• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spatial Modelling on Susceptibility of Fires in Peatland, a Case Study in District of Bengkalis, Riau Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spatial Modelling on Susceptibility of Fires in Peatland, a Case Study in District of Bengkalis, Riau Province"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN SPASIAL

KERAWANAN KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT:

STUDI KASUS KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU

MUSTARA HADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

MUSTARA HADI. Spatial Modelling on Susceptibility of Fires in Peatland, a Case Study in District of Bengkalis, Riau Province. Under the advisory of LILIK BUDI PRASETYO and LAILAN SYAUFINA.

Peatland is one of ecosystem types in Indonesia which plays important role in maintaning terrestrial carbons, hydrological cycles and preserving biodiversity. Recently, most of the peatland (forest and non forest) has been degraded. One of the causes of degradation is fire.

This study was conducted to establish a model and map of peat fire risk in District of Bengkalis, Riau Province. The model was established by hotspot distribution as an indicator of fire occurrences . Environmental and infrastructure aspects were employed as supportive factors to fire. Factors which were used to describe the environmental aspect were landcover and vegetation types, peat depth, and greenness level of vegetation. Factors of infrastructure aspect were the distance of fire occurrences with road network, distance to the river network and to the center of villages. Weighting and scoring were the basis of model development using the method of Complete Mapping Analysis (CMA).

The model suggested that peat fire is more strongly affected by infrastructure aspect when compared with environmental aspect with the weight of 0.658 and 0.342 respectively. This explains that fires occurred were triggered more by human factor rather than environmental factor. The chosen factor of infrastructure aspect is distance from occurenced fires of road network. The selected environmental aspects were landcover and vegetation types, peat depth and greenness level of vegetation. Seemingly, the distance of river and center of villages may not be the supportive factors of peat fires, as showed by the presence of hotspots in which found mostly in the area far from the river and village center. The model can explain the condition of average of fire occurrences with the validation of 80%. Therefore, it can be used as the referrence in developing and establishing of polic ies for peat fire prevention and suppression.

(3)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran d i Lahan Gambut: Studi Kasus Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau adalah karya ilmiah saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2006

(4)

PEMODELAN SPASIAL

KERAWANAN KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT:

STUDI KASUS KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU

MUSTARA HADI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Selong, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tanggal 18 April 1976 sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Ibu Hj. Sitti Nawwaroh dan Bapak H. Usman.

Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Selong, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2000 penulis diterima bekerja pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 ini ialah kebakaran, dengan judul Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran di Lahan Gambut: Studi Kasus Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

Penulis dalam kesempatan ini menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbin g yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses penelitian hingga penyelesaian penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. yang telah bersedia menjadi dosen penguji luar, Bapak Uus Syaifullah, Ibu Anita Zaitunah, rekan -rekan Pascasarjana IPB dan Brighten Institute yang telah banyak membantu serta menyediakan waktu untuk berdiskusi dalam proses pengolahan data.

Penulis menyadari dorongan moril maupun spiritual dari orang-orang terkasih telah banyak memberikan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, untuk itu penulis sampaikan ungkapan terima kasih yang mendalam kepada Bapak, Ibu, Apih, Mama (almarhumah) dan keluarga serta istri tercinta yang dengan sabar mendampingi, mendoakan dan membantu penulis dengan penuh kasih sayang selama penelitian, penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini.

Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2006

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xii

PENDAHULUAN... 1

TINJAUAN PUSTAKA Titik Panas (Hotspot) ... 10

Karakteristik dan Fungsi Lahan Gambut ... 12

Kebakaran di Lahan Gambut... 14

Penyebab Kebakaran Hutan di Lahan Gambut ... 17

Pengendalian Kebakaran di Lahan Gambut... 19

Sistem Satelit Landsat ... 20

Indeks Vegetasi ... 22

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 24

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

Metode Penelitian... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN A Verifikasi Data Hotspot... 46

B Klasifikasi Faktor Pendukung Kebakaran ... 48

C Sebaran dan Kerapatan Hotspot... 53

D Nilai Kerawanan ... 59

E Validasi Model... 68

F Analisis Tingkat Kerawanan Kebakaran Pada Wilayah Penelitian ... 70

SIMPULAN DAN SARAN ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat LAPAN ... 11

2 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan malam hari ... 11

3 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan siang hari ... 11

4 Luas hutan menurut jenis... 27

5 Hasil hutan menurut jenis ... 27

6 Klasifikasi faktor-faktor dari aspek infrastruktur... 35

7 Klasifikasi faktor-faktor dari aspek lingkungan fisik ... 35

8 Hasil analisis statistik jarak koordinat titik hotspot stasiun pengamat JICA dan ASMC terhadap koordinat titik hotspot di lapangan ... 46

9 Kelas jarak tempuh manusia di hutan dan lahan gambut dan luasannya terhadap jaringan jalan ... 48

10 Kelas jarak tempuh man usia di hutan dan lahan gambut dan luasannya terhadap jaringan sungai ... 49

11 Kelas jarak tempuh manusia di hutan dan lahan gambut dan luasannya terhadap pusat desa ... 49

12 Tipe tutupan lahan dan vegetasi serta luasannya pada wilayah penelitian ... 50

13 Kelas ketebalan lahan gambut dan luasannya pada wilayah penelitian ... 51

14 Klasifikasi tingkat kehijauan vegetasi dan luasannya dalam wilayah penelitian ... 53

15 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing kelas jarak dari jaringan jalan... 54

16 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing kelas jarak dari jaringan sungai... 54

17 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing kelas jarak dari pusat desa... 55

18 Hubungan kerapatan hotspot terhadap tipe tutupan lahan dan vegetasi... 56

19 Hubungan kerapatan hotspot terhadap ketebalan gambut ... 57

20 Hubungan kerapatan hotspot terhadap tingkat kehijauan vegetasi... 58

21 Nilai skor setiap subfaktor jarak dari jaringan jalan ... 60

(10)

23 Nilai skor masing -masing subfaktor kedalaman gambut ... 62

24 Nilai skor masing -masing subfaktor tingkat kehijauan vegetasi ... 63

25 Bobot relatif faktor-faktor pembangun model ... 63

26 Bobot relatif aspek infrastruktur dan lingkungan fisik ... 65

(11)

PEMODELAN SPASIAL

KERAWANAN KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT:

STUDI KASUS KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU

MUSTARA HADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

ABSTRACT

MUSTARA HADI. Spatial Modelling on Susceptibility of Fires in Peatland, a Case Study in District of Bengkalis, Riau Province. Under the advisory of LILIK BUDI PRASETYO and LAILAN SYAUFINA.

Peatland is one of ecosystem types in Indonesia which plays important role in maintaning terrestrial carbons, hydrological cycles and preserving biodiversity. Recently, most of the peatland (forest and non forest) has been degraded. One of the causes of degradation is fire.

This study was conducted to establish a model and map of peat fire risk in District of Bengkalis, Riau Province. The model was established by hotspot distribution as an indicator of fire occurrences . Environmental and infrastructure aspects were employed as supportive factors to fire. Factors which were used to describe the environmental aspect were landcover and vegetation types, peat depth, and greenness level of vegetation. Factors of infrastructure aspect were the distance of fire occurrences with road network, distance to the river network and to the center of villages. Weighting and scoring were the basis of model development using the method of Complete Mapping Analysis (CMA).

The model suggested that peat fire is more strongly affected by infrastructure aspect when compared with environmental aspect with the weight of 0.658 and 0.342 respectively. This explains that fires occurred were triggered more by human factor rather than environmental factor. The chosen factor of infrastructure aspect is distance from occurenced fires of road network. The selected environmental aspects were landcover and vegetation types, peat depth and greenness level of vegetation. Seemingly, the distance of river and center of villages may not be the supportive factors of peat fires, as showed by the presence of hotspots in which found mostly in the area far from the river and village center. The model can explain the condition of average of fire occurrences with the validation of 80%. Therefore, it can be used as the referrence in developing and establishing of polic ies for peat fire prevention and suppression.

(13)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran d i Lahan Gambut: Studi Kasus Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau adalah karya ilmiah saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2006

(14)

PEMODELAN SPASIAL

KERAWANAN KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT:

STUDI KASUS KABUPATEN BENGKALIS, PROVINSI RIAU

MUSTARA HADI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)
(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Selong, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tanggal 18 April 1976 sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Ibu Hj. Sitti Nawwaroh dan Bapak H. Usman.

Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Selong, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2000 penulis diterima bekerja pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 ini ialah kebakaran, dengan judul Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran di Lahan Gambut: Studi Kasus Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

Penulis dalam kesempatan ini menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbin g yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan selama proses penelitian hingga penyelesaian penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. yang telah bersedia menjadi dosen penguji luar, Bapak Uus Syaifullah, Ibu Anita Zaitunah, rekan -rekan Pascasarjana IPB dan Brighten Institute yang telah banyak membantu serta menyediakan waktu untuk berdiskusi dalam proses pengolahan data.

Penulis menyadari dorongan moril maupun spiritual dari orang-orang terkasih telah banyak memberikan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, untuk itu penulis sampaikan ungkapan terima kasih yang mendalam kepada Bapak, Ibu, Apih, Mama (almarhumah) dan keluarga serta istri tercinta yang dengan sabar mendampingi, mendoakan dan membantu penulis dengan penuh kasih sayang selama penelitian, penulisan dan penyusunan karya ilmiah ini.

Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2006

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xii

PENDAHULUAN... 1

TINJAUAN PUSTAKA Titik Panas (Hotspot) ... 10

Karakteristik dan Fungsi Lahan Gambut ... 12

Kebakaran di Lahan Gambut... 14

Penyebab Kebakaran Hutan di Lahan Gambut ... 17

Pengendalian Kebakaran di Lahan Gambut... 19

Sistem Satelit Landsat ... 20

Indeks Vegetasi ... 22

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 24

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

Metode Penelitian... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN A Verifikasi Data Hotspot... 46

B Klasifikasi Faktor Pendukung Kebakaran ... 48

C Sebaran dan Kerapatan Hotspot... 53

D Nilai Kerawanan ... 59

E Validasi Model... 68

F Analisis Tingkat Kerawanan Kebakaran Pada Wilayah Penelitian ... 70

SIMPULAN DAN SARAN ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat LAPAN ... 11

2 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan malam hari ... 11

3 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan siang hari ... 11

4 Luas hutan menurut jenis... 27

5 Hasil hutan menurut jenis ... 27

6 Klasifikasi faktor-faktor dari aspek infrastruktur... 35

7 Klasifikasi faktor-faktor dari aspek lingkungan fisik ... 35

8 Hasil analisis statistik jarak koordinat titik hotspot stasiun pengamat JICA dan ASMC terhadap koordinat titik hotspot di lapangan ... 46

9 Kelas jarak tempuh manusia di hutan dan lahan gambut dan luasannya terhadap jaringan jalan ... 48

10 Kelas jarak tempuh man usia di hutan dan lahan gambut dan luasannya terhadap jaringan sungai ... 49

11 Kelas jarak tempuh manusia di hutan dan lahan gambut dan luasannya terhadap pusat desa ... 49

12 Tipe tutupan lahan dan vegetasi serta luasannya pada wilayah penelitian ... 50

13 Kelas ketebalan lahan gambut dan luasannya pada wilayah penelitian ... 51

14 Klasifikasi tingkat kehijauan vegetasi dan luasannya dalam wilayah penelitian ... 53

15 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing kelas jarak dari jaringan jalan... 54

16 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing kelas jarak dari jaringan sungai... 54

17 Jumlah hospot kelas dan kerapatan hotspot terhadap luas masing-masing kelas jarak dari pusat desa... 55

18 Hubungan kerapatan hotspot terhadap tipe tutupan lahan dan vegetasi... 56

19 Hubungan kerapatan hotspot terhadap ketebalan gambut ... 57

20 Hubungan kerapatan hotspot terhadap tingkat kehijauan vegetasi... 58

21 Nilai skor setiap subfaktor jarak dari jaringan jalan ... 60

(20)

23 Nilai skor masing -masing subfaktor kedalaman gambut ... 62

24 Nilai skor masing -masing subfaktor tingkat kehijauan vegetasi ... 63

25 Bobot relatif faktor-faktor pembangun model ... 63

26 Bobot relatif aspek infrastruktur dan lingkungan fisik ... 65

(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan alir kerangka pemikiran ... 9

2 Prinsip segitiga api... 15

3 Batas administrasi Kabuaten Bengkalis ... 24

4 Bagan alir kegiatan penelitian ... 29

5 Tahapan pengolahan data spasial ... 32

6 Tahapan verifikasi data hotspot... 33

7 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak dari jaringan jalan ... 36

8 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak dari jaringan sungai ... 37

9 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak dari pusat desa... 38

10 Peta sebaran hotspot pembangun model pada tipe tutupan lahan dan vegetasi... 39

11 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas ketebalan gambut ... 40

12 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas tingkat kehijauan vegetas i... 41

13 Perbandingan sebaran data jarak titik hotspot stasiun pengamat JICA dan ASMC terhadap titik hotspot di lapangan ... 47

14 Sebaran data nilai total skor kerawanan kebakaran ... 66

15 Jumlah hotspot pada setiap kelas kerawanan kebakaran... 68

16 Persentase jumlah hotspot pada setiap kelas kerawanan... 68

17 Persentase jumlah hotspot tahun 2004 (hotspot validasi) pada setiap kelas kerawanan ... 69

18 Persentase jumlah hotspot tahun 2003 pada setiap kelas kerawanan ... 69

19 Persentase jumlah hotspot tahun 2002 pada setiap kelas kerawanan ... 70

20 Luas areal kelas kerawanan kebakaran ... 71

21 Persentase luas kelas kerawanan kebakaran terhadap total luas wilayah Kabupaten Bengkalis ... 71

(22)

23 Persentase luas tipe tutupan lahan dan vegetasi pada kelas kerawanan sangat rawan ... 73 24 Persentase luas tingkat kehijauan vegetasi pada kelas kerawanan

sangat rawan ... 73 25 Persentase luas kelas kedalaman gambut pada kelas kerawanan kebakaran

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan gambut Kabupaten Bengkalis .... 81

2 Jarak hotspot ASMC dan JICA terhadap hotspot hasil ground check d i

lapangan ... 82

3 Data hotspot tahun 2004 stasiun ASMC yang digunakan sebagai

(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta memelihara keanekaragaman hayati. Luas lahan gambut di Indonesia menempati peringkat keempat di dunia setelah Canada, Rusia dan Amerika Serikat. Tipe lahan gambut di Indonesia merupakan tipe lahan gambut tropis dimana lebih dari 50% gambut tropis berada di Indonesia atau meliputi 10,8% wilayah Indonesia (Noor & Suryadiputra 2005). Tipe ekosistem ini menyebar di Pulau Kalimantan seluas 6,3 juta hektar, Sumatera 8,9 juta hektar dan Pap ua 10,9 juta hektar. Sedangkan menurut Noor (2002) luas lahan gambut di Indonesia sekitar 18,4 juta hektar. Khusus untuk Pulau Sumatera, Provinsi Riau memiliki luasan lahan gambut terbesar dengan luas lebih dari 4 juta hektar dengan kedalaman gambut yang bervariasi hingga dapat mencapai kedalaman 12 meter.

(25)

Salah satu bentuk gangguan serius yang terus terjadi adalah kejadian kebakaran. Kebakaran lahan telah melanda sebagian besar wilayah di Indonesia dengan jumlah kerugian yang sangat besar. Kebakaran yang terjadi pada lahan gambut disinyalir sebagai akibat kegiatan pembukaan lahan baik dalam skala kecil maupun besar yang secara langsung menggunakan api untuk kegiatan land clearing dan secara tidak langsung mengakibatkan gambut menjadi semakin rentan terhadap kebakaran karena perubahan sifat fis ik gambut menjadi kering dan tidak mampu lagi menyerap air. Kebakaran pada lahan gambut menyebabkan terjadinya pelepasan karbon yang sangat besar ke atmosfer dan menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca yang sangat besar dan berpengaruh pada penurunan kualitas lingkungan. Kebakaran lahan gambut seluas satu hektar dapat menghasilkan 25 sampai 50 ton karbon (Prabowo 2005).

Beberapa tahun terakhir kebakaran lahan gambut terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang tergolong besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998. Pada tahun 1997/1998 di Indonesia, kebakaran telah menghanguskan lahan sekitar 11,7 juta hektar (Soeriaatmadja, 1997) dan telah menghasilkan emisi karbon sebesar 0,81 – 2,57 Gt6 (Chokkalingam 2004 )

Untuk mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan diperlukan dukungan teknologi yang mampu memberikan informasi yang cepat, tepat dan akurat serta dapat melingkup areal yang luas. Salah satu teknologi yang menjadi alternatif adalah teknologi remote sensing. Penggunaan remote sensing telah cukup mampu memberikan kemudahan bagi stakeholder dalam memantau dan memperkirakan kejadian kebakaran yang telah terjadi, sedang terjadi maupun perkiraan kejadian kebakaran pada waktu mendat ang serta dapat mengetahui perubahan lingkungan yang terjadi akibat kebakaran selama kurun waktu tertentu.

(26)

menimbulkan kurangnya koordinasi dari setiap lembaga terkait dalam menyusun rencana-rencana pengendalian kebakaran lahan khususnya di Indonesia.

Disinyalir bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia secara umum disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk berbagai bentuk usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan (perladangan berpindah, perkebunan, HTI dan HPH). Beberapa studi menunjukkan, bahwa hanya sebagian kecil kebakaran disebabkan oleh faktor-faktor di luar kegiatan penyiapan lahan. Kebakaran lahan gambut ini tentunya didukung oleh beberapa faktor lingkungan seperti iklim, kondisi vegetasi dan faktor lingkungan fisik lainnya, juga didukung pula oleh faktor infrastruktur yang dapat meningkatkan interaksi manusia dengan lahan gambut. Faktor lingkungan fisik dan infrastruktur secara umum dapat digambarkan menggunakan teknologi penginderaan jauh.

(27)

dengan kedua negara tetangga tersebut. Pada peristiwa El-Nino tahun 1997/1998, 60 persen kabut asap pada wilayah Asia Tenggara terjadi karena kebakaan lahan basah di Indonesia (Chokkalingam 2004)

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

- Menganalisis informasi data hotspot dua stasiun pengamat [JICA (Japan International Cooperation Agency) dan ASMC (ASEAN Specialised Meteorological Center)] sebagai rujukan bagi pembangunan model spasial dan kegiatan pengendalian kebakaran di lahan gambut

- Mengkaji faktor-faktor utama pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.

- Menganalisis hubungan aspek lingkungan fisik dan infrastruktur terhadap kejadian kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.

- Menentukan model spasial kerawanan kebakaran lahan gambut pada wilayah Kabupaten Bengkalis

- Membuat peta zone kerawanan kebakaran lahan gambut Kabupaten Bengkalis

Perumusan Masalah

Kebakaran pada lahan gambut merupakan fenomena yang selalu terjadi setiap tahun di Indonesia. Secara umum kebakaran lahan gambut terjadi secara periodik yaitu pada akhir musim kemarau atau menjelang datangnya musim hujan dimana masyarakat dan perusahaan HPH dan perkebunan memulai kegiatan penyiapan lahan. Kebakaran lahan gambut menimbulkan kerusakan fisik secara langsung pada gambut terutama disebabkan oleh sifat irreversible yang dimiliki oleh gambut. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya peluang terjadinya bencana alam banjir pada musim hujan dan penurunan kesuburan lahan gambut itu sendiri.

(28)

dipadamkan. Kebakaran bawah permukaan akan menimbulkan kerusakan dan kematian pada akar tanaman yang berarti kematian pula bagi tanaman itu sendiri. Asap merupakan hasil dari proses pembakaran yang menimbulkan berbagai dampak negatif baik secara nasional maupun regional. Kebakaran gambut adalah sumber terbesar polusi asap. Hal ini disebabkan pada kebakaran gambut terjadi proses smoldering yang menghasilkan asap dalam jumlah besar. Dampak negatif dari polusi asap ini antara lain gangguan kesehatan berupa inpeksi saluran pernapasan, mata dan lain -lain, gangguan navigasi transportasi darat, laut dan udara, menurunkan produktifitas manusia dan berbagai dampak lainnya. Kebakaran di lahan gambut juga merupakan penghasil gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida, karbon monoksida, metana, hidrokarbon, non-metana dan nitrogen oksida. Diperkirakan kebakaran yang terjadi pada lahan gambut menyumbang karbon sebanyak 13 – 40 % dari total pengeluaran karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar setiap tahunnya (Miettinen 2004). Episode kebakaran tahun 1997/1998, Indonesia menyumbang karbon sebanyak 2,6 miliar ton yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan seluas lebih dari 10 juta hektar yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil karbon terbesar di dunia.

Upaya pencegahan kebakaran lahan telah cukup banyak dilakukan oleh pihak terkait baik melalui penerapan peraturan dan perundang-undangan maupun pemanfaatan berbagai bentuk teknologi diantaranya adalah pemanfaatan satelit untuk memantau posisi atau lokasi terjadinya kebakaran di permukaan bumi. Di Indonesia pemanfaatan informasi dari satelit ternyata menimbulkan perbedaan persepsi dari berbagai lembaga terkait dalam memantau kejadian kebakaran dikarenakan adanya perbedaan rujukan dari masing-masing lembaga dalam memperoleh data kebakaran (hotspot).

(29)

lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Menurut (Saharjo dan Husaeni 1998, diacu dalam Soewarso 2003) kebakaran karena proses alam sangat kecil dan sebagai contoh untuk kasus Kalimantan kurang dari 1%. Walaupun demikian, belum diketahui dengan pasti faktor-faktor apa saja yang signifikan sebagai pemicu kebakaran lahan gambut khususnya di Indonesia baik dari segi manusia maupun lingkungan fisiknya. Disamping itu untuk mengoptimalkan upaya pengendalian kebakaran lahan gambut diperlukan informasi yang akurat tentang kejadian kebakaran lahan gambut yang tentunya harus didapatkan dari rujukan yang tepat. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mencoba untuk menjawab permasalahan antara lain: - Sumber informasi apa yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam membangun

perencanaan dan usaha pengendalian kebakaran lahan gambut.

- Faktor-faktor lingkungan fisik apa saja yang menjadi faktor utama pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.

- Apakah aspek infrastruktur dapat menjadi pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut dan faktor-faktor apa saja dari aspek infrastruktur yang menjadi pendukung terjadinya kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis

- Bagaimanakah hubungan antara masing -masing faktor dan pengaruhnya dalam mendukung terjadinya kebakaran lahan gambut.

Kerangka Pemikiran

Lahan gambut di Indonesia telah diusahakan dan dimanfaatkan oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk bertani maupun berburu. Pada akhir-akhir ini, pemanfaatan lahan gambut oleh manusia menunjukkan tingkat pemanfaatan yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya degradasi lahan gambut baik fungsi maupun luasannya.

(30)

karbon yang terdapat di permukaan bumi (Anonim 2003). Peran penting gambut lainnya adalah dalam hal konservasi air. Gambut memiliki peran yang sangat besar dalam menyerap dan menyimpan air selama musim hujan dan pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya. Hal ini penting artinya untuk mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan kelangkaan air pada usim kemarau. Kemampuan gambut dalam mengkonservasi air dapat berubah jika terjadi pengeringan terhadap gambut baik disebabkan oleh konversi, penebangan maupun pembakaran. Pengeringan dapat mengubah sifat gambut hidrofil (menyukai air) menjadi hidrofob (tidak menyukai air) sehingga air yang telah hilang tidak dapat dikembalikan seperti kondisi sebelumnya.

Berubahnya sifat gambut dari hidrofil menjadi hidrofob menyebabkan lahan gambut menjadi rentan terhadap bahaya kebakaran apalagi didukung oleh perilaku manusia yang cenderung menggunakan api untuk membuka dan menyiapkan lahan (land clearing) baik dalam skala kecil (perladangan) hingga skala besar (perkebunan dan HTI) yang saat ini masih terus berlangsung.

Melihat kondisi lahan gambut Indonesia saat ini yang rentan terhadap bahaya kebakaran terutama yang disebabkan oleh kegiatan pembukaan lahan dan illegal logging, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan membuat berbagai peraturan dan undang-undang untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan gambut yang lebih luas. Namun peraturan dan undang-undang tersebut nampaknya belum efektif dalam mengurangi kejadian kebakaran lahan gambut. Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan informasi tentang faktor-faktor pemicu kebakaran lahan gambut itu sendiri serta belum adanya kesepakatan dari berbagai lembaga yang terkait untuk menggunakan stasiun pengamat kebakaran tertentu sebagai rujukan yang paling baik untuk memperoleh informasi tentang kejadian kebakaran di lahan gambut.

(31)

model spasial. Selain itu penelitian ini juga mencoba mengkaji faktor-faktor yang diduga sebagai pendukung terjadinya kebakaran di lahan gambut dimana batasan kajian pada faktor-faktor dari aspek lingkungan fisik dan infrastruktur. Kedua aspek tersebut merupakan faktor prediktor yang berhubungan satu sama lain sehingga kajian akan dilanjutkan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan setiap komponen dari kedua aspek dalam menimbulkan kebakaran di lahan gambut. Kebakaran lahan gambut dalam penelitian ini dijadikan sebagai variabel respon.

(32)
[image:32.612.167.474.71.397.2]

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran.

Manfaat Penelitian

Dengan diketahuinya faktor-faktor utama penyebab terjadinya kebakaran pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau serta diketahuinya stasiun pengamatan yang dinilai cukup baik sebagai rujukan dalam memantau kejadian kebakaran lahan gambut, maka penelitian ini akan memberikan manfaat dalam hal:

• Sebagai masukan dalam upaya mendeteksi secara dini kebakaran dan penyusunan sistem pengendalian kebakaran lahan gambut di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

(33)

TINJAUAN PUSTAKA

Titik Panas (Hotspot)

Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dikanalingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital (JICA 2003). Indikasi kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di suatu lokasi tertentu pada saat tertentu dengan memanfaatkan satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration) yang memiliki teknologi AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Secara sederhana, satelit NOAA mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dikanaling suhu sekitarnya, suhu yang terdeteksi berkisar antara 310 oK (37oC) untuk deteksi malam hari dan 315 oK (42oC) untuk deteksi pada siang hari. Titik panas tersebut akan diproyeksik an menjadi suatu pixel pada sebuah peta (image) yang juga mewujudkan koordinat geografisnya. Suatu hotspot diyakini sebagai suatu kejadian kebakaran di permukaan bumi apabila hotspot tersebut terdeteksi pada koordinat yang sama selama 3 hari berturut-turut atau lebih (LAPAN 2004).

Lokasi dan distribusi titik panas ditentukan dengan memanfaatkan band 3 (inframerah sedang) dengan panjang gelombang 3,55 – 3,93 mm dan band 4 (inframerah panjang) dengan panjang gelombang 10,3 – 11,3 mm dari data AVHRR/NOAA-12 (LAPAN 2005). Anderson et al. (1999) menerangkan band 3 dalam wujud gelombang infra merah-tengah sangat sensitif terhadap emisi panas dan digunakan untuk memantau kebakaran. Titik api yang berpotensi sebagai kejadian kebakaran muncul pada citra dalam bentuk titik-titik hitam.

(34)

Tabel 1 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat LAPAN

Parameter Nilai Ambang

(oK) Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi

sebagai kebakaran

322.0

Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang terdeteksi sebagai kebakaran

20.0

Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan 245.0

Suhu amb ang albedo band 1 25.0

Perbedaan suhu band 1 dan band 2 1.0

Pengamatan terhadap titik hotspot pada stasiun pengamat LAPAN hanya dilakukan pada siang hari sementara pada stasiun pengamat ASMC dan JICA dilakukan pada siang dan malam hari. Adapun nilai ambang yang digunakan oleh ASMC seperti terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan malam hari

Parameter (pengelolaan data NOAA malam hari) Nilai Ambang (oK) Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi

sebagai kebakaran

314.0

Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang terdeteksi sebagai kebakaran

15.0

Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan 245.0

Suhu ambang albedo band 1 25.0

Perbedaan suhu band 1 dan band 2 1.0

Tabel 3 Nilai ambang (Threshold) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan siang hari

Parameter (pengelolaan data NOAA siang hari) Nilai Ambang (oK) Suhu minimal dalam derajat K pada band 3 yang terdeksi

sebagai kebakaran

320.0

Perbedaan suhu minimal antara band 3 dengan band 4 yang terdeteksi sebagai kebakaran

15.0

Suhu ambang band 4 pada kondisi berawan 245.0

Suhu ambang albedo band 1 25.0

Perbedaan suhu band 1 dan band 2 1.0

[image:34.612.135.508.104.225.2]
(35)

Karakteristik dan Fungsi Lahan Gambut

Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan hanya sedikit mengalami perombakan.

Lahan gambut terbentuk dimana tanaman-tanaman yang tergenang oleh air terurai secara lambat. Gambut yang terbentuk terdiri dari bebagai bahan organik tanaman yang membusuk dan terdekomposisi pada berbagai tingkatan. Ciri khas dari suatu lahan gambut adalah kandungan akan bahan organik yang tinggi dimana persentasenya dapat mencapai lebih dari 65%.

Tanah gambut tergolong kelompok tanah organik bersama-sama dengan muck (Brady 1990). Dijelaskan lebih lanjut, bahwa gambut dalam hal ini diartikan sebagai deposit atau endapan organik yang sedikit atau belum mengalami pelapukan. Sedangkan muck merupakan endapan organik yang telah mengalami pelapukan lebih lanjut sehingga bahan tanaman asal tidak dapat dikenal lagi.

Tanah gambut umumnya memiliki pH rendah, kapasitas tukar kation (KTK) tinggi, kejenuhan basa rendah, kandungan K, Ca, Mg dan P rendah, kandungan unsur mikro (Cu, Zn, Mn, dan B) rendah. Tanah gambut memiliki sifat penurunan permukaan tanah yang besar setelah dilakukan drainase, memiliki daya hantar hidrolik horizontal yang sangat besar dan vertikal yang sangat kecil, memiliki daya tahan yang rendah sehingga tanaman mudah roboh dan memiliki sifat mengering tak balik yang menurunkan daya retensi air dan membuatnya peka terhadap erosi (Anonim 2004).

(36)

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi (1) gambut eutrofik yaitu gambut yang banyak mengandung mineral terutama kalsium karbonat, sebagian besar berada pada daerah payau serta bersifat netral alkalin, (2) gambut oligotrofik yaitu gambut yang mengandung sedikit mineral khususnya kalsium dan magnesium serta bersifat asam atau sangat asam (pH < 4) dan (3) gambut mesotrofik yaitu gambut yang berada antara eutrofik dan oligotrofik.

Berdasarkan sifat kematangannya (refiness), gambut dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:

1 Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan aslinya dengan ukuran beragam.

2 Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang.

3 Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan sangat lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang.

Noor (2002) juga menjelaskan pembagian gambut berdasarkan ketebalannya yaitu:

1 Gambut dangkal yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 50 cm – 100 cm

2 Gambut tengahan yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 100 cm – 200 cm

3 Gambut dalam yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 200 cm – 300 cm

4 Gambut sangat dalam yaitu lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik > 300 cm.

(37)

Dalam konteks lingkungan, gambut mempunyai peranan sebagai penyangga (buffer) lingkungan yang berhubungan dengan fungsi gambut sebagai gatra hidrologis, biogeokimiawi dan ekologis. Secara hidrologis, gambut berfungsi menyimpan air dan juga sebagai penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system). Fungsi gambut tersebut sangat penting artinya dalam mencegah terjadinya banjir pada saat curah hujan yang berlebih dan kelangkaan air pada musim kemarau karena selama musim hujan gambut berperan dalam menyerap dan menyimpan air sementara pada saat curah hujan rendah, gambut secara perlahan-lahan melepask an air simpanannya (Noor 2002). Anonim (2003) menerangkan, dalam kondisi alami yang tidak terganggu, lahan-lahan gambut mempunyai fungsi-fungsi ekologis yang penting yaitu mengatur air di dalam dan di permukaan tanah. Dengan sifat -sifat seperti spon, gambut mampu menyerap air yang berlebihan dan kemudian secara kontinyu dilepas perlahan -lahan. Hal ini menyebabkan air akan tetap mengalir secara konsisten sehingga mampu menghindari terjadinya banjir dan kekeringan.

Selain berfungsi sebagai penyangga lingkungan, gambut juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi atau sebagai pengganti bahan bakar minyak, sebagai bahan mentah industri, medium tanaman, lembaran bahan isolasi dan bahan campuran pupuk. Beberapa produk seperti amoniak, alkohol (etanol dan metanol) dan lilin juga dapat dihasilkan dari gambut (Noor 2002).

Kebakaran di Lahan Gambut

Kebakaran hutan yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir diperkirakan sebesar 15% terjadi pada hutan gambut dimana kebakaran pada lahan gambut menjadi penyumbang 60-90% asap akibat pembakaran yang tidak sempurna (Noor & Suryadiputra 2005). Kebakaran hutan didefinisikan sebagai pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, pohon mati yang tetap berdiri (snag), log, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon (Sahardjo 1999).

(38)

seluruh karbon terestrial) atau setara dengan 75% jumlah karbon di atmosfir. Bila terjadi kebakaran, maka akan terjadi pelepasan karbon yang sangat besar ke atmosfir. Dituliskan oleh Prabowo (2005) kebakaran hutan seluas satu hektar di lahan gambut dapat menghasilkan 25 sampai 50 ton karbon. Diterangkan pula oleh Miettinen (2004) kebakaran yang terjadi di Indonesia pada periode tahun 1997/1998 telah memproduksi karbon dalam jumlah besar yaitu 13 – 40 % dari pengeluaran karbon dunia yang dikeluarkan oleh bahan bakar setiap tahunnya. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil karbon terbesar di dunia dan sekaligus dianggap turut mempengaruhi terjadinya perubahan iklim global.

Kebakaran yang terjadi pada lahan gambut maupun non gambut tidak lepas dari tiga unsur yaitu bahan bakar, oksigen dan panas yang dikenal dengan prinsip segitiga api. (Pyne et al. 1996) menjelaskan, segitiga api digunakan untuk menggambarkan interaksi dari faktor-faktor utama yang menyebabkan timbulnya api (Gambar 2).

Berdasarkan bahan bakar dan cara menjalarnya api serta posisi api dari tanah, kebakaran hutan dapat dibagi menjadi tiga seperti dijelaskan oleh Brown (1973) yaitu:

a. Kebakaran bawah permukaan (ground fire)

Kebakaran bawah permukaan mengkonsumsi bahan organik di bawah permukaan tanah (serasah). Bahan organik tersebut berupa sebagai bahan

Gambar 2 Prinsip segitiga api . OKSIGEN

PANAS

BAHAN BAKAR

[image:38.612.241.400.379.526.2]
(39)

organik yang sedang terdekomposisi, telah terdekomposisi (muck) atau berupa gambut. Kebakaran biasanya terjadi bersama-sama dengan kebakaran serasah. Api pada kebakaran bawah permukaan tidak menyala dan kadang-kadang tidak berasap sehingga sulit untuk diketahui. Api menjalar sangat pelan dan ke segala arah karena tidak terpengaruh oleh angin sehingga kebakaran ini membentuk lingkaran.

b. Kebakaran permukaan (surface fire)

Api membakar serasah, tanaman bawah, semak-semak dan anakan. Biasanya semua tipe kebakaran di hutan terlebih dahulu dimulai dengan kebakaran permukaan. Karena jumlah bahan bakar pada permukaan tanah/lantai hutan berlimpah dan didukung oleh jumlah oksigen yang besar dan dipengaruhi oleh angin, maka kebakaran ini menyala dan menjalar dengan cepat tetapi relatif mudah dipadamkan. Pengaruh angin pada tipe kebakaran ini menyebabkan penjalaran api berbentuk lonjong.

c. Kebakaran tajuk (crown fire)

Kebakaran tajuk merupakan kebakaran yang terjadi pada tajuk pohon atau semak belukar yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kebakaran permukaan yang menjalar ke tajuk pohon, tetapi dapat juga terjadi kebakaran tajuk terlebih dahulu baru disusul dengan kebakaran permukaan karena api dari tajuk jatuh ke permukaan tanah. Api pada tipe kebakaran ini bergerak dari tajuk pohon ke tajuk pohon atau semak yang lain, paling sedikit daun-daun dari pohon atau semak habis terbakar.

Kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan gambut dapat menimbulkan permasalahan antara lain:

- Perubahan lingkungan dan iklim (suhu, kelembaban) global karena penyusutan luas hutan dan lahan gambut

- Pencemaran udara yang ditimbulkan oleh kabut asap sehingga menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan, pneumonia dan sebagainya

(40)

- Penurunan dan penyusutan keanekaragaman hayati akib at punahnya sebagian sumber daya genetik dan plasma nutfah

- Penurunan dan degradasi hutan dan lahan sehingga menjadi lahan terlantar/ kritis yang memerlukan biaya besar untuk merehabilitasinya (Noor 2002).

Penyebab Kebakaran Hutan di Lahan Gambut

Menurut Rusdiayanto (2000) 90% penyebab kebakaran hutan adalah (1) karena perbuatan manusia secara sengaja misalnya pembukaan lahan (land clearing) dengan cara dibakar untuk keperluan perkebunan, pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pemukiman transimigrasi serta perladangan berpindah oleh masyarakat sekitar hutan dan (2) karena faktor ketidaksengajaan . Sedangkan faktor yang disebabkan oleh alam misalnya kondisi alam setempat yang berupa lahan gambut dan batu bara yang sangat mudah terbakar pada musim kemarau.

Menurut Danny (2001) penyebab utama terjadinya kebakaran hutan adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997) bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsoran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan serasah. Menurut Saharjo dan Husaeni (1998) kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 persen. Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih men jadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:

1 Sistem perladangan trad isional dari penduduk setempat yang berpindah -pindah

2 Pembukaan hutan oleh para pemegang ijin konsesi baik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit

(41)

Bencana kebakaran hutan dan lahan gambut tidak disebabkan oleh faktor tunggal atau sederhana, namun beberapa faktor independen seperti praktek pemungutan hasil hutan, pembukaan lahan, transimigrasi, meningkatnya frekuensi musim kemarau, konflik alokasi lahan, akses yang lebih baik, pengeringan rawa-rawa dan penebangan liar memberi peran dalam memperbesar resiko kebakaran hutan dan lahan gambut (Borger & Lubis 2001).

Noor (2004) menjelaskan timbulnya api pada lahan gambut disebabkan oleh beberapa hal antara lain:

1 Ekspansi dan konversi hutan atau lahan gambut menjadi areal perkebunan besar dan HTI. Tata ruang bersifat eksploitatif atau tidak adanya tata ruan g yang memberikan tempat bagi pemanfaatan lahan gambut secara non-eksplotatif.

2 Pembuatan kanal-kanal berskala lebar dan panjang yang hanya digunakan untuk pengangkutan kayu dimana sirkulasi airnya tidak dirawat dengan baik yang menyebabkan gambut disekitar kanal menjadi kering.

3 Pembalakan hutan gambut baik yang memiliki motif ekonomi maupun yang merasa frustrasi sebagai kompensasi konflik.

4 Perspektif yang sesat dalam melihat lahan gambut sebagai lahan non-produktif dan lahan terlantar.

Menurut Moore dan Haase (2003) pembuatan kanal-kanal memberikan akses terhadap kawasan-kawasan gambut yang tidak tersentuh. Meningkatnya akses manusia memungkinkan terjadinya kebakaran dan kegiatan pembalakan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kebakaran pada lahan gambut juga dapat disebabkan oleh beberapa kegiatan tradisional, seperti sistem budidaya padi sonor (dimana padi ditanam di lahan-lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim kemarau) dan penangkapan ikan dimana para nelayan menggunakan api untuk menciptakan akses yang lebih baik dan memperbaiki habitat ikan.

(42)

tersebut bergambut dengan pH tanah antara 3-4 dan tidak cocok untuk ditanami tanaman perkebunan seperti kelapa sawit.

Pengendalian Kebakaran di Lahan Gambut

Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan gambut adalah dengan cara mengkonservasi lahan gambut dalam keadaan alaminya dan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan konversi kawasan rawa gambut harus dicegah (Moore & Haase 2003). Dijelaskan lebih lanjut bahwa kebakaran pada lahan gambut disebabkan pula oleh penggunaan api oleh masyarakat, hal ini hanya dapat dicegah apabila sumber pen ghidupan alternatif dapat disediakan. Menurut Noor dan Suryadiputra (2005) pengendalian kebakaran dapat dilakukan melalui pengelolaan muka air alami, koordinasi dengan institusi terkait, pelibatan secara aktif masyarakat, adopsi strategi zero burning untuk semua kegiatan pertanian komersial, penegakan hukum, serta pemantauan dan prakiraan resiko kebakaran. Dijelaskan lebih lanjut pengelolaan tata air untuk kegiatan pencegahan kebakaran sesuai dengan Deklarasi Bogor, 13-14 Oktober 2003 harus memperhatikan tiga hal yaitu:

1 Perlakukan setiap kubah gambut sebagai suatu unit hidrologis pengelolaan dan padukan pengelolaan lahan gambut dengan pengelolaan daerah aliran sungai terkait

2 Penambatan saluran -saluran pengeringan di areal lahan gambut merupakan strategi p enting untuk merestorasi tingkat muka air alami

3 Atur pengeringan di lahan gambut dan perbaiki serta pertahankan muka air baik di dalam maupun di mintakat penyangga sekitar lahan gambut

(43)

dalam pencegahan adalah peningkatan kesadaran masyarakat dan pendidikan. Peningkatan kesadaran masyarakat dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan atau lahan (PP Nomor 4 Tahun 2001).

Sistem penanggulangan kebakaran hutan meliputi enam tahapan yaitu tahap pencegahan, tahap kesiap-siagaan (preparedness), tahap peringatan dini (early warning), tahap deteksi dini (early detection), tahap pemadaman (respon) dan tahap penanganan pasca kebakaran (Setijono 2001).

Sistem Satelit Landsat

Sistem satelit landsat dikenal memiliki tiga instrumen pencitraan (imaging instrument) yaitu Return Beam Vidicom (RBV), Multispectral Scanner (MSS) dan Thematic Mapper (TM). Sistem satelit TM memiliki orbit dekat dengan kutub, berbentuk lingkaran yang selaras dengan matahari dan memiliki ketinggian nominal 913 kilo meter (Lillesand & Kiefer 1979, diacu dalam Jaya 2002).

Richards (1993) menambahkan, bahwa sensor TM merupakan sebuah alat scanning mekanis yang memiliki resolusi spektral, spasial dan radiometrik yang lebih baik dibanding tipe satelit sejenis yaitu MSS. Resolusi spektral yang dimiliki oleh satelit TM adalah 7 band, resolusi spasial 30 m x 30 m dan resolusi radiometrik adalah 8 bit.

Lillesand dan Kiefer (1979) menjelaskan, pada landsat TM terdapat sensor multispectral yang disebut thematic mapper. Nama ini berkaitan dengan tuju an terapan sistem data yang diarahkan pada teknik pengenalan pola spektral yang akan menghasilkan citra terkelas (peta tematik). Sensor TM memiliki tujuh band yang dirancang untuk memaksimumkan kemampuan analisis vegetasi. Adapun karakteristik dari ketujuh saluran spektral tersebut adalah sebagai berikut:

• Band satu (0,45 µm - 0,52 µm), dirancang untuk menghasilkan peningkatan penetrasi ke dalam tubuh air, juga untuk mendukung analisis sifat khas penggunaan lahan, tanah dan vegetasi

(44)

spektral penyerap klorofil yang dapat digunakan untuk menekan perbedaan vegetasi dan penilaian kesuburan

• Band tiga (0,63 µm – 0,69 µm), saluran yang digunakan untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini berada pada salah satu bagian serapan klorofil dan berfungsi memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan non vegetasi serta menajamkan kontras antar kelas vegetasi.

• Band empat (0,76 µm – 0,90 µm), digunakan untuk mengklasifikasikan sejumlah biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah kajian sehingga akan membantu identifikasi tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman dengan tanah serta tanaman dengan air

• Band lima (1,55 µm – 1,75 µm), saluran yang penting digunakan dalam penentuan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman dan kondisi kelembaban tanah

• Band enam ( 2,08 µm – 2,35 µm), adalah suatu saluran yang penting untuk memisahkan format batuan

• Band tujuh (10,40 µm – 12,50 µm), suatu saluran inframerah termal yang berguna untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas.

(45)

Indeks Vegetasi

Penggunaan citra satelit untuk penelitian vegetasi didasarkan pada reflektansi yang berbeda dari band -band infra merah dekat dan band -band vegetasi yang terlihat. Beberapa kombinasi matematis tentang infra merah dekat dan sinar tampak disebut indeks vegetasi.

Indeks vegetasi adalah suatu nilai yang mencerminkan kondisi tingkat kehijauan tanaman yang diturunkan dari data satelit melalui perekaman pada panjang gelombang tampak (merah) dan infra merah. (Hidayat & Mukhlis 2003). Metode indeks vegetasi yang dikenal antara lain: Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Standard Ratio Vegetation Index (SRVI) dan Transformed Vegetation Index (TVI).

Perhitungan indeks vegetasi ditentukan atas dasar prinsip daun dan efek pigmentasi dan kandungan air pada permukaan daun. Setiap tanaman akan menyerap dan memantulkan energi ini berkisar pada panjang gelombang cahaya tampak (merah) dan infra merah dekat. Umumnya tanaman (khlorofil) banyak menyerap energi radiasi pada cahaya tampak dan memantulkannya pada spektrum gelombang infra merah dekat

NDVI merupakan representasi dari keadaan bahan bak ar, baik dari sisi tingkat kehijauan vegetasi hidup maupun serasah. NDVI merupakan indeks yang diperoleh dengan manipulasi matematis sederhana antara pancaran gelombang infra merah dekat (TM band 4) dengan gelombang merah (TM band 3) melalui serangkaian proses pengolahan citra yang direkam oleh satelit. Adapun perhitungan NDVI adalah sebagai berikut:

band inframerah dekat – band sinar tampak (merah) NDVI =

band inframerah dekat + band sinar tampak (merah)

(46)

Jaya (1997) menerangkan, reflektansi yang tinggi dari band inframerah dekat dan reflektansi yang rendah dari band merah pada vegetasi menghasilkan nilai NDVI positif. Jika biomassa (vegetasi) meningkat, maka reflektansi dari inframerah akan meningkat, sebaliknya pada band sinar tampak (merah) akan menurun. Reflektansi yang rendah dari band inframerah dekat dan reflektansi yang tinggi dari band sinar tampak (merah) pada awan, salju dan air menghasilkan suatu nilai NDVI negatif

Secara teoritis nilai NDVI berkisar antara -1,0 dan 1,0. Nilai ini berbeda pada set iap kondisi kandungan khlorofil dan kandungan air yang berbeda dan juga berbeda pada setiap fase pertumbuhan. Umumnya indeks vegetasi meningkat sejak awal pertumbuhan (fase vegetatif) dan mencapai puncaknya pada saat pertumbuhan vegetatif maksimum, kemudian menurun pada fase pertumbuhan generatif (Van Dijk et al. 1987, diacu dalam Kushardono 1992). Ditambahkan oleh Ricards (1993) dan Howard (1996), bahwa areal yang bervegetasi umumya menunjukkan nilai yang tinggi disebabkan oleh reflektansi yang tinggi pada inframerah dekat dan reflektansi yang rendah pada sinar tampak. Hal sebaliknya terjadi pada badan air, awan dan salju dimana daerah -daerah tersebut memiliki nilai reflektansi yang tinggi pada sinar tampak dan rendah pada sinar inframerah dekat sehingga menunjukkan nilai indeks vegetasi yang negatif. Sedangkan batuan dan lahan atau tanah kosong menghasilkan nilai indeks vegetasi mendekati nol disebabkan pada kedua band memiliki reflektansi yang hampir sama.

(47)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis

Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan, dengan luas adalah 11.481,77 km2. Kabupaten Bengkalis secara geografis terletak antara 2o30’ Lintang Utara dan 0o17’ Lintang Utara atau 100o52’ Bujur Timur dan 102o10’ Bujur Timur yang mempunyai batas -batas sebagai berikut:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

• Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Siak

• Sebelah Barat dengan Kota Dumai, Kab. Rokan Hilir dan Kab. Rokan Hulu

• Sebelah Timur dengan Kabupaten Karimun dan Kabupaten Pelalawan

PETA ADMINISTRASI KABUPATEN BENGKALIS

Sumber :

- Peta Renc ana Tata Ruang Kab. Bengkalis skala 1: 1.500.000

Disusun Oleh : Mustara Hadi Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

N

Lokasi Kabupaten Bengkalis # # # ### # # # #

# SE

L A T M A L AK A

Man dau Bukit Ba tu

Ru pat

Me rba u

Te bin g Ti ng gi Ra ngsa ng Bantan

Bengk alis Ru pat Utara

Ran gsan g Barat

KAB. BENGKAL IS KODYA DUMAI

ROKAN HILIR

ROK AN HULU

KAB. SIAK

KOD YA PEKAN BARU

650000

650000

700000

700000

750000

750000

800000

800000 850000

850000

900000

900000

950000

950000

1000000

1000000 5

0 0 0

0 500

0 0 1 0 0 0 0

0 1000

0 0 1 5 0 0 0

0 1500

0 0 2 0 0 0 0

0 20000

0 2 5 0 0 0

0 2500

0 0

0 10 20 30

Kilometer s

Ba nt an Be ngka lis Bu kit Batu Ma ndau Me rbau Rangsang Rangsan g Bara t Rupat Rupat Utara Tebing Tinggi Tebing Tinggi Bara t Jalan Su

ngai-# Ko ta Kecamat an

[image:47.612.143.504.392.643.2]

KETERANGAN

(48)

Secara administrasi Pemerintah Kabupaten Bengkalis terdiri dari 11 (sebelas) wilayah kecamatan yaitu: Kecamatan Bengkalis (luas 514,00 km2), Kecamatan Bantan (luas 424,40 km2), Kecamatan Bukit Batu (1.870,21 km2), Kecamatan Mandau (luas 3.440,47 km2), Kecamatan Merbau (luas 1.348,91 km2), Kecamatan Rupat (luas 1.524,85 km2), Kecamatan Tebing Tinggi (luas 1.436,83 km2), Kecamatan Rangsang (luas 922,10 km2), Kecamatan Rangsang Barat (luas 241,60 km2), Kecamatan Rupat Utara (luas 628,50 km2) dan Kecamatan Tebing Tinggi Barat (luas 586,83 km2).

Letak Kabupaten Bengkalis sangat strategis, karena disamping berada di tepi jalur pelayaran internasional yang paling sibuk di dunia, yakni Selat Malaka, juga berada pada kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Malaysia-Singapura (IMS-GT) dan kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT).

Kondisi Topografi

Wilayah Kabupaten Bengkalis pada umumnya merupakan dataran rendah, dimana berada pada rata-rata ketinggian antara 2 - 6,1 meter di atas permukaan laut, sebagian besar merupakan tanah organosol yaitu jenis tanah yang banyak mengandung bahan organik. Terdapat sungai, tasik (danau) serta pulau besar dan kecil yang berjumlah 26 buah. Adapun pulau-pulau besar dimaksud yaitu: Pulau Rupat (1.524,85 km2), Pulau Tebing Tinggi (1.436,83 km2), Pulau Bengkalis (938,40 km2), Pulau Rangsang (922,10 km2) serta Pulau Padang dan Pulau Merbau (1.348,91 km2).

Dikarenakan berada pada ketinggian yang relatif rendah dari permukaan laut, maka kelerengan topografi Kabupaten Bengkalis relatif landai dan didominasi oleh lahan gambut dengan ketebalan tipis hingga tebal (> 200 cm) yang mencakup sekitar 80% dari total wilayah.

Iklim

(49)

antara 809 - 4.078 mm/tahun. Khusus pada tahun 2004, curah hujan berkisar antara 651 – 1.092,4 mm/tahun dengan jumlah hari hujan antara 25 – 63 hari/tahun. Periode kering (musim kemarau) biasanya terjadi antara bulan Pebruari sampai dengan Agustus.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Secara Administrasi Pemerintahan, Kabupaten Bengkalis terbagi dalam 11 kecamatan 24 kelurahan, 131 desa dengan luas wilayah 11.481,77 km2. Tercatat jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis 549.715 jiwa dengan sifatnya yang heterogen, mayoritas penganut agama Islam, disamping Suku Melayu yang merupakan mayoritas juga terdapat suku-suku lainnya antara lain: Suku Minang, Suku Jawa, Suku Bugis, Suku Batak dan Tionghoa

Penduduk Kabupaten Bengkalis bermata pencaharian disek tor-sektor sebagai berikut :

- Pertanian : 58,78%

- Pertambangan : 4,17% - Perdagangan : 9,01%

- Industri : 7,55%

- Bangunan : 4,03%

- Angkutan : 4,56%

- Jasa : 10,30%

- Listrik, Gas/air Minum : 0,16% - Keuangan & Asuransi : 0,59%

- Lain-lain : 1,53%

Sumber Daya Kehutanan

(50)
[image:50.612.135.509.97.211.2]

Tabel 4 Luas hutan menurut jenis

Jenis Hutan Luas (Ha)

Konversi 295.289,87

Produksi Tetap 133.054,45

Produksi terbatas 189.877,01

Bakau 8.413,00

Lindung 122.929,00

PPA 17.535,35

Jumlah 767.098,65

Sedangkan hasil hutan Kabupaten Bengkalis menurut data terakhir tahun 2002 ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil hutan menurut jenis

Jenis Hutan Satuan Jumlah

Kayu Bulat (Logs) M3 146.551.230

Kayu Baku Serpih (BBS) M3 282.244.104

Kayu Bulat Kecil (KBK) M3 94.968.383

Kayu Bakau M3 6.122.370

Kayu Bakar M3 397.230

Arang Bakau M3 3.344.077

Nibung Batang 3.971.000

[image:50.612.133.509.276.400.2]
(51)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada lahan gambut yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Analisa data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan April 2005 sampai dengan Bulan Desember 2005.

Metode Penelitian

(52)

A. Pembangunan Model Spasial

[image:52.612.152.498.73.529.2]

Ruang lingkup dalam pembangunan model dibagi menjadi dua kelompok kajian yaitu: (1) aspek lingkungan fisik yang merupakan presentasi faktor alam pendukung terjadinya kebakaran di lahan gambut dan (2) aspek infrastruktur yang berhubungan dengan kemudahan interaksi manusia dengan lahan gambut

(53)

A.1. Aspek lingkungan fisik

Dalam penelitian ini, kajian terhadap aspek lingkungan fisik dilakukan karena lingkungan fisik/alam merupakan salah satu unsur kejadian kebakaran yakni mempresentasikan jumlah dan kondisi bahan bakar yang terdapat pada lokasi penelitian. Selain itu lingkungan fisik juga diduga memiliki peran utama sebagai pemicu kebakaran pada musim kemarau namun belum diketahui secara pasti faktor apa saja dari lingkungan fisik yang paling menentukan terjadinya kebakaran di lahan gambut. Faktor-faktor dari lingkungan fisik yang dikaji adalah faktor vegetasi (tingkat kehijauan vegetasi) yang dipresentasikan dalam indeks vegetasi, landcover dan ketebalan bahan bakar (gambut).

A.2. Aspek infrastruktur

Aspek infrastruktur yang dikaji didasari atas pandangan bahwa kebakaran lahan gambut yang terjadi disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia sebagai sumber penyebab munculnya api terutama di luar musim kemarau. Keberadaan Infrastruktur akan mempengaruhi tingkat aktivitas manusia terhadap lahan gambut dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kajian ini dilakukan berdasarkan kajian secara spasial meliputi variabel jarak pemukiman, jarak jalan dan jarak sungai.

B. Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data utama dan penunjang.

(54)

Sedangkan data penunjang berupa data-data sekunder yang dijadikan rujukan untuk penentuan kelas masing-masing faktor yang diduga sebagai pemicu terjadinya kebakaran pada lahan gambut di Kabupaten Bengkalis.

C. Pengolahan dan Analisis Data

C.1 Pengolahan data hotspot (titik panas)

Data hotspot berupa data koordinat titik -titik hotspot. Data hotspot selain diperoleh dari lapangan juga diperoleh dari dua lembaga yang mengeluarkan data hotspot yaitu JICA dan ASMC. Pengolahan dilakukan dengan memplotposisikan hotspot (tahun 2004) untuk menunjukkan posisi dan sebaran hotspot pada lokasi penelitian sehingga dapat diperoleh gambaran potensi kebakaran pada lingkup wilayah penelitian. Hasil yang akan diperoleh adalah peta sebaran hotspot pada wilayah Kabupaten Bengkalis. Sebagian hotspot tahun 2004 akan dipilih secara acak untuk membangun model dan sebagian lagi digunakan untuk keperluan validasi model. Data hotspot Bulan Januari sampai Mei 2005 dan hotspot lapangan digunakan untuk keperluan verifikasi keakuratan informasi hotspot (indikasi kejadian kebakaran) yang dikeluarkan oleh JICA dan ASMC yang digunakan untuk pembangunan model.

C.2 Pengolahan data NDVI

(55)

lingkungannya yang berimplikasi terhadap mudah atau tidaknya vegetasi terbakar.

C.3 Analisis data spasial

Kegiatan yang dilakukan dalam analisis data spasial meliputi proses analisis data spasial, data tabular, verifikasi data hotspot, scorring, pembobotan, overlay dan membuat model. Untuk penentuan skor dan bobot setiap faktor dilakukan dengan menggunakan metode CMA (Complete Mapping Analysis). Semua data spasial di overlay untuk mendapatkan poligon-poligon yang akan dipergunakan untuk menilai tingkat kerawanan kebakaran. Adapun tahapan analisis data spasial ditunjukkan pada Gambar 5.

[image:55.612.182.502.312.687.2]

.

(56)

C.3.1 Verifikasi data hotspot

Data-data hotspot Bulan Januari sampai Bulan Mei tahun 2005 dari stasiun pengamat kebakaran JICA dan ASMC serta koordinat titik hotspot hasil survey dibuat dalam bentuk peta digital sebaran hotspot. Verifikasi data hotspot dari dua stasiun dilakukan dengan menentukan sebaran titik hotspot dari kedua stasiun pengamat terhadap titik hotspot lapangan. Selanjutnya verifikasi difokuskan pada jarak terdekat dari masing-masing hotspot terpilih dari kedua stasiun terhadap hotspot lapangan.

[image:56.612.181.453.433.671.2]

Untuk mengetahui keakuratan data hotspot kedua stasiun dilakukan dengan analisis statistik menggunakan fasilitas software minitab sehingga dapat diperoleh sebaran data jarak dari setiap stasiun terhadap titik hotspot di lapangan. Hotspot yang memiliki rata-rata jarak yang lebih kecil dan relatif homogen dipilih sebagai data hotspot pembangun model. Dalam verifikasi ini digunakan asumsi bahwa semua titik koordinat kebakaran yang diperoleh di lapangan telah terekam oleh kedua stasiun pengamat (JICA dan ASMC). Tahapan verifikasi data hotspot digambarkan pada Gambar 6.

(57)

C.3.2 Pengkelasan

Analisis awal data spasial yang dilakukan antara lain pembuatan beberapa peta dijital melalui proses dijitasi. Peta-peta yang didijitasi terdiri dari peta jaringan jalan, jaringan sungai dan pusat desa berdasarkan peta rupa bumi dan peta tata ruang wilayah Kabupaten Bengkalis, sedangkan peta lingkungan fisik yang digunakan dalam penelitian ini telah berbentuk peta dijital yang diperoleh dari beberapa sumber yaitu PPLH-IPB dan BAPLAN yang dicroping sesuai dengan batas wilayah penelitian. Khusus untuk NDVI, terlebih dahulu dilakukan pengolahan terhadap Citra Landsat TM tahun 2004 yang telah dicroping sesuai dengan batas wilayah penelitian. Selanjutnya proses analisis spasial yang dilakukan adalah pembuatan buffer pada jaringan jalan, sungai dan pusat desa yang merupakan kelompok faktor infrastruktur.

Proses analisis spasial selanjutnya adalah pembuatan kelas-kelas (subfaktor) pada semua faktor penduga kebakaran yang digunakan, kemudian dilanjutkan dengan penentuan skor masing-masing subfaktor dan bobot dari masing-masing faktor menggunakan metode CMA. Khusus untuk aspek infrastruktur, pengkelasan didasari atas faktor manusia sebagai pemicu terjadinya kebakaran lahan gambut. Pengkelasan yang dilakukan terhadap masing-masing faktor dari aspek infrastruktur dan lingkungan fisik secara berurutan ditunjukkan pada Tabel 6 dan 7. Adapun peta hasil pengkelasan dan sebaran hotspot pada setiap faktor dapat dilihat pada Gambar 7, 8, 9, 10, 11 dan 12.

(58)
[image:58.612.196.508.96.315.2]

Tabel 6 Klasifikasi faktor-faktor dari aspek infrastruktur

Infrastruktur Sub faktor Kategori Kelas Jarak dari Jalan 0 – 500 meter

500 – 1500 meter 1500 – 3000 meter 3000 – 4000 meter

∃4000 meter

Sangat dekat Dekat Sedang Jauh Sangat jauh Jarak dari Sungai 0 – 500 meter

500 – 1500 meter 1500 – 3000 meter 3000 – 4000 meter

∃4000 meter

Sangat dekat Dekat Sedang Jauh Sangat jauh Jarak dari Pusat Desa 0 – 1000 meter

1000 – 2000 meter 2000 – 3000 meter 3000 – 4000 meter

∃4000 meter

Sangat dekat Dekat Sedang Jauh Sangat jauh

Tabel 7 Klasifikasi faktor-faktor dari aspek lingkungan fisik

Lingkungan fisik Subfaktor Kategori Kelas

Landcover dan Vegetasi

- Hutan alam lahan kering

- Hutan alam rawa - Hutan mangrove - Hutan tanaman dan

perkebunan - Pemukiman - Pertaian - Rawa

- Semak, alang-alang dan tanah terbuka Ketebalan Gambut 0 – 25 cm

26 – 50 cm 50 – 200 cm

∃200 cm

Sangat dangkal Dangkal Sedang Dalam Sumber: LAPAN 2002

NDVI -0,984 – 0,050

0,051 – 0,100 0,101 – 0,200 0,201 – 0,300 0,301 – 1,000

(59)
[image:59.792.82.719.102.542.2]

Gambar 7 Peta sebaran hotspot pembangun model pada kelas jarak dari jaringan jalan.

Projection : UTM Zone 47 N Datum : W GS 84 Date : Desember 2005 Disusun Oleh :

Mustara Hadi

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Lokasi Kabupaten Bengkalis

0 10 20 30

Kilometers 650000 650000 700000 700000 750000 750000 800000 800000 850000 850000 900000 900000 950000 950000 1000000 1000000 5 0 0 0

0 500

0 0 1 0 0 0 0

0 100

0 0 0 1 5 0 0 0

0 150

0 0 0 2 0 0 0 0

0 200

0 0 0 2 5 0 0 0

0 250

0 0 0

N

KETERANGAN Kota Kecamatan Sungai Jalan # # Hotspot Dekat Jauh Sangat Dekat Sangat Jauh Sedang # # # ## # # # # # # # ## # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # ### # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # ### # # # # # # # # # # # # # # ## # # # # # # # # # ## # ## # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # ## # # # # # # # # # # # # # ### # # # # # # # # # # # # # # # # # # ## # ## # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # #### ## # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # ## # ## # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # ## # # # # # # # # # # # # # # # # # ## # # # # # # # # # # # # ## # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # # ## # # # # ## # # # # # # # # # # # # # # # # # # ## # # # S E L A T M A L A K A Duri Alai Ba nta r Be ngk a lis

Se la

Gambar

Gambar 1  Bagan alir kerangka pemikiran.
Tabel 3  Nilai ambang (Threshold ) deteksi hotspot pada stasiun pengamat ASMC untuk penerimaan siang hari
Gambar 2  Prinsip segitiga api .
Gambar 3  Batas administrasi Kabupaten Bengkalis.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Intervensi yang ditetapkan antara lain : Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan, Bantu klien untuk memilihi aktivitas konsisten yang sesuai

Berdasarkan pada hasil dan pembahasan pada penelitian ini maka peneliti mengambil kesimpulan secara serempak bahwa inflasi, nilai tukar, ekspor dan impor berpengaruh secara

Apa yang akan Bapak/Ibu lakukan pada gigi jikad. terjadi gigi avulsi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bentuk partisipasi politik yang terjadi di Kecamatan Bajeng yaitu bentuk Partisipasi Politik Konvensional, yaitu meliputi Ikut Serta

Lebih lanjut mengenai pola asuh otoriter dapat mengarahkan anak pada perilaku bullying, ini dibuktikan dengan beberapa penelitian, seperti penelitian yang dilakukan

Berdasarkan hasil survei pendahuluan di Rumah Sakit Bhayangkara Medan yang dilakukan pada bulan April 2012 di Unit Rawat Inap ditemukan bahwa rumah sakit ini memiliki

Sedangkan untuk menjawab tujuan kedua yaitu dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dan untuk menjawab tujuan ketiga menggunakan analisis uji t (uji parsial).

Fokus penelitian ini adalah terfokus kepada Evaluasi Tingkat Keterpakaian Koleksi Hibah Terhadap Kebutuhan Bahan Belajar Siswa SD Negeri 24 Banda Aceh. Dengan indikator