• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Mutu dan Kemunduran Mutu Ikan

2.4.1 Pembentukan histamin akibat aktivitas bakteri

Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuhnya tidak bisa lagi melindungi dari serangan bakteri, dan bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam amino bebas lainnya menjadi histamin. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi (>20 °C). Pendinginan dan pembekuan yang cepat, segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan scombrotoxin (histamin). Histamin tidak akan terbentuk bila ikan selalu disimpan dibawah suhu 5 °C. Pembekuan yang terlalu lama (24 minggu) diduga akan menginaktifkan bakteri pembentuk enzim dekarboksilase dan diduga pula dapat mengurangi pembentukan histamin. Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa kenaikan pembentukan histamin dapat terus berjalan walaupun dalam keadaan penyimpanan beku (Taylor dan Alasalvar 2002).

Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari lisin), serta spermidin dan spermin (dari arginin) (Lehane dan Olley 2000).

Histidin Histamin

Histidin decarboxylase

Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada insang dan isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri ini karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme. Bakteri ini akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan. Penyebaran bakteri biasanya terjadi pada saat proses pembuangan insang (gilling) dan penyiangan (gutting) (Sumner et al. 2004). Bakteri pembentuk histamin umumnya adalah bakteri mesofilik (Shahidi dan Botta 1994).

Berbagai jenis bakteri mampu menghasilkan enzim histidin dekarboksilase (Hdc) termasuk bakteri Enterobacteriaceae dan Bacillaceae (Allen 2004). Umumnya genus Bacillus, Citrobacter, Clostridium, Escherichia, Klebsiella, Lactobacillus, Pediococcus, Photobacterium, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Shigella dan Streptococcus menunjukkan aktivitas dekarboksilase asam amino (Kanki et al. 2002). Bakteri Pembentuk Histamin (BPH) dapat tumbuh pada kisaran suhu yang cukup luas. Pertumbuhan Bakteri Pembentuk Histamin (BPH) berlangsung lebih cepat pada temperatur yang tinggi (21,1 °C) dibandingkan pada temperatur rendah (7,2 °C) (FDA 2001).

Laporan mengenai temperatur optimum dan batas suhu terendah pembentukan histamin sangat bervariasi. Suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 25 °C (Keer et al. 2002). Penyimpanan ikan pada suhu 25 °C selama 24 jam dapat meningkatkan kandungan histamin yang terkandung hingga 120 mg/100 g (Yoghuci et al. 1990). Menurut Fletcher et al. (1995) pembentukan histamin pada suhu 0-5 °C sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Hasil penelitian Price et al. (1991) juga menunjukkan bahwa pembentukan histamin akan terhambat pada suhu 0 °C atau lebih rendah. Oleh karena itu, Food And Drug Administration (FDA) menetapkan batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4 °C (FDA 2001). Jenis-jenis bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut dan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis-jenis dan spesifikasi bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut Bakteri Spesifikasi Hafnia sp Klebsiella sp Escherichia coli Clostridium sp Lactobacillus sp Enterobacter spp Proteus sp

Gram negatif, fakultatif anaerobik (Hafnia alvei)

Gram negatif, fakultatif anaerobik (Klebsiella pneumonia) Gram negatif, Fakultatif anaerobik

Gram positif, anaerobik (Clostridium perfringens) Gram positif, fakultatif anaerobik (Lactobacillus 30a) Gram negatif, fakultatif anaerobik (Enterobacter aerogenes)

Gram negatif, fakultatif anaerobik (Proteus morganii)

Sumber: Eitenmiller et al. (1982)

2.4.2 Reaksi fisiologis histamin

Keracunan histamin disebabkan oleh konsumsi ikan yang mengandung histamin dengan level yang tinggi (Bremer et al. 2003). Gejala keracunan histamin meliputi sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-merahan, tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan terasa terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah-muntah (Eitenmiller et al. 1982). Gejala keracunan histamin dapat terjadi sangat cepat, sekitar 30 menit setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. (Bremer et al. 2003).

Histamin pada ikan yang busuk dapat menimbulkan keracunan jika terdapat sekitar 100 mg dalam 100 g sampel daging ikan yang diuji (Kimata 1961). Food And Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna, mahi-mahi dan ikan sejenis, 5 mg histamin/100 g daging ikan merupakan level yang harus diwaspadai sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg histamin/100g daging ikan merupakan level yang membahayakan atau dapat menimbulkan keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan 5 mg histamin/100 g daging ikan pada satu unit, maka kemungkinan pada unit yang lain, level histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 g (FDA 2002). Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan

Kadar histamin per 100 g Tingkatan bahaya

< 5 mg 5-20 mg 20-100 mg > 100 mg Aman dikonsumsi Kemungkinan toksik Berpeluang toksik Toksik

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan September 2010, bertempat di PT. Lautan Niaga Jaya, Muara Baru – Jakarta Utara, dan Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta (BPMPHPK DKI Jakarta).

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk analisis histamin dengan spektrofluorometri dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) (SNI 2354.10:2009) adalah labu erlenmeyer, gelas ukur, pisau, homogenizer (blender), water bath, labu ukur, kertas saring Whattmann, spektrofluorometer tipe Varian Cary Eclipse FL0811M007, glass wool, pipet volumetrik, pipet tetes, kolom kromatografi, timbangan analitik dan buret. Alat yang digunakan pada analisis TVB (SNI 2354.8:2009) adalah blender, buret, corong gelas, erlenmeyer, gelas piala, kertas saring Whattman, labu takar, seperangkat alat destilasi uap, dan timbangan analitik dengan ketelitian 0,0001 gram. Alat yang digunakan untuk analisis Total Plate Count (TPC) (SNI 01-2332.3-2006) dan analisis bakteri penghasil histamin dengan media Niven (Modifikasi Niven 1981) adalah laminar, pipet volumetrik, Homogenizer, plastik steril, cawan petri, inkubator, autoklaf, talenan, water bath, dan stopwatch.

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan laut jenis tuna (Thunnus sp.), sedangkan bahan-bahan lainnya adalah metanol, resin penukar ion (dowex 1-x800-100-mesh), aquades, HCl, NaOH, H3PO4, ortoptalatdikarboksilaldehide (OPT), larutan TCA, asam borat, K2CO3, vaseline, indikator conway, larutan Butterfield’s Phospate Buffered, Plate Count Agar (PCA), Media niven (0.1% trypton, 0.2% yeast ekstrak, 0.1% L-histidin, 0.1% CaCO3, 2% NaCl, 2.5% agar, 0.01% phenol red).

3.3 Alur Penelitian

Penelitian dimulai dengan tahapan pengambilan sampel di PT. LNJ, Muara Baru, Jakarta Utara. Sampel diambil dari ikan tuna segar yang baru tiba sebanyak 300 gram per bagian tubuh yang akan diuji, yakni bagian tubuh depan, perut, dan ekor ikan tuna. Sampel dimasukkan ke dalam plastik High Density Poly Etylen (HDPE) yang telah disterilkan dengan autoklaf untuk menghindari kontaminasi. Kemudian dimasukkan ke dalam cool box berukuran 25 liter yang telah diisi es berbentuk flake.

Setelah sampel tersimpan baik di dalam cool box, sampel ikan tuna kemudian dibawa menuju ruang preparasi sampel, laboratorium organoleptik Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta (BPMPHPK DKI Jakarta) dengan menempuh waktu perjalanan 15 menit dari PT.LNJ.

Preparasi sampel dilakukan secara aseptik dan terbagi ke dalam beberapa kelompok sampel. Pertama adalah sampel kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan perbedaan suhu dan lama penyimpanan, diuji pada hari yang sama. Kedua adalah sampel untuk perlakuan suhu penyimpanan (0-1) °C selama 24 jam, ketiga adalah sampel untuk perlakuan suhu penyimpanan 4 °C selama 24 jam, dan terakhir adalah sampel untuk perlakuan suhu penyimpanan 30 °C selama 24 jam.

Setelah dipreparasi, sampel kontrol segera diuji Total Plate Count (TPC) dan uji bakteri penghasil histamin, dan diuji kadar histamin dan Total Volatile Base (TVB). Sampel untuk pengujian hasil perlakuan perbedaan suhu penyimpanan disimpan pada masing-masing suhu uji akan diuji setelah 24 jam penyimpanan.

3.4 Prosedur Pengujian Sampel

Prosedur kerja analisis dalam pengujian sampel pada penelitian ini meliputi analisis kadar histamin, kadar Total Volatile Base (TVB), Total Plate Count (TPC), dan analisis jumlah bakteri pembentuk histamin.

3.4.1 Analisis kadar histamin (SNI 2354.10: 2009)

Prinsip penentuan kadar histamin adalah zat histamin dalam contoh dikonversikan ke dalam bentuk –OH, kemudian diisolasi dengan resin penukar ion dan diubah ke bentuk derivatnya dengan ortoptalatdikarboksilaldehide (OPT) dan diukur secara fluorometris. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam ekuivalen kadar histamin. Prosedur kerja analisis kadar histamin terdiri atas tiga tahap, yaitu sebagai berikut :

a) Tahap ekstraksi

Sepuluh gram sampel ditimbang lalu ditambahkan dengan metanol sebanyak 50 ml kemudian dihomogenkan dengan homogenizer (blender) kurang lebih selama 1-2 menit. Sampel yang sudah dipanaskan dalam water bath pada suhu 60 °C selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian ditambahkan metanol sampai tanda tera lalu dikocok agar homogen. Setelah itu, larutan sampel disaring menggunakan kertas saring dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Filtrat dari hasil penyaringan akan digunakan pada proses clean up.

b) Tahap clean up atau tahap elusi

Pertama-tama disiapkan kolom kromatografi (panjang 20 cm dan diameter 7 mm) kemudian ke dalam kolom tersebut dimasukkan glass wool secukupnya (tingginya 1 cm). Selanjutnya resin penukar ion (dowex 1-x800-100-mesh) dimasukkan ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm (diusahakan resin tidak sampai kering dengan cara dibilas dengan akuades karena akan mempengaruhi daya kerja penukar ion tersebut). Selanjutnya sampel filtrat hasil penyaringan pada tahap ekstraksi dilewatkan ke dalam kolom sebanyak 1 ml dan ditampung hasilnya dalam labu ukur yang telah diberi 5 ml HCl 1 N.

c) Tahap pembentukan

Sebanyak 10 ml HCl 0,1 N dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 5 ml sampel hasil tahap celan up/elusi, 5 ml standar histamin (sebagai larutan standar), dan 5 ml HCl 0,1 N (sebagai blanko). Setelah itu, ditambahkan 3 ml NaOH 1 N ke dalam tabung reaksi lalu dihomogenkan dan dibiarkan selama 5 menit. Kemudian ditambahkan lagi ortoptalatdikarboksilaldehide (OPT) 1% sebanyak 1 ml lalu dihomgenkan dan

didiamkan selama 4 menit. Selanjutnya ditambahkan 3 ml H3PO4 3,57 N dan dihomogenkan. Setelah selesai, sampel yang telah melalui tahap pembentukan siap untuk dibaca menggunakan spektrofluorometer pada panjang gelombang eksitasi 350 nm dan panjang gelombang emisi 444 nm. Rumus perhitungan kadar histamin (ppm) adalah sebagai berikut :

Histamin (ppm) =

IU Keterangan : IU = Absorban sampel A = Intersep B = Slope Fp = Faktor pengencer

3.4.2 Analisis kadar Total Volatile Base (TVB) (SNI 2354.8:2009)

Analisis ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prosedur kerja analisis kadar TVB terbagi atas 3 tahap sebagai berikut :

a) Tahap ekstraksi

Pertama-tama sampel ditimbang sebanyak 10 gram dengan gelas piala, lalu ditambahkan 90 ml asam perklorat (PCA) 6%. Sampel dihomogenkan menggunakan homogenizer selama 2 menit. Selanjutnya sampel disaring dengan menggunakan kertas saring kasar dan menghasilkan filtrat yang akan digunakan pada tahapan selanjutnya.

b) Tahap destilasi

Sebanyak 50 ml sampel filtrat dimasukkan ke tabung destilasi, kemudian ditambahkan beberapa tetes indikator Fenolftalein dan ditambahkan beberapa tetes silikon anti foaming. Tabung destilasi dipasang pada destilator dan ditambahkan 10 ml NaOH 20% sampai basa yang ditandai dengan warna merah. Kemudian disiapkan penampung erlenmeyer yang berisi 100 ml H3BO4 3% dan 3-5 tetes indikator tashiro yang berwarna ungu. Setelah itu sampel didestilasi uap kurang lebih 10 menit sampai memperoleh destilat 100 ml sehingga pada volume akhir mencapai kurang lebih 200 ml larutan berwarna hijau. Larutan blanko

disiapkan dengan mengganti ekstrak sampel dengan 50 ml asam perklorat (PCA) 6% dan dikerjakan dengan proses yang sama dengan sampel

c) Tahap titrasi

Larutan destilat sampel dan blanko kemudian dititrasi dengan menggunakan larutan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya kembali warna ungu. Perhitungan kadar TVB dapat dilakukan dengan perumusan berikut ini :

Kadar TVB (mgN/100g) = V V N HC A N

Keterangan :

Vc = volume larutan HCl pada titrasi contoh/sampel Vb = volume larutan HCl pada titrasi blanko

Ar N = berat atom nitrogen (14,007) Fp = faktor pengenceran

3.4.3 Analisis total mikroba (Total Plate Count) (SNI 01-2332.3-2006)

Prinsip kerja analisis TPC adalah pertumbuhan mikroorganisme setelah contoh diinkubasi dalam media agar pada suhu 35 °C selama 48 jam, maka mikroorganisme tersebut akan tumbuh berkembang biak dengan membentuk koloni yang dapat langsung dihitung.

Prosedur kerja analisis TPC adalah sebagai berikut: sampel ditimbang secara aseptik sebanyak 25 gram dan ditambahkan 225 ml larutan Butterfield’s Phospate Buffered, kemudian dihomogenkan slama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Sebanyak 1 ml homogenat diambil menggunakan pipet steril dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan Butterfield’s Phospate Buffered sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali. Kemudian dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-3, 10-4, 10-5, dan seterusnya sesuai kondisi sampel. Selanjutnya untuk metode cawan agar tuang (pour plate method), dipipet sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi sampel, ditambahkan 12-15 ml media Plate Count Agar

(PCA) yang sudah didinginkan hingga mencapai suhu 45 °C. Setelah agar menjadi padat, cawan petri yang telah berisi agar dan larutan sampel tersebut dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik selama 48 jam pada suhu 35 °C. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni bakteri yang ada di dalam cawan petri menggunakan alat penghitung koloni. Jumlah koloni yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 25-250 koloni.

3.4.4 Analisis jumlah bakteri pembentuk histamin (Niven et al. 1981)

Prinsip analisis bakteri pembentuk histamin adalah enterobactericeae akan mengubah histidin menjadi histamin melalui proses dekarboksilase yang akan menaikkan pH dan merubah warna pada media.

Media modifikasi niven agar dipersiapkan dengan cara mencampurkan semua bahan, yaitu 0,1% trypton, 0,3% yeast extract, 1,8% L-histidin monohydrochlorid monohydrat, 0,1% CaCO3, 0,5% NaCl, 2,5% agar, dan 0,003% phenol red, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu diencerkan menggunakan aquades hingga 1000 ml. Selanjutnya dipanaskan hingga mendidih dan diatur pH 6,4 kemudian disterilisasi menggunakan otoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit.

Sampel sebanyak 25 gram dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan Butterfield’s Phospate Buffered, kemudian dilumatkan dengan blender hingga larutan homogen. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Dari campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan Butterfield’s Phospate Buffered sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, kemudian dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan hingga 10-4. Satu ml larutan sampel hasil setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu 12-15 ml media niven agar cair yang sudah didinginkan hingga mencapai suhu 45 °C dituangkan ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi sampel. Setelah agar menjadi padat, cawan petri yang telah berisi agar dan larutan sampel tersebut dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik selama 48 jam pada suhu 35 °C. Selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah koloni berwarna merah muda dengan halo pink pada latar belakang

berwarna kuning atau orange. Koloni tersebut merupakan koloni bakteri pembentuk histamin. Hasil penghitungan jumlah koloni bakteri pembentuk histamin tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai TPC sehingga diperoleh persentase jumlah bakteri pembentuk histamin terhadap nilai TPC.

3.5 Analsis Data (Steel dan Torrie 1991)

Data hasil analsis kadar histamin, TVB, TPC, dan jumlah bakteri pembentuk histamin dianalisis menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial, yakni menunjukkan pengaruh perlakuan suhu dan kelompok bagian tubuh tuna (bagian depan, perut, dan ekor) terhadap kadar histamin, TVB, TPC, dan jumlah bakteri penghasil histamin, serta interaksi keterkaitan antara suhu perlakuan dan perbedaan bagian tubuh yang diuji. Ulangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 kali ulangan. Model Rancangan Acak Lengkap Faktorial adalah sebagai berikut :

Keterangan :

Yijk = Pengamatan pada satuan percobaan ke k yang memperoleh kombinasi perlakuan taraf ke i dari faktor α dan taraf ke j dari faktor β

µ = Mean populasi

αi = Pengaruh taraf ke i dari faktor α βj = Pengaruh taraf ke j dari faktor β

(αβ)ij = Pengaruh taraf ke i dari faktor α dan taraf ke j dari faktor β

εijk = Pengaruh acak satuan ke k yang memperoleh kombinasi perlakuan Apabila hasil analisis data menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut tukey atau uji Beda Nyata Jujur (BNJ) yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang dianalisis. Rumus pengujian dengan Uji Tukey (BNJ) adalah sebagai berikut:

Keterangan :

q = Nilai pada tabel q p = Perlakuan

dbs = Derajat bebas sisa α = 0,05

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar histamin merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas tuna. Amerika Serikat mempunyai standar kadar histamin pada tuna, yaitu 20 mg per 100 g yang menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higiene pada tahap penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bakwa ikan tuna telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan 5 mg histamin/100 gram daging ikan pada satu bagian, maka terdapat kemungkinan pada bagian yang lain, kadar histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 gram (FDA 2001). Indikator kualitas tuna yang juga penting adalah kadar TVB. Analisis TVB masuk dalam indeks kesegaran ikan bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein dan zat-zat lainnya.

Analisis total mikroba atau TPC dilakukan untuk mengetahui angka pertumbuhan mikroorganisme setelah contoh diinkubasi dalam media agar pada suhu 35 °C selama 48 jam sehingga membentuk koloni yang dapat langsung dihitung. Total bakteri yang dihitung dapat menjadi indikator mikrobologi kesegaran ikan tuna.

Standar nilai total bakteri (TPC) yang sudah ditetapkan untuk ikan tuna segar yaitu 5x105 CFU/g (BSN 2006b). Analisis jumlah bakteri pembentuk histamin dilakukan untuk mengetahui persentase bakteri spesifik pembentuk histamin. Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Data hasil penelitian

Suhu Penyimpanan Bagian

Tubuh

Kadar Histamin Kadar TVB Log

TPC Log BPH (°C) (ppm) (mg N/100g) (0-1) Depan 2,40 9,90 4,42 3,61 Perut 3,02 11,23 4,47 3,68 Ekor 2,16 8,39 4,38 3,58 4 Depan 2,75 11,81 4,59 3,84 Perut 3,91 13,52 4,64 3,91 Ekor 2,61 11,07 4,57 3,83

30 Depan 1140,10 45,31 TBUD TBUD

Perut 1137,94 48,40 TBUD TBUD

Penelitian dibagi berdasarkan suhu penyimpanan dan kelompok bagian tubuh ikan tuna. Bagian ikan tuna yang dianalisis diambil dari tiga lokasi bagian tubuh, yakni bagian depan dekat insang, bagian perut, dan bagian ekor tuna yang akan disimpan ke dalam suhu perlakuan (0-1) °C, 4 °C, dan 30 °C, sedangkan untuk kontrol perlakuan dianalisis tanpa penyimpanan 24 jam.

4.1 Kadar Histamin Ikan Tuna

Histamin merupakan komponen amin biogenik, yaitu bahan aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas (Keer et al. 2002). Ikan tuna segar sebenarnya tidak mengandung histamin, tetapi memiliki histidin dalam jumlah besar pada jaringan daging. Histamin terbentuk dari histidin selama pembusukan oleh bakteri yang memiliki enzim histidin dekarboksilase (Taylor & Speckhard 1983). Hasil analisis kadar histamin dengan perlakuan perbedaan suhu dan kelompok bagian tubuh sampel dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kadar histamin ikan tuna

Suhu penyimpanan (°C) Kadar histamin (ppm)

Depan Perut Ekor

Kontrol 1,84 2,35 1,64

(0-1) 2,4 3,02 2,16

4 2,75 3,91 2,61

30 1140,1 1137,94 1136,94

Hasil rataan analisis kadar histamin pada perlakuan suhu penyimpanan 0-1° C dan 4 °C selama 24 jam dengan kelompok tiap sampel bagian tubuh masih berada dibawah batas maksimal kadar histamin 100 ppm, sehingga masih aman dan layak untuk dikonsumsi (BSN 2006a). Kadar histamin dengan perlakuan suhu penyimpanan 30 °C selama 24 jam dan kelompok tiap sampel bagian tubuh berada di atas 1000 ppm. Histogram rataan hasil analisis kadar histamin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Histogram rataan kadar histamin ikan tuna ( depan perut ekor). Berdasarkan histogram pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa kadar histamin ikan tuna semakin tinggi seiring dengan kenaikan suhu perlakuan penyimpanan. Analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan hasil bahwa perbedaan suhu penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap kadar histamin ikan tuna yang terbentuk. Hal ini disebabkan karena suhu merupakan faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan histamin. Taylor dan Alasalvar (2002) menyatakan bahwa histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi (>20 °C). Tuna merupakan ikan yang mengandung asam amino histidin. Asam amino ini merupakan substrat bagi enzim histidine decarboxylase (hdc), baik yang dihasilkan oleh bakteri dalam daging maupun oleh ikan itu sendiri, untuk kemudian diubah menjadi histamin (Hungerford 2010). Skema dekarboksilasi asam amino menjadi biogenik amin dapat dilihat pada Gambar 5.

Hasil analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% pada kelompok sampel bagian tubuh ikan tuna menunjukkan bahwa perbedaan bagian tubuh tidak

a

a

a a a a a a a a a

b

(p pm ) (°C) Dekarboksilasi

Asam amino Biogenik amin

Gambar 5 Skema dekarboksilasi asam amino (Sachs et al. 2005). Suhu °C K a dar Hi stamin ( ppm) 2,40 2,75 3,02 3,91 2,16 2,61 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 0‐1 4 30 KAD AR    HI S T A M IN SUHU depan perut ekor

memberikan pengaruh nyata terhadap kadar histamin yang terbentuk. Hal ini dikarenakan oleh pembentukan histamin pada setiap bagian tubuh tidak berlangsung secara optimal akibat oleh perlakuan suhu penyimpanan (0-1) °C dan 4 °C dan lama penyimpanan selama 24 jam. Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin berlangsung lebih cepat pada temperatur yang tinggi (21,1 ºC) daripada temperatur rendah (7,2 ºC) (FDA 2001).

Hasil uji lanjut Tukey terhadap perlakuan suhu penyimpanan menunjukkan bahwa kadar histamin pada suhu penyimpanan 0-1 °C dan 4 °C berbeda nyata dengan kadar histamin pada perlakuan suhu penyimpanan 30 °C (> 1000 ppm). Fletcher et al. (1995) menyatakan bahwa kadar histamin ikan kahawai (Arripis sp.) yang disimpan pada suhu 35 °C, 30 °C, 25 °C, 20 °C, 15 °C, dan 10 °C naik dan berada di atas 20 mg/100g selama 8 hari penyimpanan, sedangkan kadar histamin kahawai pada penyimpanan 5 °C tidak menunjukkan kenaikan selama 8 hari penyimpanan, sehingga pembentukan histamin pada suhu 0-5 °C sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Kerr et al. (2002) juga menyatakan bahwa kadar histamin ikan tuna yang disimpan pada suhu 0 °C dan 4 °C selama 0-1 tidak mengalami kenaikan dan berada pada kisaran 1-2 ppm.

Perlakuan suhu penyimpanan 30 °C (1140,1, 1137,94, 1136,94 ppm) memiliki kadar histamin sangat tinggi melebihi 1000 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan histamin pada suhu 30 °C sangat cepat. Suhu merupakan salah satu faktor kunci yang menentukan pada pembentukan kadar histamin. Suhu 30 °C termasuk suhu optimum perkembangan bakteri mesofilik (20 °C-40 °C) (Tiwari et al. 2009) dan BPH umumnya merupakan golongan bakteri Gram negatif jenis mesofilik (Butler et al. 2010). Hal ini dibuktikan dengan jumlah log TPC dan log BPH pada penyimpanan suhu 30 °C yang sangat tinggi dan termasuk TBUD. Jumlah BPH yang tinggi akan meningkatkan jumlah enzim histidine decarboxylase (Hdc) yang akan mengubah histidin bebas menjadi histamin. Hasil penelitian Visciano et al. (2006) terhadap ikan jenis Sardina pilchardus yang disimpan pada suhu 25 °C selama 24 jam menghasilkan kadar histamin hingga 110,6 mg/100g. Shakila et al. (2003) juga menemukan kandungan histamin di atas

Dokumen terkait