• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman

1 Kondisi habitat tempat tikus membuat liang sarang……… 27 2 Bagian luar dan dalam kandang reproduksi tempat tikus kawin………… 33 3 Kandang kelompok yang terbuat dari alas beton, dinding seng

dan penutup ram ... 33 4 Kandang kaca yang digunakan untuk melihat tingkah laku ... 34 5 Persentase tingkah laku tikus ekor putih ... 36 6 Tikus ekor putih makan batang kangkung... 37 7 Tikus berkelompok ... 38 8 Tingkah laku grooming ... 40 9 Tikus istirahat ... 41 10 Posisi tikus sedang melahirkan ... 42 11 Induk dan anak tikus tidur ... 44 12 Grafik konsumsi tikus jantan ... 45 13 Grafik konsumsi tikus betina ... 46 14 Grafik pertumbuhan tikus ekor putih... 47 15 Kandang tikus estrus dan pengamatan preparat ulas di bawah mikroskop 50 16 Fase proestrus pada ulas vagina tikus ekor putih ... ….52 17 Fase estrus pada ulas vagina tikus ekor putih ... ….53 18 Fase metestrus pada ulas vagina tikus ekor putih ... ….54 19 Fase diestrus pada ulas vagina tikus ekor putih ... ….54 20 Pengujian organoleptik daging tikus ekor putih... ….65 21 Kesukaan flavor tikus ekor putih di Kabupaten Minahasa ... ….73 22 Kesukaan flavor tikus ekor putih di Kota Manado ... ….74 23 Penerimaaan umum tikus ekor putih di Kabupaten Minahasa ... ….75 24 Penerimaaan umum tikus ekor putih di Kota Manado ... ….76

Latar Belakang

Indonesia memiliki hutan tropik yang kaya dengan berbagai flora dan fauna, yang merupakan sumber pemenuhan berbagai kebutuhan manusia seperti sandang, pangan, obat-obatan, dan lain-lain. Namun demikian, potensi ini masih kurang mendapat perhatian serius dari berbagai pihak untuk dikembangkan. Banyak satwa dari masing-masing daerah yang dapat dijadikan sebagai satwa harapan masa depan seperti anoa, rusa, babi rusa, kupu-kupu, ular, serta satwa lain yang berpotensi menyumbangkan devisa. Di sisi lain kita masih banyak bergantung pada hasil impor luar negeri antara lain sapi potong dan bahan-bahan penyusun ransum.

Sulawesi merupakan pulau yang sangat unik karena terletak di tengah-tengah kawasan garis Wallacea, memiliki keanekaragaman satwa dengan tingkat endemisitas yang sangat tinggi di Indonesia bahkan di dunia. Keunikan fauna vertebratanya telah menempatkan Sulawesi penting di antara pusat-pusat keanekaragaman hayati global. Dari jenis-jenis mamalia, 62% tidak terdapat di daerah lain di dunia (Whitten et al., 1987). Tikus hutan ekor putih (Maxomys hellwandii), merupakan salah satu di antaranya.

Tikus hutan di Minahasa Sulawesi Utara sudah sejak lama menjadi bahan makanan eksotik untuk masyarakat setempat, terutama yang dikenal dengan nama lokal (Manado) sebagai tikus ekor putih, karena sebagian ujung ekornya berwarna putih. Namun demikian, sebenarnya ada beberapa jenis tikus ekor putih yang digemari masyarakat. Tikus-tikus tersebut hanya mengkonsumsi pucuk-pucuk daun muda dan buah-buahan pohon hutan.

Di Minahasa Tengah (berbahasa Tountemboan), tikus ekor putih disebut Turean. Tikus dewasa mempunyai warna krem dengan warna putih pada bagian dada dan perutnya. Tikus jenis Turean mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil, mencari makan di atas pohon pada malam hari dan berliang di tanah pada siang hari, atau pada lubang-lubang yang ada di pohon. Tikus ini hanya terdapat di hutan-hutan pulau Sulawesi (Van der Zon, 1979).

Mengingat peningkatan permintaan terhadap makanan eksotik ini sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti dengan makin berkurangnya kawasan hutan habitat satwa ini, maka dikhawatirkan populasi satwa harapan tropis tersebut akan terus menurun drastis dan akhirnya akan punah. Oleh

karena itu perlu dicarikan solusi untuk tetap mempertahankan keberadaan satwa ini di alam, dan sekaligus dapat mensuplai permintaan makanan eksotik masyarakat setempat. Salah satu alternatif yang rasional adalah membudidayakan satwa ini.

Sampai saat ini belum ada penelitian atau usaha yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta untuk mengembangkan, melestarikan satwa langka dan endemik di luar habitat aslinya. Proses pembudidayaan di dalam kandang membantu pengamatan tingkah laku, biologis dan reproduksinya, dengan penguasaan ilmiah tingkah laku sampai pada aspek biologis dan reproduksi diharapkan populasi tikus akan meningkat sehingga dapat menyumbangkan pangan sumber protein hewani.

Tujuan

1. Memperoleh gambaran tingkah laku yang berhubungan dengan aktivitas harian secara umum.

2. Membuat suatu pola manajemen pemeliharaan yang baik sesuai dengan lingkungan pembudidayaan.

3. Mempelajari kinerja biologis tikus ekor putih pada kondisi pembudidayaan (ex-situ) yang dapat dikembangkan sebagai ternak pedaging.

4. Mengetahui jenis-jenis pakan yang disukai dan upaya pemberian pakan secara terkontrol.

5. Mengetahui karakteristik daging dan uji penerimaan masyarakat kota Manado dan kabupaten Minahasa terhadap daging tikus ekor putih.

Manfaat

1. Hasil penelitian dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam penanganan dan pengembangan satwa harapan yang ada di Sulawesi Utara.

2. Informasi hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh kalangan ilmuwan sebagai bahan kajian maupun data dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian tentang tikus ekor putih sebagai satwa harapan tropis di Sulawesi Utara.

Hipotesis

1. Tingkah laku yang diperlihatkan oleh tikus ekor putih dalam kandang budidaya (ex-situ) tidak berbeda dengan tingkah laku di habitat aslinya yaitu di hutan (in-situ).

2. Tikus ekor putih mampu beradaptasi dan bereproduksi di lingkungan budidaya.

3. Daging tikus ekor putih dapat diterima sebagai alternatif hewan penghasil daging yang berpotensi untuk budidaya.

Umum

Tikus hutan ekor putih (Maxomys hellwandii) hanya terdapat di Indonesia khususnya di Pulau Sulawesi. Tikus ini dikenal dengan nama lokal Turean, dan mempunyai 14 spesies tikus ekor putih lainnya. Sampai saat ini habitatnya belum diketahui (Corbet dan Hill, 1992).

Di Provinsi Sulawesi Utara nama lokal hewan nokturnal tersebut beragam macam sesuai dengan wilayah penyebarannya. Tikus ini berwarna krem kecokelatan dengan ciri-ciri khusus bagian dada berwarna agak putih dengan ekor yang panjang dan sebagian ujungnya berwarna putih sehingga dikenal dengan nama tikus ekor putih (Van der Zon, 1979).

Petani Delta Mekong yang dulu selalu dibuat pusing oleh serangan tikus, kini malah menangguk untung dari bisnis tikus. Mereka mulanya tidak ada niat untuk mengekspor binatang hama sawah, bahkan berupaya memusnahkan tikus-tikus tersebut. Tikus menjadi bisnis serius setelah adanya permintaan dari restoran-restoran di negara tetangga Kamboja. Tikus-tikus ini dikonsumsi di restoran untuk sajian makan malam. Di Provinsi Bac Lieu kini diperkirakan ada sekitar 2000 peternak yang mata pencaharian utamanya adalah budidaya tikus (Kompas, 17 April 2002).

Pusat distribusi tikus di delta Sungai Mekong, Vietnam terdapat di enam propinsi yaitu : Ca Mau, Bac Lieu, Soc Trang, Can Tho, An Giang, dan Dong Thap yang menghasilkan produksi daging tikus tahunan untuk konsumsi manusia sebesar 3300 sampai 3600 ton dengan nilai harga pasar sekitar 25 sampai 30 milyar (VND) Vietnam Dong (US$ 2 juta). Bisnis tikus melibatkan 2000 penangkap tikus, 50 distributor sangat menolong sebagai sumber pendapatan petani miskin dan juga sumber protein (Nguyen Tri Khiem et al., 2003).

Klasifikasi

Menurut Corbet dan Hill (1992), klasifikasi tikus ekor putih adalah sebagai berikut:

kingdom : Animal

filum : Chordata

subfilum : Vertebrata (Craniata)

kelas : Mamalia subkelas : Theria infrakelas : Eutheria ordo : Rodentia subordo : Myomorpha superfamili : Muroidea famili : Muridae subfamili : Murinae genus : Murinae

spesies : Maxomys hellwandii

Habitat

Habitat adalah suatu tempat organisme atau individu biasanya ditemukan. Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri atas air, tanah, topografi dan iklim (makro dan mikro) serta komponen biologis yang terdiri atas manusia, vegetasi, dan satwa (Smiet, 1986).

Naungan (cover) adalah bagian dari habitat yang berfungsi sebagai tempat berlindung (terhadap panas matahari, predator dan gangguan lain), beristirahat atau berkembang biak bagi beberapa jenis satwa. Naungan dapat berfungsi sebagai tempat mencari makan dan minum. Secara fisik naungan dapat berupa vegetasi, gua atau bentukan alam lainnya (Direktorat Jenderal PHPA, 1986).

Satwa liar adalah binatang yang hidup di dalam ekosistem alam (Bailey, 1984 diacu dalam Alikodra, 1997). Penangkaran satwa liar adalah perkembangbiakan dan pemeliharaan satwa liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai sasaran tertentu (Helvoort, 1986).

Penangkaran dengan sistem kandang merupakan upaya

pengembangbiakan jenis-jenis satwa liar yang dilakukan secara intensif dalam kandang. Thohari (1987) menyatakan bahwa dalam usaha penangkaran suatu jenis satwa liar, proses adaptasi berlangsung dalam jangka waktu cukup panjang, mulai saat individu ditangkap dari habitat asli sampai pada tahap

individu tersebut mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lokasi penangkaran dan lingkungannya serta perlakuan-perlakuan yang diterimanya. Demikian pula proses adaptasi masih berlanjut sampai individu tersebut mampu berasosiasi dengan individu-individu lainnya baik sesama jenis ataupun berlainan jenis kelamin (Tomaszew dan Putu, 1993).

Pertimbangan dalam menetapkan jenis-jenis satwa liar yang perlu ditangkarkan atau dibudidayakan apabila (1) secara alami populasinya mengalami penurunan tajam dari waktu ke waktu sehingga terancam punah, dan (2) mempunyai potensi ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatannya bagi manusia terus bertambah sehingga kelestariannya terancam (Thohari, 1987). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dalam proses budidaya, teknologi yang diperlukan mencakup aspek perkandangan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan pascapanen. Teknik yang diterapkan harus mampu mempercepat proses adaptasi satwa. Penangkaran dinilai berhasil bila teknologi reproduksi satwa tersebut telah dikuasai, artinya usaha penangkaran telah berhasil mengembangbiakkan satwa yang ditangkarkan.

Tingkah Laku

Tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dari dalam tubuh hewan itu sendiri (endogenous) maupun faktor dari luar (exogenous) (Suratmo, 1979). Menurut Lehner (1979) tingkah laku yang dipelajari tidak hanya apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, di mana, bagaimana dan mengapa tingkah laku itu terjadi.

Macam dan banyaknya rangsangan yang diterima akan menghasilkan pengalaman hewan dari waktu ke waktu pada masa lalu, yang sangat mempengaruhi respon hewan (Suratmo, 1979). Selanjutnya rangsangan yang sama juga dapat mempunyai efek yang berbeda pada individu yang berbeda atau pada spesies yang berbeda (Huntingford, 1984).

Rangsangan berupa suara, pandangan, tenaga mekanis, dan kimia yang berasal dari luar diterima dan disaring oleh indera. Rangsangan eksternal akan berinteraksi dengan rangsangan internal, dan secara bersama-sama akan menentukan respon hewan, sehingga tingkah laku suatu spesies merupakan fungsi dari faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi. Dengan demikian, tingkah laku merupakan hasil dari perubahan yang terjadi terus

menerus pada hewan yang merupakan konsekuensi hubungan antara hewan dan lingkungannya (Suratmo, 1979; Huntingford, 1984).

Respon hewan terhadap semua faktor rangsangan, pada prinsipnya berasal dari suatu dorongan dasar untuk tetap hidup (survive) dengan melakukan semua usaha. Survival suatu individu atau spesies bergantung pada kemampuannya memperoleh pakan, melakukan reproduksi dan regenerasi, kehadiran predator, pasangan kawin, serta individu muda (anak) yang memerlukan pengasuhan serta adaptasi terhadap tekanan faktor lingkungan baik biotik maupun abiotik. Dorongan dasar ini akan menentukan beberapa pola yang relatif tetap dalam tingkah laku hewan (Suratmo, 1979).

Tingkah laku hewan dapat merupakan hasil proses belajar (learned) atau hanya merupakan instinct (innate) yang dimulai sejak lahir sampai mati terhadap segala sesuatu yang dialaminya, sehingga respon yang diperlihatkan individu dewasa merupakan hasil adaptasinya terhadap rangsangan yang terjadi. Oleh karena itu bila rangsangan yang terjadi belum pernah dialami sebelumnya maka respon yang diperlihatkan individu (spesies) merupakan respon spontan yang bersifat naluriah (insting) (Huntingford, 1984). Respon yang bersifat naluriah, jarang ditemukan pada hewan tingkat tinggi dibandingkan pada hewan-hewan dengan tingkat rendah (Huntingford, 1984). Dengan demikian pada tikus ekor putih, tingkah laku yang bersifat bukan naluriah lebih dominan dibandingkan dengan pada golongan hewan lainnya.

Tomaszewska et al. (1989) menyatakan bahwa tingkah laku satwa dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh macam yaitu:

1. Tingkah laku makan dan minum dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan hal tersebut (ingestive).

2. Tingkah laku pencarian tempat berteduh (shelter seeking). 3. Tingkah laku penyidikan (investigatory).

4. Tingkah laku kecenderungan untuk berkelompok dan terikat dalam tingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu (allelomimetic).

5. Tingkah laku berselisih, bertengkar, dan menghindar (agonistic). 6. Tingkah laku membuang kotoran, dan kencing (eliminative).

7. Tingkah laku memberi perhatian dari induk ke anak (epimeletic/ care giving). 8. Tingkah laku minta perhatian dari anak ke induk (epimeletic / care soliciting). 9. Tingkah laku seksual atau reproduksi ( sexual or reproduction).

Menurut Scott (1969), pola tingkah laku satwa dikelompokkan ke dalam sistem tingkah laku yaitu kumpulan tingkah laku yang memiliki satu fungsi umum antara lain meliputi tingkah laku makan dan minum, tingkah laku sosial agonistik, tingkah laku membersihkan rambut, tingkah laku istirahat, tingkah laku berkelompok, dan tingkah laku melahirkan.

Tingkah Laku Makan dan Minum (Ingestif)

Tingkah laku makan meliputi semua aktivitas makan dan minum. Tingkah laku makan secara umum meliputi menangkap, makan, mengunyah dan menelan (Frazer, 1980). Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985), tingkah laku makan mencakup konsumsi bahan-bahan yang bermanfaat bagi tubuh satwa dalam wujud padat maupun dalam wujud cair. Tingkah laku makan berhubungan erat dengan anatomi dan fisiologis tiap jenis hewan dan sifat makanannya yang khas. Milton (1981) menyatakan strategi makan berhubungan erat dengan ukuran tubuh, kepala, dan panjang rahang.

Makanan dan air merupakan faktor pembatas bagi hidupnya margasatwa, di samping dari segi kuantitas dan kualitas makanan dan air juga harus diperhatikan.

Tingkah Laku Sosial Agonistik

Tingkah laku sosial merupakan tingkah laku yang melibatkan lebih dari satu individu, yakni pengekspresian diri terhadap individu lain, di antaranya adalah tingkah laku agonistik yang menyangkut tingkah laku mengancam dan mengalah yang khas pada hewan.

Tingkah laku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa dan dikategorikan dalam beberapa tingkatan konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman, menyerang, dan tingkah laku patuh (Hart, 1985). Tingkah laku agonistik ini merupakan hal yang sangat penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan-subordinat antartingkatan sosial spesies.

Tingkah Laku Membersihkan Rambut (Grooming)

Menurut Sellevs (2001), grooming atau membersihkan rambut merupakan suatu aktivitas primata yang bersifat umum. Aktivitas ini dilakukan untuk mempererat hubungan kekeluargaan di antara mereka, dan hewan yang

dominan seperti jantan akan membersihkan rambut betina dalam rangka kegiatan seksual, Hal ini sejalan dengan pernyataan Kyes (1991) bahwa grooming juga merupakan bentuk tingkah laku seksual. Kebiasaan induk adalah membersihkan rambut anaknya agar bersih dari kotoran yang melekat pada kulitnya. Kegiatan seperti ini sudah dilakukan secara turun temurun untuk memperat hubungan kekeluargaan dan mempertahankan struktur sosial secara bersama-sama.

Menurut Chalmers (1979), tingkah laku membersihkan rambut dilakukan dengan tujuan mencari kotoran atau ektoparasit pada tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya. Tingkah laku ini tidak hanya sekedar membersihkan badan tetapi juga merupakan sarana menjalin hubungan sosial antarkelompok, meredakan ketegangan, dan berbagai tujuan lainnya.

Grooming bukan hanya sebagai sarana membersihkan tubuh tetapi juga berfungsi sosial dan menunjukkan status sosial. Bermain, biasa dilakukan satwa remaja dan anak-anak, dan juga proses dari tingkah laku seks setelah terjadi kopulasi biasanya dilanjutkan dengan grooming oleh betina atau jantan (Eimerl dan De Vore, 1978; Walters dan Seyfarth, 1987; Kinnaird dan Brien, 1995)

Tingkah Laku Istirahat

Kegiatan istirahat adalah periode tidak aktif dari satwa dalam bentuk apapun (makan, berpindah, dan bersuara). Di dalam periode istirahat terjadi interaksi sosial antara anggota kelompoknya (Chivers, 1977)

Dalam tingkah laku istirahat kadang-kadang terdapat tingkah laku merawat diri (grooming). Pada waktu istirahat satwa relatif tidak melakukan banyak gerakan, aktivitas ini meliputi duduk-duduk dan tiduran.

Tingkah Laku Berkelompok (allelomimetic)

Tingkah laku berkelompok adalah kecenderungan untuk bergerombol dan mempengaruhi untuk bertingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu. Ini merupakan ciri hewan yang tingkat sosialnya tinggi. (Tomaszewska dan Putu,1989).

Pola hidup sosial dapat digolongkan menjadi empat kategori berdasarkan sistem kelompok sosialnya yaitu sistem kelompok banyak jantan (multi-male group), sistem kelompok satu jantan (uni-male/one-male/group), sistem kelompok keluarga (family group), dan sistem hidup sendiri, kecuali saat musim

kawin/mengasuh anak (semi soliter) (Jolly, 1985; Napier dan Napier, 1985; Sterck, 1995).

Hidup dalam sistem kelompok sosial, selain karena daya tarik seks juga disebabkan prinsip kekuasaan bersama bahwa hidup dalam kelompok adalah menguntungkan, seperti kewaspadaan terhadap ancaman predator, memperluas kontak dengan lingkungan, meningkatkan sukses reproduksi dan keamanan terhadap individu muda serta penguasaan atas pakan berkualitas yang dibutuhkan individu (Napier dan Napier, 1985).

Individu anggota kelompok akan berinteraksi satu dengan yang lain yang mencerminkan adanya hubungan saling memperhatikan ataupun persaingan untuk memperoleh sesuatu. Menurut Seyfarth dan Cheney (1994) hubungan antarindividu di dalam kelompok umumnya terjadi dalam bentuk hubungan induk dan anak, hubungan sesama pasangan, atau antarindividu yang merupakan saingan.

Komunikasi antarindividu anggota kelompok sangat berperan dalam segala aktivitas. Komunikasi antarindividu dapat terjadi melalui bau/penciuman (olfactory), sentuhan/kontak (tactile), penglihatan (visual) dan suara (vocal). Komunikasi secara visual umumnya yang paling utama, tetapi di hutan hujan tropis (karena terbatasnya pandangan oleh lingkungan hutan) komunikasi dengan suara adalah yang terpenting (Jolly, 1985; Napier dan Napier, 1985).

Tingkah Laku Melahirkan

Tingkah laku melahirkan merupakan tabiat dari suatu rangkaian kejadian yang saling berhubungan meliputi tahap sebelum melahirkan, saat melahirkan dan setelah melahirkan (Fraser, 1980). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa proses melahirkan dibagi atas tiga fase. Fase pertama yaitu dilatasi cervix dan tingkah laku yang menyertainya. Fase kedua adalah saat terjadinya dorongan fetus dari uterus ke saluran kelahiran. Fase ketiga adalah lepasnya plasenta setelah proses kelahiran.

Tingkah laku menjelang melahirkan. Menurut Fraser (1980) periode menjelang melahirkan saat fetus masih berada di uterus sampai dengan awal terjadinya fase pertama dari proses kelahiran. Ensminger (1962) dan Gillespie (1983) menyatakan bahwa 12 sampai 14 jam menjelang kelahiran, lilin yang melapisi ujung-ujung puting akan mencair dan jatuh yang diikuti dengan menetesnya air susu. Tertutupnya ujung-ujung puting oleh lapisan zat lilin dan mencairnya zat lilin tersebut dapat terjadi 2 sampai 3 kali pada 10 hari sebelum

melahirkan. Pada saat yang sama otot vulva akan terlihat membengkak dan relaksasi. Blakely dan Bade (1991) melaporkan bahwa semakin dekat ke proses kelahiran urinasi akan sering terjadi yang akan diikuti dengan sikap gelisah.

Tingkah laku saat melahirkan. Periode ini ditandai dengan pecahnya allantochorion yang diikuti dengan keluarnya keseluruhan bagian tubuh fetus dan diakhiri dengan keluarnya plasenta (Kilgour dan Dalton, 1984). Pada umumnya proses kelahiran terjadi pada malam hari hingga dini hari (Blakely dan Bade, 1991)

Tingkah laku setelah melahirkan. Salah satu ciri yang spesifik dari hewan mamalia adalah turut keluarnya plasenta beberapa saat setelah anak dilahirkan. Pada beberapa jenis hewan seperti pada babi dan sapi yang bersifat plasentophagic, ada kecenderungan untuk memakan plasenta yang telah keluar. Sifat ini adalah salah satu bentuk proteksi induk terhadap anak dari serangan predator, karena apabila tidak dimakan, bau plasenta dan darah akan mengundang predator karnivora untuk mendekat (Hart, 1985).

Frazer (1980) menyatakan bahwa beberapa saat setelah dilahirkan tubuh anak akan dijilati oleh induknya hingga menjadi bersih dari lendir yang menempel. Rangsangan jilatan serta kontak fisik yang terjadi mendorong anak untuk mencari puting induk. Kilgour dan Dalton (1984) melaporkan bahwa 30 menit setelah dilahirkan anak akan mulai menyusu ke induknya.

Sifat-Sifat Tikus

Tikus dapat dikandangkan bersama dalam satu kelompok besar yang terdiri atas jantan dan betina dari berbagai tingkat tanpa terjadinya perkelahian yang berarti. Tikus yang lepas dari kandang umumnya akan kembali ke kandangnya.

Tikus dapat produktif untuk berbiak selama lebih dari sembilan bulan atau sampai usia satu tahun. Selama waktu tersebut tikus sudah menghasilkan 7 sampai 10 kali beranak dengan 6 sampai 14 anak pada masing-masing kelahiran. Keterangan lain yang lebih lengkap tentang data biologis tikus dapat dilihat pada Tabel 1. Sesudah satu tahun jumlah anak yang dilahirkan berkurang dan jarak kelahiran semakin jauh sampai tidak berproduksi lagi pada usia 450 sampai 500 hari (Malole dan Pramono, 1989).

Siklus Reproduksi Tikus

Siklus reproduksi biasanya dimulai sekitar umur 77 hari, dimulai antara umur 45 dan 147 hari.

Tabel 1 Data biologis Rattus norvegicus

Karakteristik biologis Keterangan 1. Lama hidup

2. Lama produksi ekonomis 3. Lama bunting

4. Kawin sesudah beranak 5. Umur disapih

6. Umur dewasa 7. Umur dikawinkan 8. Siklus kelamin 9. Siklus estrus (berahi) 10. Lama estrus 11. Perkawinan 12. Ovulasi 13. Fertilisasi 14. Implantasi 15. Berat dewasa 16. Berat lahir 17. Jumlah anak

2 - 3 tahun dapat sampai 4 tahun 1 tahun

0 – 22 hari 1 - 24 jam 21 hari 40 - 60 hari

10 minggu (jantan & Betina) Poliestrus

4 - 5 hari 9 - 20 jam Pada saat estrus

8 - 11 jam sesudah estrus, spontan 7 - 10 jam

5 - 6 hari sesudah fertilisasi

300 - 400 g jantan; 250 -300 g betina 5 - 6 g

Rata-rata 9 dapat 20 ekor Sumber : Baker et al. (1979)

Siklus Berahi

Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50 sampai 60 hari. Vagina mulai terbuka pada umur 35 sampai 90 hari dan testes turun/ keluar pada umur 20 sampai 50 hari. Anak-anak yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus mulai dikawinkan pada umur 65 sampai 110 hari yaitu pada saat betina mencapai bobot badan 250 g dan jantan 300 g. Umur perkawinan pertama tersebut bergantung pada galur tikus dan tingkat pertumbuhannya.

Perubahan vagina pada tikus erat hubungannya dengan siklus estrus, dan berbagai penelitian dari cairan sel dan vagina memberikan metode yang dapat diandalkan untuk menentukan estrus (McDonald, 1989 ; Baker et al., 1979)

Selama fase estrus, dinding vagina terlihat kering, putih dan buram, tetapi berubah lembab dan berwarna merah muda selama metestrus. Perubahan ini berhubungan dengan proses pertandukan lapisan permukaan vagina selama estrus (Baker et al., 1979).

Siklus berahi berlangsung 4 sampai 5 hari dengan lama berahi 12 jam. Setiap siklus mulai pada malam hari. Berahi pada tikus betina tidak banyak dipengaruhi oleh bau pejantan. Seperti pada hewan lain, siklus berahi pada tikus

Dokumen terkait