• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG BERBEDA

TINJAUAN PUSTAKA Puyuh

Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat pada tahun 1870. Puyuh terus dikembangkan ke seluruh penjuru dunia, sedangkan di Indonesia puyuh mulai dikenal dan diternakkan semenjak akhir tahun 1979 (Progressio, 2003).

Menurut Pappas (2002), klasifikasi burung puyuh adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Aves Ordo : Galiformes Famili : Phasianidae Genus :Coturnix

Species :Coturnix-coturnix japonica

Karakteristik Morfologi Puyuh

Puyuh menjadi makin populer dan digemari karena produksi telur dan daging sebagai bahan makanan yang bergizi dan lezat, juga sebagai ternak percobaan pada berbagai penelitian. Menurut Nugroho dan Mayun (1986), ciri-ciri karakteristik dari

Coturnix-coturnix japonica:

- bentuk tubuh besar, badan bulat, ekor pendek, paruh pendek dan kuat, tiga jari kaki menghadap ke muka dan satu jari kaki ke arah belakang

- pertumbuhan bulu lengkap setelah berumur dua sampai tiga minggu;

- jenis kelamin dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara dan berat badan; - burung puyuh jantan dewasa bulu dada berwarna merah sawo matang tanpa

4 - puyuh betina dewasa memiliki bulu dada berwarna merah sawo matang dengan

garis-garis atau belang-belang hitam; - suara puyuh jantan lebih keras;

- burung betina dapat berproduksi sampai 200-300 butir setiap tahun dengan berat telur sekitar 10 g/butir atau 7%-8% dari berat badan.

Kandang

Menurut Nugraha (1981), kandang puyuh harus memperhatikan hal-hal tertentu untuk memberikan kondisi kandang yang terbaik. Kandang harus ditempatkan di lokasi yang memenuhi beberapa persyaratan teknis seperti yang disajikan berikut :

1. Jauh dari Permukiman yang Padat

Tujuan dari penempatan kandang yang jauh dari pemukiman yaitu agar puyuh tidak stres karena kebisingan di lingkungan sekitar yang berakibat pada penurunan produksi. Masyarakat pun tidak terganggu karena bau yang ditimbulkan karena kotoran puyuh.

2. Letak Kandang

Kandang puyuh harus dibangun di tempat yang lebih tinggi, agar sirkulasi udara cukup baik. Bahan pembuat kandangpun harus diperhatikan. Sebaiknya digunakan kawat ram atau bambu yang dipasang dengan jarak tertentu, sehingga sirkulasi udara bebas keluar masuk.

3. Arah Sinar Matahari

Kandang dibangun membujur dari arah timur ke barat. Selain membunuh kuman penyakit, sinar matahari juga akan mengurangi kelembaban kandang dan membantu sintesis vitamin D dalam tubuh puyuh.

4. Ukuran Kandang

Ukuran kandang koloni puyuh berukuran 1 x 1 m dengan tinggi sekitar 30-35 cm. Untuk memudahkan pengambilan telur. Lantai kandang dibuat agak miring sekitar 10 atau 20 derajat. Alas kandang koloni yang berada di bagian bawah sebaiknya ditempatkan penampung kotoran agar kotoran tidak mengotori kandang koloni di bagian bawah.

5. Alas Kandang

Macam jenis alas yang dapat digunakan pada kandang puyuh. Pertama yaitu kandang diberi alas yang sepenuhnya tertutup dan dilapisi dengan sekam atau ampas gergaji yang disebut litter dan alas yang menggunakan kawat ram. Kelebihan alas

litter yaitu menghindari terperosoknya kaki-kaki puyuh. Sekam mengandung

beberapa vitamin B12 yang berguna bagi tubuh puyuh. Kelemahan alas litter yaitu kebersihan kandang kurang terjamin dan membutuhkan tenaga dan waktu lebih untuk membersihkan.

Jenis alas kedua yaitu menggunakan kawat ram. Kebersihan kandang lebih mudah diperhatikan karena kotoran yang dihasilkan terkumpul pada penampung kotoran di bawah kawat ram (Nugraha, 1981).

6. Tempat Pakan dan Minum

Tempat makan dan minum untuk puyuh (terutama puyuh grower dan layer) dapat menggunakan tempat makan dan minum untuk ayam ras, namun dengan melakukan modifikasi di beberapa bagian. Tujuan agar pakan dan minum tidak mudah terinjak-injak puyuh, tidak bercampur dengan kotoran, serta mencegah agar puyuh tidak tenggelam di tempat air minum.

Berdasarkan peruntukan, kandang puyuh dibedakan menjadi beberapa jenis kandang yaitu : 1) kandangDOQataustarter2) kandanggrower3) kandanglayer4) kandang induk dan pejantan. Secara umum, puyuh-puyuh dipelihara dalam kandang koloni sejak DOQ hingga berproduksi. Berdasarkan hasil produksi tidak ada perbedaan konstruksi yang mendasar antara kandang koloni dengan kandang inti. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran luas. Semakin tua umur puyuh (sampai umur tertentu), ukuran kandang harus semakin luas (Nugraha, 1981).

Kepadatan dan Luasan Kandang Puyuh

Menurut Nugraha (1981), model kandang puyuh ada 2 (dua) macam yang biasa diterapkan yaitu sistem litter (lantai sekam) dan sistem sangkar (batere). Ukuran kandang untuk 1 m2 dapat diisi 90 ekor anak puyuh, selanjutnya menjadi 60 ekor untuk umur 10 hari sampai lepas masa anakan dan untuk puyuh dewasa menjadi 40 ekor m2. Kandang yang biasa digunakan dalam budidaya burung puyuh adalah:

a. Kandang untuk induk pembibitan. Kandang ini berpengaruh langsung terhadap produktivitas dan kemampuan menghasilkan telur yang

6 berkualitas baik. Besar atau ukuran kandang yang digunakan harus sesuai dengan jumlah puyuh yang dipelihara. Ideal satu ekor puyuh dewasa membutuhkan luas kandang 200 m2.

b. Kandang untuk induk petelur. Kandang ini berfungsi sebagai kandang untuk induk pembibit serta mempunyai bentuk, ukuran, dan peralatan yang sama.

c. Kandang untuk puyuh umur grower (3-6 minggu) dan layer (lebih dari 6 minggu). Bentuk, ukuran maupun peralatan sama dengan kandang untuk induk petelur. Alas kandang biasa berupa kawat ram.

Perbandingan Jantan dan Betina

Woodard (1973) menjelaskan bahwa perbandingan jantan dan betina pada puyuh mempengaruhi fertilitas telur. Perbandingan burung puyuh jantan dengan betina yang makin kecil akan menurunkan ferlititas. Fertilitas yang tinggi dicapai jika dalam satu kandang terdapat puyuh jantan dan puyuh betina dengan perbandingan satu banding dua. Panda (1980) menyatakan bahwa daya tunas telur 73,78% diperoleh pada perbandingan jenis kelamin jantan dan betina satu banding dua. Junurmawan (1983) menyatakan fertilitas tertinggi dihasilkan dari perbandingan puyuh jantan dengan betina satu banding satu. Penggunaan pejantan dalam satu kandang koloni umumnya adalah lebih dari satu dan perbandingan jantan yang biasa digunakan satu banding empat.

Tingkah Laku

Tingkah laku hewan merupakan suatu kondisi penyesuaian hewan terhadap lingkungan dan pada banyak kasus merupakan hasil seleksi alam seperti terbentuknya struktur fisik (Craig, 1981). Fungsi tingkah laku adalah menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam. Tingkah laku pada tingkat adaptasi ditentukan dengan kemampuan belajar hewan untuk menyesuaikan tingkah laku terhadap suatu lingkungan yang baru. Menurut Stanley dan Andrykovitch (1984), tingkah laku maupun kemampuan belajar hewan ditentukan oleh sepasang atau lebih gen sehingga terdapat variasi tingkah laku individu dalam satu spesies, meskipun secara umum relatif sama dan tingkah laku tersebut dapat diwariskan pada keturunan berupa tingkah laku dasar. Tingkah laku

dasar hewan merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir (innate behavior), antara lain gerakan menjauh atau mendekat dari stimulus, perubahan pola tingkah laku akibat mekanisme fisiologi seperti tingkah laku jantan dan betina saat estrus (Stanley dan Andrykovitch, 1984).

Tingkah laku merupakan suatu aktivitas yang melibatkan fungsi fisiologis. Setiap macam perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera, perubahan rangsangan-rangsangan ini menjadi aktivitas neural, aksi integrasi susunan syaraf, dan akhirnya aktivitsa organ motorik, baik internal maupun eksternal. Umumnya tingkah laku yang diarahkan untuk suatu tujuan (seperti makan, minum, tidur dan seksual) terdiri atas tiga tahap yang jelas dan terjadi secara siklis. Tiga tahap tersebut yaitu perilaku apetitif, konsumatoris dan refraktoris. Tahap apetitif dapat sederhana dan kompleks, sering mencakup mencari dari perilaku yang diubah, dan yang banyak dipelajari. Tahap refraktoris mencakup hilang perhatian dan berhenti aktivitas konsumatoris, meskipun kesempatan untuk memberi respon selalu ada (Tanudimadja dan Kusumamidihardja, 1985).

Tingkah Laku Makan

Secara umum hewan mempunyai tiga cara dalam memperoleh makanan, yaitu tahap (1) tetap berada di tempat dan makanan datang sendiri, (2) berjalan untuk mencari makanan dan (3) menjadi parasit bagi organisme lain. Tingkah laku makan dipengaruhi oleh faktor genetik, suhu lingkungan, jenis makanan yang tersedia dan habitat (Warsono, 2002).

Tingkah laku makan disebabkan oleh ada rangsangan dari luar (makanan) dan rangsangan dari dalam (adanya kebutuhan atau lapar). Tingkah laku ini berkembang sesuai dengan perkembangan proses belajar (Alikodra, 1990).

Tingkah Laku Agonistik

Agonistik berasal dari kata latin yang berarti berjuang (Tomaszewazkaet al.,

1991). Agonistik mempunyai pengertian yang cukup luas seperti menonjolkan postur, melakukan pendekatan, menakut-nakuti, berkelahi dan terbang, juga meliputi seluruh tingkah laku yang berhubungan dengan agresifitas, kepatuhan dan pertahanan. Menurut Frazer (1975), tingkah laku agonistik merupakan tingkah laku

8 yang memperlihatkan tingkah laku aktif dan pasif, tingkah laku aktif seperti berkelahi, berlari atau terbang serta tingkah laku agresif.

Pola perilaku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart, 1985). Perilaku agonistik ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies. Menurut Ensminger (1991), tingkah laku yang termasuk dalam tingkah laku agonistik adalah berkelahi, berlari atau terbang dan tingkah laku lain yang mempunyai hubungan dengan konflik. Hewan jantan memiliki tingkah laku berkelahi lebih tinggi dibandingkan dengan betina, hal ini dipengaruhi hormon, terutama hormon testosteron.

Menurut Craig (1981), tingkah laku agonistik juga dimiliki hewan betina dengan frekuensi sangat kecil karena betina juga dapat memproduksi hormon. Hormon androgen yang dihasilkan ovari dan pituitary glan, namun jumlahnya tidak sebanyak yang diproduksi jantan.

Tingkal Laku Seksual

Tingkah laku seksual merupakan tingkah laku interaksi antara jantan dengan betina yang sedang estrus. Tingkah laku ini ditunjukkan saat seekor jantan dewasa kelamin siap melakukan kopulasi ke dalam alat kelamin betina dan betina yang sudah dewasa kelamin serta sedang mengalami estrus akan tetap diam jika sedang terjadi proses kopulasi (standing heat). Apabila ternak betina tidak estrus, maka ketika jantan akan melakukan proses kopulasi, secara otomatis betina akan lari menghindar. Tingkah laku seksual ini sangat penting untuk memelihara kelangsungan kelompok. Prilaku seksual merupakan salah satu prilaku belajar (Septiana, 1996).

Zat Makanan Jumlah (%) Kadar Air 12 Protein Kasar 20-22 Lemak Kasar 7 Serat Kasar 7 Abu 14 Ca 2,5-3,5 P 0,6-1

14 Taraf perlakuan yang adalah tingkat kepadatan kandang dengan ratiojantan betina 1:2, yaitu:

P1 : Kepadatan kandang 258,33 cm2/ekor dengan jumlah jantan empat ekor dan betina delapan ekor

P2 : Kepadatan kandang 206,67 cm2/ekor dengan jumlah jantan lima ekor dan betina 10 ekor

P3 : Kepadatan kandang 172,22 cm2/ekor dengan jumlah jantan enam ekor dan betina 12 ekor

Analisis Data Performa Produksi

Data performa produksi berupa rataan konsumsi dianalisis secara deskriptif. Analisis perhitungan rataan konsumsi terdiri atas nilai rataan beserta standar deviasi.

Analisis Data Tingkah Laku

Data hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif dan merupakan penguraian serta penjelasan mengenai jenis aktifitas yang dilakukan, lama beraktivitas, frekuensi setiap aktivitas yang dilakukan, dan ritme aktivitas. Analisis perhitungan tingkah laku harian untuk mengetahui persentase tingkah laku dengan menggunakan persamaan matematika (Martin dan Bateson, 1993) :

P = X x 100% Y

Keterangan : P = persentase tingkah laku.

X = jumlah kegiatan tingkah laku yang diamati, dan. Y = jumlah seluruh tingkah laku yang terjadi.

Selanjutnya data diintepretasikan dalam bentuk persentase untuk mengetahui proposisi penggunaan lama waktu ternak beraktivitas dan frekuensi setiap aktivitas. Table dan grafik menggambarkan peubah-peubah yang diukur dengan grafik yang menggambarkan intensitas tingkah laku.

Peubah yang diamati

1. Jumlah dan Frekuensi TingkahIngestivePuyuh Jantan

Jumlah tingkah laku mengkonsumsi pakan, air minum dan zat hara lainnya dengan cara mematuk pakan sampai puyuh tersebut mengangkat keluar kepalanya dari tempat pakan. Setiap tingkah laku Ingestive individu

(X) dibagi dengan seluruh frekuensi tingkah laku yang diamati dalam satu kandang perlakuan(Y) dikali 100%.

2. Jumlah dan Frekuensi Tingkah Laku Seksual Puyuh Jantan

Tingkah laku yang ditunjukkan jantan pada betina dengan memasukan alat kelamin jantan ke dalam alat kelamin betina setiap individu (X) dibagi dengan frekuensi seluruh tingkah laku yang diamati (X) dalam satuan waktu pengamatan setiap individu dikali 100%. Tingkah laku seksual abnormal (jantan mengawini jantan lainnya tidak dihitung).

3. Jumlah dan Frekuensi Tingkah Laku Agonistik Puyuh Jantan

Jumlah tingkah laku agresifitas yang memperlihatkan perlawanan seekor puyuh terhadap puyuh lainnya dengan cara mematuk-matuk lawan. Setiap tindakan agresifitas puyuh individu (Y) dibagi dengan frekuensi seluruh tingkah laku yang diamati (Y) pengamatan setiap individu dikali 100%.

4. Rataan Konsumsi Pakan

Rataan konsumsi pakan diukur dari jumlah total konsumsi pakan selama pemeliharaan. Jumlah total konsumsi tersebut kemudian dibagi dengan lamanya hari pemeliharaan.

16 HASIL DAN PEMBAHASAN

Manajemen Pemeliharaan

Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan puyuh jenis Coturnix-coturnix japonica. Faktor manajemen yang menjadi perlakuan dalam penelitian adalah kepadatan kandang. Menurut North dan Bell (1990), sistem perkandangan sangat penting untuk menciptakan iklim mikro yang sangat diperlukan agar fungsi fisologis tubuh ternak dapat berjalan dengan sempurna secara alami. Ukuran tubuh serta aktivitas puyuh sangat mempengaruhi luasan kandang yang diperlukan (Applebyet al., 1992).

Puyuh yang digunakan dalam penelitian ini berumur 9 minggu untuk jantan dan 10 minggu untuk betina. Menurut Peraturan Kementerian Pertanian (2008), kepadatan kandang yang diperlukan dalam memelihara puyuh yang berumur 9-10 minggu yaitu sebesar 185-225 cm2/ekor. Kepadatan kandang dapat dimodifikasi. Kepadatan kandang yang tinggi dapat digunakan, akan tetapi keadaan sirkulasi udara dikandang sangat baik dan ternak juga dapat menjangkau tempat pakan dan minum dengan mudah (Applebyet al., 1992). Kandang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kandang yang tersedia di lapang, yaitu terdiri dari bahan utama kayu sebagai rangka dan kawat yang digunakan sebagai alasnya. Selain kepadatan kandang, kondisi lingkungan sekitar kandang juga sangat mempengaruhi tingkah laku ternak. Data suhu yang diambil dalam penelitian kali ini disajikan pada Table 2.

Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Minggu Suhu (ºC) Pagi Siang 1 24 27 2 25 28 3 25 26 4 25 27

Berdasarkan data pengamatan suhu lingkungan sekitar kandang dapat dilihat bahwa rataan suhu pada pagi hari sebesar 24,5 ºC dan rataan suhu pada siang hari sebesar 27 ºC. Menurut Priyanto (1990), suhu lingkungan yang optimal untuk

pertumbuhan puyuh adalah 20-25 ºC. Suhu kandang pada siang hari sedikit lebih panas dibandingkan suhu optimal puyuh, tetapi hal ini tidak terlalu mempengaruhi produksinya karena puyuh sudah mulai beradaptasi dengan suhu lingkungan. Suhu fisiologis tubuh untuk puyuh adalah 42,2 ºC dan suhu kulit 39 ºC. Kepadatan kandang yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh, suhu kulit, detak jantung dan laju pernafasan (Azeem, 2010).

Tingkah Laku Puyuh Jantan

Tingkah laku puyuh jantan yang diamati meliputi, tingkah laku seksual, tingkah laku agonistik dan tingkah laku Ingestive. Rataan persentasi tingkah laku disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan frekuensi tingkah laku puyuh jantan, tingkah

laku Ingestive memiliki jumlah frekuensi tertinggi di setiap perlakuan. Kemudian

tingkah laku yang memiliki frekuensi terendah adalah agonistik. Rendah frekuensi tingkah laku agonistik dalam penelitian ini sangatlah diharapkan karena dapat mengurangi frekuensi tingkah laku seksual danIngestive.

Tabel 3. Frekuensi Tingkah Laku Puyuh Jantan dengan Kepadatan Kandang yang Berbeda

Perlakuan

Frekuensi Tingkah Laku (%)

Seksual Agonistik Ingestive

Makan Minum

P1 (jantan 4 ekor) 0,11 0,01 0,47 0,41

P2 (jantan 5 ekor) 0,11 0,07 0,42 0,40

P3 (jantan 6 ekor) 0,08 0,02 0,34 0,56

Tingkah LakuIngestive

Tingkah laku Ingestive merupakan tingkah laku memasukan makanan atau unsur hara ke dalam mulut atau paruh, dalam penelitian ini tingkah laku Ingestive

yang dimaksud adalah tingkah laku makan dan minum. Pengamatan tingkah laku ini dinilai sangat penting di dalam peternakan pembibit, karena baik jantan ataupun betina memerlukan asupan energi untuk dapat melakukan aktivitas sepanjang hari (Setyaningrum, 2007).

Berdasarkan data penelitian, frekuensi tingkah laku Ingestive tertinggi terdapat pada kepadatan kandang P3 sebesar 0,90 (tingkah laku makan 0,34 dan minum 0,56) diikuti P1 sebesar 0,88 (tingkah laku makan 0,47 dan minum 0,41) dan

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 P1 P2 P3 Makan Minum 0,47 0,42 0,34 F re k u en si T in g k ah L ak u 0,40 0,56 0,41

faktor lain yang menyebabkan sedikitnya frekuensi tingkah laku Ingestive pada kepadatan kandang P2 adalah tingginya frekuensi agonistik. Tingginya frekuensi agonistik tersebut mengindikasikan bahwa adanya persaingan di dalam kandang, bisa berupa persaingan memperebutkan pakan ataupun persaingan memperebutkan betina. Puyuh pada kepadatan kandang P3 yang memiliki kepadatan kandang lebih tinggi dibandingkan P2 tetapi memiliki frekuensi tingkah laku Ingestive yang lebih tinggi. Hal ini bukan dikarenakan terbatasnya akses, melainkan kepadatan kandang yang cukup tinggi akan meningkatkan panas tubuh yang dihasilkan, sehingga memacu sistem homeothermic untuk mencegah suhu di dalam badan naik dengan mengurangi asupan pakan sementara. Hal ini dapat dilihat bahwa frekuensi minum pada kepadatan kandang P3 lebih tinggi dibandingkan frekuensi makannya. Tingginya kepadatan mendorong puyuh untuk banyak minum. Prilaku minum sangat dekat hubungannya dengan prilaku makan (Applebyet al., 1992). Air yang diminum mempunyai tujuan penting, yaitu sebagai makanan yang penting untuk metabolisme dalam tubuh ternak, serta dapat membantu melepaskan panas tubuh dengan cara konduksi dan penguapan (Williamson dan Payne, 2003). Selain itu pada kepadatan kandang P3 frekuensi tingkah laku agonistik tidak terlalu tinggi, sehingga persaingan dalam memperebutkan makanan tidak terlalu tinggi dan puyuh dapat makan dan minum dengan tenang tanpa gangguan. Frekuensi tingkah laku Ingestive pada kepadatan P1 sebesar 0,88 . Nilai ini lebih besar dari kepadatan kandang P2 dikarenakan kepadatan kandang yang rendah memberikan kenyamanan pada kandang untuk berekspresi dan dapat meminimalisir adanya dominasi pakan. Selain itu frekuensi tingkah laku agonistiknya juga paling rendah diantara kepadatan kandang yang lain.

Tingkah Laku Seksual

Tingkah laku seksual merupakan jenis tingkah laku yang menunjukkan terjadi interaksi antara ternak jantan dengan ternak betina yang sedang estrus. Interaksi yang terjadi ditunjukkan dengan cara ternak jantan yang sudah dewasa kelamin melakukan kopulasi (memasukan kelamin) kepada ternak betina (Septiana, 1996). Pengamatan tingkah laku seksual ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi tingkah laku seksual tersebut selama penelitian dengan kepadatan yang berbeda. Peternakan yang bertujuan untuk pembibitan, jumlah frekuensi tingkah laku seksual ini sangat

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 P1 P2 P3

Perlakuan Kepadatan Kandang

0,11 0,11 0,08 F re k u en si T in g k ah L ak u

untuk berekspresi, selain itu rendahnya kepadatan kandang juga mengurangi tingkah laku agonistik. Data ini juga didukung oleh hasil penelitian Ananda, P (2008), dimana hasil penelitian menunjukan kepadatan kandang P1 memiliki tingkat fertilitas yang paling tinggi yaitu sebesar 87,14±4,95 dibandingkan dengan kepadatan kandang P2 dan P3 yaitu sebesar 75,50±4,26 dan 80,21±2,73. Kepadatan kandang P2 sangat sesuai dengan jumlah ternak di dalamnya, sehingga ternak dapat mengekspresikan tingkah lakunya dengan bebas. Menurut Peraturan Kementerian Pertanian (2008), kepadatan kandang yang optimal untuk puyuh adalah sebesar 185- 225 cm2/ekor. Jika berdasarkan aturan Peraturan Kementerian Pertanian 2008, kandang P3 yang digunakan dalam penelitian, kepadatannya tidak termaksud dalam

range tersebut, sehingga menyebabkan kondisi kandang kurang nyaman untuk

mengekspresikan tingkah laku tersebut.

Tingkah laku seksual juga dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah suhu dan pencahayaan. Kepadatan kandang yang tinggi menyebabkan rendahnya sirkulasi udara di dalam kandang, sehingga cekaman panas yang diterima oleh puyuh akan mengurangi aktivitas demi menjaga kondisi fisiologisnya. Pengaruh cahaya pada ternak unggas adalah memudahkan untuk penglihatan, untuk merangsang siklus internal dalam kaitannya dengan perubahan panjang hari, serta untuk merangsang pelepasan hormon (Nesu, 2006). Pengaruh faktor cahaya dalam tingkah laku seksual pada kepadatan kandang yang tinggi dapat menyebabkan penetrasi cahaya ke dalam kandang menjadi sedikit. Menurut Setyawan (2006), cahaya yang diterima mata unggas akan dilanjutkan ke bagian otak yang disebut hypothalamus.Hypothalamus

ini berperan sebagai pengatur fungsi organ-organ tubuh yang menggerakan aktivitas hidup, salah satunya adalah tingkah laku seksual serta sekresi kelenjar anterior

pituitary. Hal inilah yang menyebabkan mengapa frekuensi tingkah laku seksual

pada kepadatan kandang P3 menjadi paling sedikit karena penetrasi cahaya yang diterima puyuh menjadi sangat sedikit pada kepadatan kandang P3.

Frekuensi tingkah laku seksual ini diperoleh dengan cara mengamati tingkah laku yang terjadi secara normal. Apabila terdapat puyuh yang melakukan tingkah laku seksual antar sesama maka tidak dimaksukan ke dalam data penelitian. Hal ini karena data tersebut sangat tidak berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan, karena

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 P1 P2 P3 0,01 0,07 0,02 F re k u en si T in g k ah L ak u

Berdasarkan data yang diperoleh, persentase frekuensi tingkah laku agonistik terbesar terdapat pada kandang dengan perlakuan P2, dengan nilai sebesar 0,07. Hal ini terjadi karena ada dominasi jantan, sehingga menyebabkan adanya persaingan dalam memperebutkan pakan serta kawin. Pola tingkah laku agonistik merupakan interaksi sosial antara ternak yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart, 1985). Selanjutnya dinyatakan bahwa tingkah laku agonistik ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies (Tomazweska, et,al.,1991). Frekuensi tingkah laku agonistik yang paling rendah terdapat pada kepadatan kandang P1 yaitu sebesar 0,01. Hal ini disebabkan kepadatan kandang yang rendah, yaitu sebesar 258,33 cm2/ekor yang dapat meminimalisasi terjadinya interaksi fisik ataupun persaingan dalam memperebutkan pakan pada puyuh jantan. Tingkah laku agonistik ini juga berkaitan erat dengan tingkah laku mematuk. Prilaku mematuk merupakan aktivitas untuk mencari kesibukan lain dan mengalihkan aktivitas makan (Sahroni, 2001). Perilaku kanibalisme ini dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain jika kelompok ternak yang dipelihara secara bersamaan mempunyai ukuran tubuh, jenis kelamin dan umur yang berbeda. Penelitian ini menggunakan puyuh jantan yang

Dokumen terkait