DAGING TIKUS EKOR PUTIH
(
Maxomys hellwandii
)
INDYAH WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INDYAH WAHYUNI.Tingkah Laku, Reproduksi, dan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih (Maxomys hellwandii) Dibimbing oleh EDDIE GURNADI, WASMEN MANALU, AMINUDDIN PARAKKASI, dan ASEP SAEFUDIN
INDYAH WAHYUNI.Behavior, Reproduction, and Meat Characteristics of White-Tail Rats (Maxomys Hellwandii). Under the direction of EDDIE GURNADI, WASMEN MANALU, AMINUDDIN PARAKKAS I, and ASEP SAEFUDIN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Tingkah Laku, Reproduksi dan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih (Maxomys hellwandii) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2005
DAGING TIKUS EKOR PUTIH
(
Maxomys hellwandii
)
INDYAH WAHYUNI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
© Hak cipta milik Indyah Wahyuni, tahun 2005
Hak cipta dilindungi
Penulis dilahirkan di Manado tanggal 31 Maret 1963 dari ayah Sanyoto dan ibu Tuminah Sagirun. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1995 penulis diterima di Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB dengan biaya TMPD dan menamatkan pada tahun 1998.
Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Doktor di Program Pascasarjana dengan mendapat beasiswa BPPS dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Maret 2003, adalah Tingkah Laku, Reproduksi, dan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih (Maxomys hellwandii)
Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis menghaturkan terima kasih yang tulus tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Drh H.R. Eddie Gurnadi sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu, Prof. Dr. Drh H. Aminuddin Parakkasi, M.Sc, Dr. Ir. Asep Saefudin, M.Sc masing-masing sebagai anggota komisi atas kesabaran, penyediaan waktu, keikhlasan, kelembutan maupun ketegasan selama proses pembimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Program Doktor.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Drh Budiarso, M.Sc atas bimbingan dan bantuan selama saya melaksanakan penelitian di Manado. Juga terima kasih kepada Jane, Lucia, Tiltje, Mauren, Syalom, Delly, Ida, Meis, Afriza, Lenda dan Fredy atas kerjasama selama ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartati Chandra Dewi, Msi, Ir. Dedi Rahmat, MS, Ir. Jasmal A. Syamsu, MSi, Dr. Ir. Harry Triely Uhi, MSi, Ir. John Randa, MSi, Ir. Godlief Yoseph, Msi, Ir. Ma’ruf Tafsin MSi, Ir. Nevy Diana Hanafi MSi, Ir. Jaelani, Msi, Ir. Elis Dihansih, MSi, Ir. Rukmiasih, MSi, drh. Herman Tabrany, MP, Ir. Mobius Tanari, MP, Mohamad Sayuti Mas’ud MSi, atas hubungan kekeluargaan dan persahabatan yang tulus. Pak cucu, Pak Eko, Edit Pak Darmawan, Ibu Ida dan Ibu Sri atas bantuan selama di laboratorium.
Kupersembahkan disertasi ini untuk bapak, ibu yang senantiasa tanpa lelah mencurahkan kasih sayang, mendukung saya, dan saudara-saudaraku Mba Sulistianingtyas, Mas Bayu, Mba Puspa, Dewi, Endang, Wiwin, Guruh, Adi, Oka, Mas Rudi, Mas Yona, Esi, Nouke, Pa’ Oke serta semua keponakanku, semoga menjadi dorongan untuk kalian lebih giat belajar. Terima kasih atas kasih sayang dukungan moril dan materilnya.
Bogor, Oktober 2005
Nama : Indyah Wahyuni
NIM : D 016010091
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. H.R. Eddie Gurnadi Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu
Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. H. Aminuddin Parakkasi, M.Sc. Dr. Ir. Asep Saefudin, M.Sc.
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
1 PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Manfaat Penelitian ... 2
Hipotesis ... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Umum ... 4
Klasifikasi ... 5
Habitat ... 5
Tingkah Laku ... 6
Sifat-Sifat Tikus ... 11
Siklus Reproduksi Tikus ... 12
Penentuan Jenis Kelamin ... 14
Sistem Perkawinan ... 14
Sistem Pencernaan dan Konsumsi ... 15
Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Ternak ... 18
Komposisi Kimia dan Sifat-Sifat Daging ... 19
Produksi Karkas ... 22
Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Daging ... 23
3 PENGAMATAN BIOLOGI DASAR TIKUS EKOR PUTIH DI HABITAT ASLI ... 25
Pendahuluan ... 25
Bahan dan Metode ... 25
Hasil dan Pembahasan ... 26
Simpulan ... 31
4 ADAPTASI DAN TINGKAH LAKU TIKUS EKOR PUTIH ... 32
Pendahuluan ... 32
Bahan dan Metode ... 32
Hasil dan Pembahasan ... 36
Simpulan ... 48
5 PENELITIAN KINERJA REPRODUKSI ... 49
Pendahuluan ... 49
Bahan dan Metode ... 49
Hasil dan Pembahasan ... 51
Simpulan ... 56
6 PENELITIAN KARAKTERISTIK SIFAT KIMIA DAGING DAN ORGANOLEPTIK ... 57
Pendahuluan ... 57
Bahan dan Metode ... 58
Hasil dan Pembahasan ... 66
7 PEMBAHASAN UMUM ... 77
8 SIMPULAN DAN SARAN. ... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 83
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Data biologis tikus ... 12
2 Gambaran sel yang ditemukan pada ulasan vagina tikus ekor putih selama siklus estrus ... 13
3 Pengelompokan asam lemak tak jenuh ... 21
4 Preferensi tikus ekor putih terhadap berbagai jenis pakan ... 29
5 Ukuran organ tikus ekor putih dan Rattus Norvegicus sp……….... 30
6 Ethogram Hafest beberapa tingkah laku yang diamati ... 35
7 Konsumsi, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum tikus ... 47
8 Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina ... 50
9 Lama estrus tikus ekor putih (Maxomys hellwandii) ... 51
10 Beberapa sifat biologis tikus ekor putih dibanding Rattus Norvegicus sp.. 55
11 Komposisi ester metil asam lemak standar 74 ... 63
12 Komposisi ester metil asam lemak standar 84 ... 63
13 Persentase karkas berdasarkan habitat hidup (%) ... 67
14 Analisis proksimat daging tikus ekor putih, daging napu, daging sapi, daging babi, daging ayam, daging domba, dan daging itik lokal ... 67
15 Komposisi asam lemak daging tikus ekor putih, daging babi, daging sapi, dan daging napu ... 69
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Perkembang tikus ekor putih tiap minggu ... 91
2 Lembaran identifikasi estrus... 92
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kondisi habitat tempat tikus membuat liang sarang……… 27
2 Bagian luar dan dalam kandang reproduksi tempat tikus kawin………… 33
3 Kandang kelompok yang terbuat dari alas beton, dinding seng dan penutup ram ... 33
4 Kandang kaca yang digunakan untuk melihat tingkah laku ... 34
5 Persentase tingkah laku tikus ekor putih ... 36
6 Tikus ekor putih makan batang kangkung... 37
7 Tikus berkelompok ... 38
8 Tingkah laku grooming ... 40
9 Tikus istirahat ... 41
10 Posisi tikus sedang melahirkan ... 42
11 Induk dan anak tikus tidur ... 44
12 Grafik konsumsi tikus jantan ... 45
13 Grafik konsumsi tikus betina ... 46
14 Grafik pertumbuhan tikus ekor putih... 47
15 Kandang tikus estrus dan pengamatan preparat ulas di bawah mikroskop 50 16 Fase proestrus pada ulas vagina tikus ekor putih ... ….52
17 Fase estrus pada ulas vagina tikus ekor putih ... ….53
18 Fase metestrus pada ulas vagina tikus ekor putih ... ….54
19 Fase diestrus pada ulas vagina tikus ekor putih ... ….54
20 Pengujian organoleptik daging tikus ekor putih... ….65
21 Kesukaan flavor tikus ekor putih di Kabupaten Minahasa ... ….73
22 Kesukaan flavor tikus ekor putih di Kota Manado ... ….74
23 Penerimaaan umum tikus ekor putih di Kabupaten Minahasa ... ….75
Latar Belakang
Indonesia memiliki hutan tropik yang kaya dengan berbagai flora dan
fauna, yang merupakan sumber pemenuhan berbagai kebutuhan manusia seperti sandang, pangan, obat-obatan, dan lain-lain. Namun demikian, potensi ini masih kurang mendapat perhatian serius dari berbagai pihak untuk
dikembangkan. Banyak satwa dari masing-masing daerah yang dapat dijadikan sebagai satwa harapan masa depan seperti anoa, rusa, babi rusa, kupu-kupu,
ular, serta satwa lain yang berpotensi menyumbangkan devisa. Di sisi lain kita
masih banyak bergantung pada hasil impor luar negeri antara lain sapi potong dan bahan-bahan penyusun ransum.
Sulawesi merupakan pulau yang sangat unik karena terletak di tengah-tengah kawasan garis Wallacea, memiliki keanekaragaman satwa dengan tingkat
endemisitas yang sangat tinggi di Indonesia bahkan di dunia. Keunikan fauna
vertebratanya telah menempatkan Sulawesi penting di antara pusat-pusat keanekaragaman hayati global. Dari jenis-jenis mamalia, 62% tidak terdapat di
daerah lain di dunia (Whitten et al., 1987). Tikus hutan ekor putih (Maxomys hellwandii), merupakan salah satu di antaranya.
Tikus hutan di Minahasa Sulawesi Utara sudah sejak lama menjadi bahan
makanan eksotik untuk masyarakat setempat, terutama yang dikenal dengan
nama lokal (Manado) sebagai tikus ekor putih, karena sebagian ujung ekornya berwarna putih. Namun demikian, sebenarnya ada beberapa jenis tikus ekor putih yang digemari masyarakat. Tikus-tikus tersebut hanya mengkonsumsi
pucuk-pucuk daun muda dan buah-buahan pohon hutan.
Di Minahasa Tengah (berbahasa Tountemboan), tikus ekor putih disebut Turean. Tikus dewasa mempunyai warna krem dengan warna putih pada bagian
dada dan perutnya. Tikus jenis Turean mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil, mencari makan di atas pohon pada malam hari dan berliang di tanah pada siang hari, atau pada lubang-lubang yang ada di pohon. Tikus ini hanya terdapat
di hutan-hutan pulau Sulawesi (Van der Zon, 1979).
Mengingat peningkatan permintaan terhadap makanan eksotik ini sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti dengan makin berkurangnya kawasan hutan habitat satwa ini, maka dikhawatirkan populasi satwa harapan
karena itu perlu dicarikan solusi untuk tetap mempertahankan keberadaan satwa
ini di alam, dan sekaligus dapat mensuplai permintaan makanan eksotik masyarakat setempat. Salah satu alternatif yang rasional adalah membudidayakan satwa ini.
Sampai saat ini belum ada penelitian atau usaha yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta untuk mengembangkan, melestarikan satwa langka
dan endemik di luar habitat aslinya. Proses pembudidayaan di dalam kandang membantu pengamatan tingkah laku, biologis dan reproduksinya, dengan
penguasaan ilmiah tingkah laku sampai pada aspek biologis dan reproduksi diharapkan populasi tikus akan meningkat sehingga dapat menyumbangkan pangan sumber protein hewani.
Tujuan
1. Memperoleh gambaran tingkah laku yang berhubungan dengan aktivitas harian secara umum.
2. Membuat suatu pola manajemen pemeliharaan yang baik sesuai dengan lingkungan pembudidayaan.
3. Mempelajari kinerja biologis tikus ekor putih pada kondisi pembudidayaan (ex-situ) yang dapat dikembangkan sebagai ternak pedaging.
4. Mengetahui jenis-jenis pakan yang disukai dan upaya pemberian pakan
secara terkontrol.
5. Mengetahui karakteristik daging dan uji penerimaan masyarakat kota Manado dan kabupaten Minahasa terhadap daging tikus ekor putih.
Manfaat
1. Hasil penelitian dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam penanganan dan pengembangan
satwa harapan yang ada di Sulawesi Utara.
2. Informasi hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh kalangan ilmuwan sebagai bahan kajian maupun data dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian tentang tikus ekor putih sebagai satwa harapan
tropis di Sulawesi Utara.
Hipotesis
1. Tingkah laku yang diperlihatkan oleh tikus ekor putih dalam kandang budidaya (ex-situ) tidak berbeda dengan tingkah laku di habitat aslinya yaitu di hutan (in-situ).
2. Tikus ekor putih mampu beradaptasi dan bereproduksi di lingkungan budidaya.
Umum
Tikus hutan ekor putih (Maxomys hellwandii) hanya terdapat di Indonesia
khususnya di Pulau Sulawesi. Tikus ini dikenal dengan nama lokal Turean, dan
mempunyai 14 spesies tikus ekor putih lainnya. Sampai saat ini habitatnya belum diketahui (Corbet dan Hill, 1992).
Di Provinsi Sulawesi Utara nama lokal hewan nokturnal tersebut beragam macam sesuai dengan wilayah penyebarannya. Tikus ini berwarna krem kecokelatan dengan ciri-ciri khusus bagian dada berwarna agak putih dengan
ekor yang panjang dan sebagian ujungnya berwarna putih sehingga dikenal
dengan nama tikus ekor putih (Van der Zon, 1979).
Petani Delta Mekong yang dulu selalu dibuat pusing oleh serangan tikus, kini malah menangguk untung dari bisnis tikus. Mereka mulanya tidak ada niat
untuk mengekspor binatang hama sawah, bahkan berupaya memusnahkan tikus-tikus tersebut. Tikus menjadi bisnis serius setelah adanya permintaan dari restoran-restoran di negara tetangga Kamboja. Tikus-tikus ini dikonsumsi di
restoran untuk sajian makan malam. Di Provinsi Bac Lieu kini diperkirakan ada sekitar 2000 peternak yang mata pencaharian utamanya adalah budidaya tikus (Kompas, 17 April 2002).
Pusat distribusi tikus di delta Sungai Mekong, Vietnam terdapat di enam propinsi yaitu : Ca Mau, Bac Lieu, Soc Trang, Can Tho, An Giang, dan Dong Thap yang menghasilkan produksi daging tikus tahunan untuk konsumsi manusia sebesar 3300 sampai 3600 ton dengan nilai harga pasar sekitar 25 sampai 30
Klasifikasi
Menurut Corbet dan Hill (1992), klasifikasi tikus ekor putih adalah sebagai berikut:
kingdom : Animal
filum : Chordata
subfilum : Vertebrata (Craniata)
kelas : Mamalia
subkelas : Theria
infrakelas : Eutheria
ordo : Rodentia
subordo : Myomorpha
superfamili : Muroidea
famili : Muridae
subfamili : Murinae
genus : Murinae
spesies : Maxomys hellwandii
Habitat
Habitat adalah suatu tempat organisme atau individu biasanya ditemukan.
Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri atas air, tanah, topografi dan iklim (makro dan mikro) serta komponen biologis yang terdiri atas manusia, vegetasi, dan satwa (Smiet, 1986).
Naungan (cover) adalah bagian dari habitat yang berfungsi sebagai tempat berlindung (terhadap panas matahari, predator dan gangguan lain), beristirahat atau berkembang biak bagi beberapa jenis satwa. Naungan dapat berfungsi
sebagai tempat mencari makan dan minum. Secara fisik naungan dapat berupa vegetasi, gua atau bentukan alam lainnya (Direktorat Jenderal PHPA, 1986).
Satwa liar adalah binatang yang hidup di dalam ekosistem alam (Bailey, 1984 diacu dalam Alikodra, 1997). Penangkaran satwa liar adalah
perkembangbiakan dan pemeliharaan satwa liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai sasaran tertentu (Helvoort, 1986).
Penangkaran dengan sistem kandang merupakan upaya
pengembangbiakan jenis-jenis satwa liar yang dilakukan secara intensif dalam kandang. Thohari (1987) menyatakan bahwa dalam usaha penangkaran suatu jenis satwa liar, proses adaptasi berlangsung dalam jangka waktu cukup
individu tersebut mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lokasi penangkaran
dan lingkungannya serta perlakuan-perlakuan yang diterimanya. Demikian pula proses adaptasi masih berlanjut sampai individu tersebut mampu berasosiasi dengan individu-individu lainnya baik sesama jenis ataupun berlainan jenis
kelamin (Tomaszew dan Putu, 1993).
Pertimbangan dalam menetapkan jenis-jenis satwa liar yang perlu
ditangkarkan atau dibudidayakan apabila (1) secara alami populasinya mengalami penurunan tajam dari waktu ke waktu sehingga terancam punah, dan
(2) mempunyai potensi ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatannya bagi manusia terus bertambah sehingga kelestariannya terancam (Thohari, 1987). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dalam proses budidaya, teknologi yang diperlukan
mencakup aspek perkandangan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan
pascapanen. Teknik yang diterapkan harus mampu mempercepat proses adaptasi satwa. Penangkaran dinilai berhasil bila teknologi reproduksi satwa
tersebut telah dikuasai, artinya usaha penangkaran telah berhasil mengembangbiakkan satwa yang ditangkarkan.
Tingkah Laku
Tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang ditimbulkan oleh
semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dari dalam tubuh hewan itu sendiri (endogenous) maupun faktor dari luar (exogenous) (Suratmo, 1979). Menurut Lehner (1979) tingkah laku yang dipelajari tidak hanya apa yang
dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, di mana, bagaimana dan mengapa tingkah laku itu terjadi.
Macam dan banyaknya rangsangan yang diterima akan menghasilkan
pengalaman hewan dari waktu ke waktu pada masa lalu, yang sangat mempengaruhi respon hewan (Suratmo, 1979). Selanjutnya rangsangan yang sama juga dapat mempunyai efek yang berbeda pada individu yang berbeda atau pada spesies yang berbeda (Huntingford, 1984).
Rangsangan berupa suara, pandangan, tenaga mekanis, dan kimia yang berasal dari luar diterima dan disaring oleh indera. Rangsangan eksternal akan berinteraksi dengan rangsangan internal, dan secara bersama-sama akan
menerus pada hewan yang merupakan konsekuensi hubungan antara hewan
dan lingkungannya (Suratmo, 1979; Huntingford, 1984).
Respon hewan terhadap semua faktor rangsangan, pada prinsipnya berasal dari suatu dorongan dasar untuk tetap hidup (survive) dengan melakukan
semua usaha. Survival suatu individu atau spesies bergantung pada kemampuannya memperoleh pakan, melakukan reproduksi dan regenerasi,
kehadiran predator, pasangan kawin, serta individu muda (anak) yang memerlukan pengasuhan serta adaptasi terhadap tekanan faktor lingkungan baik
biotik maupun abiotik. Dorongan dasar ini akan menentukan beberapa pola yang relatif tetap dalam tingkah laku hewan (Suratmo, 1979).
Tingkah laku hewan dapat merupakan hasil proses belajar (learned) atau
hanya merupakan instinct (innate) yang dimulai sejak lahir sampai mati terhadap
segala sesuatu yang dialaminya, sehingga respon yang diperlihatkan individu dewasa merupakan hasil adaptasinya terhadap rangsangan yang terjadi. Oleh
karena itu bila rangsangan yang terjadi belum pernah dialami sebelumnya maka respon yang diperlihatkan individu (spesies) merupakan respon spontan yang bersifat naluriah (insting) (Huntingford, 1984). Respon yang bersifat naluriah, jarang ditemukan pada hewan tingkat tinggi dibandingkan pada
hewan-hewan dengan tingkat rendah (Huntingford, 1984). Dengan demikian pada tikus ekor putih, tingkah laku yang bersifat bukan naluriah lebih dominan dibandingkan dengan pada golongan hewan lainnya.
Tomaszewska et al. (1989) menyatakan bahwa tingkah laku satwa dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh macam yaitu:
1. Tingkah laku makan dan minum dan kegiatan lainnya yang berhubungan
dengan hal tersebut (ingestive).
2. Tingkah laku pencarian tempat berteduh (shelter seeking). 3. Tingkah laku penyidikan (investigatory).
4. Tingkah laku kecenderungan untuk berkelompok dan terikat dalam tingkah
laku yang sama pada suatu waktu tertentu (allelomimetic). 5. Tingkah laku berselisih, bertengkar, dan menghindar (agonistic). 6. Tingkah laku membuang kotoran, dan kencing (eliminative).
7. Tingkah laku memberi perhatian dari induk ke anak (epimeletic/ care giving). 8. Tingkah laku minta perhatian dari anak ke induk (epimeletic / care soliciting). 9. Tingkah laku seksual atau reproduksi ( sexual or reproduction).
Menurut Scott (1969), pola tingkah laku satwa dikelompokkan ke dalam
sistem tingkah laku yaitu kumpulan tingkah laku yang memiliki satu fungsi umum antara lain meliputi tingkah laku makan dan minum, tingkah laku sosial agonistik, tingkah laku membersihkan rambut, tingkah laku istirahat, tingkah laku
berkelompok, dan tingkah laku melahirkan.
Tingkah Laku Makan dan Minum (Ingestif)
Tingkah laku makan meliputi semua aktivitas makan dan minum. Tingkah laku makan secara umum meliputi menangkap, makan, mengunyah dan menelan
(Frazer, 1980). Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985), tingkah laku makan mencakup konsumsi bahan-bahan yang bermanfaat bagi tubuh satwa dalam wujud padat maupun dalam wujud cair. Tingkah laku makan berhubungan
erat dengan anatomi dan fisiologis tiap jenis hewan dan sifat makanannya yang
khas. Milton (1981) menyatakan strategi makan berhubungan erat dengan ukuran tubuh, kepala, dan panjang rahang.
Makanan dan air merupakan faktor pembatas bagi hidupnya margasatwa, di samping dari segi kuantitas dan kualitas makanan dan air juga harus diperhatikan.
Tingkah Laku Sosial Agonistik
Tingkah laku sosial merupakan tingkah laku yang melibatkan lebih dari satu individu, yakni pengekspresian diri terhadap individu lain, di antaranya adalah tingkah laku agonistik yang menyangkut tingkah laku mengancam dan mengalah
yang khas pada hewan.
Tingkah laku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa dan dikategorikan dalam beberapa tingkatan konflik, yaitu dalam memperoleh
makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman, menyerang, dan tingkah laku patuh (Hart, 1985). Tingkah laku agonistik ini merupakan hal yang sangat penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan-subordinat antartingkatan
sosial spesies.
Tingkah Laku Membersihkan Rambut (Grooming)
Menurut Sellevs (2001), grooming atau membersihkan rambut merupakan
dominan seperti jantan akan membersihkan rambut betina dalam rangka
kegiatan seksual, Hal ini sejalan dengan pernyataan Kyes (1991) bahwa grooming juga merupakan bentuk tingkah laku seksual. Kebiasaan induk adalah membersihkan rambut anaknya agar bersih dari kotoran yang melekat pada
kulitnya. Kegiatan seperti ini sudah dilakukan secara turun temurun untuk memperat hubungan kekeluargaan dan mempertahankan struktur sosial secara
bersama-sama.
Menurut Chalmers (1979), tingkah laku membersihkan rambut dilakukan
dengan tujuan mencari kotoran atau ektoparasit pada tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya. Tingkah laku ini tidak hanya sekedar membersihkan badan tetapi juga merupakan sarana menjalin hubungan sosial antarkelompok,
meredakan ketegangan, dan berbagai tujuan lainnya.
Grooming bukan hanya sebagai sarana membersihkan tubuh tetapi juga berfungsi sosial dan menunjukkan status sosial. Bermain, biasa dilakukan satwa
remaja dan anak-anak, dan juga proses dari tingkah laku seks setelah terjadi kopulasi biasanya dilanjutkan dengan grooming oleh betina atau jantan (Eimerl dan De Vore, 1978; Walters dan Seyfarth, 1987; Kinnaird dan Brien, 1995)
Tingkah Laku Istirahat
Kegiatan istirahat adalah periode tidak aktif dari satwa dalam bentuk apapun (makan, berpindah, dan bersuara). Di dalam periode istirahat terjadi interaksi sosial antara anggota kelompoknya (Chivers, 1977)
Dalam tingkah laku istirahat kadang-kadang terdapat tingkah laku merawat diri (grooming). Pada waktu istirahat satwa relatif tidak melakukan banyak gerakan, aktivitas ini meliputi duduk-duduk dan tiduran.
Tingkah Laku Berkelompok (allelomimetic)
Tingkah laku berkelompok adalah kecenderungan untuk bergerombol dan mempengaruhi untuk bertingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu. Ini merupakan ciri hewan yang tingkat sosialnya tinggi. (Tomaszewska dan
Putu,1989).
Pola hidup sosial dapat digolongkan menjadi empat kategori berdasarkan sistem kelompok sosialnya yaitu sistem kelompok banyak jantan (multi-male
kawin/mengasuh anak (semi soliter) (Jolly, 1985; Napier dan Napier, 1985;
Sterck, 1995).
Hidup dalam sistem kelompok sosial, selain karena daya tarik seks juga disebabkan prinsip kekuasaan bersama bahwa hidup dalam kelompok adalah
menguntungkan, seperti kewaspadaan terhadap ancaman predator, memperluas kontak dengan lingkungan, meningkatkan sukses reproduksi dan keamanan
terhadap individu muda serta penguasaan atas pakan berkualitas yang dibutuhkan individu (Napier dan Napier, 1985).
Individu anggota kelompok akan berinteraksi satu dengan yang lain yang mencerminkan adanya hubungan saling memperhatikan ataupun persaingan untuk memperoleh sesuatu. Menurut Seyfarth dan Cheney (1994) hubungan
antarindividu di dalam kelompok umumnya terjadi dalam bentuk hubungan induk
dan anak, hubungan sesama pasangan, atau antarindividu yang merupakan saingan.
Komunikasi antarindividu anggota kelompok sangat berperan dalam segala aktivitas. Komunikasi antarindividu dapat terjadi melalui bau/penciuman (olfactory), sentuhan/kontak (tactile), penglihatan (visual) dan suara (vocal). Komunikasi secara visual umumnya yang paling utama, tetapi di hutan hujan
tropis (karena terbatasnya pandangan oleh lingkungan hutan) komunikasi dengan suara adalah yang terpenting (Jolly, 1985; Napier dan Napier, 1985).
Tingkah Laku Melahirkan
Tingkah laku melahirkan merupakan tabiat dari suatu rangkaian kejadian yang saling berhubungan meliputi tahap sebelum melahirkan, saat melahirkan dan setelah melahirkan (Fraser, 1980). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa
proses melahirkan dibagi atas tiga fase. Fase pertama yaitu dilatasi cervix dan tingkah laku yang menyertainya. Fase kedua adalah saat terjadinya dorongan fetus dari uterus ke saluran kelahiran. Fase ketiga adalah lepasnya plasenta setelah proses kelahiran.
Tingkah laku menjelang melahirkan. Menurut Fraser (1980) periode
menjelang melahirkan saat fetus masih berada di uterus sampai dengan awal terjadinya fase pertama dari proses kelahiran. Ensminger (1962) dan Gillespie
(1983) menyatakan bahwa 12 sampai 14 jam menjelang kelahiran, lilin yang melapisi ujung-ujung puting akan mencair dan jatuh yang diikuti dengan menetesnya air susu. Tertutupnya ujung-ujung puting oleh lapisan zat lilin dan
melahirkan. Pada saat yang sama otot vulva akan terlihat membengkak dan
relaksasi. Blakely dan Bade (1991) melaporkan bahwa semakin dekat ke proses kelahiran urinasi akan sering terjadi yang akan diikuti dengan sikap gelisah.
Tingkah laku saat melahirkan. Periode ini ditandai dengan pecahnya
allantochorion yang diikuti dengan keluarnya keseluruhan bagian tubuh fetus dan diakhiri dengan keluarnya plasenta (Kilgour dan Dalton, 1984). Pada umumnya
proses kelahiran terjadi pada malam hari hingga dini hari (Blakely dan Bade, 1991)
Tingkah laku setelah melahirkan. Salah satu ciri yang spesifik dari
hewan mamalia adalah turut keluarnya plasenta beberapa saat setelah anak dilahirkan. Pada beberapa jenis hewan seperti pada babi dan sapi yang bersifat
plasentophagic, ada kecenderungan untuk memakan plasenta yang telah keluar.
Sifat ini adalah salah satu bentuk proteksi induk terhadap anak dari serangan predator, karena apabila tidak dimakan, bau plasenta dan darah akan
mengundang predator karnivora untuk mendekat (Hart, 1985).
Frazer (1980) menyatakan bahwa beberapa saat setelah dilahirkan tubuh anak akan dijilati oleh induknya hingga menjadi bersih dari lendir yang menempel. Rangsangan jilatan serta kontak fisik yang terjadi mendorong anak
untuk mencari puting induk. Kilgour dan Dalton (1984) melaporkan bahwa 30 menit setelah dilahirkan anak akan mulai menyusu ke induknya.
Sifat-Sifat Tikus
Tikus dapat dikandangkan bersama dalam satu kelompok besar yang terdiri atas jantan dan betina dari berbagai tingkat tanpa terjadinya perkelahian yang berarti. Tikus yang lepas dari kandang umumnya akan kembali ke
kandangnya.
Tikus dapat produktif untuk berbiak selama lebih dari sembilan bulan atau sampai usia satu tahun. Selama waktu tersebut tikus sudah menghasilkan 7 sampai 10 kali beranak dengan 6 sampai 14 anak pada masing-masing
kelahiran. Keterangan lain yang lebih lengkap tentang data biologis tikus dapat dilihat pada Tabel 1. Sesudah satu tahun jumlah anak yang dilahirkan berkurang dan jarak kelahiran semakin jauh sampai tidak berproduksi lagi pada usia 450
Siklus Reproduksi Tikus
Siklus reproduksi biasanya dimulai sekitar umur 77 hari, dimulai antara umur 45 dan 147 hari.
Tabel 1 Data biologis Rattus norvegicus
Karakteristik biologis Keterangan 1. Lama hidup
2. Lama produksi ekonomis 3. Lama bunting
4. Kawin sesudah beranak 5. Umur disapih
6. Umur dewasa 7. Umur dikawinkan 8. Siklus kelamin 9. Siklus estrus (berahi) 10. Lama estrus
11. Perkawinan 12. Ovulasi 13. Fertilisasi 14. Implantasi
15. Berat dewasa 16. Berat lahir
17. Jumlah anak
2 - 3 tahun dapat sampai 4 tahun 1 tahun
0 – 22 hari 1 - 24 jam 21 hari 40 - 60 hari
10 minggu (jantan & Betina) Poliestrus
4 - 5 hari 9 - 20 jam Pada saat estrus
8 - 11 jam sesudah estrus, spontan 7 - 10 jam
5 - 6 hari sesudah fertilisasi
300 - 400 g jantan; 250 -300 g betina 5 - 6 g
Rata-rata 9 dapat 20 ekor Sumber : Baker et al. (1979)
Siklus Berahi
Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50 sampai 60 hari. Vagina mulai terbuka pada umur 35 sampai 90 hari dan testes turun/ keluar pada umur
20 sampai 50 hari. Anak-anak yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus mulai dikawinkan pada umur 65 sampai 110 hari yaitu pada saat betina mencapai bobot badan 250 g dan jantan 300 g. Umur perkawinan pertama tersebut
bergantung pada galur tikus dan tingkat pertumbuhannya.
Perubahan vagina pada tikus erat hubungannya dengan siklus estrus, dan berbagai penelitian dari cairan sel dan vagina memberikan metode yang dapat
diandalkan untuk menentukan estrus (McDonald, 1989 ; Baker et al., 1979) Selama fase estrus, dinding vagina terlihat kering, putih dan buram, tetapi berubah lembab dan berwarna merah muda selama metestrus. Perubahan ini berhubungan dengan proses pertandukan lapisan permukaan vagina selama
estrus (Baker et al., 1979).
Siklus berahi berlangsung 4 sampai 5 hari dengan lama berahi 12 jam. Setiap siklus mulai pada malam hari. Berahi pada tikus betina tidak banyak
Proestrus. Stadium ini menandakan datangnya berahi. Fase ini
berlangsung sekitar 12 jam. Fase ini merupakan awal perkembangan folikel de Graaf. Folikel tumbuh di bawah pengaruh FSH (McDonald, 1989). Proestrus merupakan periode terjadinya involusi fungsional corpus luteum serta
pembengkakan folikel praovulasi. Pada tahap ini terjadi peningkatan vaskularisasi epitel vagina dan penandukan yang terjadi pada beberapa spesies.
Peningkatan vaskularisasi ini disebabkan oleh estrogen yang semakin tinggi. Pada preparat ulas vagina terlihat adanya dominasi sel-sel epitel berinti
(Toelihere, 1984).
Tabel 2 Gambaran sel yang ditemukan pada ulasan vagina tikus ekor putih selama siklus etrus
Hasil usapan vagina
Fase Lama
Fase
Nalbandov (1990)
Turner dan Bagnara (1976)
Smith dan Mangkoewidjoyo (1988) Proestrus 12 jam Sel epitel berinti Sel epitel berinti Sel-sel kecil dengan inti
bulat
Estrus 12 jam Sel berkornifikasi Sel-sel menanduk Sel epitel mengalami penandukan dan intinya piknotik
Metestrus 12 jam Leukositdi antara sel berkornifikasi
Banyak leukosit dengan sedikit sel-sel menanduk
Sel-sel berkornifikasi dan tampak leukosit
Diestrus 65 jam Epitel bernukleus dan leukosit
Leukosit bermigrasi Sel-sel epitel dan leukosit
Estrus. Pada stadium ini kopulasi dimungkinkan terjadi. Fase ini berlangsung 12 jam (Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988; Ballenger, 2000). Ciri
yang khas adalah adanya aktivitas berlari-lari yang sangat tinggi di bawah pengaruh estrogen. Estrus merupakan periode sekresi estrogen yang tinggi. Estrogen dari folikel de Graaf yang matang menyebabkan berbagai perubahan
pada saluran reproduksi antara lain uterus tegang, mukosa vagina tumbuh cepat,
serta adanya sekresi lendir. Banyak mitosis terjadi di dalam mukosa vagina, dan sel-sel baru menumpuk, sementara lapisan permukaan menjadi skuamosa dan bertanduk. Sel-sel bertanduk ini berkelupas ke dalam lumen vagina.
Terdapatnya sel-sel ini bisa dilihat dalam preparat ulas vagina yang digunakan sebagai indikator fase estrus.
Metestrus. Metestrus adalah fase segera setelah estrus di mana corpus
Metestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh progesteron yang
dihasilkan corpus luteum (Guyton, 1994) Stadium ini terjadi kira-kira 10 sampai 14 jam setelah ovulasi berlangsung (Wijono, 1998). Pada preparat ulas vagina terlihat banyak leukosit muncul di dalam lumen vagina bersama sedikit sel-sel
bertanduk.
Diestrus. Diestrus merupakan periode terakhir dan terlama yaitu 60
sampai 70 jam. Pada periode ini corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron semakin nyata. Endometrium lebih menebal dan kelenjar membesar
(Toelihere, 1984). Pada preparat ulas vagina terlihat leukosit dalam jumlah tinggi dan sel-sel epitel berinti (Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988; Nalbandov, 1990).
Penentuan Jenis Kelamin
Pada hewan yang masih muda antara hewan jantan dan hewan betina
dapat dibedakan. Testes mudah terlihat terutama bila tikusnya diangkat sehingga testesnya berpindah dari saluran inguinal ke scrotum. Tikus jantan memiliki
papila genitalia dan jarak anogenital yang lebih besar dari pada betina yaitu 5 mm pada umur 7 hari sedangkan yang betina hanya 2,5 mm. Puting susu pada betina sudah terlihat sejak umur 8 sampai 15 hari. Cara yang tepat untuk membedakan jenis kelamin tikus adalah dengan cara mengangkat tikus-tikus dari
litter yang sama lalu membandingkan ukuran-ukuran tersebut (Malole dan Pramono, 1989).
Sistem Perkawinan
Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada tikus yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni. Berhubung perkawinan tikus terjadi di malam hari, untuk memastikan perkawinan dapat diamati
kehadiran suatu massa putih yang menyumbat vagina, massa putih tersebut sudah jatuh di lantai di pagi hari, atau memeriksa spermatozoa dalam usapan vagina. Masa kebuntingan tikus berlangsung 21 sampai 23 hari dan sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar mamae.
Tikus jarang menunjukkan bunting semu. Dalam satu litter terdapat 6 sampai 12 anak yang baru dapat melihat dan merambat sesudah berumur satu minggu (Arrington, 1972).
sampai 50 g. Bila estrus postpartum tidak dimanfaatkan, tikus betina akan
kembali berahi antara 2 dan 4 hari sesudah penyapihan (Arrington,1972).
Sistem Pencernaan dan Konsumsi
Tikus merupakan hewan pengerat yang mempunyai gigi seri 1/1 dan
geraham 3/3 dan hanya gigi seri yang terus tumbuh. Secara umum sistem pencernaan pada tikus hampir sama dengan pada hewan mamalia lainnya. Alat
pencernaan dimulai dari mulut, esofagus, usus halus dan terakhir di usus besar. Esofagus memasuki lambung pada bagian curvatura minor bersambung ke
lipatan dari bagian peninggian yang membagi lambung menjadi lambung bagian depan dan lambung kelenjar. Lipatan tadi yang membuat tikus tidak dapat muntah. Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum dan ileum. Panjang usus
halus kira-kira lima kali usus besar. Fungsi penyerapan pada masing-masing
usus halus bergantung pada jenis zat makanan yang akan diserap. Glukosa maksimum diserap di jejunum, dan bagian atas ileum, galaktosa di pertengahan
dari ketiga usus halus, protein utuh dan albumin diserap di segmen paling ujung dari usus halus, sedangkan lemak diserap di jejunum. Usus besar terdiri atas sekum, kolon dan rektum (Bivin et al., 1979; Olds dan Olds, 1979).
Tikus tidak mempunyai kantung empedu. Saluran empedu tiap lobus hati
akan berkumpul, menyatu membentuk ductus koledokus, tetapi duktus koledokus ini juga tidak mampu menampung cairan empedu seperti fungsi kantong empedu pada rodensia lainnya (Olds dan Olds, 1979).
Jumlah dan jenis bahan pakan yang dikonsumsi satwa berhubungan dengan adaptasi anatomis sistem alat pencernaannya, kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan energi (Black, 1983). Tipe dan
kualitas bahan pakan dapat mempengaruhi pola tingkah laku makan hewan. Jika makanan yang dikonsumsi lebih banyak mengandung kosentrat waktu makan akan berkurang. Hewan yang lebih banyak menerima makanan yang mudah dicerna, konsumsi pakan akan meningkat, sebab proses digesti berlangsung
lebih cepat (Dulphy et al., 1980).
Karbohidrat yang terdapat pada buah-buahan, kacang-kacangan, dan sereal sebagian besar terdiri atas gula-gula sederhana dan polisakarida.
Kandungan gula dalam buah-buahan sangat bervariasi, mulai yang paling rendah seperti alpukat hingga mencapai lebih dari 20% seperti pisang masak. Sebagian besar gula-gula tersebut terdapat dalam bentuk sukrosa, glukosa dan fruktosa
Jenis bahan pakan yang mudah larut antara lain adalah gula (mono-, di-
dan trisakarida) dan pati (pati, dekstrin dan glikogen). Bahan tersebut mudah dicerna dan selanjutnya akan diubah menjadi glukosa (Moen, 1973). Sebagian besar pati terdapat dalam biji-bijian dan umbi-umbian, pati kira-kira mengandung
25% amilosa (Whistler et al., 1987).
Rasa lapar ditimbulkan oleh kebutuhan fisiologis. Selera makan
berhubungan dengan kondisi internal yaitu fisiologis dan psikologis yang akan merangsang atau menghambat rasa lapar pada seekor hewan. Jadi rasa lapar
dan selera makan adalah hal yang berhubungan dengan pengaruh tingkat konsumsi pakan dari hewan. Pada saat kadar gula rendah, kondisi ini akan menyebabkan rasa lapar dan merangsang keinginan hewan untuk makan
(Arrington, 1972).
Sejak diketahui kehidupan satwa harus mendapatkan makanan untuk mempertahankan dirinya dan membantu reproduksi, maka pencaharian makanan
merupakan suatu yang penting terutama satwa liar. Satwa liar membutuhkan energi, asam amino, mineral, vitamin, air, dan beberapa asam lemak, tetapi dalam jumlah yang bervariasi antarspesies, kondisi fisiologis dan anatomi yang berbeda (Smuth et al., 1987).
Pada prinsipnya sumber makanan satwa liar berasal dari tiga tipe (Sailer, 1985), yaitu: Struktural, bagian tumbuhan termasuk daun, batang, cabang dan materi tumbuhan lainya yang mengandung struktur karbohidrat (selulosa);
Bagian reproduksi, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan buah (matang/mentah) kandungan karbohidrat lebih sedikit dan mudah dicerna; Materi dan hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata maupun
invertebrata.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan ayam petelur (kandungan protein 17%), karena sudah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan tikus yang hanya memerlukan 12% protein. Seekor tikus
dewasa membutuhkan 5 g makanan dan 10 ml air minum per hari per 100 g berat badan. Tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban, kesehatan dan kualitas makanan itu sendiri. Sebagai hewan
nokturnal, tikus aktif makan di malam hari (Malole dan Pramono, 1989).
Banyak makanan tikus tersusun dari bahan alami yang mudah diperoleh dari sumber komersil. Namun demikian, pakan yang diberikan pada tikus
harus mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan tikus. Pakan juga
harus mengandung vitamin seperti vitamin A, D, B12, alfatokoferol, asam linoleat, thiamine, riboflavin, phantotenat, biotin, piridoksin dan kolin (Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988).
Ada dua jenis pakan yang umum diberikan kepadas tikus laboratorium. Pertama, makanan untuk perkembangbiakan yang mengandung protein dan
energi yang cukup untuk fetus selama kebuntingan dan untuk produksi susu selama laktasi. Kedua, pakan untuk pemeliharaan yaitu diet yang distandardisasi
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tikus. Kebutuhan hewan akan nutrisi dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya kebutuhan pakan pada masa pertumbuhan berbeda dengan pada masa kebuntingan dan menyusui.
Seekor tikus dewasa rata-rata mengkonsumsi sekitar 5 g pakan dan 10 ml
air per 100 g berat badan (Malole dan Pramono, 1989) atau 12 sampai 20 g/ekor/hari dan 20 sampai 40 ml air/ekor/hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Secara spesifik disebutkan bahwa pada suhu 210C tikus jantan yang berumur 6 bulan akan mengkonsumsi pakan sebanyak 11,8 /100 g BB/hari dan tikus betina berumur 1 tahun mengkonsumsi 5,3 /100 g BB/hari.
Menurut National Research Council (1978) bahwa rata-rata pemberian
pakan harian untuk tikus Sprague-Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15 sampai 20 g untuk jantan dan 10 sampai 15 g untuk betina. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa umur, jenis kelamin, dan suhu
lingkungan berpengaruh pada konsumsi pakan.
Pakan tikus umumya diberikan secara ad libitum dan tikus akan mengatur pola makan untuk menjaga keseimbangan energi. Pembatasan pemberian pakan
pada tikus laboratorium akan memperlama umur hidup, walaupun pertumbuhannya sedikit lebih lambat dibandingkan tikus yang diberi pakan ad libitum. Mekanisme biologis dari proses ini pada rodensia belum diketahui dengan pasti.
Bila tikus laboratorium mengalami kekurangan nutrien maka tikus dengan sendirinya memilih nutrien yang dibutuhkan jika diberi hubungan atau akses ke pakan yang tersedia. Pada kondisi ketika pakan diberikan dalam jumlah yang
sangat terbatas, tikus dapat mengurangi konsumsi energinya, tetapi jika palatabilitas pakan berlebih, tikus dapat meningkatkan penggantian energi. Pembatasan jumlah pakan yang diberikan pada tikus bunting akan menyebabkan
Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Ternak
Taylor (1984) mendefinisikan pertumbuhan sebagai peningkatan bobot badan hingga mencapai ukuran dewasa atau bertambahnya unit biokimia baru karena terjadi proses pembelahan sel. Sementara itu Maynard et al., (1983)
menyatakan bahwa pertumbuhan adalah peningkatan bobot badan yang berhubungan dengan interval waktu. Selanjutnya Hammond et al., (1984)
menyatakan bahwa dalam pertumbuhan ada dua hal yang terjadi yakni kenaikan bobot badan atau komponen tubuh sampai mencapai ukuran dewasa yang
disebut pertumbuhan, dan adanya perubahan bentuk konformasi yang disebabkan perbedaan laju pertumbuhan jaringan atau bagian tubuh yang berbeda yang disebut perkembangan. Tiga proses utama yang terjadi selama
berlangsungnya pertumbuhan adalah (1) proses dasar pertumbuhan sel yang
meliputi perbanyakan sel (hiperplasia) atau produksi sel-sel baru, pembesaran sel (hipertropi) dan pertambahan (akresi) material struktural nonsel (non
protoplasmic) seperti deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago, (2) diferensiasi sel-sel induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm, yang selanjutnya akan menghasilkan sel-sel khusus seperti sel-sel syaraf dan epidermal dari ektoderm, sel-sel penyusun saluran pencernaan
(gastro intestinal), kelenjar-kelenjar atau glandula sekresinya dari endoderm, dan (3) kontrol pertumbuhan dan diferensiasi yang melibatkan berbagai proses (Williams, 1982).
Kurva pertumbuhan yang normal berbentuk sigmoid (Huruf “S”). Dari kurva tersebut diketahui pola pertumbuhan hewan sejak periode kelahiran sampai dewasa. Pada tahap awal, pertumbuhan berlangsung lambat, yang kemudian
diikuti tahap pertumbuhan yang cepat hingga umur pubertas, dan selanjutnya kecepatan pertumbuhan secara gradual mulai menurun sampai berhenti bila bobot dewasa telah tercapai (Aberle et al., 2001).
Menurut Aberle et al., (2001), pada saat kecepatan pertumbuhan
mendekati konstan, slope kurve pertumbuhan hampir tidak berubah. Dalam hal ini pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting lainnya mulai berhenti sementara pertumbuhan lemak mulai dipercepat.
Pertumbuhan berlangsung lebih cepat pada waktu muda, pada masa tersebut hewan mampu mengkonsumsi pakan dan menyimpan energi yang banyak, tetapi setelah itu kapasitas energi yang disimpan menjadi terbatas
yang rusak dan perubahan energi ke arah reproduksi. Setelah berkembang
secara penuh otot dan serabut otot mengalami peningkatan ataupun penurunan. Jumlah serat otot yang mengalami penuaan akan berkurang dan ukuran otot menjadi besar (Aberle et al., 2001)
Pada hewan besar, pematangan dicapai pada waktu yang lama dibandingkan hewan kecil. Kenaikan ukuran otot terbesar terjadi setelah lahir dan
kecepatan peningkatan ukuran akan menurun setelah mendekati dewasa. Hammond et al., (1976) menyatakan bahwa pada saat lahir proporsi bagian
kepala, kaki depan, dan kaki belakang sangat besar. Pada perkembangan setelah lahir, proporsi kepala dan kaki depan semakin menurun kemudian diikuti oleh penurunan proporsi leher dan kaki belakang sehingga bagian tubuh yang
sangat penting banyak mengalami perkembangan setelah kelahiran seperti
bagian pinggang (loin) kemudian pelvis dada dan leher.
Pada tingkat awal pertumbuhan embrio, bagian kepala tumbuh cepat yang
mengakibatkan ukuran kepala menjadi tidak seimbang dibandingkan dengan ukuran tubuh. Selama tingkat kehidupan fetus selanjutnya, laju pertumbuhan kepala menjadi berkurang dan bagian tubuh lainnya semakin berkembang.
Wallace (1948) menyatakan bahwa ada dua gelombang pertumbuhan pada
ternak. Gelombang pertumbuhan utama dimulai pada daerah tengkorak (Cranium) dan bergerak ke depan ke daerah muka, kepala dan ke belakang ke daerah pinggang. Gelombang pertumbuhan kedua bergerak dari daerah bawah
bagian kaki (metacarpal) dan (metatarsal) bergerak ke jari-jari dan ke atas sepanjang kaki serta batang tubuh ke daerah pinggang. Daerah pinggang merupakan bagian tubuh yang paling akhir mencapai pertumbuhan maksimal.
Palsson (1955) menyatakan bahwa untuk melihat tumbuh kembang tubuh hewan, dapat dilakukan dengan pengukuran tubuh pada berbagai umur atau mengambil gambar dengan pembesaran yang tetap. Cara lain adalah penguraian tubuh ternak secara anatomis menjadi komponennya.
Komposisi Kimiawi dan Sifat-sifat Daging
Secara umum komposisi kimia daging hewan mamalia (domestik) terdiri atas air (75,0%), protein (19,0%), lemak (2,5%), karbohidrat (1,2%), substansi
Protein
Protein merupakan komponen kimia dalam tubuh yang sangat penting. Protein dibuat dari banyak asam amino yang dirangkai menjadi rantai-rantai oleh ikatan peptida yang menghubungkan gugus amino dengan gugus karboksil pada
asam amino berikutnya. Di samping itu protein mengandung karbohidrat (glikoprotein) dan lipid (lipoprotein), rantai asam amino yang lebih kecil disebut
peptida atau polipeptida, dan batas antara peptida, polipeptida dan protein tidak jelas (Ganong, 1995).
Protein dan beberapa peptida diserap dalam jumlah kecil di saluran pencernaan. Kebanyakan protein yang dimakan dicerna, dan kandungan asam aminonya diserap lebih banyak pada mukosa usus. Protein tubuh dihidrolisis
menjadi asam amino dan disintesis ulang. Kecepatan perputaran (turnover)
protein endogen rata-rata 80 sampai100 g per hari.
Asam amino yang dibentuk dari pemecahan protein endogen identik
dengan protein yang berasal dari makanan. Protein ini membentuk suatu depot asam amino umum yang memasok kebutuhan tubuh. Di ginjal, kebanyakan asam amino merupakan asam amino yang difiltrasi yang akan diserap kembali. Selama pertumbuhan keseimbangan antara asam amino dan protein tubuh bergeser ke
arah protein tubuh sehingga sintesis lebih besar dari pada pemecahan (Ganong, 1995).
Pada semua usia sejumlah kecil protein hilang sebagai rambut, beberapa
hilang dalam urine, dan ada sekresi protein yang tidak direabsorbsi di saluran pencernaan sehingga hilang ikut tinja. Kehilangan ini digantikan dengan sintesis dari depot asam amino.
Lemak
Lemak merupakan salah satu jenis makanan yang banyak digunakan untuk makanan sehari-hari. Hal ini disebabkan fungsinya untuk meningkatkan cita rasa, memperbaiki tekstur, pelarut vitamin, mensintesis hormon, menyusun sel-sel
membran dan pembawa flavor, di samping fungsi fisiologis dan sebagai sumber energi (Djojosoebagio dan Piliang, 2002).
Asam Lemak
Asam Lemak terdiri atas asam lemak jenuh (saturated fatty acid, SFA) dan asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid, UFA). Asam lemak tak jenuh terdiri atas mono-unsaturated fatty acid (MUFA) dan poly-unsaturated fatty acid (PUFA)
Asam lemak tak jenuh terdiri atas 3 kelompok besar yaitu omega 3, omega
6, dan, omega 9 (tabel 3). Asam linolenat (18:3 ?3), asam eikosapentaenoat (20:5 ? 3), dan dokosaeksaenoat (22:6 ?3) mengandung asam lemak omega 3 yang banyak diperoleh dari makanan. Kelompok asam lemak yang kedua yaitu
omega 6 yang tediri atas asam linolenat (18:2 ?6), dan asam arakidonat (20:4 ?6), sedangkan omega 9 terdiri atas asam oleat (18:1 ?9) (Nettleton, 1994).
Asam linoleat dan asam linolenat merupakan asam lemak essensial karena tubuh tidak dapat mensintesis kedua asam lemak tersebut. Selain itu kedua
asam lemak tersebut dapat dipakai sebagai bahan untuk mensintesis prostaglandin yang mempunyai sifat-sifat hormon serta terlibat dalam banyak fungsi tubuh (Murray et al., 1999 dan Montgomery et al., 1993). Asam oleat
bukan asam lemak esensial karena tubuh dapat mensintesis asam tersebut
(Murray et al., 1999).
Tabel 3 Pengelompokan asam lemak tak jenuh
Kelompok Asam lemak Struktur
? 3
? 6
? 9
Asam linolenat
Asam eikosanpetaenoat Asam dokosaheksaenoat
Asam linoleat Asam arakidonat
Asam oleat
18:3 ?3 20:5 ?3 22:6 ?3
18:2 ?6 20:4 ?6
18:1 ?9
Asam lemak omega 3 sangat penting karena bila tidak terdapat dalam diet menimbulkan gejala defisiensi perkembangan dan pertumbuhan, karena tidak dapat disintesis dari asam lemak lain.
Asam lemak omega 6 dapat dipakai untuk mensintesis asam arakhidonat suatu intermediat dalam sintesis eikosanoid, suatu kelompok susbtansi regulator dan asam lemak omega 6 juga memperlihatkan kemampuan menyerap air lewat kulit dan integritas kelenjar pituitari. Akan tetapi menurut Muchtadi (2000)
mengkonsumsi omega 6 secara berlebihan tanpa diimbangi konsumsi omega 3 dapat menurunkan LDL kolesterol, akan tetapi HDL kolesterol juga dilaporkan ikut mengalami penurunan, keseimbangan antara omega 3 dan omega 6
Menurut Osman et al., (2001), omega 3 dan omega 6 adalah asam lemak
essensial yang berfungsi menyembuhkan dan mencegah penyakit kardiovaskuler, perkembangan saraf pada bayi, kanker dan kontrol glikemik lemak. Selain itu omega 6 dalam bentuk tunggal memiliki sifat negatif yang
berkaitan dengan peningkatan produksi eicosanoids (stimulan pertumbuhan tumor pada binatang percobaan). Akan tetapi dengan adanya omega 9 dan
omega 3 dalam proporsi yang sesuai akan memiliki potensi memblokir produk senyawa eicosanoids tersebut, omega 9 dapat mencegah stimulasi negatif
omega 6.
Asam lemak omega 9 dapat mencegah penyakit jantung koroner, memiliki daya perlindungan yang mampu menurunkan LDL kolesterol darah,
meningkatkan HDL kolesterol yang lebih besar dibanding omega 3 dan omega 6,
lebih stabil dibandingkan dengan PUFA, MUFA dan dapat menurunkan kolesterol (LDL-kolesterol) (Mensink, 1987).
Produksi Karkas
Karkas adalah bagian tubuh ternak hasil dari suatu pemotongan setelah dikurangi bagian kepala, keempat kaki (mulai dari carpus dan tarsus), kulit, darah, organ dalam (hati, jantung paru-paru, limpa, saluran pencernaan beserta
isinya dan saluran reproduksi (Berg dan Butterfield, 1976; Lawrie, 1985).
Ternak yang beraktivitas tinggi mengakibatkan cadangan glikogen terbatas. Bila dalam keadaan kekurangan glikogen terus-menerus ternak akan
memanfaatkan cadangan energi tubuh sehingga terjadi penurunan bobot badan (Lawrie, 1985; Ockerman, 1995; Fernandez et al., 1996; Aberle et al., 2001).
Komposisi karkas memegang peranan penting karena berhubungan
dengan jumlah daging, otot, tulang dan lemak yang dihasilkan (Berg dan Butterfield, 1976). Produksi karkas berhubungan dengan bobot badan. Peningkatan bobot badan akan diikuti oleh peningkatan bobot karkas, dan
persentase karkas meningkat dengan peningkatan bobot potong
(Aberle et al., 2001).
Kualitas karkas dan daging akan dipengaruhi oleh bangsa ternak, umur, makanan, dan cara pemeliharaan. Oleh karena itu, untuk memperoleh ternak
Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Daging
Metabolisme Glikogen
Glikogen merupakan bentuk simpanan glukosa yang terdapat di dalam kebanyakan jaringan tubuh, tetapi sumber utamanya adalah hati dan otot rangka
(Ganong, 1995). Glikogen di dalam hati terdapat sekitar 6% dan dalam otot 1% (Mayes, 1999).
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan yang dapat atau pantas digunakan sebagai bahan makanan (Aberle et al., 2001), termasuk di
dalamnya jaringan otot, organ-organ seperti hati, limpa, ginjal dan otak, serta jaringan lain yang dapat dimakan (Lawrie, 1995). Faktor yang menentukan kualitas daging segar menurut Soeparno (1994) terutama meliputi warna,
keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa serta sari
minyak daging (juiceness). Di samping itu lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau
pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut menentukan kualitas daging. Lamanya aktivitas meningkatkan kehilangan bobot hidup, persentase karkas, dan bobot hati, potensi glikolitik meningkat juga menyebabkan
pengurasan glikogen yang akan menentukan nilai akhir pH (Fernandez
et al., 1996).
pHDaging
Lawrie (1995) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi laju
penurunan pH post mortem dapat dibagi dua, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah suhu lingkungan, penanganan ternak sebelum pemotongan dan suhu penyimpanan daging. Pada saat ternak
masih hidup, pH daging berkisar antara 7,2 dan 7,4. Setelah proses pemotongan, pH daging akan menurun akibat proses glikolisis anaerob yang menghasilkan asam laktat (glikogen à asam laktat). Proses glikolisis anaerob ini merupakan
proses dominan selama 24 sampai 36 jam setelah pemotongan
(Aberle et al., 2001).
Daya Mengikat Air
Daya mengikat air didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk
Air yang terikat di dalam otot dibagi menjadi tiga kompartemen, lapisan
pertama adalah air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar empat sampai lima persen sebagai lapisan monomolekuler pertama. Lapisan kedua adalah air, yang terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air
terhadap grup hidrofilik. Sekitar empat persen dari lapisan kedua ini akan terikat oleh protein apabila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul
air bebas di antara molekul protein, yang berjumlah kira-kira 10% (Wismer-Pedersen, 1986).
Daya mengikat air oleh protein dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Pada fase prerigor daya ikat air masih relatif tinggi, akan tetapi secara bertahap menurun seiring dengan penurunan pH dan jumlah ATP jaringan otot (Bendall,
1960). Penurunan pH yang cepat, misalnya karena pemecahan ATP yang cepat,
akan meningkatkan kontraksi aktin-miosin dan menurunkan daya mengikat air oleh protein.
Menurut Aberle et al., (2001) daya mengikat air dipengaruhi oleh umur, spesies, fungsi otot, dan protein miofibril. Selanjutnya dinyatakan bahwa perubahan daya ikat air berhubungan dengan perubahan pH daging.
Wismer-Pedersen (1986) menyatakan selain faktor pH, pelayuan, dan
pemasakan, daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang menyebabkan perbedaan kemampuan mengikat air di antara otot seperti spesies, umur, fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban,
DI HABITAT ASLI
Pendahuluan
Habitat adalah suatu tempat organisme atau individu biasanya ditemukan. Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang
terdiri atas air, tanah, topografi dan iklim (makro dan mikro) serta komponen biologis yang terdiri atas manusia, vegetasi dan satwa (Smiet, 1986). Fungsi habitat menurut Bailey (1984) sebagai tempat yang dapat menyediakan makanan, air, dan perlindungan.
Penggunaan tikus ekor putih sebagai ternak penghasil daging di daerah Minahasa dan kota Manado menyebabkan permintaan akan daging tikus di
daerah tersebut meningkat namun pada daerah-daerah tertentu populasinya
semakin menurun karena belum ada usaha pembudidayaan.
Sebelum dilakukan budidaya maka informasi-informasi yang berkaitan dengan biologi dasar yakni kebiasaan tikus hidup di hutan, makanan yang dikonsumsi, tempat tinggal, tempat berlindung, tempat mencari makan,
ketersediaan jumlah makanan di habitat dan semua informasi dari masyarakat
tentang tikus ekor putih tersebut harus kita pelajari.
Kekurangan pengetahuan dasar tentang proses biologis yang
mengendalikan proses produksi pada tikus ekor putih telah membatasi usaha meningkatkan daya reproduksi sehingga proses pembudidayaan tidak dapat berjalan seperti yang kita harapkan.
Penelitian ini bertujuan mencari informasi sebanyak mungkin tentang
biologi dasar yang diperlihatkan tikus ekor putih di alam, yang nantinya akan dijadikan dasar pertimbangan untuk penelitian.
Bahan dan Metode
Materi yang digunakan antara lain tikus ekor putih yang ditangkap dari hutan, Rattus norvegicus. Alat yang digunakan adalah kamera, alat tulis menulis, perangkap tikus, alat perekam, kandang tikus yang bisa dibawa-bawa,
higrometer, jam, stop watch serta timbangan.
Penelusuran informasi tentang tikus ekor putih dilakukan dengan metode wawancara pada penduduk sekitar hutan tempat habitat asli, mengunjungi lokasi
Data yang dikumpulkan tentang asal usul tikus meliputi, karakteristik tikus
(umur, bobot, warna, bentuk), jenis makanan, kondisi habitat tikus, serta pengukuran temperatur dan kelembaban habitat asli (lokasi).
Informasi tentang jumlah tikus yang ditangkap, meliputi jumlah tikus yang
ditangkap hidup, jumlah tikus yang mati, serta bobot badan tikus yang ditangkap. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan statistika deskriptif.
Hasil dan Pembahasan
Kondisi Habitat
Sulawesi Utara mempunyai keanekaragaman satwa yang sangat tinggi, karena terdapat 114 jenis satwa. Namun demikian kebanyakan di antara satwa-satwa tersebut mulai mengalami penurunan populasi. Jenis satwa-satwa yang sudah
diketahui keberadaannya kurang dari 70%, salah satu di antaranya adalah tikus
hutan ekor putih (Maxomys hellwandii ). Tikus hutan ekor putih hanya terdapat di Indonesia khususnya di Pulau Sulawesi, termasuk di dalamnya 14 spesies tikus
ekor putih lainnya (Corbet dan Hill, 1992). Tikus hutan di Minahasa, Sulawesi Utara, sudah sejak lama dikonsumsi masyarakat setempat sebagai makanan istimewa yang hanya disajikan pada acara-acara tertentu seperti pengucapan syukur panen, perkawinan, pembaptisan, dan acara syukuran lainnya.
Tikus hutan ekor putih di Manado lebih dikenal dengan nama tikus ekor putih, karena sebagian ujung ekor berwarna putih. Nama lokal hewan tersebut bermacam -macam sesuai dengan nama daerah penyebarannya. Di daerah
Minahasa Tengah (berbahasa Toutemboan) hewan tersebut dikenal dengan nama ‘’Turean”; di daerah Tombulu “Kulo Ipus”; dan di Tondano berbahasa Tolour dikenal dengan nama “Peret”. Di daerah Minahasa semua daging tikus
yang dimakan dikenal dengan nama “Kawok”.
Tikus hutan ekor putih memiliki kemampuan adaptasi lingkungan yang tinggi. Tikus ini hidup di hutan-hutan di daerah kabupaten Minahasa sampai kabupaten Bolaang Ma ngondow (Gambar 1). Aktivitas dilakukan dominan pada
malam hari dan sering ditemukan di atas pohon sirih hutan, pohon bambu dan pada pohon buah-buahan lainnya. Pada siang hari tikus masuk ke dalam liang di bawah tanah, di semak-semak, akar pohon atau di gua batu kecil.
Gambar 1 Kondisi habitat tempat tikus membuat liang sarang
Di daerah Minahasa penduduk mendapatkan tikus dengan cara menangkap dengan menggunakan perangkap tikus yang terbuat dari bambu.
Tikus yang tertangkap pada alat perangkap terjepit, sehingga hasil tangkapannya biasanya dalam keadaan mati. Alat perangkap tersebut biasa disebut “Palompit”. Temperatur dan kelembaban udara lokasi penelitian pada pagi hari adalah 240C dan 74%, siang hari 310C dan 62%, sore hari 370C dan 70% dan malam
hari 230C dan 79%.
Konsumsi dan Pertumbuhan
Pola Makan dan Gambaran UmumTikus Ekor Putih
Frekuensi pemberian pakan untuk tikus ekor putih hanya satu kali dalam 24 jam. Waktu pemberian dilakukan pada pagi hari. Jumlah dan ragam pakan yang diberikan hanya berdasarkan perkiraan untuk mengetahui jumlah pakan
yang dikonsumsi dan respon pertumbuhan.
Hasil pengamatan menunjukkan jenis pakan yang dikonsumsi sangat beragam mulai dari daun-daunan, umbi-umbian, buah-buahan sampai dengan kulit buah-buahan, juga serangga sedangkan hijauan (rumput) tidak disukai.
Adaptasi terhadap Pakan
Kemampuan hewan beradaptasi dengan lingkungan baru antara lain dapat dilihat dari keragaman pakan yang disukai dan dikonsumsi. Semakin banyak dan
pakan yang disukai yang dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu 1) jenis daun
dan sayuran, 2) jenis buah-buahan, 3) jenis umbi-umbian.
Jenis Bahan Pakan yang Berasal dari Jenis Daun-daunan
Di habitat aslinya, tikus ekor putih ditemukan di lokasi yang ditumbuhi
pohon bambu, dan sering ditemui di atas pohon tersebut sedang mengkonsumsi pucuk muda daun bambu. Tikus ini juga ditemui di pohon sirih hutan,
mengkonsumsi pucuk daun muda dan juga buahnya. Selain pada daun bambu dan sirih hutan, tikus ekor putih juga ditemui di liang akar pohon beringin (ficus
spp), di atas pohon enau. Tikus-tikus tersebut senang makan kelapa yang jatuh. Gambaran yang jelas tentang kesukaan tikus ekor putih terhadap jenis pakan, berdasarkan kondisi di tempat pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4.
Selain makanan asli dari hutan, tikus ekor putih menyukai pula jenis pakan
dari tanaman budidaya seperti kangkung, daun pepaya, pucuk singkong, daun umbi rambat, kubis, wortel, pucuk ubi rambat, selada, daun murbey, makanan
sisa dari dapur, buah-buahan, biji dan kulit. Preferensi terhadap bahan pakan percobaan, sesuai dengan tujuan penelitian pemberian pakan kepada tikus ekor putih yaitu secara kafetaria, sehingga tikus bebas memilih dan mengkonsumsi jenis bahan pakan yang sesuai dengan pilihan kesukaannya. Selain itu, untuk
mengetahui jenis bahan pakan yang berpotensi dimanfaatkan dalam upaya budidaya.
Dari hasil pengamatan pada Tabel 4, buah-buahan lebih disukai
dibandingkan daun-daunan dan sayuran. Bila disajikan bersamaan buah-buahan dimakan lebih dahulu, baru kemudian pucuk daun muda, biji-bijian dan pelet. Sejalan dengan hasil pengamatan Haard (1985) yang menyatakan bahwa
buah-buahan termasuk jenis bahan pakan yang banyak mengandung komponen karbohidrat sederhana yang mudah dicerna dan mudah larut seperti glukosa, fruktosa dan sukrosa. Jenis bahan pakan yang berasal dari umbi-umbian yang dimakan meskipun kurang disukai antara lain singkong, ubi rambat, dan wortel.
Selain makan tumbuhan, tikus ekor putih juga memakan jenis-jenis serangga (insekta) dan daging (karnivora) yaitu jenis arthopoda antara lain kumbang, semut, ngegat dan kecoa. Semakin banyak keragaman, ketersediaan dan
Ketersediaan komponen tersebut pada buah-buahan sangat
[image:43.596.92.510.189.699.2]memungkinkan dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi oleh tikus ekor putih. Oleh karena itu, buah-buahan lebih disukai dan dipilih sebagai pakan daripada hijauan yang lebih banyak mengandung serat.
Tabel 4 Preferensi tikus ekor putih terhadap berbagai jenis pakan Bagian yang di konsumsi
No Jenis Tanaman Batang Daun Buah Biji Kulit Umbi
1. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r.
Jenis buah-buahan:
Beringin (Ficus variegata) Jambu biji Enau
Pepaya (Carica Papaya) Pisang (Musa paradissiaca) Mangga (Mangifera indica) Rambutan (Nephelium lappaceum) Kelapa
Nangka (Artocarpus heterophyllus) Nenas (Ananas comosus)
Semangka (Citrullus lanatus) Melon
Apel Pear
Sawo (Manilkara kauki) Langsat
Duku (Lansium domesticus) Alpukat masak (Persea gratissima) Jambu air - - - - - - - - - - - - - - + + - - + + ++ ++ + + - + + + - - - + - - + + +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ +++ +++ ++ +++ +++ ++ +++ +++ +++ ++ - - + - - - - - - + - - - - + + - - + + + - - - + - - - - + + + - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o.
Dedaunan, sayuran dan umbi: Sirih Hutan (Piper aduncum)* Kacang panjang Kacang ijo Kangkung Pepaya Singkong Ubi rambat Selada Murbey Kacang tanah Jagung Beras/ padi Bambu muda Wortel Kubis dll
+++ + + ++ - - ++ ++ ++ - + ++ - - - +++ +++ ++ ++ +++ ++ ++ + ++ + - - +++ - ++ +++ +++ +++ - +++ - - - +++ +++ +++ ++ - - - +++ +++ +++ - + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - +++ ++ +++ - +++ - - - ++ - 3 a. b. c. d. e. f. Serangga: Belalang Kecoa Siput Kumbang Semut ngegat Daging +++ +++ +++ +++ +++ +++ * The Malasian Key Group (2004).
Keterangan: * The Malasian Key Group (2004). +++ = Sangat disukai
++ = Disukai + = Kurang disukai
Pada penelitian ini tikus ekor putih diberi pakan yang mudah diperoleh di
sekitar lokasi penelitian antara lain buah pisang, pepaya, singkong, ubi, kangkung, daun singkong, dan daun pepaya. Dari hasil pengamatan selama 6 bulan ternyata makanan yang paling disukai adalah buah pisang dan pepaya dan
untuk memenuhi kebutuhan pakannya ditambahkan pelet ayam petelur. Jenis pakan inilah yang diberikan selanjutnya selama penelitian.
Karakteristik Morfologi
Karakteristik suatu individu dapat dicirikan antara lain berdasarkan
karakteristik morfologi. Ehlinger (1991) menyatakan bahwa variasi morfologi terutama terhadap ukuran tubuh (size) dipengaruhi oleh faktor lingkungan (misalnya ketersediaan makanan, sedangkan perbedaan dalam bentuk (shape)
lebih berhubungan dengan faktor genetik.
Ciri-ciri kualitatif. Bayi tikus ekor putih (Maxomys hellwandii) mempunyai warna
[image:44.596.106.519.386.729.2]merah jambu merata di seluruh tubuh tanpa rambut.
Tabel 5 Ukuran organ Tikus Ekor Putih dan Rattus norvegicus
Tikus Ekor putih Rattus norvegicus
Jenis Tikus Jantan Betina Jantan Betina
Bobot mati (g) 354 ±31,37 240 ±16,56 360 ± 6,71 222 ± 6,60 Panjang ekor (cm) 27 ± 2,39 26 ± 1,79 25 ± 0,46 19,5 ± 0,58 Panjang badan (cm) 15 ± 1,33 12 ± 0,83 19 ± 0,35 15 ± 0,45 Kumis terpanjang (cm) 10 ± 0,89 5 ± 0,35 8 ± 0,15 5,6 ± 0,32 Kaki depan (cm) 7 ± 0,62 6 ± 0,41 7 ± 0,13 6 ± 0,18 Kaki belakang (cm) 9,5 ± 0,84 7 ± 0,48 5 ± 0,09 5,5 ± 0,16 Telapak depan (cm) 3 ± 0, 31 2 ± 0,21 2 ± 0,04 1,9 ± 0,06 Telapak belakang (cm) 4,8 ± 0,43 4 ± 0,28 4 ± 0,07 4 ± 0,12 Panjang telinga (cm) 3 ± 0,27 2 ± 0,14 1,4 ± 0,03 2 ± 0,06 Lebar telinga (cm) 2,5 ± 0,22 1,5 ± 0,10 2 ± 0,04 1,88 ± 0,13 Tinggi bdn-kaki-dpn bahu (cm) 8 ± 0,66 6 ± 0,41 7 ± 0,13 5 ± 0,15 Tinggi bdn-kaki-blkg pingl (cm) 9,2 ± 0,82 7 ± 0,48 9 ± 0,17 7 ± 0,21 Panjang gigi atas (mm) 7 ± 0,62 6 ± 0,41 10 ± 0, 2 10 ± 0,03 Lebar gigi atas (mm) 4 ± 0,35 2 ± 0,14 2 ± 0,04 2 ± 0,19
Panjang gigi bawah (mm) 13 ± 1,15 8,5 ± 0,59 20 ± 0,40 15 ± 0,04
Lebar gigi bawah (mm) 2,5 ± 0,22 2,5 ± 0,17 2 ± 0.04 3 ± 0,09
Rusuk (buah) 11 11 13 13
Ginjal (g) 3 ± 0,33 1± 0,07 3,1 ± 0,06 1,8 ± 0,05
Jantung (g) 2,5 ± 0,22 1 ± 0,13 1,1 ± 0,02 0,6 ± 0,02
Paru-paru (g) 3,5 ± 0,31 3,3 ± 0,23 3,1 ± 0,06 1,7± 0,05
Hati (g) 19 ±1,68 15,0 ± 0,23 18,2 ± 0,34 9,7± 0,29
Limpa (g) 0,42 ± 0,04 0,3 ± 0,02 0,8 ± 0,01 0,5 ± 0,01
Esophagus (cm) 6 ± 0,53 4 ± 0,28 4 ± 0,07 3 ± 0,09
Arcus lambung panjang (cm) 10 ± 0,89 10 ± 0,69 6 ± 0,11 4 ± 0,12
Usus halus (cm) 65 ± 5,76 48,5 ± 3,35 165 ± 3,07 125 ± 3,71
Caecum (cm) 7 ± 0,62 5 ± 0,35 4,5 ± 0,08 4 ± 0,12
Setelah berumur tiga hari warna berubah menjadi kehitaman tanpa rambut,
namun 2/3 bagian ujung ekor sudah jelas berwarna putih. Setelah umur 7 hari rambut halus mulai tumbuh.
Hasil pengukuran terhadap tikus ekor putih dan Rattus norvegicus
menunjukkan bahwa secara umum tikus ekor putih memiliki bentuk tubuh yang kecil dengan kepala ramping. Ukuran tubuh tikus betina lebih kecil dibandi