasi translokasinya.

Tabel 8. Waktu dibutuhkan harimau translokasi dalam menetapkan daerah jelajahnya serta nilai KR harimau lokal dan mangsa utama pada masing -masing lokasi pelepas-liaran.

ID Lokasi Waktu penetapan (minggu) Kelamin (1=jantan; 2=betina) Umur (thn) KR harimau lokal (tanda/km) KR mangsa utama (tanda/km) JD-1 TNBBS 10 1 6 0,05 0,80 JD-2 TNBBS 11 1 4 0,05 0,80 BD-1 KHUM 17 2 2 0,09 0,25 JD-3 TNGL 8 1 4 0,01 0,45 JD-5 TNKS 13 1 2 0,09 0,31

Menurut laporan Smith et al. (1987), selain harimau jantan soliter yang memiliki wilayah teritori, setiap harimau betina juga memiliki daerah jelajah. Meskipun ukuran daerah jelajahnya lebih kecil dibandingkan jantan, namun daerah jelajah betina lebih stabil. Smith et al. (1987) dalam penelitiannya menemukan beberapa kasus perkelahian antara dua harimau betina yang bertemu pada satu lokasi di dalam hutan. Dengan adanya sistem teritorialitas baik pada harimau jantan maupun betina, maka jika satu harimau ditranslokasikan ke satu wilayah dimana terdapat harimau lokal yang lebih dahulu menghuni wilayah tersebut, maka akan dibutuhkan waktu untuk

74

mencari wilayah kosong yang dapat dijadikan daerah jelajah oleh harimau yang ditranslokasikan tersebut.

5.1.2.2 Luas Daerah Jelajah

Setiap individu harimau yang ditranslokasi dan dilepas-liarkan di kawasan yang berbeda di Sumatera, menetapkan daerah jelajah dengan yang berbeda-beda. Dengan banyaknya data yang dikumpulkan melalui dari kalung GPS memungkinkan dilakukannya pendugaan luas daerah jelajah harimau dengan metode Fixed Kernel (FK). Perhitungan dengan FK95% memberikan variasi luas jelajah harimau jantan antara 37,5-188,1 km2 dan betina 376,8 km2 (Tabel 9). Perkiraan ukuran daerah jelajah dengan metode FK memberikan hasil yang akurat namun membutuhkan sampel data yang besar (Seaman & Powell 1996, Mitchell 2007).

Tabel 9. Luas daerah jelajah harimau yang diamati dengan kalung GPS yang dianalisis berdasarkan Minimum Convex Polygon dan Fixed Kernel.

Harimau Lokasi N hari

pengamatan N data posisi Daerah jelajah (km2) MCP (100%) FK (95%) FK (50%) JD-1 TNBBS 224 3.469 191,2 140,9 27,9 JD-2 TNBBS 253 1.288 67,1 37,5 4,9 JD-3 TNGL 79 1.486 236 141,2 28,9 JD-5 TNKS 238 7.007 400 188,1 42,2 BD-1 KHUM 213 6.880 610,3 376,8 80,2

Luas daerah jelajah yang dibangun oleh masing-masing harimau translokasi tidak dipengaruhi oleh umur (r= -0,580; P= 0,306), jenis kelamin (r= 0,000; P= 1,000), kelimpahan harimau lokal (r= 0,264; P= 0,668) serta kelimpahan hewan mangsa (r= 0,667; P= 0,219). Namun demikian terdapat kecenderungan bahwa luas daerah jelajah yang dibentuk oleh setiap harimau translokasi berhubungan dengan kelimpahan hewan mangsa di masing- masing lokasi translokasi. Ahearn et al. (2001) melaporkan bahwa kelimpahan spesies hewan mangsa memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan daerah jelajah harimau. Smith et al. (1987) juga

75

berpendapat bahwa ukuran daerah jelajah harimau betina dipengaruhi oleh kelimpahan hewan mangsa dan kualitas habitat.

Harimau jantan JD-1 dan JD-2 membentuk daerah jelajah dengan ukuran terkecil dibanding harimau translokasi lainnya. Kedua harimau tersebut dilepas-liarkan di TNBBS yang kelimpahan relatif hewan mangsa utamanya tertinggi. Sementara itu, harimau betina BD-1 membentuk daerah jelajah dengan ukuran terluas dibandingkan dengan harimau translokasi lainnya. BD-1 dilepas-liarkan di KHUM yang memiliki kelimpahan hewan mangsa utama terendah (Lampiran 1).

Lebih jauh, Griffiths (1994) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan daerah jelajah harimau adalah ketersediaan hewan mangsa, dimana luas daerah jelajah harimau meningkat seiring dengan berkurangnya kepadatan hewan mangsa. Studi Franklin et al. (1999) menunjukkan bahwa semakin tinggi kelimpahan hewan mangsa utamanya, maka semakin kecil pula daerah jelajah satu individu harimau. Menurut (Sunquist 2010), luasnya daerah jelajah pada harimau jantan lebih disebabkan untuk penguasaan betina daripada penguasaan sumber pakan.

Rata-rata luas daerah jelajah MCP100% yang dihasilkan dari JD-1 dan JD-2 yang dilepas-liarkan dalam waktu dan lokasi yang sama, di hutan dataran rendah di TNBBS adalah 129 km2. Perkiraan ini mirip dengan perkiraan terdahulu dengan metode yang sama (Franklin et al. 1999), yang menyatakan bahwa luas daerah jelajah harimau jantan dewasa di hutan dataran rendah TN Way Kambas adalah sekitar 110 km2. Luas daerah jelajah MCP100% harimau betina BD-1 yang dilepas-liarkan di KHUM dan harimau jantan yang dilepas-liarkan di TNKS memiliki luas jelajah yang sangat luas masing-masing 610,3 km2 dan 400 km2. Ukuran daerah jelajah tersebut lebih luas jika dibandingkan dengan perkiraan luas jelajah harimau sumatera liar yang pernah ada sebelumnya. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan data yang digunakan dalam menduga ukuran daerah jelajah dengan metode MCP. Pendugaan-pendugaan luas daerah jelajah harimau yang ada sebelumnya (Tabel 10) umumnya cenderung underestimate karena

76

dilakukan menggunakan data dari camera-trapping dan radio-tracking. Kedua metode tersebut memiliki keterbatasan baik dalam hal penempatan

camera trapping maupun dalam pelacakan signal radio-tracking, sehingga harimau studi sulit dilacak keberadaannya ketika menjauh dari wilayah studi. Estimasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan data posisi dari kalung GPS, sehingga hasilnya jauh lebih akurat dari hasil-hasil studi yang pernah ada di Sumatera, karena harimau-harimau studi selalu terlacak posisinya dimana pun mereka berada.

Tabel 10. Perkiraan rata-rata luas daerah harimau sumatera dan pada beberapa subspesies harimau lainnya, dengan metode yang digunakan, jumlah harimau (n) dan referensi.

No Lokasi Kelas umur

Metode* N Rata-rata ukuran daerah jelajah (kisaran; km2) Referensi 1 Chitwan (Nepal) BD RT (MCP) 3 16 (15,3-16,5) Sunquist (1981) 2 Chitwan (Nepal) BD RT (100% MCP) 7 20,7 (10-51) Smith et al. (1987) 3 Panna (India) BD RT (MCP) 1 27 Chundawat et al. (1999) 4 Nagarahole (India) BD RT (95% MCP) 1 16,5 Karanth & Sunquist (2000) 5 Shikote-Alin (Rusia) BD RT (95% MCP) 14 402 (181-761) Goodrich et al. (2005) 6 Way Kambas (Sumatera) BD CT (100%MCP) 5 40-70 Franklin et al. (1999) 7 Ulu Masen (Sumatera) BD GPS (95%FK) 1 376,8 Penelitian ini 8 Sundarbans (Banglades) BD GPS (95% MCP) 2 12,3 (10,6-14,1) Barlow et al. (2011) 9 Chitwan (Nepal) JD RT (MCP) 2 52,5 (44,7-60,2) Sunquist (1981) 10 Panna (India) JD RT (MCP) 1 243 Chundawat et al. (1999) 11 Nagarahole (India) JD RT (95% MCP) 4 43 (25,7-57,8) Karanth & Sunquist (2000) 12 Shikote-Alin (Rusia) JD RT (MCP) 5 1,385 Goodrich et al. (2010) 13 Jambi (Sumatera) JD RT (95% MCP) 1 12,2 Maddox et al. (2007) 14 Bukit Barisan (Sumatera) JD GPS (95%FK) 2 89,2 (37,5-140,9) Penelitian ini 15 Way Kambas (Sumatera) JD CT (MCP) 1 110 Franklin et al. (1999) 16 Leuser (Sumatera) JD GPS (95%FK) 1 141,2 Penelitian ini 17 Leuser (Sumatera) JD CT (MCP) 3 278 (180-380) Griffiths (1994) 18 Kerinci (Sumatera) JD GPS (95%FK) 1 188,1 Penelitian ini

77

Apabila data memungkinkan, sebaiknya metode FK digunakan dalam memprediksi ukuran daerah jelajah satwaliar. Penggunaan metode MCP akan selalu overestimate, karena poligon daerah jelajah yang dibentuk dengan metode ini didasarkan pada titik-titik terluar posisi harimau. Namun, pada kenyataanya, sebetulnya banyak areal di dalam daerah jelajah harimau yang dibentuk dengan MCP, sama sekali tidak digunakan oleh harimau dalam penjelajahannya. Menurut Nilsen et al. (2008) sebaiknya penggunaan metode MCP dihindari pada studi-studi ekologi. Mitchell (2007) menyatakan pendugaan luas daerah jelajah dengan metode FK membutuhkan banyak data, sehingga sulit dipenuhi oleh data-data yang dihasilkan dari camera-trapping

atau radio-tracking. FK merupakan salah satu metode yang direkomendasikan untuk digunakan dalam menganalisis ukuran daerah jelajah satwa liar (Mitchell 2007).

Pada Tabel 10 juga dapat dilihat bahwa ukuran daerah jelajah harimau sangat bervariasi. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat variasi yang tinggi pada penggunaan wilayah jelajah pada harimau, baik sesama subspesies maupun di antara subspesies. Selain itu, harimau yang ditraslokasikan ke kawasan hutan yang baru akan membutuhkan areal yang lebih luas, sehubungan dengan adanya masa orientasi sebelum mereka membangun daerah jelajah tetapnya. Masa orientasi ini dibutuhkan mengingat pada saat harimau-harimau tersebut dilepas-liarkan di kawasan yang baru, di tempat tersebut sudah terdapat populasi harimau lokal. Oleh karena itu, pengukuran luas daerah jelajah harimau yang ditranslokasikan, sebaiknya dilakukan pada

saat harimau tersebut sudah merasa “nyaman” tinggal di lokasinya yang baru. Kajian yang dilakukan oleh Franklin et al. (1999) menunjukkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera betina dewasa berkisar antara 40-70 km2, sedangkan Griffiths (1994) melaporkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera jantan dewasa sangat bervariasi, tergantung pada ketinggian habitat dari permukaan laut (dpl). Berdasarkan perkiraannya, luas daerah jelajah harimau jantan dewasa sekitar 180 km2 pada kisaran ketinggian antara 100- 600 meter dpl, 274 km2 pada ketinggian antara 600-1.700 meter dpl, dan 380

78

km2 pada ketinggian diatas 1.700 meter dpl. Berdasarkan studi kamera-trap jangka panjang, Maddox et al. (2004) melaporkan bahwa luas daerah jelajah seekor harimau sumatera jantan pada kawasan hutan dataran rendah di Jambi adalah 14,2 km2 sedangkan betina dewasa rata-rata 7,9 km2.

Jantan dewasa JD-1 dan JD-2 ditranslokasikan ke kawasan yang sama pada waktu yang juga bersamaan di hutan dataran rendah TNBBS. Namun, yang menarik adalah bahwa daerah jelajah FK95% yang dibangun oleh kedua harimau jantan tersebut sangat berbeda, dimana daerah jelajah yang dibentuk oleh JD-1 (140,9 km2) hampir empat kali lebih luas dari luas daerah jelajah JD-2 (37,5 km2). Selain itu, selama 7,5 bulan pengamatan, diketahui bahwa hampir 100% daerah jelajah JD-2 tumpang-tindih dan berada di dalam daerah jelajah JD-1. Hal ini memberi indikasi bahwa daerah jelajah harimau jantan juga tidak eksklusif, yakni suatu areal yang menjadi bagian dari daerah jelajah seekor harimau jantan, mungkin juga dapat digunakan oleh jantan lain pada waktu yang berlainan. Selain itu, pada kasus ini ada kemungkinan juga bahwa jantan JD-1 lebih dominan. Pada saat dilepas-liarkan, JD-1 berumur sekitar 6 tahun dengan berat tubuh 122 kg; sedangkan JD-2 berumur sekitar 4 tahun dengan berat tubuh 73 kg. Sebagai harimau jantan yang lebih dominan, JD-1 dapat menggunakan kawasan yang lebih luas, sehingga selain memiliki akses yang lebih besar terhadap hewan mangsa, JD-1 juga memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan harimau betina.

Fixed Kernel 50% digunakan untuk menentukan areal inti (core areal) yang paling sering digunakan oleh satwa liar di dalam daerah jelajahnya (Aliaga-Rossel et al. 2008). Menggunakan metode FK50% (Edwards et al.

2001, Barlow et al. 2011) dapat diprediksi bahwa luas daerah jelajah inti individu harimau jantan translokasi adalah masing-masing JD-1= 27,9 km2, JD-2= 4,9 km2, JD-3= 28,9 km2 dan JD-5= 42,2 km2 (Lampiran 7, 8, 9 dan 10); sedangkan daerah jelajah inti harimau betina BD-1= 80,2 km2 (Lampiran 11). Areal inti yang sering digunakan harimau sumatera translokasi berkisar antara 13,1% - 22,4% dari ukuran daerah jelajahnya masing-masing. Dari

79

data yang terkumpul, ada kecenderungan bahwa semakin besar luas daerah jelajah harimau translokasi, semakin besar pula persentase luas areal intinya.

Selanjutnya memperhatikan pada bentuk dari setiap daerah jelajah yang dibangun dengan metode FK95%, terlihat bahwa daerah jelajah harimau jantan JD-3 yang ditranslokasikan di kawasan hutan TNGL bentuknya memanjang (Lampiran 9). Hal ini mengindikasikan bahwa sebetulnya sampai akhir masa pengamatan (selama 97 hari), harimau JD-3 ini masih belum menetapkan daerah jelajahnya. Kemungkinan besar di lokasi dimana JD-3 dilepas-liarkan sudah ada harimau jantan dewasa lain yang mengokupasi wilayah tersebut, sehingga JD-3 masih menjadi individu harimau pelintas (transient atau floater) yang belum memiliki daerah jelajah yang tetap (Karanth & Chundawat 2002).