• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nomor Halaman

1 Gejala tanaman yang terinfeksi virus di lapangan, (a) malformasi daun, (b) bercak klorotik/mottle, (c) keriting, (d) dompolan buah yang tidak terbentuk sempurna ... 21 .

2 Hasil visualisasi pita DNA PYMV pada agarose gel 1,5% TBE; (M) marker 100 bp (1) sampel lada dari Sukabumi (2) Bangka (3) Lampung (4-5) Bogor (6) Tanaman lada sehat sebagai kontrol negatif... 23 3 Preparat serangga kutu putih P.minor... 24 4 Serangga vektor kutu putih F.virgata.... 24 5 Preparat serangga kutu daun A. gossypii, ... 26 6 Gejala yang muncul pada tanaman lada hasil penularan

(a) belang, (b) malformasi, (c) bercak klorotik, setelah diinokulasi virus dengan vektor P.minor dan F.virgata.... 27 7 Hasil purifikasi virus setelah dilakukan sentrifugasi gradien

CsCl-sukrosa... 29 8 Hasil PCR PYMV asal Bogor pada agarose gel 1,5% TBE

yang dianalisa lebih lanjut dengan sequencing; (M) Marker 100 bp (P) PYMV asal Bogor... 30 9 Alignment antara sekuen parsial PYMV-ORF I asal Bogor

(PYMV_Bgr) dengan PYMV yang dilaporkan oleh de Silva et al. (PYMV_DS), ( | ) basa antara kedua sekuen sama, ( ) basa antara ke dua sekuen tidak sama, ( - ) delesi/tidak ada basa... 31

Latar Belakang

Tanaman lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu komoditas ekspor tradisional andalan yang sudah cukup dikenal di dunia. Tanaman lada bukan tanaman asli Indonesia, namun sejak dibudidayakan di beberapa daerah keberadaannya sangat penting dalam menunjang perdagangan luar negeri. Lada sangat dibutuhkan terutama sebagai produk rempah-rempah, maupun bahan baku industri produk lain.

Ekspor lada Indonesia tertinggi dicapai pada tahun 2000 yaitu sebanyak 65.011 ton dengan nilai $ 221 juta. Hal ini telah membuktikan kontribusi lada Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan lada dunia yaitu 38% kebutuhan lada dunia (172.000 ton) (Deptan, 2003).

Produksi lada Indonesia selama 10 tahun terakhir cukup berfluktuasi, produksi terendah terjadi pada tahun 1997 sedang tertinggi pada tahun 2003. Lada yang dihasilkan adalah lada hitam dan lada putih. Lada hitam dihasilkan di Lampung dan dikenal dengan sebutan lampung black pepper, sedangkan lada putih di Bangka dan daerah lainnya dikenal dengan sebutan muntokwhite pepper. Sekitar 80% dari produksi lada Indonesia merupakan komoditas ekspor , sehingga tingkat harga lada internasional akan sangat dipengaruhi kondisi perladaan Indonesia (Fery et al. 2004).

Berdasarkan data Departemen Pertanian (2004) (Tabel 1), produksi lada Indonesia sejak tahun 2000 sampai 2002 meningkat namun volume ekspor lada Indonesia terus mengalami penurunan. Produktivitas lada pada selang waktu yang sama mengalami penurunan. Tahun 2000 produktivitas lada mencapai 0,46 ton/ha sedangkan tahun 2003 produktivitasnya turun menjadi 0,44 ton/ha. Penurunan produktivitas ini merupakan akibat dari beberapa faktor, diantaranya teknik budidaya yang belum intensif dan terdapatnya gangguan beberapa organisme pengganggu tanaman, diantaranya adalah infeksi virus. Kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit pada tanaman lada tahun 1999 diperkirakan menyebabkan kerugian sebesar 6 juta US$ (Manohara dan Rizal 2002).

Tabel 1 Luas areal, produksi, produktivitas dan ekspor komoditi lada Indonesia tahun 1990 - 2003

Ekspor Tahun Luas Areal (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) Volume

(ton) Nilai (000 US$) 1990 127.582 69.899 0,55 48.442 80.575 1991 126.783 62.549 0,49 50.300 66.820 1992 127.200 65.014 0,51 62.317 62.406 1993 130.676 65.782 0,50 27.689 46.044 1994 127.673 54.043 0,42 36.045 78.636 1995 134.689 58.955 0,44 57.781 155.430 1996 126.632 52.168 0,41 36.848 98.864 1997 111.263 46.708 0,42 33.386 163.144 1998 131.265 64.538 0,49 38.724 188.917 1999 136.842 61.224 0,45 36.293 191.241 2000 150.531 69.087 0.46 65.011 221.090 2001 186.022 82.078 0.44 53.638 100.507 2002 204.068 90.181 0.44 63.214 89.197 2003 *) 204.107 90.413 0.44 54.350 93.454

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Keterangan : *) Data Sementara

Adapun beberapa virus yang menginfeksi tanaman lada yaitu antara lain

Piper Yellow Mottle Badnav irus (PYMV) dan Cucumbar Mosaic Cucumo virus

(CMV) yang bergejala umum belang dan keriting. Penyakit ini dikenal dengan beberapa nama yaitu penyakit kuning lada (Ben 1988), penyakit kerdil (Firdaus il 1988), penyakit keriting (Balfas et al. 2001), dan penyakit belang (mottle) (Eng 2002). Penyakit ini dan beberapa hama dan penyakit lainnya yang menginfeksi tanaman lada, menyebabkan rendahnya produksi lada di Bangka, Lampung dan Kalimantan Barat, yait u rata -rata 1,07 ton/ha (Manohara dan Rizal 2002).

Pada awalnya penyakit dengan gejala bervariasi kuning, keriting dan belang ini diduga disebabkan oleh mikoplasma (fitoplasma) (Ben 1988). Di Serawak (Malaysia), penyakit belang pada tanaman lada diketahui disebabkan oleh dua jenis virus yaitu PYMV dan CMV yang saling berasosiasi dalam

menginfeksi tanaman (Eng 2002). Di bebarapa negara seperti Brazil, Malaysia, Thailand, dan Filipina serta di Srilanka dan India diketahui penyakit ini berasosiasi dengan P YMV (Lockhart et al. 1997; de Silva et al. 2002; Bhat et al.

2003).

Penularan dan penyebaran penyakit ini terjadi melalui serangga vektor dan bibit tanaman. De Silva et al. (2002) melaporkan PYMV tidak dapat ditularkan secara mekanis. Penularan melalui vektor Planococcus citri (Risso) dan

Diconocoris hewetii (Dist.) dilaporkan kurang efisien, sedangkan penularan melalui grafting efisiensinya mencapai 95%. Bhat et al. (2003) mengemukakan PYMV dapat ditularkan melalui inokulasi mekanis, Planococcus citri, Pseudococcu s elisae Borchsenius dan Ferrisia virgata (Cockerell). Isolat CMV dapat ditularkan pada sesama tanaman tembakau oleh vektor Aphis gossypii

(Glover). Duarte et al. 2002 menyatakan, penyakit yang disebabkan CMV-Pn, strain spesifik untuk lada ditularkan oleh A. spiricolae sedangkan PYMV ditula rkan oleh vektor P. elisae.

Untuk mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dilakukan antara lain melalui pengamatan gejala, uji penularan dengan vektor, serologi dan melalui teknik deteksi molekuler. Deteksi molekuler diantaranya dengan cara hibridisasi asam nukleat dan teknik Polymerase chain reaction (PCR) serta pengamatan partikel virus dengan mikroskop elektron.

PCR merupakan teknik yang memiliki kepekaan yang tinggi dan cepat, serta dapat digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk untuk mengidentifikasi patogen tanaman. Selain itu teknik PCR memberikan kelebihan bila dibandingkan dengan cara konvensional, antara lain tidak diperlukan pembiakan patogen pada media. Hal ini sangat menguntungkan untuk patogen yang belum dapat dibiakkan secara

in vitro seperti virus (Henson dan French 1993).

Di Indonesia deteksi penyakit belang lada yang disebabkan virus belum banyak dilaporkan. Penyakit dengan gejala kuning, keriting (kerdil) ditemukan di Lampung, Bangka, Kalimantan Barat dan Jawa Barat (Firdausil 1988; Balfas et al.

2001). Selain itu ditemukan juga tanaman dengan gejala belang yang berbeda dengan gejala keriting di lokasi yang sama. Hasil pengamatan Eng (2002) di

Serawak terlihat bahwa tanaman yang terinfeksi oleh Badnavirus hanya bergejala belang dan tidak memperlihatkan gejala kerdil (keriting) serta ukuran daun tidak berkurang. Balfas et al. (2001) mengemukakan penyakit keriting tanaman lada di Indonesia belum dapat dipastikan penyebabnya. Hasil penelitian penularan penyakit keriting yang dilakukan Balfast et al. (2001) mengindikasikan keberadaan PYMV tetapi hasilnya belum dapat dipastikan karena hanya berdasarkan pengamatan gejala dan pengamatan dengan mikroskop elektron, namun oleh Febrianti (2004) dilaporkan bahwa penyakit keriting pada lada di daerah Sukamulya disebabkan oleh CMV.

Berdasarkan uraian tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang deteksi dan identifikasi penyebab penyakit belang pada tanaman lada yang ada pada beberapa lokasi pertanaman lada di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeteksi dan mengidentifikasi virus penyebab penyakit belang (mottle), pada tanaman lada yang terdapat di Bangka, Lampung, Sukamulya, dan Bogor.

2. Mengetahui efisiensi penularan penyakit belang (mottle) melalui vektor P. minor, F.virgata, dan A.gossypii.

Hipotesis

1 Penyakit belang pada tanaman lada di Bangka, Lampung, Sukabumi, dan Bogor berasosiasi dengan CMV dan PYMV.

2 Serangga vektor P. minor lebih efis ien menularkaan virus dibanding

TINJAUAN PUSTAKA

Gejala Infeksi Virus Pada Tanaman Lada

Tanaman lada diketahui dapat diinfeksi oleh berbagai macam patogen. Beberapa patogen yang menginfeksi tanaman lada menyebabkan stem blight,

penyakit kuning, busuk akar, mosaik, bercak bergaris , busuk akar putih, busuk pangkal stek, nemotoda root knot, black berry, dan motel kuning. Selain itu terdapat hama yang menyebabkan kerusakan kecil yaitu kutu daun (aphis) dan kutu putih (mealybugs) yang juga merupakan vektor penyakit CMV dan PYMV (Duarte et al. 2002). Menurut Bhat et al. (2003), virus yang menginfeksi lada adalah dari genus Badna-, Cucumo-, dan Clostero virus, sedangkan pada pertanaman lada di Serawak disebabkan oleh dua jenis virus yaitu Badnavirus dan

Cucumovirus yang selalu terdapat bersamaan (Eng 2002).

Bhat et al. (2003) menyatakan bahwa penyakit yang disebabkan oleh CMV memperlihatkan karakteristik gejala daun mengecil, keriting, rapuh, daun mengeras dan bercak klo rotik. Pada kasus berbeda, daun menjadi tidak normal, menyempit, pengurangan panjang ruas, dan gejala utama berupa tanaman menjadi kerdil. Duarte et al. (2002) melaporkan bahwa gejala mosaik pada tanaman lada pertama kali diteliti oleh Caner pada tahun 1963, tetapi epidemi mosaik terjadi pada tahun 1970 di beberapa tempat di Brasil. Tanaman yang terserang CMV memperlihatkan gejala kerdil dan berbagai bentuk daun yang abnormal seperti malformasi, daun menebal, menyempit dan memperlihatkan gejala khas mosa ik kuning menyebar dalam jaringan daun. Tanaman juga menunjukkan gejala berupa dompolan buah menjadi pendek dan jumlah buah dalam dompolan tidak lengkap dan tanaman memperlihatkan pertumbuhan yang lambat. Hu et al (1995) mengemukakan bahwa CMV pada umumnya menimbulkan infeksi sistemik pada beberapa tanaman inang.

Jaringan dan organ tanaman yang tua kadang kurang efektif untuk infeksi virus. Tanaman yang terinfeksi virus akan menyebabkan laju respirasinya

meningkat atau bahkan diperlambat. Perubahan tersebut menyebabkan sel tanaman akan berubah bentuk, ukuran, dan warnanya, seperti tanaman menjadi kerdil, daun menunjukkan gejala mosaik, klorosis sepanjang tulang daun, dan daun muda akan lebih ramping serta salah bentuk (Hu et al 1995).

Penyakit yang disebabkan oleh PYMV (Badnavirus) memperlihatkan karakteristik motel klorotik, klorosis, vein clearing, distorsi daun, pengurangan vigor tanaman, dan jumlah buah dalam dompolan sedikit (Bhat et al. 2003). Pada awalnya daun muda tanaman yang memperlihatkan bercak klorotik menyebar pada jaringan daun yang hijau diduga karena defisiensi unsur hara mikro yang akan menghilang bila disempotkan pupuk daun. Sejak Oktober 1998, tanaman lada memperlihatkan gejala penyakit seperti tersebut di atas pada beberapa koleksi genotip lada di Brazil. Tanaman yang terinfeksi menampakkan daun yang menguning dan cerah yang jelas dalam helain daun atau bentuk interveinal yang khas motel. Pada kasus infeksi berbeda, daun menjadi salah bentuk dengan bentuk bergelombang. Tanaman lada memperlihatkan daun yang jarang dan penurunan produksi yang diakibatkan oleh pengurangan ukuran dan jumlah dompolan buah. Setelah dipotong cabang baru yang terbentuk menjadi klorotik dan pertumbuhan lambat. Secara internal, jaringan vaskular memperlihatkan

discolorasi dan bercak nekrotik (Duarte et al. 2002).

Eng (2002) menyatakan bahwa kombinasi infeksi dua jenis virus CMV dan PYMV dapat menyebabkan pengurangan ukuran daun, klorosis, mosaik kuning dan gejala motel dan daun berputar atau keriting, ruas batang dan cabang pendek, bunga dan dompolan buah mengecil, dan jumlah buah sedikit. Pada beberapa kasus berbeda, keseluruhan tanaman menjadi kerdil dan pembentukan bunga berkurang cepat. Jika tanaman hanya diinfeksi oleh Badnavirus gejalanya tanaman tidak kerdil dan ukuran daun tidak berkurang.

Karakter Molekuler Virus Penyebab Penyakit Belang

Cucumber Mosaic Cucumovirus (CMV)

CMV adalah salah satu anggota famili Bromoviridae, termasuk dalam kelompok Cucumovirus (Gibbs dan Harrison 1970). Virus ini termasuk dalam

golongan tripartite virus, yaitu virus yang memiliki tiga partikel CMV berbentuk polihedral dengan diameter 30 nm. Berat molekul keseluruhan partikel 5.8 – 6.7 x 106 dalton, tersusun dari asam nukleat dan selubung protein, berukuran 28-30 nm (Smith 1972). Menurut Agrios (1997), virus ini terdiri atas 180 sub unit protein dan memiliki RNA utas tunggal. CMV mempunyai titik panas inaktivasi 70 oC (10 menit), titik batas pengenceran 10-4, dan ketahanan in vitro pada suhu 20 oC selama 3 - 6 hari (Gibbs dan Harrison 1970).

CMV terdiri atas 3 RNA fungsional yaitu RNA 1, RNA 2, dan RNA 3 serta satu subgenom RNA yaitu RNA 4 yang merupakan hasil transkripsi dari RNA 3 pada proses replikasi (Hu et al. 1995). RNA 1, RNA 2, dan RNA 3 memiliki ukuran berturut-turut sekitar 3,4 kb, 3,0 kb, dan 2,2 kb (Pares et al 1992). Tiga RNA tersebut terbungkus dalam tiga partikel icosahedral dengan diameter sekitar 28 nm. CMV memilki berat molekul berkisar antara 5,8 – 6,7 x 106 yang terdiri dari 18% RNA dan 82% protein (Ferraira dan Bolley 1992). Empat jenis RNA yaitu 1270 kDa (RNA-1), 1130 kDa (RNA-2), 820 kDa (RNA3), dan 350 kDa (RNA4) terbungkus sebagai RNA-1 dan RNA-2 secara terpisah dan RNA-3 dan RNA-4 bersama dalam satu partikel. RNA-1, -2, dan -3 infektif, sebaliknya RNA-4 mengandung gen untuk coat protein. Beberapa isolat CMV mengandung small ssRNA (10 kDa) yang dikenal sebagai satelit. Coat protein satelit mengandung polypeptida tunggal berukuran 24,5 kDa (Sutic et al. 1999).

CMV mempunyai banyak strain yang berbeda dalam urutan nukleotida strain -strain tersebut (Kaper dan Waterworth, 1981). Ragam strain CMV yang paling banyak dikenal menurut Gibbs dan Harrison (1970) adalah: yellow strain

menyebabkan mosaik kuning yang sangat jelas pada Nicotiana sp. dan lesio nekrotik pada Zinnia elegans; Y strain pada Vigna sinensis menyebabkan gejala mosaik seperti yellow strain, namun dengan gejala yang lebih ringan; dan spinach strain pada N. tabacum, menyebabkan lesio lokal, atau mosaik sistemik, atau bercak cincin diikuti dengan salah bentuk dan nekrosis pada tulang daun.

Belum banyak informasi molekuler yang diketahui tentang virus ini. Hasil pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa PYMV berbentuk

bacilliform tidak memiliki pembungkus, berukuran 30 x 125 nm. Partikel memiliki double-stranded DNA. Virus ini termasuk dalam genus badnavirus

(Lockhart et al. 1997).

Genus Badnavirus memiliki beberapa anggota spesies selain PYMV, yaitu :

Banana streak virus (BSV), Cacao swollen shoot virus (CSSV), Canna yellow mottle virus (CaYMV), Commelina yellow mottle virus (ComYMV), Dioscorea bacilliform virus (DBV), Kalanchoe top -spotting virus (KTSV), Rice tungro bacilliform virus (RTBV), Schefflera ringspot virus (SRV), dan Sugarcane bacilliform virus (SCBV).

Salah satu anggota Badnavirus yaitu RTBV telah diketahui berukuran 8,0 kbp. RTBV memiliki open reading frame (ORF) yang panjang, menyandi poliprotein (P3). Poliprotein tersebut terdiri atas gen penyandi capsid protein

(CP), movement protein (MP), aspartat protease (PR), dan reverse transcriptase

(RT) dengan aktivitas ribonuklease H (Marmey et al. 2005).

Penularan Virus Penyebab Penyakit Belang

Cara penularan virus sangat penting diketahui karena merupakan faktor yang menentukan penyebaran dan bertahannya virus di lapangan. CMV dan PYMV dapat ditularkan oleh kutu daun, bibit tanaman sakit, cara penyambungan dan mekanik (de Silva et al. 2002).

Penularan virus di lapang yang paling sering terjadi dan paling merugikan adalah penularan melalui serangga vektor (Suseno 1990). Sebanyak 75 spesies kutu daun dapat menularkan CMV secara nonpersisten, namun Aphis gossypii dan

Myzus persicae (Hemiptera : Aphididae) yang paling efektif (Fritzsche et al. 1972, diacu dalam Kaper dan Waterworth 1981). Semua virus dari kelompok Cucumovirus dapat ditularkan secara nonpersisten atau terbawa stilet kutu daun. Semua instar kutu daun dapat menularkan virus tersebut dan tidak ada periode laten. Periode retensi dalam vektor kurang dari empat jam dan virus tidak dapat

ditularkan ke keturunan kutudaun tersebut (Gibbs dan Harrison 1970; Kaper dan Waterworth 1981).

Kisaran tumbuhan inang CMV sangat luas, meliputi berbagai spesies dari Famili Ranunculaceae, Cruciferae, Violaceae, Polygonaceae, Phytolacaceae, Chenopodiaceae, Geraniaceae, Tropaeolaceae, Cucurbitaceae, Euphorbiaceae, Leguminosae, Apocynaceae, Solanaceae, Compositae, Primulaceae, dan Asclepiadaceae (Smith 1972). Menurut Agrios (1997) CMV dapat menyerang tanaman sayuran, tanaman hias dan jenis tanaman lainnya. Selain menyerang tanaman ketimun, virus ini juga menyerang tanaman cabai, melon, labu, lada, bayam, seledri, tomat dan tanaman polong-polongan.

PYMV tidak dapat ditularkan secara mekanis namun dapat ditularkan melalui penyambungan, serangga vektor kutu putih dan D. distansi dan melalui benih dengan efisiensi hanya 5% (de Silva et al. 2002). Efisiensi penularan PYMV dengan vektor F.virgata mencapai 70% sedangkan secara mekanis tingkat keberhasilannnya kecil yaitu sekitar 10% (Bhat et al. 2003)

Deteksi dan Identifikasi Virus Penyebab Penyakit Belang

Untuk dapat mengetahui keberadaan virus dalam tanaman terinfeksi dengan tepat diperlukan tindakan deteksi dan identifikasi. Langkah ini perlu diambil agar tindakan pengendalian yang dilakukan tepat sasaran. Teknik dasar yang sejak lama dilakukan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus biasanya dilakukan melalui pengamatan gejala, uji penularan pada berbagai tanaman inang dan penularan dengan vektor. Perkembangan metode deteksi virus saat ini sudah sangat maju seperti teknik serologi, hibridisasi asam nukleat, dan teknik PCR, sehingga upaya deteksi dan identifikasi berbagai jenis virus menjadi lebih mudah dan akurat.

Teknik serologi yang digunakan saat ini adalah ELISA (Enzim Linked Immuno Sorbent Assay), yang dikembangkan pada akhir 1970-an. Teknik serologi ini telah digunakan secara luas dan berkembang pesat untuk mendeteksi dan mempelajari virus tumbuhan. Keuntungan uji ELISA adalah kepekaannya yang sangat tinggi, dapat menguji sampel dalam jumlah banyak secara cepat,

penggunaan antiserum yang sedikit, dan hasilnya dapat diperoleh secara kualitatif dan kuantitatif, serta prosedur pengujian yang mudah. Karena keuntungan- keuntungan tersebut, ELISA denga n cepat menggantikan semua teknik seri diagnostik yang lain (Agrios 1997).

Identifikasi CMV pada sampel tanaman lada yang berasal dari Sukabumi telah dilakukan oleh Febrianti (2004) menggunakan antiserum CMV dan menunjukkan bahwa 92% sampel yang diuji positif terinfeksi CMV. Bhat et al.

(2002) melakukan pengujian pada sampel lada di India untuk mendeteksi keberadaan PYMV menggunakan metode Direct antigen-coated ELISA (DAC- ELISA) dengan antiserum Commelina yellow mottle badnavirus (CoYMV),

Banana streak badnavirus (BSV), Rice tungro bacilliform badnavirus (RTBV) and Sugarcane bacilliform badnavirus (ScBV), Potato virus potyvirus Y (PVY),

Tobacco streak virus ilarvirus (TSV), Groundnut bud necrosis tospovirus

(GBNV) , dan CMV, hasilnya menunjukkan hanya 2 antiserum bereaksi positif dengan PYMV yaitu antiserum BSV dan antiserum ScBV.

Dewasa ini karakterisasi maupun identifikasi virus tumbuhan selain menggunakan teknik serologi, telah banyak dikembangkan teknik molekuler melalui analisis sidik jari DNA. Ide ntifikasi virus banyak mengunakan teknik

Polymerase chain reaction (PCR). Teknik PCR dapat mengatasi masalah konsentrasi virus yang rendah, walaupun sampel yang digunakan sedikit dan dapat berupa bahan segar, beku ataupun kering (Rojas et al. 1993; Wyatt dan Brown 1998).

Pengujian dengan teknik PCR memerlukan sepasang primer yang spesifik yang akan menginduksi pembentukan dan perbanyakan asam nukleat atau untai DNA dengan bantuan enzim Taq polymerase dalam mesin PCR atau

thermocycler. Pemilihan primer yang tepat sangat menentukan keberhasilan identifikasi suatu jenis virus (Rojas et al. 1993). Febrianti (2004) melakukan teknik PCR untuk mendeteksi CMV pada tanaman lada menggunakan sepasang primer CMV -R dan CMV-F yang dibuat berdasarkan sekuen CMV-B2 (RNA2) diperoleh ukuran pita 940 bp. Metode PCR untuk mendeteksi PYMV dengan menggunakan sepasang primer berhasil mengamplifikasi ukuran pita DNA 450 bp

(5’-primer BADNA 2 dan 3’-MYS) dan 700 bp (primer Badna-T dan SCBV R1) (Lockhart et al. 1997; de Silva et al. 2002).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Survei dan pengambilan sampel tanaman lada dilakukan di Pulau Bangka pada bulan Februari 2005, sedangkan dari tiga tempat lainnya yaitu di Lampung, kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor dan di Sukamulya Kabupaten Sukabumi, dilakukan pengambilan sampel pada bulan Maret-Juni 2005. Analisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman dan Identifikasi serangga vektor dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB serta uji penularan dilakukan di rumah kaca Balitro Cimanggu Bogor pada bulan Januari sampai Agustus 2005.

Survei dan Pengambilan Sampel

Survei dilakukan untuk me lihat kondisi tanaman di lapangan sekaligus mengumpulkan sampel tanaman lada. Lokasi survei dilakukan pada beberapa tempat yang merupakan sentra produksi lada dan sentra penyedia dan penelitian tanaman lada. Sampel dari Bangka diambil di sembilan kebun petani dan Kebun Percobaan Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Bangka yang tersebar pada empat desa yaitu Ciluak, Payung, Cengkong Abang, dan Petaling (Gambar lampiran 1). Pada setiap kebun diambil sebanyak 5 sampel secara acak. Sampel dari daerah Lampung diambil dari tiga lokasi yaitu Desa Gunung Labuan, Desa Simpang, dan Desa Sukamarga.

Pengamatan dilakukan berdasarkan gejala yang tampak. Deskripsi gejala pada tanaman diamati menurut gejala umum yang muncul akibat infeksi virus seperti keriting, mosaik, motel dan kerdil.

Persiapan Vektor dan Tanaman Lada Identifikasi Serangga Vektor

Serangga yang digunakan, sebelumnya diidentifikasi untuk memastikan jenis spesies yang digunakan sebagai vektor. Vektor yang digunakan dalam penelitian ini adalah P. minor, F. virgata dan A. gossypii. Sebelum diperbanyak, serangga tersebut diidentifikasi melalui pengamatan visual untuk tingkat genus dan pengamatan melalui preparat awetan untuk tingkat spesies. Identifikasi kutu putih diidentifikasi menurut William dan de Willink (1992) dan William dan Watson (1988), sedangkan identifikasi kutu daun menggunakan kunci identifikasi menurut Blackman dan Eastop (1994) dan Cottier (1953).

Pembuatan preparat awetan kutu putih. Preparat awetan dibuat menurut metode William dan Watson (1988) yang telah dimodifikasi oleh Sartiami (2004). Pembuatan dimulai dengan memasukkan kutu putih dalam tabung reaksi berisi 2 ml alkohol 95% dan dipanaskan dalam penangas air selama 3-5 menit. Kemudian kutu putih diangkat dan dimasukkan ke dalam cawan sirakus dan ditusuk pada bagian atas abdomen. Serangga kemudian dipanaskan kembali dalam larutan KOH 10% sampai terlihat transparan, selanjutnya diangkat dan diletakkan pada cawan sirakus untuk dikeluarkan isi tubuhnya menggunakan jarum. Tahapan selanjutnya, dilakukan pencucian dengan akuades sebanyak dua kali kemudian dimasukkan ke dalam acid alcohol 50% dan dibiarkan selama 10 menit. Selanjutnya ditambahkan beberapa tetes acid fuchsin dan dibiarkan semalam. Setelah itu, awetan diberi satu tetes acetic acid glacial dan dibiarkan selama 5 menit dan didehidrasi berturut-turut mengunakan alkohol 80% selama 5 menit, dan alkohol 100% selama 10 menit. Kemudian serangga dimasukkan ke dalam carbol xylene selama beberapa saat dan dimasukkan lagi ke dalam alkohol

100% selama 10 menit, lalu ditambahkan tiga tetes minyak cengkeh dan ditunggu selama 10 menit. Tahap akhir, kutu putih yang telah diproses sebelumnya diletakkan pada gelas objek dan ditambahkan balsam kanada, posisinya diatur dan ditutup dengan gelas penutup.

Pembuatan preparat awetan kutu daun. Preparat awetan dibuat menurut metode Blackman dan Eastop (1994). Kutu daun dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi 5 ml alkohol 95% dan dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Se lanjutnya kutu daun diangkat dipindahkan dalam tabung reaksi yang berisi 5 ml KOH 10% dan dipanaskan kembali sampai kutu daun tersebut telihat transparan. Kemudian larutan KOH bersama kutu daun dituang ke dalam cawan sirakus, lalu isi tubuh serangga dikeluarkan dengan cara dilubangi dengan jarum serangga dan ditekan secara perlahan-lahan. Kemudian serangga dicuci dengan akuades sebanyak tiga kali. Perlakuan berikutnya adalah dehidrasi kutu daun dengan cara merendam secara berurut-turut dalam alkohol 50% , 70%, 95% dan 100% masing-masing selama 5 menit. Selanjutnya kutu daun diletakkan di atas gelas obyek dan ditetesi minyak cengkeh dan dibiarkan 2 menit.

Dokumen terkait