Halaman 1 Bagan alir kerangka pemikiran ... 9 2 Prinsip segitiga api... 15 3 Batas administrasi Kabuaten Bengkalis ... 24 4 Bagan alir kegiatan penelitian ... 29 5 Tahapan pengolahan data spasial ... 32 6 Tahapan verifikasi data hotspot... 33 7 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak dari
jaringan jalan ... 36 8 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak
dari jaringan sungai ... 37 9 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak
dari pusat desa... 38 10 Peta sebaran hotspot pembangun model pada tipe tutupan lahan
dan vegetasi... 39 11 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas ketebalan gambut ... 40 12 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas tingkat kehijauan
vegetas i... 41 13 Perbandingan sebaran data jarak titik hotspot stasiun pengamat
JICA dan ASMC terhadap titik hotspot di lapangan ... 47 14 Sebaran data nilai total skor kerawanan kebakaran ... 66 15 Jumlah hotspot pada setiap kelas kerawanan kebakaran... 68 16 Persentase jumlah hotspot pada setiap kelas kerawanan... 68 17 Persentase jumlah hotspot tahun 2004 (hotspot validasi) pada setiap
kelas kerawanan ... 69 18 Persentase jumlah hotspot tahun 2003 pada setiap kelas kerawanan ... 69 19 Persentase jumlah hotspot tahun 2002 pada setiap kelas kerawanan ... 70 20 Luas areal kelas kerawanan kebakaran ... 71 21 Persentase luas kelas kerawanan kebakaran terhadap total luas
wilayah Kabupaten Bengkalis ... 71 22 Persentase luas setiap kelas jarak dari jaringan jalan pad a kelas
23 Persentase luas tipe tutupan lahan dan vegetasi pada kelas kerawanan sangat rawan ... 73 24 Persentase luas tingkat kehijauan vegetasi pada kelas kerawanan
sangat rawan ... 73 25 Persentase luas kelas kedalaman gambut pada kelas kerawanan kebakaran
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan gambut Kabupaten Bengkalis .... 81
2 Jarak hotspot ASMC dan JICA terhadap hotspot hasil ground check d i
lapangan ... 82
3 Data hotspot tahun 2004 stasiun ASMC yang digunakan sebagai
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta memelihara keanekaragaman hayati. Luas lahan gambut di Indonesia menempati peringkat keempat di dunia setelah Canada, Rusia dan Amerika Serikat. Tipe lahan gambut di Indonesia merupakan tipe lahan gambut tropis dimana lebih dari 50% gambut tropis berada di Indonesia atau meliputi 10,8% wilayah Indonesia (Noor & Suryadiputra 2005). Tipe ekosistem ini menyebar di Pulau Kalimantan seluas 6,3 juta hektar, Sumatera 8,9 juta hektar dan Pap ua 10,9 juta hektar. Sedangkan menurut Noor (2002) luas lahan gambut di Indonesia sekitar 18,4 juta hektar. Khusus untuk Pulau Sumatera, Provinsi Riau memiliki luasan lahan gambut terbesar dengan luas lebih dari 4 juta hektar dengan kedalaman gambut yang bervariasi hingga dapat mencapai kedalaman 12 meter.
Kegiatan pemanfaatan dan perlindungan lahan gambut termasuk hutan di dalamnya telah diatur pemerintah dalam berbagai produk peraturan dan perundangan -udangan antara lain: UUD 45, Kepres No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, PP No. 27 tahun 1991 tentang Rawa, UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Namun kenyataan yang dihadapi adalah gangguan terhadap sumberdaya lahan gambut tidak dapat dihentikan dan terus saja berlangsung, bahkan intensitas gangguan semakin meningkat. Lahan gambut di Provinsi Riau juga tidak luput dari berbagai bentuk gangguan,dari 4,5 juta hektar lahan gambut yang dimiliki Provinsi Riau, sebanyak 1,3 juta hektar lahan tersebut saat ini dalam kondisi rusak, akibat pemanfaatan lahan yang tidak terencana dengan baik (Anonim 2006).
Salah satu bentuk gangguan serius yang terus terjadi adalah kejadian kebakaran. Kebakaran lahan telah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia dengan jumlah kerugian yang sangat besar. Kebakaran yang terjadi pada lahan gambut disinyalir sebagai akibat kegiatan pembukaan lahan baik dalam skala kecil maupun besar yang secara langsung menggunakan api untuk kegiatan land clearing dan secara tidak langsung mengakibatkan gambut menjadi semakin rentan terhadap kebakaran karena perubahan sifat fis ik gambut menjadi kering dan tidak mampu lagi menyerap air. Kebakaran pada lahan gambut menyebabkan terjadinya pelepasan karbon yang sangat besar ke atmosfer dan menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca yang sangat besar dan berpengaruh pada penurunan kualitas lingkungan. Kebakaran lahan gambut seluas satu hektar dapat menghasilkan 25 sampai 50 ton karbon (Prabowo 2005).
Beberapa tahun terakhir kebakaran lahan gambut terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang tergolong besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998. Pada tahun 1997/1998 di Indonesia, kebakaran telah menghanguskan lahan sekitar 11,7 juta hektar (Soeriaatmadja, 1997) dan telah menghasilkan emisi karbon sebesar 0,81 – 2,57 Gt6 (Chokkalingam 2004 )
Untuk mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan diperlukan dukungan teknologi yang mampu memberikan informasi yang cepat, tepat dan akurat serta dapat melingkup areal yang luas. Salah satu teknologi yang menjadi alternatif adalah teknologi remote sensing. Penggunaan remote sensing telah cukup mampu memberikan kemudahan bagi stakeholder dalam memantau dan memperkirakan kejadian kebakaran yang telah terjadi, sedang terjadi maupun perkiraan kejadian kebakaran pada waktu mendat ang serta dapat mengetahui perubahan lingkungan yang terjadi akibat kebakaran selama kurun waktu tertentu.
Keberadaan satelit NOAA merupakan salah satu teknologi yang sering dimanfaatkan oleh berbagai lembaga maupun pihak -p ihak terkait untuk memantau kejadian kebakaran hutan dan lahan, namun sering kali setiap lembaga memiliki perbedaan data baik dalam jumlah hotspot maupun posisi hotspot di permukaan bumi. Hal ini disebabkan karena stasiun pengamatan hotspot yang dijadikan rujukan oleh setiap lembaga berb eda-beda, kenyataan inilah yang seringkali
menimbulkan kurangnya koordinasi dari setiap lembaga terkait dalam menyusun rencana-rencana pengendalian kebakaran lahan khususnya di Indonesia.
Disinyalir bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia secara umum disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk berbagai bentuk usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan (perladangan berpindah, perkebunan, HTI dan HPH). Beberapa studi menunjukkan, bahwa hanya sebagian kecil kebakaran disebabkan oleh faktor-faktor di luar kegiatan penyiapan lahan. Kebakaran lahan gambut ini tentunya didukung oleh beberapa faktor lingkungan seperti iklim, kondisi vegetasi dan faktor lingkungan fisik lainnya, juga didukung pula oleh faktor infrastruktur yang dapat meningkatkan interaksi manusia dengan lahan gambut. Faktor lingkungan fisik dan infrastruktur secara umum dapat digambarkan menggunakan teknologi penginderaan jauh.
Penelitian-penelitian tentang kebakaran lahan gambut yang telah dilakukan pada dasarnya telah menggunakan faktor lingkungan fisik, iklim dan infrastruktur baik secara terpisah maupun terintegrasi untuk menduga terjadinya kebakaran, namun nampaknya setiap lokasi penelitian memiliki perbedaan faktor-faktor utama yang mendukung terjadinya kebakaran tersebut. Kondisi yang berbeda dari setiap daerah menyebabkan perlu dilakukan penelitian secara khusus agar kegiatan pengendalian kebakaran yang akan dan sedang dilakukan dapat berjalan dengan efektif dan efisien sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan untuk mengkaji kebakaran di lahan gambut dari aspek lingkungan dan infrastruktur pada wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis yang merupakan salah satu daerah yang tergolong sebagai daerah yang selalu mengalami kebakaran lahan gambut setiap tahun. Penelitian ini akan sangat penting artinya bagi kegiatan pengendalian kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis, dimana kejadian kebakaran yang terjadi setiap tahun menimbulkan dampak ekologi yang sangat besar yakni penu runan fungsi lahan gambut sebagai konservasi air dan penyerap karbon. Disamping itu sangat penting juga artinya bagi hubungan ekonomi maupun politik antar bangsa khususnya di kawasan ASEAN, dimana negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura selalu mendapatkan kiriman asap sebagai akibat kebakaran yang juga terjadi pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis yang memililiki wilayah yang paling dekat
dengan kedua negara tetangga tersebut. Pada peristiwa El-Nino tahun 1997/1998, 60 persen kabut asap pada wilayah Asia Tenggara terjadi karena kebakaan lahan basah di Indonesia (Chokkalingam 2004)
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :
- Menganalisis informasi data hotspot dua stasiun pengamat [JICA (Japan International Cooperation Agency) dan ASMC (ASEAN Specialised Meteorological Center)] sebagai rujukan bagi pembangunan model spasial dan kegiatan pengendalian kebakaran di lahan gambut
- Mengkaji faktor-faktor utama pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.
- Menganalisis hubungan aspek lingkungan fisik dan infrastruktur terhadap kejadian kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.
- Menentukan model spasial kerawanan kebakaran lahan gambut pada wilayah Kabupaten Bengkalis
- Membuat peta zone kerawanan kebakaran lahan gambut Kabupaten Bengkalis
Perumusan Masalah
Kebakaran pada lahan gambut merupakan fenomena yang selalu terjadi setiap tahun di Indonesia. Secara umum kebakaran lahan gambut terjadi secara periodik yaitu pada akhir musim kemarau atau menjelang datangnya musim hujan dimana masyarakat dan perusahaan HPH dan perkebunan memulai kegiatan penyiapan lahan. Kebakaran lahan gambut menimbulkan kerusakan fisik secara langsung pada gambut terutama disebabkan oleh sifat irreversible yang dimiliki oleh gambut. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya peluang terjadinya bencana alam banjir pada musim hujan dan penurunan kesuburan lahan gambut itu sendiri.
Kebakaran pada lahan gambut sangat sulit dideteksi terutama pada jenis kebakaran di bawah permukaan. Kebakaran bawah permukaan ini memiliki pergerakan api yang sangat lambat dan menyebar ke segala arah karena tidak ada pengaruh angin serta tidak terlihat adanya nyala api sehingga sulit untuk
dipadamkan. Kebakaran bawah permukaan akan menimbulkan kerusakan dan kematian pada akar tanaman yang berarti kematian pula bagi tanaman itu sendiri. Asap merupakan hasil dari proses pembakaran yang menimbulkan berbagai dampak negatif baik secara nasional maupun regional. Kebakaran gambut adalah sumber terbesar polusi asap. Hal ini disebabkan pada kebakaran gambut terjadi proses smoldering yang menghasilkan asap dalam jumlah besar. Dampak negatif dari polusi asap ini antara lain gangguan kesehatan berupa inpeksi saluran pernapasan, mata dan lain -lain, gangguan navigasi transportasi darat, laut dan udara, menurunkan produktifitas manusia dan berbagai dampak lainnya. Kebakaran di lahan gambut juga merupakan penghasil gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida, karbon monoksida, metana, hidrokarbon, non-metana dan nitrogen oksida. Diperkirakan kebakaran yang terjadi pada lahan gambut menyumbang karbon sebanyak 13 – 40 % dari total pengeluaran karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar setiap tahunnya (Miettinen 2004). Episode kebakaran tahun 1997/1998, Indonesia menyumbang karbon sebanyak 2,6 miliar ton yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan seluas lebih dari 10 juta hektar yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil karbon terbesar di dunia.
Upaya pencegahan kebakaran lahan telah cukup banyak dilakukan oleh pihak terkait baik melalui penerapan peraturan dan perundang-undangan maupun pemanfaatan berbagai bentuk teknologi diantaranya adalah pemanfaatan satelit untuk memantau posisi atau lokasi terjadinya kebakaran di permukaan bumi. Di Indonesia pemanfaatan informasi dari satelit ternyata menimbulkan perbedaan persepsi dari berbagai lembaga terkait dalam memantau kejadian kebakaran dikarenakan adanya perbedaan rujukan dari masing-masing lembaga dalam memperoleh data kebakaran (hotspot).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka sangat diperlukan upaya-upaya dini untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut untuk menghidari berbagai dampak negatif yang telah diketahui menimbulkan kerugian yang sangat besar baik dalam bidang sosial, ekonomi dan ekologi melalui pendekat an berbagai faktor penyebab dan pendukung terjadinya kebakaran di lahan gambut. Berdasarkan beberapa penelitian, kebakaran lahan gambut di Indonesia disinyalir
lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Menurut (Saharjo dan Husaeni 1998, diacu dalam Soewarso 2003) kebakaran karena proses alam sangat kecil dan sebagai contoh untuk kasus Kalimantan kurang dari 1%. Walaupun demikian, belum diketahui dengan pasti faktor-faktor apa saja yang signifikan sebagai pemicu kebakaran lahan gambut khususnya di Indonesia baik dari segi manusia maupun lingkungan fisiknya. Disamping itu untuk mengoptimalkan upaya pengendalian kebakaran lahan gambut diperlukan informasi yang akurat tentang kejadian kebakaran lahan gambut yang tentunya harus didapatkan dari rujukan yang tepat. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mencoba untuk menjawab permasalahan antara lain: - Sumber informasi apa yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam membangun
perencanaan dan usaha pengendalian kebakaran lahan gambut.
- Faktor-faktor lingkungan fisik apa saja yang menjadi faktor utama pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.
- Apakah aspek infrastruktur dapat menjadi pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut dan faktor-faktor apa saja dari aspek infrastruktur yang menjadi pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis
- Bagaimanakah hubungan antara masing -masing faktor dan pengaruhnya dalam mendukung terjadinya kebakaran lahan gambut.
Kerangka Pemikiran
Lahan gambut di Indonesia telah diusahakan dan dimanfaatkan oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk bertani maupun berburu. Pada akhir-akhir ini, pemanfaatan lahan gambut oleh manusia menunjukkan tingkat pemanfaatan yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya degradasi lahan gambut baik fungsi maupun luasannya.
Degradasi luas hutan pada lahan gambut dapat dilihat dari berkurangnya tegakan hutan gambut karena kegiatan konversi lahan dan pembalakan liar yang terus berlangsung hingga saat ini. Sementara degradasi fungsi lahan gambut pun tak dapat dielakkan. Dalam keadaan normal, lahan gambut memiliki peran yang sangat besar terhadap pembenaman karbon. Dengan luasan hanya 3% dari permukaan bumi, lahan gambut ternyata mengandung 20%-35% dari semua
karbon yang terdapat di permukaan bumi (Anonim 2003). Peran penting gambut lainnya adalah dalam hal konservasi air. Gambut memiliki peran yang sangat besar dalam menyerap dan menyimpan air selama musim hujan dan pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya. Hal ini penting artinya untuk mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan kelangkaan air pada usim kemarau. Kemampuan gambut dalam mengkonservasi air dapat berubah jika terjadi pengeringan terhadap gambut baik disebabkan oleh konversi, penebangan maupun pembakaran. Pengeringan dapat mengubah sifat gambut hidrofil (menyukai air) menjadi hidrofob (tidak menyukai air) sehingga air yang telah hilang tidak dapat dikembalikan seperti kondisi sebelumnya.
Berubahnya sifat gambut dari hidrofil menjadi hidrofob menyebabkan lahan gambut menjadi rentan terhadap bahaya kebakaran apalagi didukung oleh perilaku manusia yang cenderung menggunakan api untuk membuka dan menyiapkan lahan (land clearing) baik dalam skala kecil (perladangan) hingga skala besar (perkebunan dan HTI) yang saat ini masih terus berlangsung.
Melihat kondisi lahan gambut Indonesia saat ini yang rentan terhadap bahaya kebakaran terutama yang disebabkan oleh kegiatan pembukaan lahan dan illegal logging, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan membuat berbagai peraturan dan undang-undang untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan gambut yang lebih luas. Namun peraturan dan undang-undang tersebut nampaknya belum efektif dalam mengurangi kejadian kebakaran lahan gambut. Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan informasi tentang faktor-faktor pemicu kebakaran lahan gambut itu sendiri serta belum adanya kesepakatan dari berbagai lembaga yang terkait untuk menggunakan stasiun pengamat kebakaran tertentu sebagai rujukan yang paling baik untuk memperoleh informasi tentang kejadian kebakaran di lahan gambut.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mencoba untuk mengkaji dua stasiun pengamat kebakaran yaitu JICA dan ASMC yang umum digunakan oleh lembaga-lembaga di Indonesia dalam memantau kejadian kebakaran hutan dan lahan. Hasil analisis baik secara spasial dan statistik diharapkan diperoleh satu rujukan yang terbaik untuk mendapatkan informasi kejadian kebakaran di lahan gambut yang tepat dan akurat yang akan dijadikan sebagai dasar pembangunan
model spasial. Selain itu penelitian ini juga mencoba mengkaji faktor-faktor yang diduga sebagai pendukung terjadinya kebakaran di lahan gambut dimana batasan kajian pada faktor-faktor dari aspek lingkungan fisik dan infrastruktur. Kedua aspek tersebut merupakan faktor prediktor yang berhubungan satu sama lain sehingga kajian akan dilanjutkan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan setiap komponen dari kedua aspek dalam menimbulkan kebakaran di lahan gambut. Kebakaran lahan gambut dalam penelitian ini dijadikan sebagai variabel respon.
Hasil analisis baik spasial maupun stastistik dari komponen prediktor diharapkan mampu mendapatkan beberapa faktor utama yang memiliki pengaruh yang signifikan atau cukup besar terhadap kejadian kebakaran di lahan gambut sehingga diperoleh model spasial kerawanan kebakaran lahan gambut sebagai masukan untuk melengkapi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah. antara lain: Keppres No. 23 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan PP No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran.
Manfaat Penelitian
Dengan diketahuinya faktor-faktor utama penyebab terjadinya kebakaran pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau serta diketahuinya stasiun pengamatan yang dinilai cukup baik sebagai rujukan dalam memantau kejadian kebakaran lahan gambut, maka penelitian ini akan memberikan manfaat dalam hal:
• Sebagai masukan dalam upaya mendeteksi secara dini kebakaran dan penyusunan sistem pengendalian kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
• Sebagai masukan bagi Pemda dan pihak terkait dalam menetapkan kebijakan dan peraturan pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
TINJAUAN PUSTAKA
Titik Panas (Hotspot)
Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dikanalingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital (JICA 2003). Indikasi kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration) yang memiliki teknologi AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Secara sederhana, satelit NOAA mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dikanaling suhu sekitarnya, suhu yang terdeteksi berkisar antara 310 oK (37oC) untuk deteksi malam hari dan 315 oK (42oC) untuk deteksi pada siang hari. Titik panas tersebut akan diproyeksik an menjadi suatu pixel pada sebuah peta (image) yang juga mewujudkan koordinat geografisnya. Suatu hotspot diyakini sebagai suatu kejadian kebakaran di permukaan bumi apabila hotspot tersebut terdeteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari berturut-turut atau lebih (LAPAN 2004).
Lokasi dan distribusi titik panas ditentukan dengan memanfaatkan band 3 (inframerah sedang) dengan panjang gelombang 3,55 – 3,93 mm dan band 4 (inframerah panjang) dengan panjang gelombang 10,3 – 11,3 mm dari data AVHRR/NOAA-12 (LAPAN 2005). Anderson et al. (1999) menerangkan band 3 dalam wujud gelombang infra merah-tengah sangat sensitif terhadap emisi panas dan digunakan untuk memantau kebakaran. Titik api yang berpotensi sebagai kejadian kebakaran muncul pada citra dalam bentuk titik-titik hitam.
Di Indonesia terdapat beberapa stasiun penerima NOAA yaitu: MoF-EU di Palembang, MoF-JICA di Jakarta, MoF-GTZ di Samarinda dan LAPAN- Bappedal di Jakarta. Hidayat et al. (2003) menerangkan masing-masing stasiun pengamat memiliki nilai ambang (threshold) yang berbeda-beda dalam mendeteksi hotspot sebagai indikasi kejadian kebakaran. Nilai ambang yang digunakan oleh LAPAN untuk mendeteksi hotspot adalah:
Tabel 1 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat LAPAN
Parameter Nilai Ambang
(oK) Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi
sebagai kebakaran
322.0
Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang terdeteksi sebagai kebakaran
20.0
Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan 245.0
Suhu amb ang albedo band 1 25.0
Perbedaan suhu band 1 dan band 2 1.0
Pengamatan terhadap titik hotspot pada stasiun pengamat LAPAN hanya dilakukan pada siang hari sementara pada stasiun pengamat ASMC dan JICA dilakukan pada siang dan malam hari. Adapun nilai ambang yang digunakan oleh ASMC seperti terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan malam hari
Parameter (pengelolaan data NOAA malam hari) Nilai Ambang (oK) Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi
sebagai kebakaran
314.0
Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang terdeteksi sebagai kebakaran
15.0
Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan 245.0
Suhu ambang albedo band 1 25.0
Perbedaan suhu band 1 dan band 2 1.0
Tabel 3 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan siang hari
Parameter (pengelolaan data NOAA siang hari) Nilai Ambang (oK) Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi
sebagai kebakaran
320.0
Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang terdeteksi sebagai kebakaran
15.0
Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan 245.0
Suhu ambang albedo band 1 25.0
Perbedaan suhu band 1 dan band 2 1.0
Nilai ambang yang digunakan JICA adalah 315 oK (42oC) pada siang hari dan 310 oK (37oC) pada malam hari.
Karakteristik dan Fungsi Lahan Gambut
Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan hanya sedikit mengalami perombakan.
Lahan gambut terbentuk dimana tanaman-tanaman yang tergenang oleh air terurai secara lambat. Gambut yang terbentuk terdiri dari bebagai bahan organik tanaman yang membusuk dan terdekomposisi pada berbagai tingkatan. Ciri khas dari suatu lahan gambut adalah kandungan akan bahan organik yang tinggi dimana persentasenya dapat mencapai lebih dari 65%.
Tanah gambut tergolong kelompok tanah organik bersama-sama dengan