• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERKEMBANGAN HISTAMIN TUNA ( Thunnus sp.) DAN BAKTERI PEMBENTUKNYA PADA BEBERAPA

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1 Ikan tuna (Thunnus sp.) ... 4

2 Struktur kimia histamin ... 8 3 Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin ... 9 4 Histogram rataan kadar histamin ikan tuna ... 23 5 Skema dekarboksilasi asam amino ... 23 6 Histogram rataan kadar TVB ikan tuna ... 26 7 Histogram nilai log TPC ikan tuna ... 29 8 Histogram nilai log bakteri penghasil histamin ikan tuna ... 33 9 Histogram perbandingan jumlah bakteri pembentuk histamin

(BPH) dengan jumlah total bakteri (TPC) ikan tuna pada

perlakuan suhu penyimpanan 0-1 °C... 35 10 Histogram Perbandingan jumlah bakteri pembentuk histamin

(BPH) dengan jumlah total bakteri (TPC) ikan tuna pada

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan tuna (Thunnus sp.) merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan mampu menembus pasar internasional. Potensi ikan tuna di perairan Indonesia masih cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan volume produksi ikan tuna pada tahun 2007 mencapai 191.558 ton. Volume produksi ikan tuna ini naik 20,17% bila dibandingkan dengan volume produksi ikan tuna pada tahun 2006 (DKP 2008a). Volume ekspor ikan tuna, cakalang, dan tongkol pada tahun 2007 mencapai 121.316 ton atau naik 32,12% bila dibandingkan dengan volume ekspor ikan tuna, cakalang, dan tongkol pada tahun 2006 (DKP 2008b) dan meningkat sebesar 203.269 ton pada tahun 2009 dan 207.100 ton pada tahun 2010 (KKP 2010).

Produksi tuna Indonesia yang besar dan memiliki pasar yang besar masih menemui beberapa kendala dalam perdagangan. Kasus penolakan terjadi pada produk tuna Indonesia di negara importir diakibatkan oleh permasalahan kemanan pangan, terutama oleh kadar histamin yang melampaui batas. Food and Drugs Administration Amerika Serikat (US-FDA) melaporkan terdapat 8 kasus penolakan tuna Indonesia pada tahun 2009 akibat kadar histamin yang melebihi ambang batas keamanan pangan (FDA 2010). Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Uni Eropa pada tahun 2007 mencatat terdapat 22 kasus impor tuna

Indonesia yang mengandung histamin melebihi batas keamanan pangan (EC 2007) dan sebanyak 7 kasus penolakan tuna Indonesia sepanjang tahun 2010 akibat kesalahan penanganan dan kadar histamin yang melebihi batas (EC 2011).

Histamin terbentuk karena adanya kesalahan selama proses penanganan dan pengolahan. Jika pada saat penangkapan tidak ditangani dengan tepat maka histidin yang terkandung pada ikan jenis scombroid tersebut dapat diubah menjadi senyawa toksik yang disebut dengan histamin (Dalgaard 2008). Keracunan histamin ditandai dengan adanya gejala klinis seperti peradangan kulit, mual, muntah, diare, kram perut, tekanan darah rendah, sakit kepala, kesemutan, dan gangguan pernapasan. Gejala yang paling terlihat adalah munculnya tanda

kemerahan pada wajah dan leher yang menyebabkan rasa panas yang tidak nyaman (New Zealand Ministry of Health 2001).

Penanganan adalah faktor kunci untuk menghambat terbentuknya histamin pada tuna. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi (>20 °C). Pendinginan dan pembekuan yang cepat segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan histamin (Taylor dan Alasalvar 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan histamin akan terhambat pada suhu 0 °C atau lebih rendah (Price et al. 1991). Uni Eropa melalui European Comission (EC) menentukan bahwa suhu lebur es (melting ice), yakni (0-1) °C merupakan suhu yang tepat dalam penanganan tuna (EC 2004), sedangkan Food And Drug Administration (FDA) menetapkan batas kritis suhu untuk perkembangan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4 °C (FDA 2001).

Industri tuna Indonesia menerapkan penanganan tuna dengan suhu rendah untuk mencegah terbentuknya histamin. Suhu rendah menuntut pengeluaran biaya yang tidak sedikit, khususnya di negara dengan iklim tropis seperti Indonesia yang mempunyai suhu ruang yang lebih tinggi dibandingkan negara dengan iklim sub tropis, sedang, atau dingin. Biaya penurunan suhu yang mahal mengakibatkan timbulnya resiko suhu penanganan tuna yang tidak tepat sehingga kadar histamin produk tuna Indonesia melebihi batas. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menganalisis suhu penanganan tuna yang optimal di Indonesia yang berkorelasi dengan kadar histamin yang terbentuk.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji perkembangan histamin ikan tuna dan bakteri pembentuknya serta parameter total bakteri (TPC) dan indeks kesegaran TVB dalam setting standar suhu penyimpanan (0-1) °C, 4 °C, dan 30 °C sehingga dapat menentukan suhu penyimpanan tuna yang optimal.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Ikan Tuna

Klasifikasi ikan tuna (Saanin 1984) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Teleostei Subclass : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridae Family : Scombridae Genus : Thunnus

Species : Thunnus obesus (big eye tuna, tuna mata besar) Thunnus alalunga (albacore, tuna alcar) Thunnus albacore (yellowfin tuna, madidihang)

Tuna mempunyai bentuk tubuh seperti torpedo dengan kepala yang lancip. Tubuhnya licin, sirip dada melengkung dan sirip ekor bersesak dengan celah yang lebar. Bagian belakang sirip punggung dan sirip dubur terdapat sirip–sirip tambahan yang kecil-kecil dan terpisah-pisah. Sirip-sirip punggung, dubur, perut, dan dada, pada pangkalnya mempunyai lekukan pada tubuh sehingga dapat memperkecil daya gesakan air pada saat ikan itu berenang dengan kecepatan penuh. Ikan tuna terkenal sebagai perenang-perenang yang hebat, bisa mencapai kecepatan sekiatar 77 km/jam. Umumnya ikan-ikan tuna ini hidup dengan mengarungi samudra-samudra besar didunia (Nontji 2002). Morfologi ikan Tuna dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus sp) (Fishbase 2010).

Migrasi ikan tuna di perairan Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, teritorial, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (DKP 2008c). Tuna yang termasuk komoditi ekspor adalah madidihang, tuna mata besar, albacora, tuna sirip biru dan cakalang. Jenis-jenis tuna besar tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1 Jenis-jenis ikan tuna

Nama ilmiah Nama Indonesia Nama Inggris

Thunnus albacore Madidihang Yellowfin tuna

T. obesus Tuna mata besar Big eye tuna

T. alalunga Albacora Albacore

T. maccoyii Tuna sirip biru selatan Southtern bluefin tuna T. tonggol Tuna ekor panjang Longtile tuna

T. thynnus Tuna sirip biru utara Northtern bluefin tuna T. altanticus Tuna sirip hitam Blackfin tuna

Sumber : Uktolseja et al., (1998)

Ikan tuna mempunyai daerah penyebaran yang luas. Tuna kecil sifatnya lebih kosmopolitan karena terdapat di seluruh perairan, terkecuali cakalang lebih menyukai perairan yang kadar garamnya tinggi. Ikan tuna dapat berenang dengan cepat dan beberapa jenis misalnya cakalang dan madidihang migrasinya sangat jauh tidak saja antar negara tetapi juga antar samudera.

2.2 Komposisi Gizi Ikan Tuna

Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6-26,2 g/100 g daging, lemak antara 0,2-2,7 g/100 g daging serta mengandung mineral (kalsium, fosfor, besi, sodium), vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin,riboflavin, dan niasin). Komposisi gizi beberapa jenis tuna tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp.) per 100 gram daging ikan

Komposisi Bluefin Skipjack Yellowfin Satuan

Energi 121,0 131,0 105,0 Kal Protein 22,6 26,2 24,1 G Lemak 2,7 2,1 0,2 G Abu 1,2 1,3 1,2 Mg Calsium 8,0 80,0 9,0 Mg Phosphor 190,0 220,0 220,0 Mg Besi 2,7 4,0 1,1 Mg Sodium 90,0 52,0 78,0 Mg Retinol 10,0 10,0 5,0 Μg Thiamin 0,1 0,03 0,1 Mg Riboflavin 0,06 0,15 0,1 Mg Niasin 10,0 18,0 12,2 Mg

Sumber : US Departemen of Health, Education, and Welfare 1972

2.3 Mutu dan Kemunduran Mutu Ikan

Mutu ikan identik dengan kesegaran ikan. Bentuk bahan baku ikan segar dapat berupa ikan utuh atau tanpa insang dan isi perut. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan kebusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu dan tidak membahayakan kesehatan. Kesegaran ikan memberikan kontribusi besar terhadap mutu dari ikan tersebut. Kemunduran mutu pada ikan dapat

disebabkan oleh penanganan bahan baku pada saat pascapanen ataupun saat diolah (Bremner 2000).

Perubahan reaksi biokimia dan fisika kimia yang sangat cepat terjadi mulai dari ikan tersebut dibunuh sampai dikonsumsi. Perubahan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahap yaitu :

a. Hiperaemia (pre rigor)

Tahap hiperaemia secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar Adenosin Tri Phosphat (ATP) dan kreatin fosfat seperti halnya pada reaksi aktif glikolisis serta lendir yang terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di dalam kulit ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh ikan dapat sangat banyak hingga mencapai 1,2-5% dari berat tubuhnya (Eskin 1990).

b. Rigor mortis

Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigor mortis. Tingkat atau tahapan rigor ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan yang merupakan hasil dari perubahan-perubahan biokimia yang kompleks di dalam otot ikan. Tubuh ikan yang mengejang yang berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang

berlangsung lambat pada tahap awal dan menjadi cepat pada tahap selanjutnya (Zaitsev et al. 1969).

Tingkat rigor ini berlangsung sekitar 1 sampai 12 jam sesaat setelah ikan mati. Pada umumnya ikan mempunyai proses rigor yang pendek, kira-kira 1 sampai 7 jam setelah ikan mati. Lamanya rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan temperatur lingkungan (Zaitsev et al. 1969). Kandungan glikogen yang tinggi menunda datangnya proses rigor sehingga menghasilkan produksi daging dengan kualitas tinggi dan pH rendah. Pencapaian pH serendah mungkin dalam jaringan ikan merupakan hal yang penting karena dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan untuk memperoleh warna daging yang diinginkan (Eskin 1990).

Pada fase rigor mortis, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari pH mula-mula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging

ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, tri metil amin oksida (TMAO) dan basa-basa menguap. Proses rigor mortis dikehendaki selama mungkin karena proses ini dapat menghambat proses penurunan mutu oleh aksi mikroba. Semakin singkat proses rigor mortis maka ikan semakin cepat membusuk (FAO 1995).

c. Post Rigor

Indikasi awal proses pembusukan ikan adalah terjadinya kehilangan karakteristik dari bau dan rasa ikan, yang berkaitan dengan degradasi secara autolisis. Autolisis adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protease dan lipase) yang terdapat di dalam daging ikan. Salah satu ciri-ciri terjadinya perubahan secara autolisis adalah dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir pada jaringan tubuh. Penguraian protein dan lemak dalam autolisis menyebabkan perubahan rasa, tekstur, dan penampakan ikan (FAO 1995).

Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan pH. Mula-mula protein terpecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan dehidrasi lalu pecah lagi menjadi polipeptida, pepton, dan akhirnya menjadi asam amino. Disamping asam amino, autolisis juga menghasilkan sejumlah kecil pirimidin dan purin, basa yang dibebaskan pada waktu pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Autolisis akan merubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun (Zaitsev et al. 1969). Autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat rendah. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri. Semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya (FAO 1995).

d. Busuk

Setelah fase rigor mortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung maka pH daging akan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika proses pembusukan sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. Pada kondisi ini, pH ikan akan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin banyaknya senyawa basa yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan (FAO 1995). Jumlah

bakteri pada tahap ini sudah cukup tinggi akibat perkembangbiakan yang terjadi pada tahap-tahap sebelumnya. Kegiatan bakteri pembusuk dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan autolisis dan kemudian berjalan sejajar (Eskin 1990).

2.4 Histamin

Histamin merupakan komponen amin biogenik yaitu bahan aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi (Keer et al. 2002). Keracunan histamin merupakan suatu intoksikasi akibat mengkonsumsi ikan laut yang umumnya berasal dari famili scombroid, seperti tuna, mackerel, cakalang, dan sejenisnya. Histamin merupakan senyawa amin biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase (Dalgaard et al. 2008).

Indriati et al. (2006) menyatakan bahwa histamin merupakan salah satu senyawa biogenik amin yang dianggap sebagai penyebab utama keracunan makanan yang berasal dari ikan, terutama dari kelompok scombroid. Histamin merupakan komponen yang kecil, mempunyai berat molekul rendah yang terdiri dari cincin imidazol dan sisi rantai etilamin. Histamin juga merupakan komponen yang tidak larut air. Histamin merupakan salah satu amin biogenik yang mempunyai pengaruh terhadap fisiologis manusia. Struktur kimia histamin dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia histamin (Keer et al. 2002).

Satuan kadar histamin dalam daging ikan dapat dinyatakan dalam mg/100g atau ppm (mg/1000g). Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya sehingga meningkatkan

potensi peningkatan kadar histamin, khususnya untuk penyimpanan dan penanganan yang salah (Keer et al. 2002).

Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin dapat terjadi melalui dua cara yaitu autolisis dan aktivitas bakteri. Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin dapat dilihat pada Gambar 3

Gambar 3 Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin (Keer et al. 2002).

2.4.1 Pembentukan histamin akibat aktivitas bakteri

Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuhnya tidak bisa lagi melindungi dari serangan bakteri, dan bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam amino bebas lainnya menjadi histamin. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi (>20 °C). Pendinginan dan pembekuan yang cepat, segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan scombrotoxin (histamin). Histamin tidak akan terbentuk bila ikan selalu disimpan dibawah suhu 5 °C. Pembekuan yang terlalu lama (24 minggu) diduga akan menginaktifkan bakteri pembentuk enzim dekarboksilase dan diduga pula dapat mengurangi pembentukan histamin. Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa kenaikan pembentukan histamin dapat terus berjalan walaupun dalam keadaan penyimpanan beku (Taylor dan Alasalvar 2002).

Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari lisin), serta spermidin dan spermin (dari arginin) (Lehane dan Olley 2000).

Histidin Histamin

Histidin decarboxylase

Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada insang dan isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri ini karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme. Bakteri ini akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan. Penyebaran bakteri biasanya terjadi pada saat proses pembuangan insang (gilling) dan penyiangan (gutting) (Sumner et al. 2004). Bakteri pembentuk histamin umumnya adalah bakteri mesofilik (Shahidi dan Botta 1994).

Berbagai jenis bakteri mampu menghasilkan enzim histidin dekarboksilase (Hdc) termasuk bakteri Enterobacteriaceae dan Bacillaceae (Allen 2004). Umumnya genus Bacillus, Citrobacter, Clostridium, Escherichia, Klebsiella, Lactobacillus, Pediococcus, Photobacterium, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Shigella dan Streptococcus menunjukkan aktivitas dekarboksilase asam amino (Kanki et al. 2002). Bakteri Pembentuk Histamin (BPH) dapat tumbuh pada kisaran suhu yang cukup luas. Pertumbuhan Bakteri Pembentuk Histamin (BPH) berlangsung lebih cepat pada temperatur yang tinggi (21,1 °C) dibandingkan pada temperatur rendah (7,2 °C) (FDA 2001).

Laporan mengenai temperatur optimum dan batas suhu terendah pembentukan histamin sangat bervariasi. Suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 25 °C (Keer et al. 2002). Penyimpanan ikan pada suhu 25 °C selama 24 jam dapat meningkatkan kandungan histamin yang terkandung hingga 120 mg/100 g (Yoghuci et al. 1990). Menurut Fletcher et al. (1995) pembentukan histamin pada suhu 0-5 °C sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Hasil penelitian Price et al. (1991) juga menunjukkan bahwa pembentukan histamin akan terhambat pada suhu 0 °C atau lebih rendah. Oleh karena itu, Food And Drug Administration (FDA) menetapkan batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4 °C (FDA 2001). Jenis-jenis bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut dan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis-jenis dan spesifikasi bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut Bakteri Spesifikasi Hafnia sp Klebsiella sp Escherichia coli Clostridium sp Lactobacillus sp Enterobacter spp Proteus sp

Gram negatif, fakultatif anaerobik (Hafnia alvei)

Gram negatif, fakultatif anaerobik (Klebsiella pneumonia) Gram negatif, Fakultatif anaerobik

Gram positif, anaerobik (Clostridium perfringens) Gram positif, fakultatif anaerobik (Lactobacillus 30a) Gram negatif, fakultatif anaerobik (Enterobacter aerogenes)

Gram negatif, fakultatif anaerobik (Proteus morganii)

Sumber: Eitenmiller et al. (1982)

2.4.2 Reaksi fisiologis histamin

Keracunan histamin disebabkan oleh konsumsi ikan yang mengandung histamin dengan level yang tinggi (Bremer et al. 2003). Gejala keracunan histamin meliputi sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-merahan, tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan terasa terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah-muntah (Eitenmiller et al. 1982). Gejala keracunan histamin dapat terjadi sangat cepat, sekitar 30 menit setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. (Bremer et al. 2003).

Histamin pada ikan yang busuk dapat menimbulkan keracunan jika terdapat sekitar 100 mg dalam 100 g sampel daging ikan yang diuji (Kimata 1961). Food And Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna, mahi-mahi dan ikan sejenis, 5 mg histamin/100 g daging ikan merupakan level yang harus diwaspadai sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg histamin/100g daging ikan merupakan level yang membahayakan atau dapat menimbulkan keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan 5 mg histamin/100 g daging ikan pada satu unit, maka kemungkinan pada unit yang lain, level histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 g (FDA 2002). Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan

Kadar histamin per 100 g Tingkatan bahaya

< 5 mg 5-20 mg 20-100 mg > 100 mg Aman dikonsumsi Kemungkinan toksik Berpeluang toksik Toksik

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan September 2010, bertempat di PT. Lautan Niaga Jaya, Muara Baru – Jakarta Utara, dan Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta (BPMPHPK DKI Jakarta).

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk analisis histamin dengan spektrofluorometri dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) (SNI 2354.10:2009) adalah labu erlenmeyer, gelas ukur, pisau, homogenizer (blender), water bath, labu ukur, kertas saring Whattmann, spektrofluorometer tipe Varian Cary Eclipse FL0811M007, glass wool, pipet volumetrik, pipet tetes, kolom kromatografi, timbangan analitik dan buret. Alat yang digunakan pada analisis TVB (SNI 2354.8:2009) adalah blender, buret, corong gelas, erlenmeyer, gelas piala, kertas saring Whattman, labu takar, seperangkat alat destilasi uap, dan timbangan analitik dengan ketelitian 0,0001 gram. Alat yang digunakan untuk analisis Total Plate Count (TPC) (SNI 01-2332.3-2006) dan analisis bakteri penghasil histamin dengan media Niven (Modifikasi Niven 1981) adalah laminar, pipet volumetrik, Homogenizer, plastik steril, cawan petri, inkubator, autoklaf, talenan, water bath, dan stopwatch.

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan laut jenis tuna (Thunnus sp.), sedangkan bahan-bahan lainnya adalah metanol, resin penukar ion (dowex 1-x800-100-mesh), aquades, HCl, NaOH, H3PO4, ortoptalatdikarboksilaldehide (OPT), larutan TCA, asam borat, K2CO3, vaseline, indikator conway, larutan Butterfield’s Phospate Buffered, Plate Count Agar (PCA), Media niven (0.1% trypton, 0.2% yeast ekstrak, 0.1% L-histidin, 0.1% CaCO3, 2% NaCl, 2.5% agar, 0.01% phenol red).

3.3 Alur Penelitian

Penelitian dimulai dengan tahapan pengambilan sampel di PT. LNJ, Muara Baru, Jakarta Utara. Sampel diambil dari ikan tuna segar yang baru tiba sebanyak 300 gram per bagian tubuh yang akan diuji, yakni bagian tubuh depan, perut, dan ekor ikan tuna. Sampel dimasukkan ke dalam plastik High Density Poly Etylen (HDPE) yang telah disterilkan dengan autoklaf untuk menghindari kontaminasi. Kemudian dimasukkan ke dalam cool box berukuran 25 liter yang telah diisi es berbentuk flake.

Setelah sampel tersimpan baik di dalam cool box, sampel ikan tuna kemudian dibawa menuju ruang preparasi sampel, laboratorium organoleptik Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta (BPMPHPK DKI Jakarta) dengan menempuh waktu perjalanan 15 menit dari PT.LNJ.

Preparasi sampel dilakukan secara aseptik dan terbagi ke dalam beberapa kelompok sampel. Pertama adalah sampel kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan perbedaan suhu dan lama penyimpanan, diuji pada hari yang sama. Kedua adalah sampel untuk perlakuan suhu penyimpanan (0-1) °C selama 24 jam, ketiga adalah sampel untuk perlakuan suhu penyimpanan 4 °C selama 24 jam, dan terakhir adalah sampel untuk perlakuan suhu penyimpanan 30 °C selama 24 jam.

Setelah dipreparasi, sampel kontrol segera diuji Total Plate Count (TPC) dan uji bakteri penghasil histamin, dan diuji kadar histamin dan Total Volatile Base (TVB). Sampel untuk pengujian hasil perlakuan perbedaan suhu penyimpanan disimpan pada masing-masing suhu uji akan diuji setelah 24 jam penyimpanan.

3.4 Prosedur Pengujian Sampel

Prosedur kerja analisis dalam pengujian sampel pada penelitian ini meliputi analisis kadar histamin, kadar Total Volatile Base (TVB), Total Plate Count (TPC), dan analisis jumlah bakteri pembentuk histamin.

3.4.1 Analisis kadar histamin (SNI 2354.10: 2009)

Prinsip penentuan kadar histamin adalah zat histamin dalam contoh dikonversikan ke dalam bentuk –OH, kemudian diisolasi dengan resin penukar ion dan diubah ke bentuk derivatnya dengan ortoptalatdikarboksilaldehide (OPT) dan diukur secara fluorometris. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam ekuivalen kadar histamin. Prosedur kerja analisis kadar histamin terdiri atas tiga tahap, yaitu sebagai berikut :

a) Tahap ekstraksi

Sepuluh gram sampel ditimbang lalu ditambahkan dengan metanol sebanyak 50 ml kemudian dihomogenkan dengan homogenizer (blender) kurang lebih selama 1-2 menit. Sampel yang sudah dipanaskan dalam water bath pada suhu 60 °C selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian ditambahkan metanol sampai tanda tera lalu dikocok agar homogen. Setelah itu, larutan sampel disaring menggunakan kertas saring dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Filtrat dari hasil penyaringan akan digunakan pada proses clean up.

b) Tahap clean up atau tahap elusi

Pertama-tama disiapkan kolom kromatografi (panjang 20 cm dan diameter 7 mm) kemudian ke dalam kolom tersebut dimasukkan glass wool secukupnya (tingginya 1 cm). Selanjutnya resin penukar ion (dowex 1-x800-100-mesh) dimasukkan ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm (diusahakan resin tidak sampai kering dengan cara dibilas dengan akuades karena akan

Dokumen terkait