• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkah Laku Ingestive dan Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan (Coturnix-coturnix japonica) pada Kepadatan Kandang yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkah Laku Ingestive dan Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan (Coturnix-coturnix japonica) pada Kepadatan Kandang yang Berbeda"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

Aldi Pramestya Pamungkas D14080301. 2013. Tingkah Laku Ingestive dan Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan (Coturnix-coturnix japonica) pada Kepadatan Kandang yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Rudi Afnan, S.Pt.,M.Sc.Agr Pembimbing Anggota : Muhamad Baihaqi, S.Pt.,M.Sc

Puyuh merupakan salah satu jenis ternak dwiguna, sebagai penghasil telur dan daging yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang bergizi tinggi. Produksi yang dihasilkan dapat dipengaruhi manajemen kandang yang diberlakukan salah satunya adalah kepadatan kandang. Kepadatan kandang berpengaruh terhadap tingkah laku yang diekspresikan puyuh, terutama jantan yang memiliki sifat dominasi yang cukup kuat di kandang dibandingkan betina.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kepadatan kandang optimal terhadap tingkah laku puyuh jantan dengan rasio jantan betina 1:2, sehingga menghasilkan ekspresi tingkah laku yang mendukung produksi optimal. Puyuh yang digunakan adalah Coturnix-coturnix japonica berumur sembilan minggu untuk betina dan sepuluh minggu untuk jantan. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan di kandang B unit unggas Fakultas Peternakan, IPB. Penelitian didesain menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan pertama P1 (terdiri dari 4 jantan dan 8 betina), perlakuan kedua P2 terdiri (terdiri dari 5 jantan dan 10 betina) dan perlakuan ketiga P3 (terdiri dari 6 jantan dan 12 betina). Metode pengamatan yang digunakan adalah scan sampling

dan dilakukan dua kali pengamatan selama seminggu sekali. Tingkah laku yang diamati adalah tingkah laku seksual, agonistik dan Ingestive. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif tingkat kepadatan kandang berbeda yaitu, P1, P2 dan P3. Perhitungan frekuensi meliputi masing-masing tingkah laku dan frekuensi tingkah laku pagi dan siang hari.

Frekuensi tingkah laku seksual, terbanyak ditemukan pada kepadatan kandang P1 dan P2. Frekuensi tingkah laku agonistik terbanyak terletak pada kepadatan kandang P2 dan frekuensi tingkah lakuIngestiveterbanya pada kepadatan kandang P3.

Frekuensi tingkah laku seksual terbanyak pada pagi hari terletak pada kepadatan kandang P1, sedangkan untuk siang hari pada kepadatan kandang P2 .

(2)

iii ABSTRACT

Ingestive, Sexual and Agonistic Behavior of Male Quail (Coturnix-coturnix japonica) In Different Stocking Density

Pamungkas, A. P, R. Afnan and M. Baihaqi

Quail have considerable potential as a producer of eggs. Some of them likes

C.japonicacan spawn more than 300 points in one year at the first production. Quail

livestock production can developed optimally in good maintenance management. Factors of stocking density, sex ratio and behavior could be affected to egg production. The subject of this research was to determine the optimal stable density on the behavior of quail. There were three treatment in this research, first density (there was 4 male and 8 female), second density (there was 5 male and 10 female) and third density (there was 6 male and 12 female). The treatment production indicated that the P1 and P2 showed the greatest frequency of sexual was 0,11, P2 showed the greates frequency of agonistic was 0,07 andIngestivebehavior was 7,13. The most highest sexual behavior frequency was showed at stocking density P1 and P2. The most highest agonistic behavior frequency at stocking density P2 and the most highestIngestivebehavior frequency at stocking density P3.

(3)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Puyuh sudah sejak lama dikenal masyarakat dan telah diusahakan sebagai usaha peternakan. Puyuh memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil telur. Beberapa diantaranya dapat bertelur lebih dari 300 butir dalam satu tahun produksi pertamanya (Progressio, 2003). Jenis puyuh yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis Cortunix-cortunix japonica. Cortunix-cortunix japonica

merupakan jenis puyuh yang bisa dimanfaatkan hasil telur dan dagingnya sebagai konsumsi masyarakat.

Produksi ternak puyuh di Indonesia dibagi menjadi puyuh petelur konsumsi dan puyuh penghasil bibit. Puyuh petelur konsumsi telur yang tidak dibuahi, sedangkan puyuh penghasil telur pembibit menghasilkan telur yang dibuahi, kemudian siap ditetaskan. Produksi ini bisa berkembang optimal apabila manajemen pemeliharaan baik. Beberapa faktor pendukung peningkatan produksi puyuh adalah intensitas cahaya, suhu dan kelembaban, kecepatan angin dan faktor lain. Penelitian ini lebih memfokuskan terhadap puyuh pembibit. Salah satu faktor manejemen yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu kepadatan kandang. Faktor kepadatan kandang serta jumlah jantan dan betina (sex ratio) tidak hanya mempengaruhi mobilitas, tetapi juga mempengaruhi persaingan memperoleh pakan serta tingkah laku puyuh secara keseluruhan.

Kepadatan kandang yang bervariasi tentu akan sangat berpengaruh terhadap

tingkah laku, karena puyuh yang merupakan hewan yang memiliki sistem termoregulasi di dalam tubuhnya. Semakin tinggi kepadataan, akan mempengaruhi suhu di kandang sekaligus mempengaruhi sistem termoregulasi dan hal inilah yabg mempengaruhi faktor perubahan tingkah laku. Tingkah laku puyuh yang sangat mempengaruhi hasil produksi akibat kepadatan kandang adalah tingkah laku makan dan minum, tingkah laku agonistik serta tingkah laku seksual terutama yang diperlihatkan jantan apabila tujuan pemeliharaan diarahkan kepada breeding atau pembibitan. Puyuh jantan umumnya memperlihatkan tingkah laku yang cukup mendominasi dalam mendapatkan pakan dan untuk mengawini betina.

(4)

2 yang lain. Efek dari tingkah laku jantan secara umum akan mempengaruhi tingkat fertilitas serta daya tetas telur yang dihasilkan. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat korelasi antara kepadatan kandang dengan sex ratio yang sudah terbukti paling optimal yaitu sebesar 1:2 terhadap tingkah laku dan performa yang dihasilkan.

Tujuan

(5)

TINJAUAN PUSTAKA Puyuh

Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat pada tahun 1870. Puyuh terus dikembangkan ke seluruh penjuru dunia, sedangkan di Indonesia puyuh mulai dikenal dan diternakkan semenjak akhir tahun 1979 (Progressio, 2003).

Menurut Pappas (2002), klasifikasi burung puyuh adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Aves

Ordo : Galiformes

Famili : Phasianidae

Genus :Coturnix

Species :Coturnix-coturnix japonica

Karakteristik Morfologi Puyuh

Puyuh menjadi makin populer dan digemari karena produksi telur dan daging sebagai bahan makanan yang bergizi dan lezat, juga sebagai ternak percobaan pada berbagai penelitian. Menurut Nugroho dan Mayun (1986), ciri-ciri karakteristik dari

Coturnix-coturnix japonica:

- bentuk tubuh besar, badan bulat, ekor pendek, paruh pendek dan kuat, tiga jari kaki menghadap ke muka dan satu jari kaki ke arah belakang

- pertumbuhan bulu lengkap setelah berumur dua sampai tiga minggu;

- jenis kelamin dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara dan berat badan; - burung puyuh jantan dewasa bulu dada berwarna merah sawo matang tanpa

(6)

4 - puyuh betina dewasa memiliki bulu dada berwarna merah sawo matang dengan

garis-garis atau belang-belang hitam; - suara puyuh jantan lebih keras;

- burung betina dapat berproduksi sampai 200-300 butir setiap tahun dengan berat telur sekitar 10 g/butir atau 7%-8% dari berat badan.

Kandang

Menurut Nugraha (1981), kandang puyuh harus memperhatikan hal-hal tertentu untuk memberikan kondisi kandang yang terbaik. Kandang harus ditempatkan di lokasi yang memenuhi beberapa persyaratan teknis seperti yang disajikan berikut :

1. Jauh dari Permukiman yang Padat

Tujuan dari penempatan kandang yang jauh dari pemukiman yaitu agar puyuh tidak stres karena kebisingan di lingkungan sekitar yang berakibat pada penurunan produksi. Masyarakat pun tidak terganggu karena bau yang ditimbulkan karena kotoran puyuh.

2. Letak Kandang

Kandang puyuh harus dibangun di tempat yang lebih tinggi, agar sirkulasi udara cukup baik. Bahan pembuat kandangpun harus diperhatikan. Sebaiknya digunakan kawat ram atau bambu yang dipasang dengan jarak tertentu, sehingga sirkulasi udara bebas keluar masuk.

3. Arah Sinar Matahari

Kandang dibangun membujur dari arah timur ke barat. Selain membunuh kuman penyakit, sinar matahari juga akan mengurangi kelembaban kandang dan membantu sintesis vitamin D dalam tubuh puyuh.

4. Ukuran Kandang

(7)

5. Alas Kandang

Macam jenis alas yang dapat digunakan pada kandang puyuh. Pertama yaitu kandang diberi alas yang sepenuhnya tertutup dan dilapisi dengan sekam atau ampas gergaji yang disebut litter dan alas yang menggunakan kawat ram. Kelebihan alas

litter yaitu menghindari terperosoknya kaki-kaki puyuh. Sekam mengandung

beberapa vitamin B12 yang berguna bagi tubuh puyuh. Kelemahan alas litter yaitu kebersihan kandang kurang terjamin dan membutuhkan tenaga dan waktu lebih untuk membersihkan.

Jenis alas kedua yaitu menggunakan kawat ram. Kebersihan kandang lebih mudah diperhatikan karena kotoran yang dihasilkan terkumpul pada penampung kotoran di bawah kawat ram (Nugraha, 1981).

6. Tempat Pakan dan Minum

Tempat makan dan minum untuk puyuh (terutama puyuh grower dan layer) dapat menggunakan tempat makan dan minum untuk ayam ras, namun dengan melakukan modifikasi di beberapa bagian. Tujuan agar pakan dan minum tidak mudah terinjak-injak puyuh, tidak bercampur dengan kotoran, serta mencegah agar puyuh tidak tenggelam di tempat air minum.

Berdasarkan peruntukan, kandang puyuh dibedakan menjadi beberapa jenis kandang yaitu : 1) kandangDOQataustarter2) kandanggrower3) kandanglayer4) kandang induk dan pejantan. Secara umum, puyuh-puyuh dipelihara dalam kandang koloni sejak DOQ hingga berproduksi. Berdasarkan hasil produksi tidak ada

perbedaan konstruksi yang mendasar antara kandang koloni dengan kandang inti. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran luas. Semakin tua umur puyuh (sampai umur tertentu), ukuran kandang harus semakin luas (Nugraha, 1981).

Kepadatan dan Luasan Kandang Puyuh

Menurut Nugraha (1981), model kandang puyuh ada 2 (dua) macam yang biasa diterapkan yaitu sistem litter (lantai sekam) dan sistem sangkar (batere). Ukuran kandang untuk 1 m2 dapat diisi 90 ekor anak puyuh, selanjutnya menjadi 60 ekor untuk umur 10 hari sampai lepas masa anakan dan untuk puyuh dewasa menjadi 40 ekor m2. Kandang yang biasa digunakan dalam budidaya burung puyuh adalah:

(8)

6 berkualitas baik. Besar atau ukuran kandang yang digunakan harus sesuai dengan jumlah puyuh yang dipelihara. Ideal satu ekor puyuh dewasa membutuhkan luas kandang 200 m2.

b. Kandang untuk induk petelur. Kandang ini berfungsi sebagai kandang untuk induk pembibit serta mempunyai bentuk, ukuran, dan peralatan yang sama.

c. Kandang untuk puyuh umur grower (3-6 minggu) dan layer (lebih dari 6 minggu). Bentuk, ukuran maupun peralatan sama dengan kandang untuk induk petelur. Alas kandang biasa berupa kawat ram.

Perbandingan Jantan dan Betina

Woodard (1973) menjelaskan bahwa perbandingan jantan dan betina pada puyuh mempengaruhi fertilitas telur. Perbandingan burung puyuh jantan dengan betina yang makin kecil akan menurunkan ferlititas. Fertilitas yang tinggi dicapai jika dalam satu kandang terdapat puyuh jantan dan puyuh betina dengan perbandingan satu banding dua. Panda (1980) menyatakan bahwa daya tunas telur 73,78% diperoleh pada perbandingan jenis kelamin jantan dan betina satu banding dua. Junurmawan (1983) menyatakan fertilitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan puyuh jantan dengan betina satu banding satu. Penggunaan pejantan dalam satu kandang koloni umumnya adalah lebih dari satu dan perbandingan jantan yang biasa digunakan satu banding empat.

Tingkah Laku

(9)

dasar hewan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir (innate behavior), antara lain gerakan menjauh atau mendekat dari stimulus, perubahan pola tingkah laku akibat mekanisme fisiologi seperti tingkah laku jantan dan betina saat estrus (Stanley dan Andrykovitch, 1984).

Tingkah laku merupakan suatu aktivitas yang melibatkan fungsi fisiologis. Setiap macam perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera, perubahan rangsangan-rangsangan ini menjadi aktivitas neural, aksi integrasi susunan syaraf, dan akhirnya aktivitsa organ motorik, baik internal maupun eksternal. Umumnya tingkah laku yang diarahkan untuk suatu tujuan (seperti makan, minum, tidur dan seksual) terdiri atas tiga tahap yang jelas dan terjadi secara siklis. Tiga tahap tersebut yaitu perilaku apetitif, konsumatoris dan refraktoris. Tahap apetitif dapat sederhana dan kompleks, sering mencakup mencari dari perilaku yang diubah, dan yang banyak dipelajari. Tahap refraktoris mencakup hilang perhatian dan berhenti aktivitas konsumatoris, meskipun kesempatan untuk memberi respon selalu ada (Tanudimadja dan Kusumamidihardja, 1985).

Tingkah Laku Makan

Secara umum hewan mempunyai tiga cara dalam memperoleh makanan, yaitu tahap (1) tetap berada di tempat dan makanan datang sendiri, (2) berjalan untuk mencari makanan dan (3) menjadi parasit bagi organisme lain. Tingkah laku makan dipengaruhi oleh faktor genetik, suhu lingkungan, jenis makanan yang tersedia dan habitat (Warsono, 2002).

Tingkah laku makan disebabkan oleh ada rangsangan dari luar (makanan) dan rangsangan dari dalam (adanya kebutuhan atau lapar). Tingkah laku ini berkembang sesuai dengan perkembangan proses belajar (Alikodra, 1990).

Tingkah Laku Agonistik

Agonistik berasal dari kata latin yang berarti berjuang (Tomaszewazkaet al.,

(10)

8 yang memperlihatkan tingkah laku aktif dan pasif, tingkah laku aktif seperti berkelahi, berlari atau terbang serta tingkah laku agresif.

Pola perilaku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart, 1985). Perilaku agonistik ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies. Menurut Ensminger (1991), tingkah laku yang termasuk dalam tingkah laku agonistik adalah berkelahi, berlari atau terbang dan tingkah laku lain yang mempunyai hubungan dengan konflik. Hewan jantan memiliki tingkah laku berkelahi lebih tinggi dibandingkan dengan betina, hal ini dipengaruhi hormon, terutama hormon testosteron.

Menurut Craig (1981), tingkah laku agonistik juga dimiliki hewan betina dengan frekuensi sangat kecil karena betina juga dapat memproduksi hormon. Hormon androgen yang dihasilkan ovari dan pituitary glan, namun jumlahnya tidak sebanyak yang diproduksi jantan.

Tingkal Laku Seksual

Tingkah laku seksual merupakan tingkah laku interaksi antara jantan dengan betina yang sedang estrus. Tingkah laku ini ditunjukkan saat seekor jantan dewasa kelamin siap melakukan kopulasi ke dalam alat kelamin betina dan betina yang sudah dewasa kelamin serta sedang mengalami estrus akan tetap diam jika sedang

(11)
(12)

Zat Makanan Jumlah (%)

Kadar Air 12

Protein Kasar 20-22

Lemak Kasar 7

Serat Kasar 7

Abu 14

Ca 2,5-3,5

(13)
(14)
(15)
(16)

14 Taraf perlakuan yang adalah tingkat kepadatan kandang dengan ratiojantan betina 1:2, yaitu:

P1 : Kepadatan kandang 258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan empat ekor dan betina delapan ekor

P2 : Kepadatan kandang 206,67 cm2/ekor dengan jumlah jantan lima ekor dan betina 10 ekor

P3 : Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan enam ekor dan betina 12 ekor

Analisis Data Performa Produksi

Data performa produksi berupa rataan konsumsi dianalisis secara deskriptif. Analisis perhitungan rataan konsumsi terdiri atas nilai rataan beserta standar deviasi.

Analisis Data Tingkah Laku

Data hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dan merupakan penguraian serta penjelasan mengenai jenis aktifitas yang dilakukan, lama beraktivitas, frekuensi setiap aktivitas yang dilakukan, dan ritme aktivitas. Analisis perhitungan tingkah laku harian untuk mengetahui persentase tingkah laku dengan menggunakan persamaan matematika (Martin dan Bateson, 1993) :

P = X x 100% Y

Keterangan : P = persentase tingkah laku.

X = jumlah kegiatan tingkah laku yang diamati, dan. Y = jumlah seluruh tingkah laku yang terjadi.

Selanjutnya data diintepretasikan dalam bentuk persentase untuk mengetahui proposisi penggunaan lama waktu ternak beraktivitas dan frekuensi setiap aktivitas. Table dan grafik menggambarkan peubah-peubah yang diukur dengan grafik yang menggambarkan intensitas tingkah laku.

Peubah yang diamati

1. Jumlah dan Frekuensi TingkahIngestivePuyuh Jantan

(17)

(X) dibagi dengan seluruh frekuensi tingkah laku yang diamati dalam satu kandang perlakuan(Y) dikali 100%.

2. Jumlah dan Frekuensi Tingkah Laku Seksual Puyuh Jantan

Tingkah laku yang ditunjukkan jantan pada betina dengan memasukan alat kelamin jantan ke dalam alat kelamin betina setiap individu (X) dibagi dengan frekuensi seluruh tingkah laku yang diamati (X) dalam satuan waktu pengamatan setiap individu dikali 100%. Tingkah laku seksual abnormal (jantan mengawini jantan lainnya tidak dihitung).

3. Jumlah dan Frekuensi Tingkah Laku Agonistik Puyuh Jantan

Jumlah tingkah laku agresifitas yang memperlihatkan perlawanan seekor puyuh terhadap puyuh lainnya dengan cara mematuk-matuk lawan. Setiap tindakan agresifitas puyuh individu (Y) dibagi dengan frekuensi seluruh tingkah laku yang diamati (Y) pengamatan setiap individu dikali 100%.

4. Rataan Konsumsi Pakan

(18)

16 HASIL DAN PEMBAHASAN

Manajemen Pemeliharaan

Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan puyuh jenis Coturnix-coturnix japonica. Faktor manajemen yang menjadi perlakuan dalam penelitian adalah kepadatan kandang. Menurut North dan Bell (1990), sistem perkandangan sangat penting untuk menciptakan iklim mikro yang sangat diperlukan agar fungsi fisologis tubuh ternak dapat berjalan dengan sempurna secara alami. Ukuran tubuh serta aktivitas puyuh sangat mempengaruhi luasan kandang yang diperlukan (Applebyet al., 1992).

Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini berumur 9 minggu untuk jantan dan 10 minggu untuk betina. Menurut Peraturan Kementerian Pertanian (2008), kepadatan kandang yang diperlukan dalam memelihara puyuh yang berumur 9-10 minggu yaitu sebesar 185-225 cm2/ekor. Kepadatan kandang dapat dimodifikasi. Kepadatan kandang yang tinggi dapat digunakan, akan tetapi keadaan sirkulasi udara dikandang sangat baik dan ternak juga dapat menjangkau tempat pakan dan minum dengan mudah (Applebyet al., 1992). Kandang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kandang yang tersedia di lapang, yaitu terdiri dari bahan utama kayu sebagai rangka dan kawat yang digunakan sebagai alasnya. Selain kepadatan kandang, kondisi lingkungan sekitar kandang juga sangat mempengaruhi tingkah laku ternak. Data suhu yang diambil dalam penelitian kali ini disajikan pada Table 2.

Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku

(19)

pertumbuhan puyuh adalah 20-25 ºC. Suhu kandang pada siang hari sedikit lebih panas dibandingkan suhu optimal puyuh, tetapi hal ini tidak terlalu mempengaruhi produksinya karena puyuh sudah mulai beradaptasi dengan suhu lingkungan. Suhu fisiologis tubuh untuk puyuh adalah 42,2 ºC dan suhu kulit 39 ºC. Kepadatan kandang yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh, suhu kulit, detak jantung dan laju pernafasan (Azeem, 2010).

Tingkah Laku Puyuh Jantan

Tingkah laku puyuh jantan yang diamati meliputi, tingkah laku seksual, tingkah laku agonistik dan tingkah laku Ingestive. Rataan persentasi tingkah laku disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan frekuensi tingkah laku puyuh jantan, tingkah

laku Ingestive memiliki jumlah frekuensi tertinggi di setiap perlakuan. Kemudian

tingkah laku yang memiliki frekuensi terendah adalah agonistik. Rendah frekuensi tingkah laku agonistik dalam penelitian ini sangatlah diharapkan karena dapat mengurangi frekuensi tingkah laku seksual danIngestive.

Tabel 3. Frekuensi Tingkah Laku Puyuh Jantan dengan Kepadatan Kandang yang Berbeda

Perlakuan

Frekuensi Tingkah Laku (%)

Seksual Agonistik Ingestive

Makan Minum

P1 (jantan 4 ekor) 0,11 0,01 0,47 0,41

P2 (jantan 5 ekor) 0,11 0,07 0,42 0,40

P3 (jantan 6 ekor) 0,08 0,02 0,34 0,56

Tingkah LakuIngestive

Tingkah laku Ingestive merupakan tingkah laku memasukan makanan atau unsur hara ke dalam mulut atau paruh, dalam penelitian ini tingkah laku Ingestive

yang dimaksud adalah tingkah laku makan dan minum. Pengamatan tingkah laku ini dinilai sangat penting di dalam peternakan pembibit, karena baik jantan ataupun betina memerlukan asupan energi untuk dapat melakukan aktivitas sepanjang hari

(Setyaningrum, 2007).

(20)

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

P1 P2 P3

Makan

Minum

0,47 0,42

0,34

F

re

k

u

en

si

T

in

g

k

ah

L

ak

u 0,40

0,56

(21)

faktor lain yang menyebabkan sedikitnya frekuensi tingkah laku Ingestive pada kepadatan kandang P2 adalah tingginya frekuensi agonistik. Tingginya frekuensi agonistik tersebut mengindikasikan bahwa adanya persaingan di dalam kandang, bisa berupa persaingan memperebutkan pakan ataupun persaingan memperebutkan betina. Puyuh pada kepadatan kandang P3 yang memiliki kepadatan kandang lebih tinggi dibandingkan P2 tetapi memiliki frekuensi tingkah laku Ingestive yang lebih tinggi. Hal ini bukan dikarenakan terbatasnya akses, melainkan kepadatan kandang yang cukup tinggi akan meningkatkan panas tubuh yang dihasilkan, sehingga memacu sistem homeothermic untuk mencegah suhu di dalam badan naik dengan mengurangi asupan pakan sementara. Hal ini dapat dilihat bahwa frekuensi minum pada kepadatan kandang P3 lebih tinggi dibandingkan frekuensi makannya. Tingginya kepadatan mendorong puyuh untuk banyak minum. Prilaku minum sangat dekat hubungannya dengan prilaku makan (Applebyet al., 1992). Air yang diminum mempunyai tujuan penting, yaitu sebagai makanan yang penting untuk metabolisme dalam tubuh ternak, serta dapat membantu melepaskan panas tubuh dengan cara konduksi dan penguapan (Williamson dan Payne, 2003). Selain itu pada kepadatan kandang P3 frekuensi tingkah laku agonistik tidak terlalu tinggi, sehingga persaingan dalam memperebutkan makanan tidak terlalu tinggi dan puyuh dapat makan dan minum dengan tenang tanpa gangguan. Frekuensi tingkah laku Ingestive pada kepadatan P1 sebesar 0,88 . Nilai ini lebih besar dari kepadatan kandang P2 dikarenakan kepadatan kandang yang rendah memberikan kenyamanan pada

kandang untuk berekspresi dan dapat meminimalisir adanya dominasi pakan. Selain itu frekuensi tingkah laku agonistiknya juga paling rendah diantara kepadatan kandang yang lain.

Tingkah Laku Seksual

(22)

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12

P1 P2 P3

Perlakuan Kepadatan Kandang

0,11 0,11

0,08

F

re

k

u

en

si

T

in

g

k

ah

L

ak

(23)

untuk berekspresi, selain itu rendahnya kepadatan kandang juga mengurangi tingkah laku agonistik. Data ini juga didukung oleh hasil penelitian Ananda, P (2008), dimana hasil penelitian menunjukan kepadatan kandang P1 memiliki tingkat fertilitas yang paling tinggi yaitu sebesar 87,14±4,95 dibandingkan dengan kepadatan kandang P2 dan P3 yaitu sebesar 75,50±4,26 dan 80,21±2,73. Kepadatan kandang P2 sangat sesuai dengan jumlah ternak di dalamnya, sehingga ternak dapat mengekspresikan tingkah lakunya dengan bebas. Menurut Peraturan Kementerian Pertanian (2008), kepadatan kandang yang optimal untuk puyuh adalah sebesar 185-225 cm2/ekor. Jika berdasarkan aturan Peraturan Kementerian Pertanian 2008, kandang P3 yang digunakan dalam penelitian, kepadatannya tidak termaksud dalam

range tersebut, sehingga menyebabkan kondisi kandang kurang nyaman untuk

mengekspresikan tingkah laku tersebut.

Tingkah laku seksual juga dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah suhu dan pencahayaan. Kepadatan kandang yang tinggi menyebabkan rendahnya sirkulasi udara di dalam kandang, sehingga cekaman panas yang diterima oleh puyuh akan mengurangi aktivitas demi menjaga kondisi fisiologisnya. Pengaruh cahaya pada ternak unggas adalah memudahkan untuk penglihatan, untuk merangsang siklus internal dalam kaitannya dengan perubahan panjang hari, serta untuk merangsang pelepasan hormon (Nesu, 2006). Pengaruh faktor cahaya dalam tingkah laku seksual pada kepadatan kandang yang tinggi dapat menyebabkan penetrasi cahaya ke dalam kandang menjadi sedikit. Menurut Setyawan (2006), cahaya yang diterima mata

unggas akan dilanjutkan ke bagian otak yang disebut hypothalamus.Hypothalamus

ini berperan sebagai pengatur fungsi organ-organ tubuh yang menggerakan aktivitas hidup, salah satunya adalah tingkah laku seksual serta sekresi kelenjar anterior

pituitary. Hal inilah yang menyebabkan mengapa frekuensi tingkah laku seksual

pada kepadatan kandang P3 menjadi paling sedikit karena penetrasi cahaya yang diterima puyuh menjadi sangat sedikit pada kepadatan kandang P3.

(24)

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08

P1 P2 P3

0,01

0,07

0,02

F

re

k

u

en

si

T

in

g

k

ah

L

ak

(25)

Berdasarkan data yang diperoleh, persentase frekuensi tingkah laku agonistik terbesar terdapat pada kandang dengan perlakuan P2, dengan nilai sebesar 0,07. Hal ini terjadi karena ada dominasi jantan, sehingga menyebabkan adanya persaingan dalam memperebutkan pakan serta kawin. Pola tingkah laku agonistik merupakan interaksi sosial antara ternak yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart, 1985). Selanjutnya dinyatakan bahwa tingkah laku agonistik ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies (Tomazweska, et,al.,1991). Frekuensi tingkah laku agonistik yang paling rendah terdapat pada kepadatan kandang P1 yaitu sebesar 0,01. Hal ini disebabkan kepadatan kandang yang rendah, yaitu sebesar 258,33 cm2/ekor yang dapat meminimalisasi terjadinya interaksi fisik ataupun persaingan dalam memperebutkan pakan pada puyuh jantan. Tingkah laku agonistik ini juga berkaitan erat dengan tingkah laku mematuk. Prilaku mematuk merupakan aktivitas untuk mencari kesibukan lain dan mengalihkan aktivitas makan (Sahroni, 2001). Perilaku kanibalisme ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain jika kelompok ternak yang dipelihara secara bersamaan mempunyai ukuran tubuh, jenis kelamin dan umur yang berbeda. Penelitian ini menggunakan puyuh jantan yang berumur seragam. Sifat kanibalisme ini dapat diminimalisasi apabila puyuh dipelihara dengan sistem lantai kawat berupa lantai (Wood-Gush, 1971).

Tingkah Laku Pagi dan Siang pada Perlakuan yang Berbeda

(26)
(27)

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Minum

Makan

Agonistik

Seksual

F

re

k

u

en

si

T

in

g

k

ah

L

ak

(28)

26 Menurut penelitian Sumbawati (1992), tingkat konsumsi pakan puyuh baik jantan dan betina sebesar 109,69-135,59 g/ekor/minggu. Rataan konsumsi pakan burung baik jantan maupun betina pada penelitian Kusumowati (1992) berkisar antara 127,12-165,15 g/ekor/minggu.

Frekuensi tingkah laku yang paling banyak disiang hari adalah tingkah laku

Ingestive, baik pada perlakuan P1, P2 maupun P3. Tingginya frekuensi tingkah laku

Ingestive pada P3 yaitu sebesar 100% mengindikasikan bahwa tingginya kepadatan

kandang disertai suhu panas siang hari menyebabkan ternak mengurangi aktifitasnya dan lebih menjaga suhu didalam tubuh agar tidak terlalu panas, yaitu dengan cara mengkonsumsi banyak air. Hal ini sesuai dengan Bell dan Weaver (2002) yang menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi tingkat cekaman, suhu lingkungan dan aktivitas ternak. Suhu lingkungan yang tinggi (cekaman panas) aktivitas tubuh berkurang konsumsi pakan berkurang dan konsumsi air minum meningkat. Rendahnya tingkah laku seksual pada kepadatan kandang P3 dan P1 yaitu sebesar 0% dan 1%, disebabkan karena tingginya suhu didalam kandang menyebabkan ternak malas beraktifitas, selain itu sesuai dengan Nataamijaya (1984) bahwa tingginya suhu kandang menyebabkan rendahnya durasi fertilitas pada puyuh jantan. Suhu tinggi juga menyebabkan kesuburan sperma puyuh jantan juga berkurang. Frekuensi seksual pada kepadatan kandang P2 lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan kandang yang lain yaitu sebesar 8% karena pada siang hari kondisi kandang P2 jauh lebih tenang dikarenakan kepadatan kandang yang tidak terlalu

(29)

tubuh (Mulyatini, 2011). Puyuh tidak memiliki kelenjar keringat sehingga membutuhkan pengeluaran panas melalui penguapan air (Card dan Nesheim, 1972).

Pembahasan Umum

Tingkah Laku A Tingkah Laku B Tingkah Laku C

P1 2 1 3

P2 3 2 1

P3 1 3 2

Keterangan: A =Ingestive 1 = Paling Tinggi B = Seksual 2 = Sedang C = Agonistik 3 = Paling Rendah

Tabel 3. Scoring Tingkah laku terhadap Kepadatan Kandang

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil penilaian seluruh tingkah laku yang diekpresikan terhadap kepadatan kandang yang bebeda memberikan hasil sebagai berikut: 1) Kepadatan kandang yang paling optimal dalam penelitian ini adalah kepadatan kandang P1 (258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan empat ekor dan betina delapan ekor) yaitu ditandai dengan frekuensi tingkah laku seksual yang paling tinggi dan frekuensi tingkah laku agonistik yang paling rendah. Selain itu berdasarkan Ananda, P (2012) tingkat fertilitas telur tertinggi juga berada pada kepadatan kandang P1. 2) Kepadatan kandang yang optimal kedua adalah kepadatan kandang P3 (Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan enam ekor dan betina 12 ekor) hal ini ditandai dengan hasil frekuensi tingkah laku ingestive

(30)

28 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Frekuensi tingkah laku seksual, paling banyak terjadi pada kepadatan kandang P1 dan P2 yaitu sebesar 0,11. Frekuensi tingkah laku agonistik tertinggi terjadi pada kepadatan kandang P2 sebesar 0,07 dan frekuensiIngestivepaling tinggi pada kepadatan P3 sebesar 0,90. Pengamatan frekuensi tingkah laku pada pagi hari untuk seksual paling banyak pada kepadatan kandang yang paling rendah yaitu P1 dengan frekuensi agonistik yang cukup rendah dan pada siang harinya pada kepadatan P2.

Saran

(31)

TINGKAH LAKU SEKSUAL DAN AGONISTIK SERTA

INGESTIVE

PUYUH JANTAN (

Coturnix coturnix

japonica)

PADA KEPADATAN KANDANG

YANG BERBEDA

ALDI PRAMESTYA PAMUNGKAS D14080301

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(32)
(33)

RINGKASAN

Aldi Pramestya Pamungkas D14080301. 2013. Tingkah Laku Ingestive dan Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan (Coturnix-coturnix japonica) pada Kepadatan Kandang yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Rudi Afnan, S.Pt.,M.Sc.Agr Pembimbing Anggota : Muhamad Baihaqi, S.Pt.,M.Sc

Puyuh merupakan salah satu jenis ternak dwiguna, sebagai penghasil telur dan daging yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang bergizi tinggi. Produksi yang dihasilkan dapat dipengaruhi manajemen kandang yang diberlakukan salah satunya adalah kepadatan kandang. Kepadatan kandang berpengaruh terhadap tingkah laku yang diekspresikan puyuh, terutama jantan yang memiliki sifat dominasi yang cukup kuat di kandang dibandingkan betina.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kepadatan kandang optimal terhadap tingkah laku puyuh jantan dengan rasio jantan betina 1:2, sehingga menghasilkan ekspresi tingkah laku yang mendukung produksi optimal. Puyuh yang digunakan adalah Coturnix-coturnix japonica berumur sembilan minggu untuk betina dan sepuluh minggu untuk jantan. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan di kandang B unit unggas Fakultas Peternakan, IPB. Penelitian didesain menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan pertama P1 (terdiri dari 4 jantan dan 8 betina), perlakuan kedua P2 terdiri (terdiri dari 5 jantan dan 10 betina) dan perlakuan ketiga P3 (terdiri dari 6 jantan dan 12 betina). Metode pengamatan yang digunakan adalah scan sampling

dan dilakukan dua kali pengamatan selama seminggu sekali. Tingkah laku yang diamati adalah tingkah laku seksual, agonistik dan Ingestive. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif tingkat kepadatan kandang berbeda yaitu, P1, P2 dan P3. Perhitungan frekuensi meliputi masing-masing tingkah laku dan frekuensi tingkah laku pagi dan siang hari.

Frekuensi tingkah laku seksual, terbanyak ditemukan pada kepadatan kandang P1 dan P2. Frekuensi tingkah laku agonistik terbanyak terletak pada kepadatan kandang P2 dan frekuensi tingkah lakuIngestiveterbanya pada kepadatan kandang P3.

Frekuensi tingkah laku seksual terbanyak pada pagi hari terletak pada kepadatan kandang P1, sedangkan untuk siang hari pada kepadatan kandang P2 .

(34)

iii ABSTRACT

Ingestive, Sexual and Agonistic Behavior of Male Quail (Coturnix-coturnix japonica) In Different Stocking Density

Pamungkas, A. P, R. Afnan and M. Baihaqi

Quail have considerable potential as a producer of eggs. Some of them likes

C.japonicacan spawn more than 300 points in one year at the first production. Quail

livestock production can developed optimally in good maintenance management. Factors of stocking density, sex ratio and behavior could be affected to egg production. The subject of this research was to determine the optimal stable density on the behavior of quail. There were three treatment in this research, first density (there was 4 male and 8 female), second density (there was 5 male and 10 female) and third density (there was 6 male and 12 female). The treatment production indicated that the P1 and P2 showed the greatest frequency of sexual was 0,11, P2 showed the greates frequency of agonistic was 0,07 andIngestivebehavior was 7,13. The most highest sexual behavior frequency was showed at stocking density P1 and P2. The most highest agonistic behavior frequency at stocking density P2 and the most highestIngestivebehavior frequency at stocking density P3.

(35)

TINGKAH LAKU SEKSUAL DAN AGONISTIK SERTA

INGESTIVE

PUYUH JANTAN (

Coturnix coturnix

japonica)

PADA KEPADATAN KANDANG

YANG BERBEDA

ALDI PRAMESTYA PAMUNGKAS D14080301

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(36)

v Judul : Tingkah LakuIngestive dan Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan (Coturnix-coturnix japonica) pada Kepadatan Kandang yang Berbeda

Nama : Aldi Pramestya Pamungkas NIM : D14080301

Menyetujui,

Pembimbng Utama Pembimbing Anggota

(Dr. Rudi Afnan, S.Pt.,M.Sc.Agr) (Muhamad Baihaqi, S.Pt.,M.Sc) NIP. 19680625 200801 1 010 NIP. 19800129 200501 1 005

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP. 19591212 198603 1 004

(37)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Juli 1990 di Jakarta. Penulis adalah anak ke-dua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Andika dan Ibu Ramayani.

Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1995 masuk TK Tunas Bangsa Jakarta dan lulus pada tahun 1996. Pendidikan dasar dimulai pada tahun 1996 dan diselesaikan pada tahun 2002 di SDN Kramat Pela 03 pagi Jakarta. Pendidikan lanjut dimulai pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahu 2005 di SMPN 13 Jakarta. Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 60 Jakarta pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan mendapatkan Beasiswa Masuk Universitas (BMU). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan.

Penulis terlibat aktif di kelembagaan, antara lain sebagai staf Budaya Olahraga dan Seni (BOS), Badan Eksekutif Mahasiwa Fakultas Peternakan (BEM-D) periode 2009-2010, Ketua Departemen BOS, BEM-D periode 2010-2011 dan Staf BOS, BEM KM IPB periode 2011-2012. Penulis pernah mengikuti magang di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah di Purwokerto pada tahun 2010. Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan antara lain Ketua Pelaksana Dekan Cup tahun 2010, Kepanitian Masa Perkenalan Fakultas (MPF) tahun 2010 dan 2011, Ketua Biro acara D’Day Art and Cultur tahun 2010, Kepanitiaan Malam Keakraban Departemen

(38)

vii KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

limpahan berkah, hidayah dan inayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi berjudul Tingkah Laku Ingestive dan Seksual serta Agonistik Puyuh Jantan

(Coturnix-coturnix Japonica) pada Kepadatan Kandang yang Berbeda. Skripsi ini

ditulis untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana pada Program Sarjana Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat dan para umatnya.

Penelitian tentang puyuh jantan ini menggunakan metode scan sampling, hal yang menjadi bahan pengamatan adalah tingkah laku seksual, agonistik danIngestive

puyuh jantan pada kepadatan yang berbeda. Umumnya para peternak puyuh hanya memikirkan nilai ekonomis dan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya saat menjalankan peternakan tanpa memikirkan segi animal walfare. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para peternak puyuh, mengenai kapadatan kandang yang tepat dalam memelihara puyuh terutama puyuh yang bergerak di bidang pembibitan.

Penulis masih menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, masukan dan kritik sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Januari 2013

(39)
(40)
(41)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian ... 10 2. Data Suhu Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku .. 14 3. Frekuensi Tingkah Laku Puyuh Jantan Dengan Kepadatan

(42)

xi DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kandang Puyuh ... 3 2. Pakan Ransum Komersil yang Digunakan ... 10 3. Vitamin yang Digunakan... 11

4. Pembersihan Kandang ... 12 5. Pengapuran Kandang ... 12

6. Penomeran Kandang Sesuai dengan Kepadatan Kandang ... 12 7. Grafik Tingkah LakuIngestivePuyuh Jantan pada Kepadatan

Kandang yang Berbeda ... 18 8. Grafik Tingkah Laku Seksual Puyuh Jantan pada Kepadatan

Kandang yang Berbeda ... 20 9. Grafik Tingkah Laku Agonistik Puyuh Jantan pada Kepadatan

Kandang yang Berbeda ... 22 10. Grafik Tingkah Laku Puyuh Jantan pada Kepadatan Kandang yang

Berbeda pada Pagi Hari ... 24 11. Grafik Tingkah Laku Puyuh Jantan pada Kepadatan Kandang yang

(43)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Puyuh sudah sejak lama dikenal masyarakat dan telah diusahakan sebagai usaha peternakan. Puyuh memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil telur. Beberapa diantaranya dapat bertelur lebih dari 300 butir dalam satu tahun produksi pertamanya (Progressio, 2003). Jenis puyuh yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis Cortunix-cortunix japonica. Cortunix-cortunix japonica

merupakan jenis puyuh yang bisa dimanfaatkan hasil telur dan dagingnya sebagai konsumsi masyarakat.

Produksi ternak puyuh di Indonesia dibagi menjadi puyuh petelur konsumsi dan puyuh penghasil bibit. Puyuh petelur konsumsi telur yang tidak dibuahi, sedangkan puyuh penghasil telur pembibit menghasilkan telur yang dibuahi, kemudian siap ditetaskan. Produksi ini bisa berkembang optimal apabila manajemen pemeliharaan baik. Beberapa faktor pendukung peningkatan produksi puyuh adalah intensitas cahaya, suhu dan kelembaban, kecepatan angin dan faktor lain. Penelitian ini lebih memfokuskan terhadap puyuh pembibit. Salah satu faktor manejemen yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu kepadatan kandang. Faktor kepadatan kandang serta jumlah jantan dan betina (sex ratio) tidak hanya mempengaruhi mobilitas, tetapi juga mempengaruhi persaingan memperoleh pakan serta tingkah laku puyuh secara keseluruhan.

Kepadatan kandang yang bervariasi tentu akan sangat berpengaruh terhadap

tingkah laku, karena puyuh yang merupakan hewan yang memiliki sistem termoregulasi di dalam tubuhnya. Semakin tinggi kepadataan, akan mempengaruhi suhu di kandang sekaligus mempengaruhi sistem termoregulasi dan hal inilah yabg mempengaruhi faktor perubahan tingkah laku. Tingkah laku puyuh yang sangat mempengaruhi hasil produksi akibat kepadatan kandang adalah tingkah laku makan dan minum, tingkah laku agonistik serta tingkah laku seksual terutama yang diperlihatkan jantan apabila tujuan pemeliharaan diarahkan kepada breeding atau pembibitan. Puyuh jantan umumnya memperlihatkan tingkah laku yang cukup mendominasi dalam mendapatkan pakan dan untuk mengawini betina.

(44)

2 yang lain. Efek dari tingkah laku jantan secara umum akan mempengaruhi tingkat fertilitas serta daya tetas telur yang dihasilkan. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat korelasi antara kepadatan kandang dengan sex ratio yang sudah terbukti paling optimal yaitu sebesar 1:2 terhadap tingkah laku dan performa yang dihasilkan.

Tujuan

(45)

TINJAUAN PUSTAKA Puyuh

Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat pada tahun 1870. Puyuh terus dikembangkan ke seluruh penjuru dunia, sedangkan di Indonesia puyuh mulai dikenal dan diternakkan semenjak akhir tahun 1979 (Progressio, 2003).

Menurut Pappas (2002), klasifikasi burung puyuh adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Aves

Ordo : Galiformes

Famili : Phasianidae

Genus :Coturnix

Species :Coturnix-coturnix japonica

Karakteristik Morfologi Puyuh

Puyuh menjadi makin populer dan digemari karena produksi telur dan daging sebagai bahan makanan yang bergizi dan lezat, juga sebagai ternak percobaan pada berbagai penelitian. Menurut Nugroho dan Mayun (1986), ciri-ciri karakteristik dari

Coturnix-coturnix japonica:

- bentuk tubuh besar, badan bulat, ekor pendek, paruh pendek dan kuat, tiga jari kaki menghadap ke muka dan satu jari kaki ke arah belakang

- pertumbuhan bulu lengkap setelah berumur dua sampai tiga minggu;

- jenis kelamin dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara dan berat badan; - burung puyuh jantan dewasa bulu dada berwarna merah sawo matang tanpa

(46)

4 - puyuh betina dewasa memiliki bulu dada berwarna merah sawo matang dengan

garis-garis atau belang-belang hitam; - suara puyuh jantan lebih keras;

- burung betina dapat berproduksi sampai 200-300 butir setiap tahun dengan berat telur sekitar 10 g/butir atau 7%-8% dari berat badan.

Kandang

Menurut Nugraha (1981), kandang puyuh harus memperhatikan hal-hal tertentu untuk memberikan kondisi kandang yang terbaik. Kandang harus ditempatkan di lokasi yang memenuhi beberapa persyaratan teknis seperti yang disajikan berikut :

1. Jauh dari Permukiman yang Padat

Tujuan dari penempatan kandang yang jauh dari pemukiman yaitu agar puyuh tidak stres karena kebisingan di lingkungan sekitar yang berakibat pada penurunan produksi. Masyarakat pun tidak terganggu karena bau yang ditimbulkan karena kotoran puyuh.

2. Letak Kandang

Kandang puyuh harus dibangun di tempat yang lebih tinggi, agar sirkulasi udara cukup baik. Bahan pembuat kandangpun harus diperhatikan. Sebaiknya digunakan kawat ram atau bambu yang dipasang dengan jarak tertentu, sehingga sirkulasi udara bebas keluar masuk.

3. Arah Sinar Matahari

Kandang dibangun membujur dari arah timur ke barat. Selain membunuh kuman penyakit, sinar matahari juga akan mengurangi kelembaban kandang dan membantu sintesis vitamin D dalam tubuh puyuh.

4. Ukuran Kandang

(47)

5. Alas Kandang

Macam jenis alas yang dapat digunakan pada kandang puyuh. Pertama yaitu kandang diberi alas yang sepenuhnya tertutup dan dilapisi dengan sekam atau ampas gergaji yang disebut litter dan alas yang menggunakan kawat ram. Kelebihan alas

litter yaitu menghindari terperosoknya kaki-kaki puyuh. Sekam mengandung

beberapa vitamin B12 yang berguna bagi tubuh puyuh. Kelemahan alas litter yaitu kebersihan kandang kurang terjamin dan membutuhkan tenaga dan waktu lebih untuk membersihkan.

Jenis alas kedua yaitu menggunakan kawat ram. Kebersihan kandang lebih mudah diperhatikan karena kotoran yang dihasilkan terkumpul pada penampung kotoran di bawah kawat ram (Nugraha, 1981).

6. Tempat Pakan dan Minum

Tempat makan dan minum untuk puyuh (terutama puyuh grower dan layer) dapat menggunakan tempat makan dan minum untuk ayam ras, namun dengan melakukan modifikasi di beberapa bagian. Tujuan agar pakan dan minum tidak mudah terinjak-injak puyuh, tidak bercampur dengan kotoran, serta mencegah agar puyuh tidak tenggelam di tempat air minum.

Berdasarkan peruntukan, kandang puyuh dibedakan menjadi beberapa jenis kandang yaitu : 1) kandangDOQataustarter2) kandanggrower3) kandanglayer4) kandang induk dan pejantan. Secara umum, puyuh-puyuh dipelihara dalam kandang koloni sejak DOQ hingga berproduksi. Berdasarkan hasil produksi tidak ada

perbedaan konstruksi yang mendasar antara kandang koloni dengan kandang inti. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran luas. Semakin tua umur puyuh (sampai umur tertentu), ukuran kandang harus semakin luas (Nugraha, 1981).

Kepadatan dan Luasan Kandang Puyuh

Menurut Nugraha (1981), model kandang puyuh ada 2 (dua) macam yang biasa diterapkan yaitu sistem litter (lantai sekam) dan sistem sangkar (batere). Ukuran kandang untuk 1 m2 dapat diisi 90 ekor anak puyuh, selanjutnya menjadi 60 ekor untuk umur 10 hari sampai lepas masa anakan dan untuk puyuh dewasa menjadi 40 ekor m2. Kandang yang biasa digunakan dalam budidaya burung puyuh adalah:

(48)

6 berkualitas baik. Besar atau ukuran kandang yang digunakan harus sesuai dengan jumlah puyuh yang dipelihara. Ideal satu ekor puyuh dewasa membutuhkan luas kandang 200 m2.

b. Kandang untuk induk petelur. Kandang ini berfungsi sebagai kandang untuk induk pembibit serta mempunyai bentuk, ukuran, dan peralatan yang sama.

c. Kandang untuk puyuh umur grower (3-6 minggu) dan layer (lebih dari 6 minggu). Bentuk, ukuran maupun peralatan sama dengan kandang untuk induk petelur. Alas kandang biasa berupa kawat ram.

Perbandingan Jantan dan Betina

Woodard (1973) menjelaskan bahwa perbandingan jantan dan betina pada puyuh mempengaruhi fertilitas telur. Perbandingan burung puyuh jantan dengan betina yang makin kecil akan menurunkan ferlititas. Fertilitas yang tinggi dicapai jika dalam satu kandang terdapat puyuh jantan dan puyuh betina dengan perbandingan satu banding dua. Panda (1980) menyatakan bahwa daya tunas telur 73,78% diperoleh pada perbandingan jenis kelamin jantan dan betina satu banding dua. Junurmawan (1983) menyatakan fertilitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan puyuh jantan dengan betina satu banding satu. Penggunaan pejantan dalam satu kandang koloni umumnya adalah lebih dari satu dan perbandingan jantan yang biasa digunakan satu banding empat.

Tingkah Laku

(49)

dasar hewan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir (innate behavior), antara lain gerakan menjauh atau mendekat dari stimulus, perubahan pola tingkah laku akibat mekanisme fisiologi seperti tingkah laku jantan dan betina saat estrus (Stanley dan Andrykovitch, 1984).

Tingkah laku merupakan suatu aktivitas yang melibatkan fungsi fisiologis. Setiap macam perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera, perubahan rangsangan-rangsangan ini menjadi aktivitas neural, aksi integrasi susunan syaraf, dan akhirnya aktivitsa organ motorik, baik internal maupun eksternal. Umumnya tingkah laku yang diarahkan untuk suatu tujuan (seperti makan, minum, tidur dan seksual) terdiri atas tiga tahap yang jelas dan terjadi secara siklis. Tiga tahap tersebut yaitu perilaku apetitif, konsumatoris dan refraktoris. Tahap apetitif dapat sederhana dan kompleks, sering mencakup mencari dari perilaku yang diubah, dan yang banyak dipelajari. Tahap refraktoris mencakup hilang perhatian dan berhenti aktivitas konsumatoris, meskipun kesempatan untuk memberi respon selalu ada (Tanudimadja dan Kusumamidihardja, 1985).

Tingkah Laku Makan

Secara umum hewan mempunyai tiga cara dalam memperoleh makanan, yaitu tahap (1) tetap berada di tempat dan makanan datang sendiri, (2) berjalan untuk mencari makanan dan (3) menjadi parasit bagi organisme lain. Tingkah laku makan dipengaruhi oleh faktor genetik, suhu lingkungan, jenis makanan yang tersedia dan habitat (Warsono, 2002).

Tingkah laku makan disebabkan oleh ada rangsangan dari luar (makanan) dan rangsangan dari dalam (adanya kebutuhan atau lapar). Tingkah laku ini berkembang sesuai dengan perkembangan proses belajar (Alikodra, 1990).

Tingkah Laku Agonistik

Agonistik berasal dari kata latin yang berarti berjuang (Tomaszewazkaet al.,

(50)

8 yang memperlihatkan tingkah laku aktif dan pasif, tingkah laku aktif seperti berkelahi, berlari atau terbang serta tingkah laku agresif.

Pola perilaku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart, 1985). Perilaku agonistik ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies. Menurut Ensminger (1991), tingkah laku yang termasuk dalam tingkah laku agonistik adalah berkelahi, berlari atau terbang dan tingkah laku lain yang mempunyai hubungan dengan konflik. Hewan jantan memiliki tingkah laku berkelahi lebih tinggi dibandingkan dengan betina, hal ini dipengaruhi hormon, terutama hormon testosteron.

Menurut Craig (1981), tingkah laku agonistik juga dimiliki hewan betina dengan frekuensi sangat kecil karena betina juga dapat memproduksi hormon. Hormon androgen yang dihasilkan ovari dan pituitary glan, namun jumlahnya tidak sebanyak yang diproduksi jantan.

Tingkal Laku Seksual

Tingkah laku seksual merupakan tingkah laku interaksi antara jantan dengan betina yang sedang estrus. Tingkah laku ini ditunjukkan saat seekor jantan dewasa kelamin siap melakukan kopulasi ke dalam alat kelamin betina dan betina yang sudah dewasa kelamin serta sedang mengalami estrus akan tetap diam jika sedang

(51)
(52)

Zat Makanan Jumlah (%)

Kadar Air 12

Protein Kasar 20-22

Lemak Kasar 7

Serat Kasar 7

Abu 14

Ca 2,5-3,5

(53)
(54)
(55)
(56)

14 Taraf perlakuan yang adalah tingkat kepadatan kandang dengan ratiojantan betina 1:2, yaitu:

P1 : Kepadatan kandang 258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan empat ekor dan betina delapan ekor

P2 : Kepadatan kandang 206,67 cm2/ekor dengan jumlah jantan lima ekor dan betina 10 ekor

P3 : Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan enam ekor dan betina 12 ekor

Analisis Data Performa Produksi

Data performa produksi berupa rataan konsumsi dianalisis secara deskriptif. Analisis perhitungan rataan konsumsi terdiri atas nilai rataan beserta standar deviasi.

Analisis Data Tingkah Laku

Data hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dan merupakan penguraian serta penjelasan mengenai jenis aktifitas yang dilakukan, lama beraktivitas, frekuensi setiap aktivitas yang dilakukan, dan ritme aktivitas. Analisis perhitungan tingkah laku harian untuk mengetahui persentase tingkah laku dengan menggunakan persamaan matematika (Martin dan Bateson, 1993) :

P = X x 100% Y

Keterangan : P = persentase tingkah laku.

X = jumlah kegiatan tingkah laku yang diamati, dan. Y = jumlah seluruh tingkah laku yang terjadi.

Selanjutnya data diintepretasikan dalam bentuk persentase untuk mengetahui proposisi penggunaan lama waktu ternak beraktivitas dan frekuensi setiap aktivitas. Table dan grafik menggambarkan peubah-peubah yang diukur dengan grafik yang menggambarkan intensitas tingkah laku.

Peubah yang diamati

1. Jumlah dan Frekuensi TingkahIngestivePuyuh Jantan

(57)

(X) dibagi dengan seluruh frekuensi tingkah laku yang diamati dalam satu kandang perlakuan(Y) dikali 100%.

2. Jumlah dan Frekuensi Tingkah Laku Seksual Puyuh Jantan

Tingkah laku yang ditunjukkan jantan pada betina dengan memasukan alat kelamin jantan ke dalam alat kelamin betina setiap individu (X) dibagi dengan frekuensi seluruh tingkah laku yang diamati (X) dalam satuan waktu pengamatan setiap individu dikali 100%. Tingkah laku seksual abnormal (jantan mengawini jantan lainnya tidak dihitung).

3. Jumlah dan Frekuensi Tingkah Laku Agonistik Puyuh Jantan

Jumlah tingkah laku agresifitas yang memperlihatkan perlawanan seekor puyuh terhadap puyuh lainnya dengan cara mematuk-matuk lawan. Setiap tindakan agresifitas puyuh individu (Y) dibagi dengan frekuensi seluruh tingkah laku yang diamati (Y) pengamatan setiap individu dikali 100%.

4. Rataan Konsumsi Pakan

(58)

16 HASIL DAN PEMBAHASAN

Manajemen Pemeliharaan

Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan puyuh jenis Coturnix-coturnix japonica. Faktor manajemen yang menjadi perlakuan dalam penelitian adalah kepadatan kandang. Menurut North dan Bell (1990), sistem perkandangan sangat penting untuk menciptakan iklim mikro yang sangat diperlukan agar fungsi fisologis tubuh ternak dapat berjalan dengan sempurna secara alami. Ukuran tubuh serta aktivitas puyuh sangat mempengaruhi luasan kandang yang diperlukan (Applebyet al., 1992).

Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini berumur 9 minggu untuk jantan dan 10 minggu untuk betina. Menurut Peraturan Kementerian Pertanian (2008), kepadatan kandang yang diperlukan dalam memelihara puyuh yang berumur 9-10 minggu yaitu sebesar 185-225 cm2/ekor. Kepadatan kandang dapat dimodifikasi. Kepadatan kandang yang tinggi dapat digunakan, akan tetapi keadaan sirkulasi udara dikandang sangat baik dan ternak juga dapat menjangkau tempat pakan dan minum dengan mudah (Applebyet al., 1992). Kandang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kandang yang tersedia di lapang, yaitu terdiri dari bahan utama kayu sebagai rangka dan kawat yang digunakan sebagai alasnya. Selain kepadatan kandang, kondisi lingkungan sekitar kandang juga sangat mempengaruhi tingkah laku ternak. Data suhu yang diambil dalam penelitian kali ini disajikan pada Table 2.

Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku

(59)

pertumbuhan puyuh adalah 20-25 ºC. Suhu kandang pada siang hari sedikit lebih panas dibandingkan suhu optimal puyuh, tetapi hal ini tidak terlalu mempengaruhi produksinya karena puyuh sudah mulai beradaptasi dengan suhu lingkungan. Suhu fisiologis tubuh untuk puyuh adalah 42,2 ºC dan suhu kulit 39 ºC. Kepadatan kandang yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh, suhu kulit, detak jantung dan laju pernafasan (Azeem, 2010).

Tingkah Laku Puyuh Jantan

Tingkah laku puyuh jantan yang diamati meliputi, tingkah laku seksual, tingkah laku agonistik dan tingkah laku Ingestive. Rataan persentasi tingkah laku disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan frekuensi tingkah laku puyuh jantan, tingkah

laku Ingestive memiliki jumlah frekuensi tertinggi di setiap perlakuan. Kemudian

tingkah laku yang memiliki frekuensi terendah adalah agonistik. Rendah frekuensi tingkah laku agonistik dalam penelitian ini sangatlah diharapkan karena dapat mengurangi frekuensi tingkah laku seksual danIngestive.

Tabel 3. Frekuensi Tingkah Laku Puyuh Jantan dengan Kepadatan Kandang yang Berbeda

Perlakuan

Frekuensi Tingkah Laku (%)

Seksual Agonistik Ingestive

Makan Minum

P1 (jantan 4 ekor) 0,11 0,01 0,47 0,41

P2 (jantan 5 ekor) 0,11 0,07 0,42 0,40

P3 (jantan 6 ekor) 0,08 0,02 0,34 0,56

Tingkah LakuIngestive

Tingkah laku Ingestive merupakan tingkah laku memasukan makanan atau unsur hara ke dalam mulut atau paruh, dalam penelitian ini tingkah laku Ingestive

yang dimaksud adalah tingkah laku makan dan minum. Pengamatan tingkah laku ini dinilai sangat penting di dalam peternakan pembibit, karena baik jantan ataupun betina memerlukan asupan energi untuk dapat melakukan aktivitas sepanjang hari

(Setyaningrum, 2007).

(60)

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

P1 P2 P3

Makan

Minum

0,47 0,42

0,34

F

re

k

u

en

si

T

in

g

k

ah

L

ak

u 0,40

0,56

(61)

faktor lain yang menyebabkan sedikitnya frekuensi tingkah laku Ingestive pada kepadatan kandang P2 adalah tingginya frekuensi agonistik. Tingginya frekuensi agonistik tersebut mengindikasikan bahwa adanya persaingan di dalam kandang, bisa berupa persaingan memperebutkan pakan ataupun persaingan memperebutkan betina. Puyuh pada kepadatan kandang P3 yang memiliki kepadatan kandang lebih tinggi dibandingkan P2 tetapi memiliki frekuensi tingkah laku Ingestive yang lebih tinggi. Hal ini bukan dikarenakan terbatasnya akses, melainkan kepadatan kandang yang cukup tinggi akan meningkatkan panas tubuh yang dihasilkan, sehingga memacu sistem homeothermic untuk mencegah suhu di dalam badan naik dengan mengurangi asupan pakan sementara. Hal ini dapat dilihat bahwa frekuensi minum pada kepadatan kandang P3 lebih tinggi dibandingkan frekuensi makannya. Tingginya kepadatan mendorong puyuh untuk banyak minum. Prilaku minum sangat dekat hubungannya dengan prilaku makan (Applebyet al., 1992). Air yang diminum mempunyai tujuan penting, yaitu sebagai makanan yang penting untuk metabolisme dalam tubuh ternak, serta dapat membantu melepaskan panas tubuh dengan cara konduksi dan penguapan (Williamson dan Payne, 2003). Selain itu pada kepadatan kandang P3 frekuensi tingkah laku agonistik tidak terlalu tinggi, sehingga persaingan dalam memperebutkan makanan tidak terlalu tinggi dan puyuh dapat makan dan minum dengan tenang tanpa gangguan. Frekuensi tingkah laku Ingestive pada kepadatan P1 sebesar 0,88 . Nilai ini lebih besar dari kepadatan kandang P2 dikarenakan kepadatan kandang yang rendah memberikan kenyamanan pada

kandang untuk berekspresi dan dapat meminimalisir adanya dominasi pakan. Selain itu frekuensi tingkah laku agonistiknya juga paling rendah diantara kepadatan kandang yang lain.

Tingkah Laku Seksual

(62)

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12

P1 P2 P3

Perlakuan Kepadatan Kandang

0,11 0,11

0,08

F

re

k

u

en

si

T

in

g

k

ah

L

ak

(63)

untuk berekspresi, selain itu rendahnya kepadatan kandang juga mengurangi tingkah laku agonistik. Data ini juga didukung oleh hasil penelitian Ananda, P (2008), dimana hasil penelitian menunjukan kepadatan kandang P1 memiliki tingkat fertilitas yang paling tinggi yaitu sebesar 87,14±4,95 dibandingkan dengan kepadatan kandang P2 dan P3 yaitu sebesar 75,50±4,26 dan 80,21±2,73. Kepadatan kandang P2 sangat sesuai dengan jumlah ternak di dalamnya, sehingga ternak dapat mengekspresikan tingkah lakunya dengan bebas. Menurut Peraturan Kementerian Pertanian (2008), kepadatan kandang yang optimal untuk puyuh adalah sebesar 185-225 cm2/ekor. Jika berdasarkan aturan Peraturan Kementerian Pertanian 2008, kandang P3 yang digunakan dalam penelitian, kepadatannya tidak termaksud dalam

range tersebut, sehingga menyebabkan kondisi kandang kurang nyaman untuk

mengekspresikan tingkah laku tersebut.

Tingkah laku seksual juga dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah suhu dan pencahayaan. Kepadatan kandang yang tinggi menyebabkan rendahnya sirkulasi udara di dalam kandang, sehingga cekaman panas yang diterima oleh puyuh akan mengurangi aktivitas demi menjaga kondisi fisiologisnya. Pengaruh cahaya pada ternak unggas adalah memudahkan untuk penglihatan, untuk merangsang siklus internal dalam kaitannya dengan perubahan panjang hari, serta untuk merangsang pelepasan hormon (Nesu, 2006). Pengaruh faktor cahaya dalam tingkah laku seksual pada kepadatan kandang yang tinggi dapat menyebabkan penetrasi cahaya ke dalam kandang menjadi sedikit. Menurut Setyawan (2006), cahaya yang diterima mata

unggas akan dilanjutkan ke bagian otak yang disebut hypothalamus.Hypothalamus

ini berperan sebagai pengatur fungsi organ-organ tubuh yang menggerakan aktivitas hidup, salah satunya adalah tingkah laku seksual serta sekresi kelenjar anterior

pituitary. Hal inilah yang menyebabkan mengapa frekuensi tingkah laku seksual

pada kepadatan kandang P3 menjadi paling sedikit karena penetrasi cahaya yang diterima puyuh menjadi sangat sedikit pada kepadatan kandang P3.

(64)

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08

P1 P2 P3

0,01

0,07

0,02

F

re

k

u

en

si

T

in

g

k

ah

L

ak

(65)

Berdasarkan data yang diperoleh, persentase frekuensi tingkah laku agonistik terbesar terdapat pada kandang dengan perlakuan P2, dengan nilai sebesar 0,07. Hal ini terjadi karena ada dominasi jantan, sehingga menyebabkan adanya persaingan dalam memperebutkan pakan serta kawin. Pola tingkah laku agonistik merupakan interaksi sosial antara ternak yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart, 1985). Selanjutnya dinyatakan bahwa tingkah laku agonistik ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies (Tomazweska, et,al.,1991). Frekuensi tingkah laku agonistik yang paling rendah terdapat pada kepadatan kandang P1 yaitu sebesar 0,01. Hal ini disebabkan kepadatan kandang yang rendah, yaitu sebesar 258,33 cm2/ekor yang dapat meminimalisasi terjadinya interaksi fisik ataupun persaingan dalam memperebutkan pakan pada puyuh jantan. Tingkah laku agonistik ini juga berkaitan erat dengan tingkah laku mematuk. Prilaku mematuk merupakan aktivitas untuk mencari kesibukan lain dan mengalihkan aktivitas makan (Sahroni, 2001). Perilaku kanibalisme ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain jika kelompok ternak yang dipelihara secara bersamaan mempunyai ukuran tubuh, jenis kelamin dan umur yang berbeda. Penelitian ini menggunakan puyuh jantan yang berumur seragam. Sifat kanibalisme ini dapat diminimalisasi apabila puyuh dipelihara dengan sistem lantai kawat berupa lantai (Wood-Gush, 1971).

Tingkah Laku Pagi dan Siang pada Perlakuan yang Berbeda

(66)
(67)

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Minum

Makan

Agonistik

Seksual

F

re

k

u

en

si

T

in

g

k

ah

L

ak

(68)

26 Menurut penelitian Sumbawati (1992), tingkat konsumsi pakan puyuh baik jantan dan betina sebesar 109,69-135,59 g/ekor/minggu. Rataan konsumsi pakan burung baik jantan maupun betina pada penelitian Kusumowati (1992) berkisar antara 127,12-165,15 g/ekor/minggu.

Frekuensi tingkah laku yang paling banyak disiang hari adalah tingkah laku

Ingestive, baik pada perlakuan P1, P2 maupun P3. Tingginya frekuensi tingkah laku

Ingestive pada P3 yaitu sebesar 100% mengindikasikan bahwa tingginya kepadatan

kandang disertai suhu panas siang hari menyebabkan ternak mengurangi aktifitasnya dan lebih menjaga suhu didalam tubuh agar tidak terlalu panas, yaitu dengan cara mengkonsumsi banyak air. Hal ini sesuai dengan Bell dan Weaver (2002) yang menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi tingkat cekaman, suhu lingkungan dan aktivitas ternak. Suhu lingkungan yang tinggi (cekaman panas) aktivitas tubuh berkurang konsumsi pakan berkurang dan konsumsi air minum meningkat. Rendahnya tingkah laku seksual pada kepadatan kandang P3 dan P1 yaitu sebesar 0% dan 1%, disebabkan karena tingginya suhu didalam kandang menyebabkan ternak malas beraktifitas, selain itu sesuai dengan Nataamijaya (1984) bahwa tingginya suhu kandang menyebabkan rendahnya durasi fertilitas pada puyuh jantan. Suhu tinggi juga menyebabkan kesuburan sperma puyuh jantan juga berkurang. Frekuensi seksual pada kepadatan kandang P2 lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan kandang yang lain yaitu sebesar 8% karena pada siang hari kondisi kandang P2 jauh lebih tenang dikarenakan kepadatan kandang yang tidak terlalu

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan dilakukan terhadap gambaran darah ayam jantan tipe medium yang berumur 4 dan 7 minggu pada kepadatan kandang yang berbeda meliputi total sel darah merah, kadar

Hasil penelitian menunjukkan: (1) kepadatan kandang 16, 20, dan 24 ekor per m -2 berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap frekuensi pernafasan ayam jantan tipe medium pada minggu

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa domba betina yang dicukur tidak menunjukkan tingkah laku agonistic pada minggu kesatu dan kedua setelah pencukuran, namun pada

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari (1) tingkah laku harian kelinci (makan, minum, eliminasi, merawat diri, bergerak, stereotypes, dan istirahat) yang dipelihara pada

Hasil analisis finansial usaha peternakan ayam ras petelur jantan dengan kepadatan kandang yang berbeda 10, 12, 14 dan 16 ekor/m 2 selama 6 minggu pemeliharaan

H0: Tidak ada perbedaan tingkah laku makan dan ruminasi sapi Madura jantan yang diberi pakan dengan level berbeda. H1: Terdapat perbedaan tingkah laku makan dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan kandang berpengaruh nyata pada konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum dimana T1 dan T2 dengan kepadatan

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah perbedaan rasio jantan dan betina dalam satu unit kandang penelitian mempengaruhi intensitas tingkah laku makan dan minum,