• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Gejala serangan O. furnacalis pada batang jagung berupa liang bekas gerekan

9 2 Kurungan untuk pemeliharaan imago O. furnacalis 10

3 Telur O. furnacalis yang hampir menetas 10

4 Bangkai T. molitor yang ditumbuhi miselia cendawan entomopatogen 11 5 Cendawan entomopatogen yang diperbanyak di media beras 12 6 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas larva O.

furnacalis akibat perlakuan cendawan B. bassiana (A) dan L. lecanii (B) pada tujuh hari setelah aplikasi

18 7 Bangkai O. furnacalis yang ditumbuhi miselia B. bassiana dan L.

lecanii

19 8 Konidiofor B. bassiana berbentuk zigzag dan L. lecani seperti huruf V 19 9 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas telur O.

furnacalis akibat perlakuan cendawan B. bassiana (A) dan L. lecanii (B) pada lima hari setelah aplikasi

22 10 Pertanaman jagung yang banyak menunjukkan tanda terserang O.

furnacalis

23 11 Tahapan perkembangan O. furnacalis: telur, larva, pupa dan imago 24 12 Koloni L. lecanii dan B. bassiana pada media PDA 25 13 Konidia B. bassiana yang diambil dari bangkai larva dan telur O.

furnacalis

25 14 Konidia L. lecanii yang diambil dari bangkai larva dan telur O.

furnacalis

26 15 Larva O. furnacalis dengan infeksi awal, mulai ditumbuhi miselia dan

sudah ditutupi miselia cendawan entomopatogen

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung merupakan tanaman pangan sumber makanan pokok serta merupakan produk pertanian yang mempunyai peranan strategis dan ekonomis di Indonesia. Peranan jagung selain sebagai bahan pangan (food) dan pakan (feed), juga banyak digunakan sebagai bahan baku energi (fuel) serta bahan baku industri lainnya yang kebutuhannya setiap tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2020, permintaan jagung di negara sedang berkembang akan melebihi permintaan beras dan gandum. Permintaan jagung dunia diperkirakan akan meningkat 50%, yakni dari 558 juta ton pada tahun 1995 menjadi 837 juta ton pada tahun 2020 (Dirjen Tanaman Pangan 2011).

Pada tahun 2013 produksi jagung di Indonesia ditargetkan mencapai 19.83 juta ton. Meskipun secara nasional produktivitas jagung meningkat, namun di tingkat petani produktivitas jagung masih rendah yaitu antara 1.0-7.0 ton/ha, sedangkan hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi produktivitas jagung bisa mencapai 10 ton/ha (Dirjen Tanaman Pangan 2011; BPS 2013).

Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas jagung adalah adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Beberapa hama penting pada tanaman jagung yang sering menimbulkan kerusakan berat di Indonesia adalah lalat bibit, Antherigona exigua (Diptera: Anthomyiidae), penggerek batang, Ostrinia furnacalis (Lepidoptera: Crambidae) dan kumbang bubuk, Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae) (Dirjen Tanaman Pangan 2011).

Hama O. furnacalis merupakan hama utama pada tanaman jagung yang dapat merusak batang, tongkol, dan bunga jantan. Hama penggerek ini menyerang seluruh fase perkembangan tanaman dan seluruh bagian tanaman jagung. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama ini dapat mencapai 80% (Bato et al. 1983). Kehilangan hasil terbesar terjadi ketika kerusakan terjadi pada fase reproduktif. Gejala serangan berupa lubang kecil pada daun, gerekan pada batang, kerusakan pada tassel dan kerusakan sebagian pada janggel (Kalshoven 1981).

Di Indonesia belum tersedia jagung berproduksi tinggi yang tahan terhadap penggerek batang. Jika terjadi serangan hama ini, umumnya petani menggunakan insektisida. Namun, penggunaan insektisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti timbulnya resistensi, resurjensi serta dampak terhadap lingkungan lainnya serta harganya yang relatif

mahal (Mas’ud 2010).

Dalam era globalisasi, kesadaran masyarakat akan kesehatan makin meningkat. Hal ini ditandai oleh makin tingginya tuntutan akan kualitas komoditas pertanian yang antara lain mensyaratkan suatu produk harus bebas pestisida. Berkaitan dengan hal itu, maka pengendalian hama perlu dilakukan dengan cara yang aman dan sesuai dengan konsep PHT (pengendalian hama terpadu), antara lain dengan memanfaatkan agens hayati berupa cendawan entomopatogen. Di Indonesia, pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk mengendalikan hama pada tanaman pangan masih rendah, jika dibandingkan dengan pada tanaman perkebunan.

2

Saat ini sudah banyak diteliti keefektifan mikroorganisme musuh alami serangga seperti virus, cendawan, nematoda dan bakteri sebagai teknologi

alternatif untuk mengendalikan serangan hama (Mas’ud 2010). Beberapa

cendawan entomopatogen yang banyak diteliti keefektifannya dalam mengendalikan hama antara lain dari genusBeauveria, Metarhizium dan Lecanicillium. Cendawan entomopatogen Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii merupakan jenis agen hayati yang sudah diketahui potensinya untuk mengendalikan berbagai jenis hama. Menurut Soehardjan dan Sudarmaji (1993) B. bassiana efektif menyerang serangga perusak tanaman. Cendawan ini menginfeksi serangga target melalui kontak kutikula, mulut, sistem pencernaan dan pernafasan serangga. Cendawan ini mudah dikembangbiakkan, diproduksi secara sederhana tanpa bantuan alat yang canggih. Cendawan entomopatogen B. bassiana dilaporkan efektif untuk mengendalikan larva instar III Ostrinia furnacalis (Surtikanti et al.1997).Pada komoditas tanaman pangan lain, B. bassiana juga dilaporkan efektif terhadap serangga hama Spodoptera litura (Yasin et al. 1997), Cylas formicarius (Bari 2006;Ratissa 2011).

Penelitian Miller et al. (2003) juga menunjukkan keefektifan cendawan ini dalam mengendalikan Sphaerotheca macularis dan S.fuliginea yang menyerang tanaman strawberi. Hasil penelitian Prayogo (2004) menunjukkan bahwa L. lecanii efektif untuk mengendalikan hama Riptortuslinearis. Selain itu, Prayogo (2012) menyatakan bahwa L. lecanii juga efektif untuk mengendalikan Bemisia tabaci vektor penyakit SMV pada tanaman kedelai. Selain untuk mengendalikan serangga hama, L. lecanii juga dilaporkan efektif mengendalikan nematoda Heteroderaglycines yang menyerang tanaman kedelai (Meyer et al. 1998; Shinya et al.2008). Mengingat potensi L. lecanii sebagai agens pengendali hama pada fase telur, penelitian ini mencoba mempelajari potensi tersebut terhadap hama O.furnacalis di laboratorium.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan cendawan entomopatogen B. bassiana dan L. lecanii terhadap telur dan larva penggerek batang jagung Asia O. furnacalis.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya akan memberikan informasi mengenai keefektifan dari kedua cendawan entomopatogen di atas untuk mengendalikan telur dan larvaO. furnacalis.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penggerek Batang Jagung Asia (Ostriniafurnacalis) Guenée (Lepidoptera: Crambidae)

Penggerek batang jagung Asia, O. furnacalis Guenee merupakan salah satu hama utama pada pertanaman jagung. Wilayah penyebaran O. furnacalis meliputi seluruh Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Timur dan Australia. Di Indonesia, serangga ini menyerang pertanaman jagung di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua (Kalshoven 1981).

Larva penggerek batang jagung dapat merusak daun, batang, serta bunga jantan dan betina. Larva instar I-III merusak daun dan bunga jantan, sedangkan larva instar IV-V merusak batang dan tongkol. Serangan pada tanaman jagung umur 2 dan 4 minggu menyebabkan kerusakan pada daun, pucuk dan batang; pada tanaman umur 6 minggu menyebabkan kerusakan pada daun, batang, bunga jantan dan bunga betina; dan pada tanaman umur 8 minggu menyebabkan kerusakan pada daun dan batang (Nonci 2004).

Nonci dan Baco (1991) mengemukakan bahwa stadia telur berlangsung 3-4 hari. Telur diletakkan berkelompok. Jumlah telur yang diletakkan dalam satu kelompok telur bervariasi antara 5 hingga lebih dari 100 butir. Di laboratorium, jumlah telur setiap kelompok beragam dari 2 hingga 200 butir (Kalshoven 1981).

Stadia larva bervariasi, tergantung pada bagian tanaman jagung yang dimakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman jagung umur 6 minggu paling disenangi oleh larva O. furnacalis. Perkembangan larva terdiri atas lima instar dengan ukuran yang berbeda-beda. Pupa terbentuk di dalam batang dengan stadia bervariasi antara 7-9 hari atau rata-rata 8.50 hari (Nonci 2004).

Ngengat biasanya muncul serta aktif pada malam hari dan segera berkopulasi. Lama hidup ngengat antara 2-7 hari. Ukuran ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan dan warna sayap ngengat jantan lebih terang daripada betina (Nonci dan Baco 1991).

Kehilangan hasil akibat serangan O. furnacalis berkisar antara 20%-80% (Nonci dan Baco 1987). Kehilangan hasil terbesar ketika kerusakan terjadi pada fase reproduktif (Kalshoven 1981). Kehilangan hasil di lapangan, selain dipengaruhi oleh kepadatan populasi larva O. furnacalis juga ditentukan oleh umur tanaman jagung saat terserang. O. furnacalis meletakkan telur pada pertanaman jagung di lapangan pada 15 HST (hari setelah tanam) dan serangan berakhir pada 75 HST (Nonci dan Baco 1991). Belum tersedia varietas jagung berproduksi tinggi yang tahan terhadap hama penggerek batang. Pengendalian

hama ini di lapangan masih mengandalkan insektisida (Mas’ud 2010).

Gejala serangan penggerek pada batang jagung yaitu adanya lubang gerekan disertai kotoran penggerek berupa serbuk yang keluar dari lubang gerekan tersebut. Indikator penting dan lebih cepat dalam hubungannya dengan kehilangan hasil adalah jumlah lubang pada tanaman dibanding jumlah larva atau pupa. Gerekan yang dilakukan penggerek jagung akan mengurangi pergerakan air dari tanah ke bagian atas daun karena rusaknya jaringan tanaman. Tanaman melakukan respon dengan menutup stomata sebagian, sehingga pengambilan

4

C02melalui stomata menurun yang berakibat terhadap penurunan tingkat fotosintesis (Godfrey et al. 1991).

Cendawan Entomopatogen

Cendawan entomopatogen tergolong salah satu dari organisme yang dapat menyebabkan sakit pada serangga. Penularan cendawan entomopatogen lebih sering terjadi melalui kontak dengan integumen serangga. Keefektifan cendawan entomopatogen untuk mengendalikan hama sasaran sangat tergantung pada keragaman jenis isolat, kerapatan spora, kualitas media tumbuh, jenis hama yang dikendalikan, stadia hama, waktu aplikasi, frekuensi aplikasi, dan faktor lingkungan.

Pengendalian hayati serangga hama menggunakan cendawan entomopatogen memiliki beberapa kelebihan dibanding pestisida kimia sintetik antara lain, mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, membentuk spora yang dapat bertahan lama di alam dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, sifatnya lebih spesifik, biaya relatif lebih murah, relatif mudah diproduksi, relatif lebih aman bagi ekosistem dan kemungkinan sangat kecil akan terjadi resistensi (Hall 1973; Castillo et al. 2000). Cendawan entomopatogen mempunyai peran yang nyata dalam mengendalikan berbagai hama pertanian. Tidak seperti bakteri ataupun virus, cendawan mampu menginfeksi inangnya langsung melalui kutikula. Meskipun dilaporkan ada sekitar 700-750 spesies cendawan entomopatogen tetapi hanya sekitar 12 spesies yang banyak digunakan untuk mengendalikan serangga hama (Stark dan Banks 2003). Beauveria, Metarhizium, Paecilomyces, Nomuraea, Verticillium, Hirsutella, Aspergillus, Sorosporella, Tolypocladium, dan Culinomyces merupakan genus yang dapat menyebabkan kematian pada serangga (Tanada dan Kaya 1993).

Menurut Ferron (1985) terdapat empat tahap etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan: (1) inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan (misalnya konidia) dengan tubuh serangga inang; (2) proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan dengan integumen serangga. (3) penetrasi dan invasi pada tubuh serangga. dan (4) destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya.Tahap penempelan dan perkecambahan propagul sangat membutuhkan kelembaban yang tinggi. Pada waktu melakukan penetrasi dan menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (apresorium). Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin.Santoso (1993) mengatakan bahwa apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung dalam tubuh serangga tanpa keluar menembus integumen.

Chadler (2005) menyatakan bahwa keempat tahapan di atas dapat dibagi menjadi dua mekanisme, pertama yaitu penempelan konidia pada kutikula larva yang kemudian berkecambah membentuk hifa. Hifa tersebut selanjutnya melakukan penetrasi ke jaringan tubuh serta hemosel serangga;yang kedua yaitu melalui proses pemakanan atau penelanan konidia dalam jumlah banyak yang

5 kemudian akan berkecambah dan tumbuh di bagian belakang saluran pencernaan. Selanjutnya hifa berkecambah dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh dan hemosel serangga. Pada mekanisme ini biasanya cendawan menyerang inang dengan dua cara yaitu perusakan jaringan oleh miselia dan atau produksi toksin. Biasanya sebelum cendawan membentuk hifa (proliferasi) dalam hemosel, serangga sendiri mengembangkan sistem pertahanan diri, misalnya dengan fagositosis yang biasanya dilakukan oleh plasmatosit atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma.

Beauveria bassiana

Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin (Deuteromycota: Hypomycetes) adalah cendawan entomopatogen yang ditemukan pada tahun 1835 oleh Agostino Bassi yang menyebabkan muscardine disease pada ulat sutera (Tanada dan Kaya 1993; Alexopoulos dan Mims 1996). B. bassiana memiliki kisaran inang yang luas. Dengan kemampuan menginfeksi inang yang luas, menyebabkan cendawan ini memiliki strain dan isolat yang beragam. Indonesia, dengan iklim tropik yang dimilikinya memungkinkan B. bassiana hidup dengan keragaman strain. Keragaman strain ini akan berpengaruh terhadap kemampuannya menginfeksi inang (Trizelia 2005). Cendawan ini dapat menyerang serangga dari berbagai ordo serta mampu menyerang seluruh stadia perkembangan serangga. Cendawan B.bassiana di luar negeri seperti di Jepang dan Eropa telah dikenal luas penggunaannya. Di antara perusahaan yang mengembangkan formula B. bassiana adalah Mycotech Corp. dan Troy BioSciences.(Hassanloui et al. 2007).

B. bassiana mempunyai konidiofor tunggal dan bercabang dengan pola zigzag jika telah menghasilkan konidia. Konidia keras, bersel satu, berbentuk bulat atau oval, hialin, berukuran 2-3 µm dan terbentuk pada tiap ujung percabangan konidiofor. Hifanya hialin, bersekat dan bercabang. Miselia berbentuk seperti benang, berwarna kuning pucat atau putih, tampak seperti tepung atau kapas. B. bassiana termasuk ke dalam fungi imperfect (tidak sempurna) karena tidak ditemukan fase seksualnya sehingga bereproduksi secara aseksual dengan menggunakan konidia (Steinhaus 1963; Tanada dan Kaya 1993).

B. bassiana memiliki kemampuan adaptasi yang baik untuk mampu bertahan di dalam tanah dalam bentuk konidia atau hifa saprofit. Cendawan bertahan dalam bentuk dorman selama kondisi lingkungan tidak mendukung pertumbuhan atau bila inang tidak tersedia, ketika inang telah tersedia maka proses infeksi akan terjadi. Infeksi B. bassiana pada inangnya terjadi melalui tiga tahap, yaitu adhesi, perkecambahan dan penetrasi. Cendawan ini dapat hidup pada pH antara 3.3-8.5 dengan pH optimum 6.7 (Boucias et al. 1998). Cendawan ini menghasilkan beberapa toksin antara lain beauvericin, cyclosporin A, oosporein dan bassianolidae. Daya kerja toksin tersebut adalah merusak jaringan atau organ hemosel secara mekanis seperti saluran pencernaan, otot, sistem syaraf, dan sistem pernafasan yang akhirnya menyebabkan kematian. Ketika inang sudah mati, miselia menyebar dengan cepat memenuhi rongga tubuh dan menyebabkan tubuh inang mengeras. Pada kondisi yang optimal (25-30ºC), dapat menembus keluar integumen dan menghasilkan konidia (Vey et al. 2001).

Mekanisme infeksi B. bassiana diawali dengan kontak antara konidia cendawan dan kutikula serangga, kemudian konidia berkecambah, membentuk apresoria dan hifa menembus integumen serta menghasilkan enzim kitinase dan

6

protease untuk melunakkan kutikula. Penetrasi berlangsung dalam waktu 12-24 jam dan kematian terjadi antara 48-72 jam kemudian (Purnama et al. 2003).

B. bassiana adalah parasit fakultatif. Cendawan ini potensial untuk mengendalikan lebih dari 70 jenis serangga hama dari ordo yang berbeda terutama dari ordo Lepidoptera (Kaur et al. 2011).

Mazra’awi (2007) menyatakan bahwa B. bassiana efektif diaplikasikan baik melalui oral maupun topical terhadap Apis mellifera dalam kondisi laboratorium. Hassanloui (2008) melaporkan bahwa B. bassiana efektif terhadap Tetranychusurticae dan Myzuspersicae dengan rataan mortalitas mencapai 83%.

Hasil penelitian Castillo et al. (2000) juga menunjukkan bahwa B. bassiana efektif terhadap Ceratitis capitata. Selain itu Howard et al. (2010) melaporkan bahwa cendawan entomopatogen ini juga bisa digunakan untuk mengendalikan nyamuk Culex quinquefasciatus. B. bassiana juga dilaporkan efektif untuk mengendalikan kumbang saguRhynchoporus ferrugineus serta bubuk buah kopi Hypothenemushampei di lapangan (Posada et al. 2007; Agullo et al. 2011).

Lecanicillium lecanii

Menurut Howard et al. (2010) karakteristik koloni L. lecanii adalah berwarna putih pucat dengan diameter antara 4.0-7.3 cm setelah inokulasi pada media potato dextrose agar (PDA). Koloni biasanya mulai tumbuh setelah 20 hari diinokulasi pada media PDA. Prayogo (2005) menyatakan koloni cendawan L. lecanii pada media PDA dalam cawan petri bisa mencapai ukuran 4.0-5.5 cm pada hari ketiga setelah inokulasi. Konidiofor berupa fialid berbentuk seperti huruf V, setiap konidiofor memproduksi 5-10 konidia yang terbungkus dalam kantung lendir (Aiuchi et al. 2007). Konidia berbentuk silinder sampai elips, terdiri dari satu sel, tidak berwarna (hialin), berukuran 1.9-2.2 x 5.0-6.1 µm (Feng et al. 2002). Cendawan ini tumbuh baik pada suhu 15-30 ºC, namun pertumbuhannya akan terhambat pada suhu 35 ºC (Cuthbertson et al. 2005). Pertumbuhan yang optimum cendawan ini pada suhu 25 ºC dan kelembaban 90%. Kelembaban yang tinggi berperan dalam proses perkecambahan dan infeksi terhadap serangga inang. Konidia akan berkecambah cepat pada suhu 20-25ºC (Fatiha et al. 2007). Beberapa toksin yang dihasilkan cendawan ini antara lain cyclosporin A, dipcolonicacid, dan hydroxycarboxylicacid (Vey et al. 2001).

Cendawan L. lecanii merupakan cendawan entomopatogen yang mempunyai kisaran inang yang luas. Vu et al. (2007) mengemukakan ada beberapa karakter fisiologi cendawan entomopatogen yang dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam pemilihan isolat yang virulen, antara lain kemampuan mematikan inang, kecepatan pertumbuhan koloni, jumlah konidia yang diproduksi, toleransi terhadap suhu, dan daya kecambah konidia. Selain virulensi isolat, keberhasilan pengendalian hama juga ditentukan oleh kerapatan konidia yang diaplikasikan dan stadia inang yang rentan. Cendawan ini bisa ditemukan menyerang nimfa maupun imago serangga. L. lecanii menyebabkan epizootik yang luas di daerah tropis maupun subtropis, asalkan kondisi lingkungan hangat dan lembab. Penelitian Prado et al. (2008) menunjukkan bahwa L.lecanii efektif terhadap kutu kapuk kelapaAleurodicus cocois. Selain itu Park dan Keun (2010) serta Bouhous et al. (2012) melaporkan bahwa L. lecanii juga efektif terhadap Bemisia tabaci dan Trialeurodes vaporariorum. Prayogo (2009) meneliti lebih dalam keefektifan L. lecanii untuk pengendalian Riptortus linearis.

7 Cendawan V. lecanii bersifat parasit, namun akan berubah menjadi saprofit bila kondisi tidak menguntungkan, misalnya dengan hidup pada serasah atau sisa-sisa hasil pertanian. Cendawan ini mampu hidup pada bahan organik yang mati dalam rentang waktu yang sangat lama (Tanada dan Kaya 1993).

9

3 METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret hingga September 2013.

Persiapan Serangga Uji dan Cendawan Uji Pemeliharaan Serangga Uji

Serangga yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari pertanaman jagung milik petani di daerah Dramaga, Bogor. Tanaman jagung yang menunjukkan gejala terserang O. furnacalis berupa liang bekas gerekan di batang, dipotong-potong ± 15 cm (gambar 1).

Selanjutnya potongan batang bergejala ini dibawa ke laboratorium untuk dipelihara lebih lanjut. Potongan batang jagung tersebut diletakkan dalam wadah plastik berukuran 33 cm x 16 cm x 8 cm yang bagian atas dan bawahnya telah dialasi tisu lalu dibiarkan hingga imagonya keluar dari lubang gerekan. Tutup wadah dilubangi dan diberi kain kasa untuk sirkulasi udara dalam wadah. Satu wadah plastik biasanya bisa menampung 15-20 potongan batang jagung. Imago biasanya mulai muncul sejak seminggu hingga sebulan setelah koleksi dari lapangan. Imago yang muncul kemudian dipindahkan dalam kotak pemeliharaan yang berukuran 20cm x 15cm x 15cm yang bagian atasnya telah dilapisi kertas untuk tempat meletakkan telur serta lembaran busa yang telah dilembabkan untuk menjaga kelembaban dalam kotak pemeliharaan (Gambar 2).

Gambar 1 Gejala serangan O. furnacalis pada batang jagung berupa liang bekas gerekan

10

Imago diberi pakan larutan madu 10% yang diserapkan pada potongan busa berdiameter ± 8 cm yang diletakkan dalam cawan petri berdiameter 9 cm. Imago dipelihara sampai meletakkan telur. Banyaknya cawan petri berisi larutan madu yang diletakkan dalam kotak pemeliharaan masing-masing 4 cawan. Dalam satu kotak pemeliharaan bisa menampung hingga 20 imago jantan dan betina. Telur-telur yang diletakkan dipindahkan dan disimpan dalam inkubator pada suhu 12ºC untuk menunda penetasannya. Setelah telur yang terkumpul jumlahnya cukup untuk digunakan dalam pengujian, telur dikeluarkan dari inkubator dan dipindahkan ke cawan petri yang telah dialasi kertas saring yang sudah dilembabkan hingga menetas menjadi larva. Larva-larva tersebut kemudian dipindahkan dalam wadah plastik berukuran 33cm x 16cm x 8cm yang telah dialasi tisu yang sudah dilembabkan pada bagian bawah dan atasnya serta diberi pakan jagung muda untuk selanjutnya digunakan dalam pengujian sesuai dengan instar yang dibutuhkan. Pakan madu diganti tiap 2 hari, sedangkan jagung muda diganti tiap 3 hari. Sementara untuk pengujian menggunakan telur, telur dibiarkan 2-3 hari di inkubator hingga siap untuk dilakukan pengujian. Kelompok telur yang digunakan dalam pengujian adalah yang sudah hampir menetas dan memperlihatkan bakal kepala larva yang berwarna hitam (Gambar 3).

Gambar 2 Kurungan untuk pemeliharaan imago O. furnacalis

Gambar 3 Telur O. furnacalis yang hampir menetas, ditandai dengan bakal kepala larva yang berwarna hitam

11 Preparasi B. bassiana dan L.lecanii

Isolat cendawan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari koleksi Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Untuk meningkatkan virulensinya, cendawan tersebut diinokulasikan lagi ke tubuh serangga untuk melengkapi fase infektifnya. Serangga inang yang digunakan adalah kumbang Tenebrio molitor. Larva T.molitor didapat dari pasar burung di daerah Empang, Bogor. Larva-larva ini diberi pakan pellet dan dipelihara dalam wadah plastik (seperti yang digunakan untuk meyimpan potongan batang jagung dari lapangan) hingga menjadi imago. Imago inilah yang kemudian digunakan untuk menaikkan virulensi cendawan B. bassiana dan L. lecanii yang sudah lama disimpan di laboratorium.

Suspensi dari masing-masing isolat dibuat, lalu disemprotkan pada T. molitor dan dibiarkan hingga tumbuh miseliumnya (Gambar 4). Miselia tersebut kemudian diisolasi pada PDA. Isolat yang berasal dari T. molitor yang sudah dimurnikan pada media PDA inilah yang akan diperbanyak pada media beras untuk digunakan dalam penelitian ini.

Perbanyakan B. bassiana dan L. lecanii pada Media Beras

Biakan murni isolat B. bassiana dan L. lecanii dari media PDA umur 14 hari selanjutnya diperbanyak pada media beras. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan kerapatan konidia yang diperlukan dalam penelitian ini. Beras yang sudah dicuci hingga bersih, dikukus setengah matang lalu didinginkan dalam nampan-nampan plastik. Media sebanyak ± 50 g dimasukkan dalam kantong-katong plastik bening tahan panas. Media beras tersebut disterilisasi dengan autoklaf. Setelah dingin, mediadiinokulasi denganB. bassiana dan L. lecanii. Media beras diusahakan agar bercampur dengan konidia cendawan. Semua tahapan dilakukan pada kondisi steril dalam laminarflow. Biakan cendawan ini diinkubasi selama 21 hari, umur optimum untuk pengujian (Gambar 5).

Gambar 4 Bangkai T. molitor yang ditumbuhi miselia cendawan entomopatogen berwarna putih

12

Penyiapan Suspensi B bassiana dan L.lecanii untuk Pengujian

BiakanB. bassiana dan L. lecanii pada media beras dibuat suspensi. Media diambil sebanyak 2 kantong (50 g/kantong) dan digerus dengan mortar sampai halus. Akuades yang telah disterilkan ditambahkan pada media sebanyak 100 mLdan larutan Tween 20 sebanyak 0.025 mL tiap 50 mL air (0.05%), lalu dikocok dengan vortex selama 30 detik hingga homogen. Campuran disaring dengan kain kasa halus dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer berukuran 100 mL. Kerapatan konidia dari suspensi dihitung dengan menggunakan

Dokumen terkait