• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman

Gambar 1. Bagian-bagian kulit dan daging umbi ubi jalar ..……… 7 Gambar 2. Pengubahan beta karoten menjadi 2 retinol….…..…… 13 Gambar 3. Struktur beta karoten diantara jenis karotenoid lainnya … 14 Gambar 4. Spektrum absorbsi 3 macam stereoisomer beta karoten .. 17 Gambar 5. Perubahan struktur trans menjadi cis beta karoten ……… 18 Gambar 6. Proses produksi tepung ubijalar……… 23 Gambar 7. Tahap-tahap penelitian ……… 24 Gambar 8. Uji sensitivitas 3 kombinasi fase gerak ……… 38 Gambar 9. Kerusakan trans beta karoten ……… 40 Gambar 10. Plot ln k vs 1/T selama penyimpanan tepung ubijalar …… 53

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Gambar pengamatan tepung berdasarkan warna

dan teksturnya ...… 65 Lampiran 2. Rumus perhitungan beta karoten standar ……… 66

Lampiran 3. Rumus perhitungan beta karoten sampel………. 67 Lampiran 4. Data pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi ………. 68 Lampiran 5. Perhitungan ANOVA dengan SAS 6.12 ……….. 69 Lampiran 6. Analisis statistik korelasi antara 2 peubah…………... 70 Lampiran 7. Gambar pengamatan dengan mikroskop polarisasi…… 72 Lampiran 8. Penentuan nilai energi aktivasi ……… 73 Lampiran 9. Perhitungan luas muka partikel tepung ubi jalar

varietas sewu ...…... 74 Lampiran 10. Contoh hasil kromatogram HPLC ……… 75 Lampiran 11. Karakteristik pengeringan irisan ubi jalar menggunakan oven suhu 500C ………. 76

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) terutama yang berdaging umbi warna oranye atau kuning memiliki potensi unggulan pada kandungan beta karoten (provitamin A) yang tinggi. Beta karoten atau provitamin A dalam ubi jalar diketahui memiliki banyak manfaat bagi tubuh, karena selain mampu memenuhi kebutuhan vitamin A juga berfungsi sebagai antioksidan untuk melawan radikal bebas dalam tubuh.

Pengolahan ubi jalar menjadi tepung adalah salah satu usaha untuk mendapatkan produk setengah jadi dari komoditas ini sehingga mampu memperbanyak aplikasi dan daya simpan komoditas ini pada masa-masa berikutnya.

Namun demikian, potensi ini akan menyusut selama pengolahan ubi jalar menjadi tepung karena sifat beta karoten yang sensitif terutama terhadap oksigen dan cahaya. Adanya ikatan rangkap pada struktur kimia beta karoten, menyebabkan bahan ini menjadi sangat sensitif terhadap reaksi oksidasi ketika terkena udara (O2), cahaya, metal, peroksida, dan panas selama proses produksi maupun aplikasinya. Kandungan beta karoten yang sudah menyusut selama proses pengolahan tepung ini akan semakin menyusut pada proses aplikasinya (misalnya untuk pembuatan roti atau mie kering). Kondisi ini terjadi jika proses pengolahan dilakukan tanpa pengendalian dan perlindungan, sehingga pada akhirnya kandungan beta karoten yang seharusnya bermanfaat tinggi menjadi hilang percuma selama itu.

Penelitian yang dilakukan Dignos pada tahun 1992 terhadap ubijalar varietas VSP 1 menjelaskan bahwa ubi jalar yang dipanggang dalam oven mengalami penurunan kadar beta karoten sebesar 20 %, dan karena penjemuran sebesar 40 %, Yusianti (1999) menyebutkan bahwa aplikasi tepung ubi jalar untuk roti yang dipanggang dalam oven pada suhu diatas 3000F (±1490C) selama 15 menit menyebabkan penurunan beta karoten sebesar 90 – 92 %.

Oleh karena itu, dua pemikiran mendasar yang menjadi pertimbangan adalah apakah kandungan beta karoten ini perlu diekstraksi terlebih dahulu sebelum diolah menjadi tepung atau apakah ada rekayasa proses pengolahan tepung ubi jalar yang dapat meminimalkan kerusakan beta karoten, sehingga produk jadinya memiliki daya guna yang tinggi (terutama dalam pemenuhan vitamin A di masyarakat). Proses ekstraksi beta karoten dari ubi jalar yang pernah dilakukan adalah supercritical CO2 dengan hasil sebesar 98% beta karoten (Spanos et al. 1993). Meskipun demikian, secara komersial tidak banyak pihak yang berminat pada proses ini.

Ubi jalar secara alami mengandung beta karoten bentuk trans dominan (Bauernfeind 1981; Gross 1991), isomerisasi cis-trans yang terjadi pada suhu tinggi akan menyebabkan perubahan posisi dari bentuk trans ke bentuk cis. Sedangkan beta karoten bentuk cis biasanya memiliki aktivitas vitamin A yang lebih rendah daripada bentuk trans (IVACG 1999).

Penelitian ini berupaya untuk mempelajari dan mengendalikan stabilitas beta karoten selama proses pengolahan tepung ubi jalar sehingga dapat diperoleh tepung ubi jalar yang kaya beta karoten dan pada tahap selanjutnya dapat diperoleh rekomendasi untuk perbaikan produksi tepung ubi jalar kaya beta karoten.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menghasilkan tepung ubi jalar kaya beta karoten dengan menguraikan terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar, salah satunya dengan mempelajari isomerisasi struktur beta karoten yang terjadi, sehingga diperoleh titik-titik kontrol proses.

2. Menguji pengendalian stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar terhadap penyimpanan produk selama penyimpanan 3 bulan.

Kerangka Pemikiran

Beberapa sifat beta karoten, salah satu komponen unggulan ubi jalar, telah diketahui melalui beberapa penelitian. Namun demikian, telaah stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar belum banyak dilakukan. Hal ini penting dilakukan karena akan menjadi dasar pertimbangan pengembangan pengolahan selanjutnya, sehingga beta karoten akan mampu berdaya guna pada tahap pengembangan maupun aplikasinya. Adanya panas, oksigen dan cahaya selama proses produksi ubi jalar menjadi tepung belum mampu dihilangkan sepenuhnya sehingga terjadi proses isomerisasi atau rusaknya struktur beta karoten yang menyebabkan sebagian nutrisi yang berupa provitamin A (beta karoten) mengalami penurunan aktivitas.

Isomerisasi struktur beta karoten selama proses pengolahan tepung ubi jalar diharapkan mampu dikontrol secara in line pada proses pengolahan tepung ubi jalar berdasarkan telaah berbagai metode konversi warna dan absorbansi. Pengendalian secara in line disini dapat diartikan sebagai pengendalian yang dilakukan secara cepat, mengikuti alir produk secara industrial, mudah dan memiliki ketelitian pengukuran cukup akurat.

Metode ini menjadi pilihan jika dibandingkan dengan analisa konvensional yang memerlukan analisa laboratorium yang sulit, lama dan mahal. Dengan demikian, beberapa titik kontrol selama proses pengolahan tepung ubijalar yang memiliki potensi dapat mempengaruhi stabilitas beta karoten dapat dikendalikan. Melalui rekayasa proses akan diperhitungkan kondisi fisik bahan selama pengeringan maupun upaya-upaya perlindungan struktur beta karoten dengan penyalutan beberapa bahan, yaitu natrium bisulfit, asam askorbat dan dekstrin-gum.

Selain itu, uji kelayakan proses secara teknis dilakukan berdasarkan beberapa karakter fisik tepung ubijalar kaya beta karoten, seperti misalnya kadar air, densitas kamba, ukuran partikel maupun sudut curahnya. Hal ini terkait erat dengan kendali stabilitas beta karoten selama proses produksi maupun proses aplikasi dari aspek fisik bahan tepung ubi jalar ini.

Hipotesa

Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini menekankan pada perbaikan proses produksi, berupa tahap perendaman dengan salah satu bahan pelindung/antioksidan sebelum tahap pengeringan, akan mampu meminimalkan penurunan kadar beta karoten tepung ubi jalar secara signifikan dari kadar awal bahan bakunya.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi-informasi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan beta karoten sehingga mampu menjadi pertimbangan awal pada pengolahan tepung ubi jalar secara industri maupun industri rumah tangga dalam rangka pengembangan komoditas lokal.

TINJAUAN PUSTAKA

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.)

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) termasuk tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubikayu (Suismono 1995). Tabel 1 memperlihatkan bahwa terjadi kenaikan dan penurunan produksi setiap tahunnya akibat kenaikan maupun penurunan luas panen. Namun demikian hasil per hektar lahan tanam menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (periode 2000-2004), artinya terjadi optimalisasi lahan yang mampu meningkatkan hasil per hektar luas tanam.

Tabel 1. Produksi dan distribusi panen ubi jalar per tahun

Peningkatan hasil ini mendorong pemanfaatan komoditi ubi jalar menjadi bahan baku berbagai produk pangan. Berbagai produk ubi jalar yang dapat dikembangkan antara lain adalah produk-produk hasil pengembangan ubi jalar segar (seperti ubi yang dipanggang dalam oven), produk ubi jalar siap santap, produk ubi jalar siap masak, dan produk ubi jalar setengah jadi untuk bahan baku makanan (Juanda & Cahyono 2000).

Sebelum ubi jalar diolah menjadi beberapa produk turunannya tersebut perlu diketahui terlebih dahulu sifat-sifat morfologi, histologi maupun kandungan nutrisinya (Suismono 1995). Umbi tanaman ubi jalar memiliki ukuran, bentuk, warna kulit, dan warna daging bermacam-macam, tergantung varietasnya. Daging umbi tanaman ubi jalar ada yang berwarna putih, kuning, jingga dan ungu muda.

Bentuk umbi tanaman ubi jalar ada yang bulat, oval, dan bulat panjang. Selanjutnya jika bentuk umbi diketahui maka lama pengupasan dan perancangan

Periode tahun Produksi (ton) Luas panen (ha) Hasil/Ha (ku)

2000 1.827.687 194.262 94

2001 1.749.070 181.026 97

2002 1.771.642 177.276 99,94

2003 1.991.478 197.455 101

2004 1.901.802 184.546 103

alat pencucian dapat diperkirakan (Suismono 1995). Kulit umbi ada yang berwarna putih, kuning, ungu, jingga dan merah (Juanda & Cahyono 2000). Untuk kulit yang warnanya putih sampai kuning dapat diolah langsung sebab tanpa pengupasan tidak mempengaruhi produk, tetapi kulit umbi yang warnanya merah harus dilakukan pengupasan (Suismono 1995). Struktur kulit umbi tanaman ubi jalar juga bervariasi antara tipis sampai tebal dan bergetah antara bergetah sedikit sampai bergetah banyak (Juanda & Cahyono 2000).

Kulit ubi jalar dapat dibagi menjadi 4 bagian pokok yaitu kulit ari, lapisan getah, lapisan gabus, dan daging umbi (Gambar 1). Enzim polifenol oksidase, yang menyebabkan terjadinya pencoklatan atau browning bila ada luka pada umbi, terletak dalam phellogen (cork cambium), phelloderm dan getah ubi jalar.

A B

(Bauwkamp 1985) (reproduksi dari dokumentasi Hartana 1994) Keterangan gambar : ep = epidermis (kulit ari)

co = cortex (lapisan kulit getah) lac = lacuna

ca = cambium (lapisan gabus/kambium) par = parenkim

en = endodermis

xy, ph = xylem, phloem

Gambar 1. Bagian-bagian kulit dan daging umbi ubi jalar

Sedangkan daging umbi terdiri dari parenchyme dan serat (Suismono 1995). Dengan mengetahui susunan kulit dan daging umbi akan dapat diketahui teknik pengupasan yang benar agar tidak terjadi pencoklatan (browning) dan

berpengaruh pada rendemen tepung (Suismono 1995). Dari komposisi gizinya, ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan

mengandung karbohidrat sebesar 27,9 gram dan menghasilkan kalori sekitar 123 kalori tiap 100 gram bahan (lihat Tabel 2). Vitamin yang terkandung dalam ubi jalar adalah vitamin A, vitamin C, vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin), sedangkan mineral yang terkandung dalam ubi jalar adalah zat besi (Fe), fosfor (P), kalsium (Ca), dan natrium (Na). Kandungan gizi lain yang terdapat dalam ubi jalar adalah protein, lemak, serat kasar, kalori dan abu (Juanda & Cahyono 2000). Namun demikian, nilai gizi ubi jalar secara kualitatif maupun kuantitatif dipengaruhi oleh varietas, lokasi dan musim tanam (Suismono 1995).

Produksi vitamin yang tinggi pada ubi jalar belum banyak dikembangkan. Tabel 2 menunjukkan bahwa ubi jalar memiliki potensi vitamin A cukup tinggi (ubi jalar merah memiliki kadar vitamin A 7700 SI, setara dengan 2312 RE, dan ubi jalar kuning memiliki kadar vitamin A 900 SI setara dengan 270 RE, sedangkan Angka Kecukupan Gizi pria dewasa sebesar 700 RE/hari, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI). Namun demikian, ubi jalar memiliki kadar protein rendah yaitu sekitar 1,8 gram sehingga perlu penambahan sumber protein nabati lain dalam pembuatan produk makanan dari bahan ubi jalar.

Tabel 2. Komponen utama ubi jalar

Sumber : Direktorat Gizi Depkes R.I., 1981

Kadar /100 g bahan No Unsur gizi

Ubi putih Ubi merah Ubi kuning 1 Kalori (kal) 123 123 136 2 Protein (g) 1.8 1.8 1.1 3 Lemak (g) 0.7 0.7 0.4 4 Karbohidrat (g) 27.9 27.9 32.3 5 Kalsium (mg) 30 30 57 6 Fosfor (mg) 49 49 52 7 Besi (mg) 0.7 0.7 0.7 8 Natrium (mg) - - 5 9 Kalium (mg) - - 393 10 Niasin (mg) - - 0.6 11 Vitamin A (SI) 60 7700 900 12 Vitamin B1 (mg) 0.9 0.9 900 13 Vitamin B2 (mg) - - 0.4 14 Vitamin C (mg) 22 22 35 15 Air (g) 68.5 68.5 - 16 Bagian daging (%) 86 86 -

Selain kandungan gizi yang cukup lengkap, ubi jalar juga mengandung zat antigizi yaitu antitripsin, antikimotripsin dan rafinosa. Antitripsin dan antikimotripsin mampu menghambat aktivitas proteolitik enzim tripsin dan kimotripsin (Djuanda 2003). Namun kerja zat antigizi ini tidak akan aktif setelah bahan menjadi matang akibat pengolahan/pemanasan. Selain itu, ubi jalar juga mengandung senyawa-senyawa seperti ipomaemarone, furanoterpen, koumarin, dan polifenol yang menyebabkan rasa pahit. Senyawa-senyawa tersebut terbentuk dalam jaringan karena adanya luka serangan hama (Juanda & Cahyono 2000).

Tepung Ubi jalar

Salah satu pemanfaatan ubi jalar sebagai komoditas pangan adalah dalam bentuk tepung. Ubi jalar diubah menjadi tepung atau pati, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku industri alkohol, sirup, maltosa, glukosa, fruktosa, bahan perekat, biskuit, dan industri lainnya (Kadarisman 1985). Teknik pembuatan tepung ubi jalar merupakan salah satu jenis pengolahan yang penting, hal ini disebabkan tepung ubi jalar dapat disimpan lebih lama dan lebih luas penggunaannya dalam pembuatan berbagai jenis makanan (Santosa dkk. 1994).

Tepung ubi jalar merupakan bentuk produk olahan setengah jadi dari umbi ubi jalar. Pembuatan tepung ubi jalar di tingkat petani dapat dilakukan dengan membuat chip ubi jalar kering. Pengertian chip kering dan tepung ubi jalar adalah produk ubi jalar yang berbentuk irisan umbi yang dikeringkan lalu ditepungkan. Secara umum, tahap pembuatan tepung ubi jalar adalah tahap pencucian, pengupasan, perlakuan blanching, pengirisan, perendaman, pengeringan dan penepungan (Suismono 1995). Perlakuan tambahan yang dapat dipertimbangkan adalah pengepresan untuk mengurangi kadar air sehingga dapat mempercepat pengeringan.

Pencucian bertujuan untuk membersihkan umbi dari kotoran dan tanah. Proses ini disertai proses sortir terhadap hama ubi jalar yang biasanya ditandai dengan adanya lubang-lubang kecil pada umbi maupun luka memar atau kepoyohan.

Pengupasan dilakukan untuk mendapatkan kualitas bahan baku yang benar- benar bagus, karena sebenarnya tanpa pengupasan pun masih dapat diterima oleh panelis pada uji organoleptik baik warna maupun aromanya. Namun demikian, kadar mikroba, kapang/khamir lebih banyak ditemukan pada produk yang tidak dikupas daripada yang dikupas (Suismono 1995). Jika dilakukan pengupasan akan terlihat jelas adanya penyimpangan mutu (biasanya berupa lubang atau warna daging yang berbeda) sehingga dapat diupayakan untuk di-trimming ataupun dibuang.

Perlakuan blanching (70-1050C) adalah pemanasan cepat untuk menginaktivasi enzim dan menstabilkan bahan pangan melawan perusakan selama penyimpanan jangka panjang. Blanching dapat dilakukan dalam air, uap, atau menggunakan energi mikrowave (Kidmose 2002).

Pengirisan adalah proses pengecilan ukuran yang bertujuan untuk mempercepat pengeringan dan mempermudah proses pengepresan serta penepungan. Pengirisan dapat dilakukan secara manual maupun menggunakan alat seperti slicer, pencacah sawut dan lain-lain.

Tahap berikutnya adalah persiapan pengeringan. Ada beberapa metode pengolahan ubi jalar yang melakukan tahap perendaman pada larutan sulfit sebelum pengeringan. Senyawa sulfit yang biasa digunakan adalah SO2, SO32-, HSO3-, atau S2O52-. Reaksi bisulfit dengan kelompok karbonil dari gula pereduksi serta komponen lain yang berperan dalam pencoklatan berlangsung secara dapat balik (reversible). Dengan demikian proses pencoklatan dapat dihambat. Tetapi hasil reaksi ini juga diduga mampu menghilangkan kromofor karbonil dalam struktur melanoidin sehingga menyebabkan efek bleaching pada pigmen. Proses pengikatan bisulfit dengan kelompok hidroksil juga dapat berlangsung secara tidak dapat balik (irreversible) membentuk sulfonat. Selain itu penggunaan sulfit atau metabisulfit dengan disemprot atau direndam memberi kontrol efektif terhadap enzim pencoklatan dalam hal ini enzim yang mengkatalis proses oksidasi senyawa fenolik (misal enzim fenolase atau polifenol oksidase) (Lindsay 1996).

Tahap produksi berikutnya adalah pengeringan. Pengeringan terjadi melalui penguapan cairan dengan pemberian panas ke bahan basah. Pengeringan adalah

operasi rumit yang melibatkan perpindahan massa dan panas sehingga menyebabkan perubahan mutu produk (Devahastin 2000). Dibandingkan pengering alami (dengan sinar matahari), pengering buatan memiliki lebih banyak keuntungan, misalnya bahan yang dikeringkan akan lebih seragam mutunya, cepat prosesnya serta terhindar dari bahan asing yang tidak diinginkan, karena dapat dikontrol kondisi lingkungannya.

Tepung ubi jalar merupakan hasil penepungan chip atau irisan ubi jalar kering. Penepungan yang dilakukan harus memperhatikan jenis dan teknologi mesin penepung berdasarkan tingkat kehalusan dan kapasitas produksi (Suismono 1995).

Standar mutu tepung ubi jalar belum ada. Namun bila ditinjau dari komponen mutu tepung umbi-umbian seperti pada tepung ubi kayu (SII tepung kasava N.2462-1991) meliputi : keadaan (bau, rasa, warna), benda asing, derajat putih, pati, cemaran logam (Pb, Cu, Zn, Hg dan As) serta cemaran mikroba (E.coli

dan kapang), maka komponen mutu tepung di atas secara garis besar terdiri dari sifat fisik, kimia, dan mikrobiologis (Suismono 1995). Sementara kluster ubi jalar di Bogor Barat memiliki spesifikasi produk yaitu kadar air maksimal 6% dan total mikroba sebanyak 103 koloni/ml (Syah 2005).

Karotenoid dan Beta Karoten

Ubi jalar terutama yang berdaging umbi warna merah hingga kuning diketahui mengandung banyak karotenoid terutama beta karoten (Bauernfeind & Klaul 1981; Gross 1991). Purcell (1962) melakukan analisis karotenoid secara detail pada ubi jalar kuning jenis Goldrush dan ada 7 pigmen yang teridentifikasi yaitu phytoene (2,6%), phytofluene (0,8%), β-karoten (89,9%), ζ-karoten (1,2%),

β-karoten 5,8-epoksi (2,5%), γ-karoten (0,7%) dan hidroksi ζ- karoten (0,5%). Pada tahun 1970, Sweeney dan Marsh menyatakan bahwa fraksi karoten dalam ubi jalar adalah campuran all trans β-karoten (96,7%), neo-β-karoten B (0,1%), dan neo β-karoten U (3,2%). Woolfe (1992) menyebutkan bahwa lebih dari 89% total karoten pada ubi jalar oranye adalah beta karoten. Disebutkannya pula bahwa

ubi jalar memiliki dasar genetis yang sangat luas dengan variabilitas yang luar biasa sehingga belum ada bukti atau cara yang akurat untuk menunjukkan varietas ubi jalar mana yang kaya beta karoten.

Karrer dan Jucker (1950) dalam Muchtadi (1992) mendefinisikan karotenoid atas persetujuan Unit Internationale de Chimie, sebagai suatu zat warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang pada umumnya disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5, serta diantaranya terdapat ikatan ganda terkonjugasi.

Menurut Association of Vitamin Chemistry, London dalam Method of Vitamin Assay, secara umum karotenoid mempunyai sifat fisik dan kimia sebagai berikut :

• Larut dalam lemak

• Larut dalam kloroform, pewarna, karbon disulfida, petroleum eter

• Sukar larut dalam alkohol

• Sensitif terhadap oksidasi

• Auto oksidasi

• Stabil terhadap panas di dalam udara bebas oksigen kecuali untuk beberapa perubahan stereo isometrik

• Punya spektrum serapan yang spesifik

Meyer (1973) menjelaskan bahwa karotenoid dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu :

1. Karoten merupakan karotenoid hidrokarbon C40H56, yaitu alfa, beta dan gamma karoten serta likopen

2. Xantofil dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan hidroksil. Contoh : kriptoxantin dan lutein

4. Asam karotenoid, yaitu derivat karoten yang mengandung gugus karboksil

Sedangkan Bielsen (1994) hanya menggolongkan pigmen karotenoid ini menjadi 2 kelompok besar saja yaitu hydrocarbon carotenes dan oxygenated

xanthophylls. Dari suatu survey dasar diketahui bahwa vitamin A hanya ditemukan di

makanan hewani berupa daging, hati, hingga telur. Vitamin A tidak ditemukan di makanan nabati, namun demikian tumbuhan mampu membentuk atau mensintesa senyawa karotenoid, yang merupakan prekursor vitamin A. Prekursor vitamin A ini merupakan pigmen warna kuning hingga merah yang dapat ditemukan pada daun atau buah dan sayuran. Karotenoid tersebut biasanya berupa beta karoten, alpha karoten, cryptoxanthin, lutein, zeaxanthin, dan likopen. Diantara jenis karotenoid yang ada, beta karoten memiliki aktivitas vitamin A (retinol) yang lebih besar ( Low et al. 1997). Hal ini akan tampak lebih jelas pada Gambar 2 yang menunjukkan bahwa beta karoten mampu membentuk 2 retinol di dalam mukosa usus, sedangkan jenis karotenoid yang lain (Gambar 3) hanya mampu membentuk paling tidak 1 retinol atau tidak sama sekali.

Gambar 2. Pengubahan beta karoten menjadi 2 retinol (Hassan 1987, Muchtadi 1992)

Karakterisasi beta karoten menurut Bauernfeind & Klaul (1981) terutama adalah sifatnya yang tidak larut dalam air, ethanol, methanol namun larut dalam minyak sayur dan memiliki titik leleh dalam kisaran 178 –184 oC.

Stabilitas Beta Karoten

Beta karoten sebagaimana karotenoid lain di alam, sebagian besar berupa hidrokarbon yang larut dalam air dan lemak, serta berikatan dengan senyawa yang strukturnya menyerupai lemak. Adanya struktur ikatan rangkap pada molekul beta karoten (11 ikatan rangkap pada 1 molekul beta karoten) menyebabkan bahan ini mudah teroksidasi ketika terkena udara. Menurut Walfford (1980) oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangaan. Oksidasi dapat terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda. Pengaruh suhu terhadap oksidasi pada karotenoid dikemukakan oleh Worker (1957) dalam Muchtadi (1992) yaitu bahwa karotenoid belum mengalami kerusakan karena pemanasan pada suhu 600 C, sedangkan Mc Weeny (1968) berpendapat bahwa reaksi oksidasi karotenoid berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi terutama jika terdapat prooksidan.

Marty dan Berset (1990) melakukan penelitian dengan beta karoten all trans

sintetis dan menyatakan bahwa ketahanan molekul tersebut pada suhu tinggi dipengaruhi oleh kondisi medium. Pemanasan yang lama pada suhu 1800 C (pada kondisi tanpa oksigen) hanya menyebabkan sedikit kerusakan pada molekul ini, namun pada bahan pangan (dengan adanya komponen penyusun berupa pati, lemak, air dan lain-lain) serta dikombinasikan dengan pencampuran secara mekanis akan memberi kesempatan masuknya oksigen dan menyebabkan kerusakan molekul beta karoten all trans ini lebih besar hingga jauh lebih besar lagi.

Perubahan struktur beta karoten khususnya maupun karotenoid pada umumnya selama pengolahan dan penyimpanan dapat terjadi melalui beragam jalur, tergantung pada kondisi proses reaksinya.

Beberapa macam kerusakan karotenoid yang mungkin terjadi : 1. Kerusakan pada suhu tinggi

Eskin (1979) menyebutkan bahwa karotenoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi yaitu melalui degradasi thermal sehingga terjadi dekomposisi karotenoid yang mengakibatkan turunnya intensitas warna karoten atau terjadi pemucatan warna. Hal ini terjadi dalam kondisi oksidatif.

2. Oksidasi

Eskin (1979) menyebutkan pula bahwa oksidasi dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu oksidasi enzimatis dan oksidasi non enzimatis. Oksidasi enzimatis dikatalis oleh enzim lipoksigenase. Hasil proses oksidasi ini berupa hidroksi beta karoten, semi karoten, beta karotenon, aldehid, dan hidroksi beta neokaroten yang menyebabkan penyimpangan citarasa. 3. Isomerisasi

Bentuk all trans memberikan warna kuat. Makin banyak ikatan cis, warna makin terang. Rantai poliene pada karoten bertanggung jawab akan ketidakstabilan karoten seperti kepekaannya terhadap oksidasi oleh oksigen dan peroksida, penambahan elektrofil (H+ dan asam Lewis), isomerisasi E/Z oleh panas, cahaya dan bahan kimia (Britton, Jensen, & Pfander 1995)

Khusus pada kerusakan beta karoten selama pengolahan dapat dinyatakan,

Dokumen terkait