• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tingkah Laku dan Manajemen Penangkaran Owa Jawa (Hylobates moloch)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Tingkah Laku dan Manajemen Penangkaran Owa Jawa (Hylobates moloch)"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TINGKAH LAKU DAN MANAJEMEN PENANGKARAN

OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1798)

AGUS PAMBUDI DHARMA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Tingkah Laku dan Manajemen Penangkaran Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei2015

(3)

RINGKASAN

AGUS PAMBUDI DHARMA. Analisis Tingkah Laku dan Manajemen Penangkaran Owa Jawa (Hylobates moloch). Dibimbing oleh ASNATH MARIA FUAH, SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan ENTANG ISKANDAR

Owa jawa atau silvery gibbon (Hylobates moloch Audebert 1798) merupakan salah satu satwa primata yang masuk ke dalam Genus Hylobates hanya ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Owa jawa berstatus terancam punah (endangered) (Roos et al. 2014) dan masuk ke dalam daftar Apendiks I CITES (Maryanto et al. 2008). Hal ini diakibatkan semakin meningkatnya pembalakan liar, pemburuan liar dan konversi hutan menjadi pemukiman penduduk serta lahan pertanian bahkan diubah menjadi pabrik-pabrik, sehingga populasi owa jawa semakin menurun di habitatnya.

Dalam menanggapi kondisi ini, Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor (PSSP-IPB) bekerjasama dengan Taman Safari Indonesia (TSI) telah membentuk penangkaran ex-situ owa jawa, dan telah berhasil berkembang biak. Akibat keterbatasan ukuran kandang di PSSP IPB, seluruh keluarga owa jawa telah dipindahkan ke TSI.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengidentifikasi perubahan perilaku setiap individu menggunakan focal animal sampling dan untuk mempelajari manajemen pengembangbiakan owa jawa yang ada di TSI. Penelitian telah dilakukan di TSI dari bulan Februari sampai Juli 2013 pada 5 individu owa jawa.

Penelitian ini menggunakan data primer melalui metode observasi, dan data sekunder tentang owa jawa hasil penelitian tim PSSP-IPB, antara lain: Iskandar (2007), Riendriasari et al. (2009), Rahman (2011), Nuraisah et al. (2011). Selain itu, data sekunder juga diperoleh berupa hasil wawancara, dokumen-dokumen, dan studi pustaka yang relevan dari berbagai sumber antara lain: hasil penelitian, laporan dan artikel ilmiah terbaru. Observasi aspek tingkah laku dengan menggunakan metode focal animal sampling (Altman 1974). Pengamatan ini dilakukan selama 6 jam/hari, 5 hari/minggu, dan dibagi menjadi tiga fase mulai pukul 08.00-10.00, 11.00-13.00, dan 13.30-15.30 WIB. Setiap individu owa jawa diamati selama 20 menit dengan mencatat seluruh aktivitas atau tingkah laku. Setelah selesai melakukan pengamatan satu individu dilanjutkan dengan individu yang lainnya dengan waktu yang sama. Aspek manajemen penangkaran diperoleh dari hasil pengamatan langsung dan wawancara, melakukan inventarisasi fasilitas penangkaran, dan perawatan satwa di TSI meliputi sistem perkandangan, pemberian pakan, perawatan kesehatan, sanitasi, dan sumber daya manusia yang terlibat.

(4)

SUMMARY

AGUS PAMBUDI DHARMA. Behavior analysis and captive breedingmanagement of silvery gibbon (Hylobates molochAudebert1798). Suppervised by ASNATH MARIA FUAH, SRI SUPRAPTINI MANSJOER and ENTANG ISKANDAR

Javan gibbon or silvery gibbon (Hylobates moloch Audebert 1798) is one of the primate species of the genus Hylobates only found in West Java, Central Java and Banten. The conservation status of the species is endangered (endangered) (Roos et al. 2014) and listedas Appendix I (Maryanto et al. 2008). This is due to the increasing illegal logging, poaching and forest conversion to residential and agricultural land even converted into factories, so the javan gibbon population decrease in habitat.

Realizing existing to the condition, Primate Research Center of Bogor Agricultural University (PSSP IPB) in collaboration with Taman Safari Indonesia (TSI) have established an ex-situ captive breeding of the javan gibbon, and has succeeded to breed the species. Due to limitation of cage size at PSSP IPB, the whole family of the javan gibbon has been moved to TSI.

The purpose of research was to analyze and identify change of behavior of each silvery gibbon, using focal animal sampling and to study breeding management of javan gibbon at TSI. This study conducted in February-July 2013 using primary data through observation, and secondary data from the javan gibbon research team of PSSP-IPB, among others: Iskandar (2007), Riendriasari et al. (2009), Rahman (2011), Nuraisah et al. (2011). In addition, secondary data was also obtained in the form of interviews, documents, and relevant literature from a variety of sources including: research, reports and the latest scientific articles. Observation aspects of behavior was recorded using focal animal sampling method (Altman 1974). These observations were conducted for 6 hours/ day, 5 days/ week, and were divided into three time ranges at 08:00 to 10:00, 11:00 to 13:00, and 13:30 to 15:30 pm. Each individual Javan gibbon was observed for 20 minutes to record all activity or behavior. After completing the observation of the individual followed by other individuals with the same time. Captive breeding aspects derived from direct observation and interviews, conduct an inventory of breeding facilities, and care for animals in the TSI includes cage system, feeding, health care, sanitation, and human resources involved.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

(6)
(7)

ANALISIS TINGKAH LAKU DAN MANAJEMEN PENANGKARAN

OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1798)

AGUS PAMBUDI DHARMA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 04 Desember 1987 sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Sukemi dan Siti Amanah. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 05 Pagi Kalideres Jakarta Barat pada tahun 2000; pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMPN 225 Kalideres Jakarta Barat pada tahun 2003; pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Cengkareng I Jakarta Barat pada tahun 2006; pada tahun 2007 melanjutkan dan lulus pada tahun 2011 di Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (UHAMKA) Jakarta pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Biologi dan aktif dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam (IMAPALA) UHAMKA.

Pada tahun 2011 penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Primatologi atas bantuan Beasiswa Unggulan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2012. Penulis bekerja sebagai tenaga pendidik di Yayasan Pendidikan Islam Pondok Pesantren

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini dengan judul Analisis Tingkah Laku dan Manajemen Penangkaran Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1798) yang dilaksanakan dari bulan Februari sampai Juli 2013.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Asnath Maria Fuah, MS,. Ibu Prof Dr Ir Sri Supraptini Mansjoer dan Bapak Dr Ir Entang Iskandar, MSi selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Bapak Dr Ir Mohamad Yamin, MAgrSc selaku penguji luar komisi atas masukan serta arahan dalam penyempurnaan penulisan tesis ini. Bapak Prof Drh Dondin Sajuthi, MST, Phd selaku Ketua Program Mayor Primatologi. Bapak Dr drh Joko Pamungkas, MSc selaku Kepala Pusat Studi Satwa Primata LPPM IPB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI atas pemberian Beasiswa Unggulan. Bapak Jansen Manansang selaku Direktur Utama TSI Bogor beserta Stafnya atas izin, fasilitas, dan bantuan yang diberikan dalam melakukan penelitian. Drh Yohana, DrhBongod, Keni Sultan, MSi, Mas Syamsul atas bantuannya dalam pengambilan data. Bapak Dr H Edi Sukardi, MPd selaku Ketua Dekan FKIP UHAMKA. Ibu Dra Susanti Murwitaningsih, MPd selaku Kepala Program Studi Pendidikan Biologi UHAMKA yang telah memberikan dukungannya. Staf program studi Primatologi, mbak Nurjayanti dan mas Mulyana serta rekan-rekan mahasiswa Primatologi; Ibu Isti, Mas Berto, Faisal, Indri, dan Intan atas bantuan dan dukungannya selama masa kuliah. Kedua orangtua Bapak Sukemi dan Ibu Siti Amanah beserta sekeluarga tercinta yang

telah banyak memberikan material dan do’a. Bapak KH. Sumarno Syafeii dan rekan-rekan guru di Yayasan Pendidikan Islam Pondok Pesantren Daarus Sa’adah, Cipondoh Tangerang yang telah memberikan doa. Semua pihak yang telah membantu tidak bisa dituliskan satu-persatu, atas semua yang penulis terima selama studi sampai terselesaikannya tesis ini. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

(12)

DAFTAR ISI

Sejarah Taman Safari Indonesia Bogor 3

Aspek Wisata 4

Rute/ Jalur Aspek menuju Taman Safari Indonesia Bogor 5

METODE 6

Tingkah laku Dasar Owa Jawa di Taman Safari Indonesia 11

Tingkah laku bergerak 11

Manajemen Penangkaran Owa Jawa 38

Perkandangan 38

(13)

DAFTAR ISI (LANJUTAN)

Pengkayaan Lingkungan 42

Pakan 43

Sistem Sanitasi 52

Kesehatan 55

Sumber Daya Manusia 58

Reproduksi 59

SIMPULAN DAN SARAN 61

DAFTAR PUSTAKA 62

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kondisi kesehatan dan penyakit yang diderita owa jawa di TSI 8 2 Frekuensi dan durasi tingkah laku dasar owa jawa di TSI 11 3 Frekuensi dan durasi tingkah laku harian owa jawa di TSI 22 4 Sistem perkandangan owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 38

5 Bahan kandang owa jawa di TSI 39

6 Hubungan suhu udara dengan frekuensi (kali) kawin owa jawa di TSI berdasarkan

persamaan regresi linier 41

7 Hubungan suhu udara dengan frekuensi (kali) kawin owa jawa di TSI berdasarkan

persamaan regresi linier 42

8 Jenis dan fungsi pengkayaan lingkungan kandang owa jawa di TSI 43 9 Jadwal pemberian dan jenis pakan owa jawa di TSIdan di PSSP-IPB 44

10 Jenis pakan owa jawa di TSI 46

11 Bobot pakan yang diberikan dan yang dikonsumsi pada Kandang I (jantan

dewasa, betina dewasa, dan anak), dan Kandang II (jantan remaja dan anak) 48 12 Bagian pakan yang dikonsumsi owa jawa di TSI 50 13 Urutan jenis pakan yang dikonsumsi berdasarkan umur owa jawa di TSI 51

DAFTAR GAMBAR

1 Skema kerangka pemikiran penelitian 2

2 Peta lokasi penangkaran owa jawa di TSI 4

3 Silsilah owa jawa di TSI 9

4 Frekuensi dan durasi tingkah laku bergerak owa jawa di TSI 12 5 Frekuensi dan durasi tingkah laku makan owa jawa di TSI 14 6 Frekuensi dan durasi tingkah laku sosial owa jawa di TSI 16 7 Frekuensi dan durasi tingkah laku istirahat owa jawa di TSI 17 8 Frekuensi dan durasi tingkah laku membuang kotoran owa jawa di TSI 19 9 Frekuensi dan durasi tingkah laku abnormal owa jawa di TSI 20 10 Frekuensi tingkah laku bergerak owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 23 11 Frekuensi tingkah laku menelisik owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 24 12 Frekuensi tingkah laku bermain owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 26 13 Frekuensi tingkah laku berkelahi owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 27 14 Frekuensi tingkah laku bersuara owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 28 15 Frekuensi tingkah laku makan owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 30 16 Frekuensi tingkah laku istirahat owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 31 17 Frekuensi tingkah laku membuang kotoran owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 32 18 Frekuensi tingkah laku kawin owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 34 19 Frekuensi tingkah laku menyusui owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 35

(15)

DAFTAR GAMBAR (LANJUTAN)

20 Frekuensi tingkah laku menyusu owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 36 21 Frekuensi tingkah laku abnormal owa jawa di TSI 37

22 Kandang owa jawa di TSI dan PSSP-IPB 40

23 Hubungan suhu udara (0C) dengan frekuensi kawin owa jawa di TSI 41 24 Hubungankelembaban udara (%) dengan frekuensi kawin owa jawa di TSI 42 25 Teknik pemberian pakan di kandang owa jawa di TSI 45

26 Jenis pakan owa jawa di TSI 46

27 Proses pembersihan kandang owa jawa di TSI 52 28 Sistem pembuangan sisa kotoran pada kandang owa jawa di TSI 53 29 Pengelolaan limbah padat dan cair owa jawa di TSI 55

30 Pengobatan luka owa jawa di TSI 57

31 Struktur organisasi penangkaran owa jawa di TSI 58

32 Frekuensi kawin Ari dan Mimis di TSI 60

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Owa jawa atau silvery gibbon (Hylobates moloch Audebert 1798) merupakan salah satu satwa primata yang masuk ke dalam Genus Hylobates yang hanya ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Owa jawa berstatus terancam punah (endangered) (Roos et al. 2014). Owa jawa masuk ke dalam satwa dilindungi dalam Peraturan Perlindungan Binatang Liar tahun 1931 No. 266, UU No.5 tahun 1990, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992 (http://www. tropenbos.nl/2006; Iskandar2007), dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Berdasarkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), owa jawa masuk ke dalam daftar Apendiks Isehingga perdagangan internasional untuk tujuan komersial tidak diperbolehkan (Maryanto et al. 2008). Hal ini diakibatkansemakin meningkatnya pembalakan liar, pemburuan liar dan konversi hutan menjadi pemukiman penduduk serta lahan pertanian bahkan diubah menjadi pabrik-pabrik, sehingga populasi owa jawa semakin menurun di habitatnya.

Dalam upaya meningkatkan populasi owa jawa yang ada di Indonesia, maka diperlukan penangkaran baik secara in-situ maupun eks-situ. Salah satu cara yang telah dilakukan adalah penangkaran ex-situ oleh PSSP-IPB(Pusat Studi Satwa Primata-Institut Pertanian Bogor) di Bogor. Owa jawa yang ditangkarkan di PSSP-IPB dari tahun 2003 sudah berhasil beranak dengan hampir setiap tahun jumlah individunya terus meningkat dan umurnya terus bertambah menjadi dewasa, sehingga memerlukan pasangan hidup. Jumlah individu yang ada tidak sebanding dengan luas kandang di PSSP-IPB, sehingga owa jawa tersebut perlu dipisahkan untuk menghindari perkawinan sedarah antara induk dengan anak dan anak dengan anak. Oleh karena itu, individu owa jawa dilakukan pemindahan lokasi dari PSSP-IPB ke TSI. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis tingkah laku dan manajemen penangkaran owa jawa di PSSP-IPB dalam kurun waktu empat tahun dari 2007-2011 dan di TSI (2013).

(17)

Tujuan Penelitian

1. Mengkaji tingkah laku owa jawa yang dipelihara di lokasi penangkaran TSI setelah proses pemindahan dari Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor (PSSP-IPB).

2. Mengkaji manajemen penangkaran owa jawa yang ada di TSI.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai data dasar tingkah laku dan manajemen penangkaran dalam upaya peningkatan kemampuan reproduksidan penambahan populasi owa jawa yang ada di Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran penelitian Penangkaran owa jawadi PSSP-IPB (2003-2013)

Pemindahan owa jawa ke TSI

Penangkaran owa jawa di TSI (2013)

Manajemen penangkaran:

1) perkandangan, 2) pakan, 3) perawatan kesehatan, 4) sanitasi, 5) pengkayaan lingkungan, dan 6)sumber daya manusia.

Pengamatan tingkah laku:

1) tingkah laku dasar (bergerak, makan, sosial,istirahat, membuang kotoran dan abnormal), dan 2) tingkah laku harian.

Analisis Hasil Pengamatan dan Rekomendasi

Hasil Pengamatan

(18)

KONDISI UMUM TAMAN SAFARI INDONESIA

Sejarah Taman Safari Indonesia Bogor

Indonesia sebagai negara kepulauan dan kaya akan keanekaragaman hayati. Keragaman hayati berupa flora dan fauna sangat melimpah di zamrud khatulistiwa. Beranekaragam tanaman bisa ditemukan di Kebun Raya Bogor, sedangkan berbagai macam fauna baik domestik maupun mancanegara seperti komodo, bison, beruang hitam madu, harimau putih, gajah, anoa dan lain sebagainya. Fauna-fauna ini bisa ditemukan di Taman Safari Indonesia (TSI).TSI Bogor adalah Taman Safari yang pertama kali didirikan di Indonesia selain Taman Safari di Pasuruan dan Taman Safari di Bali. Taman Safari Indonesia II terletak di lereng Gunung Arjuna, Kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, sedangkan Taman Safari Indonesia III dibangun di desa Serongga, Kecamatan Gianyar, Bali (Obyek Wisata Indonesia 2013).

(19)

Gambar 2. Peta lokasi penangkaran owa jawa di TSI Bogor (keterangan: tanda panah menunjukkan lokasi penangkaran owa jawa). http://www.puncakview.com/taman_ safari.htm/2013. Diakses tanggal 15-08-2013.

TSI Bogor ditetapkan sebagai Obyek Wisata Nasional Indonesia oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi tahun 90-an, tepatnya pada 16 Maret 1990 dan diresmikan menjadi Pusat Penangkaran Satwa Langka di Indonesia oleh Hasyrul Harahap, Menteri Kehutanan pada Kabinet Pembangunan. Adapun pengelolaan kawasan di Taman Safari Indonesia I dipercayakan kepada Yayasan Taman Safari yang juga merupakan pemilik dan pengelola obyek wisata (Obyek Wisata Indonesia 2013).

Aspek Wisata

(20)

Wahana rekreasi yang terdapat di TSI yaitu bus safari, danau buatan, sepeda air, kano, kolam renang dengan seluncur ombak, kereta api mini yang melintasi perkampungan ala Afrika, komedi putar, pentas sirkus, area gocart, children's play ground, bom bom car, rumah setan, kesenian tradisional dan sulap di panggung terbuka balai ruyung safari (Wikipedia 2013).

Selain itu juga terdapat safari park, taman burung, animal education show, primates dan reptiles, babby zoo, kincir raksasa, gajah, kuda tunggang, safari trek, caravan, serta wild-wild west coboy. TSI menawarkan wahana rekreasi baru yang cukup menantang yaitu elephant adventure atau petualangan dengan menunggang gajah (Irawan 2012), tiger & lion show, sea lion & bird show, dan dolphins show. Jika pengunjung ingin merasakan suasana yang berbeda dengan melihat binatang pada malam hari di TSI terdapat safari night yang mulai dari pukul 19.00 WIB dan hanya diadakan pada weekend (akhir pekan).

Rute/ Jalur Akses menuju TSI Bogor

Obyek Wisata Indonesia (2013) menjelaskan perjalanan untuk menuju TSI Cisarua Bogor terdapat dua rute/jalur yang bisa dilewati. Jalur akses yang pertama dari arah barat atau Jabodetabek dan jalur yang kedua dari arah timur atau Bandung dan Cianjur.

 Dari Jabodetabek, ada tiga kendaraan yang bisa digunakan yaitu 1) mobil pribadi, keluar dari tol Ciawi ikuti jalan ke arah Puncak. Setelah memasuki Kecamatan Cisarua, perhatikan sisi kanan jalan hingga terlihat rambu/papan petunjuk pintu masuk TSI Cisarua Bogor dengan ditandai patung binatang-binatang. 2) sepeda motor, keluar Jakarta ikuti jalan raya Bogor. Kemudian ikuti Jalan ke Puncak dan setelah memasuki kecamatan Cisarua perhatikan sisi kanan hingga hingga terlihat rambu/papan petunjuk pintu masuk TSI Cisarua Bogor dengan ditandai patung binatang-binatang 3) angkutan umum, naik bus (salah satunya Limas) turun di terminal Baranangsiang kemudian naik angkot turun di Ciawi dilanjutkan naik angkot COLT jurusan Ciawi-Cianjur atau bisa juga naik bus jurusan Bogor-Bandung via Puncak turun hingga terlihat rambu/papan petunjuk pintu masuk TSI Cisarua Bogor dengan ditandai patung binatang-binatang.

(21)

TSI Bogor dengan ditandai patung binatang-binatang atau dari cianjur naik COLT jurusan Cianjur-Ciawi turun hingga terlihat rambu/papan petunjuk TSI Bogor dengan ditandai patung binatang-binatang, 3) sepeda motor, ikuti jalur jalan raya Puncak. Sesampai di kecamatan Cisarua perhatikan sisi kiri jalan hingga terlihat rambu/papan petunjuk pintu masuk TSI Cisarua Bogor dengan ditandai patung binatang-binatang.

(22)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tingkah laku dan manajemen penangkaran owa jawa dilaksanakan selama enam bulan dari bulan Februari sampai Juli 2013 bertempat di Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor Jawa Barat.

Obyek dan Alat

Owa jawa dipindahkan dari PSSP-IPB ke TSI pada tanggal 12 Februari 2013 sebanyak 6 individu, terdiri dari: induk jantan (Ari), induk betina (Mimis), anak pertama jantan dewasa (OJ), anak kedua betina remaja (JLO), anak keempat dan kelima jantan juvenile (OO dan Ano). Salah satu individu (JLO) tidak diamati karena ditempatkan di kandang terpisah sehingga penelitian ini menggunakan 5 individu owa jawa yang terdiri dari: Ari, Mimis, OJ, OO dan Ano. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kamera digital merek Casio, meteran gulung, termometer, stop watch, higrometer, altimeter, jam tangan, timbangan digital, dan alat tulis.

Metode Pengumpulan Data

Data penelitian ini diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data sekunder bersumber dari hasil penelitian tim di PSSP-IPB, antara lain: Iskandar (2007), Riendriasari et al. (2009), Rahman (2011), Nuraisah et al. (2011). Selain itu, data sekunder juga diperoleh berupa hasil wawancara, dokumen-dokumen, dan studi pustaka yang relevan dari berbagai sumber antara lain: hasil penelitian, laporan dan artikel ilmiah terbaru. Penangkaran ex-situ owa jawa di PSSP-IPB dimulai dengan memasangkan jantan (Ari) dan betina (Mimis) yang berasal dari TSI pada tanggal 20 Januari 2003. Pemasangan indukan ini (pairing process) di PSSP-IPB telah berhasil memiliki keturunan dengan lima individu, antara lain: OJ merupakan anak pertama yang lahir, anak kedua JLO, anak ketiga OLA (Riendriasari et al. 2009) namun mati akibat infeksi bakterial, anak keempat OO, dan anak kelima Ano (Nuraisah et al. 2011).

(23)

Tabel 1. Kondisi kesehatan dan penyakit yang diderita owa jawa di TSI Nama Pemeriksaan dan kondisi kesehatan

Ari Hasil pemeriksaan yang menunjukkan adanya Thrombositopenia dan Hiperbilirubinemia disebabkan adanya penyakit hati yang kronis atau tumor pada hati. Hasil HBs Ag (+) anti-HBs (-) dan HBe Ag (+), anti-HBe (+) mengindikasikan bahwa owa jawa (Ari) tersebut terinfeksi virus Hepatitis B dengan status “Low infectivity chronic carrier”.

Mimis Apabila HBs Ag (+) selama lebih dari 6 bulan tanpa diikuti dengan perkembangan anti-HBs, maka status infeksi adalah “Chronic carrier”. Derajat penyakit belum dapat disimpulkan karena belum ada tes HBe Ag dan anti-HBe.

OJ Apabila HBs Ag (+) selama lebih dari 6 bulan tanpa diikuti dengan perkembangan anti-HBs, maka status infeksi adalah “Chronic carrier”. Sedangkan untuk derajat penyakit belum dapat disimpulkan karena belum ada tes HBe Ag dan anti-HBe.

JLO Hasil pemeriksaan menggambarkan keadaan bahwa satwa tersebut positif terinfeksi Hepatitis B virus, akan tetapi belum diketahui status dan derajat infeksi karena belum dilakukan pemeriksaan ulang.

OO Hasil pemeriksaan menggambarkan individu ini negatif terinfeksi Hepatitis B, namun akan terus dilakukan pengecekan ulang untuk melihat kemungkinan tertular.

Sumber: PSSP 2011; Rahman 2011

(24)

Data primer yang berhubungan dengan tingkah laku diperoleh dari pengamatan langsung. Pengumpulan data tingkah laku owa jawa dilakukan dengan menggunakan metode focal animal sampling (Altman 1974).Pengamatan ini dilakukan selama6 jam/hari, 5 hari/minggu, dan dibagi menjadi tiga fase mulai pukul 08.00-10.00, 11.00-13.00, dan 13.30-15.30 WIB. Setiap individu owa jawa diamati selama 20 menit dengan mencatat seluruh aktivitas atau tingkah laku. Setelah melakukan pengamatan pada satu individu, dilanjutkan dengan individu yang lain dengan waktu yang sama. Pengamatan diawali dengan individu yang berbeda secara bergiliran di setiap harinya. Kategori tingkah laku yang diamati mengacu pada penelitian sebelumnya di PSSP-IPB dari Nuraisah et al. (2011), meliputi: makan, istirahat, bergerak,menyusu, bermain, berkelahi, menelisik, bersuara, kawin, menyusui, dan defekasi. Selain itu, diamati juga tingkah laku dasar owa jawa, antara lain: bergerak, makan, sosial, istirahat, membuang kotoran. Pada aspek manajemen penangkaran berdasarkan dari pengamatan langsung dan wawancara, dengan melakukan inventarisasi fasilitas penangkaran, dan perawatan satwa di TSI, seperti: (perkandangan, pemberian pakan, perawatan kesehatan, sanitasi, dan sumber daya manusia).

Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan dan dianalisis secara deskriptif, dalam bentuk tabel, grafik, diagram dan gambar/foto sehingga diperoleh persentase dan

(25)

durasi tingkah laku, dan mendapatkan gambaran keadaan umum cara manajemen penangkaran owa jawa.

Data primer tingkah laku meliputi: frekuensi relatif dan durasi. Frekuensi relatif suatu tingkah laku dihitung dari banyaknya tingkah laku sejenis yang dilakukan oleh setiap individu (X) dibagi seluruh tingkah laku yang diamati pada individu tersebut (Y) dikalikan 100%. Durasi suatu tingkah laku dihitung dari lamanya waktu tingkah laku yang dilakukan setiap individu (X1) dibagi dengan seluruh waktu pengamatan (Y1).

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkah Laku Dasar Owa Jawa di TSI

Berdasarkan hasil pengamatan owa jawa di TSI diperoleh lima tingkah laku dasar, antara lain: tingkah laku bergerak, makan, sosial, istirahat, dan membuang kotoran. Selain itu, hasil pengamatan terdapat juga tingkah laku abnormal (menyimpang) yang dilakukan owa jawa di TSI. Hasil frekuensi dan durasi dalam enam tingkah laku individu owa jawa di TSI disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Frekuensi dan durasi tingkah laku dasar owa jawa di TSI

Tingkah laku

Ket: JD = Jantan Dewasa, BD = Betina Dewasa, JR = Jantan Remaja, Ak = Anak

Berdasarkan data pada Tabel 2. frekuensi tingkah laku dasar yang paling sering dilakukan adalah istirahat sekitar 44,19-47,35%, sedangkan urutan kedua terbanyak adalah tingkah laku bergerak sekitar 32,70-42,70%, sedangkan tingkah laku yang frekuensi paling kecil adalah tingkah laku membuang kotoran sekitar 0,84-2,41%. Selain itu, terdapat juga tingkah laku abnormal (stress atau menyimpang) sekitar 2,30-3,09%. Hal ini menunjukkan bahwa owa jawa di TSI tidak normal/stress karena ada dua individu (OJ dan OO) owa jawa melakukan tingkah laku yang menyimpang, seperti: menggelengkan kepala, muntah, meronta-meronta, dan mencabuti rambutnya. Frekuensi tingkah laku dasar owa jawa di TSI dijelaskan sebagai berikut:

Tingkah laku bergerak

(27)

kandang, batang pohon dan tali ban dengan posisi brankhiasi (berayun-ayunan), memanjat dan menuruni, meloncat, jalan, dan lari. Owa jawa di TSI lebih sering melakukan brankhiasi (berayun-ayunan) dibandingkan dengan jalan dan lari untuk berpindah tempat. Hal ini berkaitan dengan kehidupan owa jawa yang hidup secara arboreal (di atas pohon) yang mempunyai morfologinya (bentuk tubuh bagian luar) yakni tangan yang lebih panjang dibandingkan kaki sehingga lebih mudah bergerak di cabang-cabang pohon daripada di tanah. Pada saat owa jawa di TSI bergerak di lantai (bawah) kandang atau kayu yang melintang di dalam kandang dengan posisi jalan maupun lari, maka owa jawa akan lebih sulit berpindah tempat karena harus mengangkat kedua tangannya ke atas untuk mengatur kesimbangannnya agar tidak jatuh. Frekuensi dan durasi tingkah laku bergerak dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Frekuensi dan durasi tingkah laku bergerak owa jawa di TSI

Tingkah laku bergerak owa jawa TSI merupakan tingkah laku yang persentasenya berada pada urutan kedua dibandingkan dengan tingkah laku sosial, makan, dan membuang kotoran. Persentase tingkah laku bergerak owa jawa di TSI paling sering dilakukan oleh anak (OO) sebesar 42,70% (7,30 jam), sedangkan individu yang paling jarang melakukan aktivitas bergerak adalah jantan dewasa (Ari) sebesar 32,70% (1,14 jam). Hal ini disebabkan individu anak (OO) memiliki tulang dan otot yang masih lentur agar menjadi kuat, serta meniru pergerakan individu remaja dan dewasa sebagai proses belajar menuju dewasa. Arifin (2011) menerangkan bahwa individu owa jawa muda (remaja) aktif melakukan pergerakan untuk ikut menjaga individu anak tetapi bisa juga ikut bersama jantan dewasa berpatroli pada saat merasakan adanya bahaya. Pada induk jantan (Ari) di TSI yang paling jarang melakukan aktivitas bergerak dibandingkan dengan individu lainnya. Hal ini berkaitan dengan peranan Ari sebagai pemimpin kelompok yang bertugas untuk menjaga dan mengawasi keluarga kelompoknya dari ancaman dari luar, baik dari kedatangan manusia, kelompok primata lain

(28)

maupun dari predator atau pemangsa, dengan terlihat lebih sering istirahat di posisi paling atas kandang dan saat merasakan adanya bahaya maka Ari akan lebih cepat merespon dengan cara bersuara (berkomunikasi) dengan anggota keluarganya dan penggangu (manusia/satwa jenis lain/predator). Hasil penelitian ini hampir sama dengan Kartono et al. (2002) yang menyatakan bahwa waktu yang dipakai owa jawa di alam (Taman Nasional Gunung Halimun) aktivitas bergerak lebih banyak dilakukan oleh anak sebesar 32,8% (236 menit). Namun, hasil ini berbeda dengan hasil sebelumnya yang dilakukan oleh Riendriasari et al. (2009) yang menyebutkan bahwa aktivitas bergerak lebih sering dilakukan oleh individu jantan dewasa sebesar 43,70% (4,05 menit).

Tingkah laku bergerak dengan posisi memanjat atau turun owa jawa di TSI lebih banyak dilakukan oleh individu anak dibandingkan dengan individu dewasa. Pergerakan dengan cara memanjat dilakukan owa jawa di batang-batang tegak lurus (vertikal) yang besar untuk berpindah ke tempat yang lebih tinggi atau lebih rendah pada pohon yang sama (Oktaviani 2009), sedangkan pergerakan memanjat owa jawa di TSI dilakukan di lubang-lubang kawat untuk berpindah tempat dari yang lebih tinggi atau lebih rendah. Owa jawa melakukan aktivitas memanjat menggunakan keempat tungkainya (quadropedal). Biasanya tingkah laku memanjat dilakukan saat melakukan aktivitas lain, seperti bergerak, makan, dan sosial.

Tingkah laku melompat merupakan suatu gerakan yang dilakukan dengan pijakan atau tolakan awal dengan menggunakan satu atau dua kaki secara bersamaan yang diikuti lompatan seluruh anggota badan. Owa jawa yang berada di dalam penangkaran, pergerakan meloncat ini berguna untuk berpindah tempat yang satu ke tempat yang lain, terutama dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sebaliknya, bahkan dari ketinggian yang sama atau sejajar, seperti dari lantai kandang ke kawat kandang setelah mengambil makanan yang jatuh di lantai kandang dan dari ayunan tali ke lubang kawat kandang saat melakukan aktivitas bergerak dan bercanda.

(29)

pendek dan hanya sesekali berpindah tempat saja dibandingkan brankhiasi yang sering dilakukan oleh OO dan Ano dengan jarak yang ditempuh cukup jauh dan terlihat memutari kandang dengan durasi yang lebih lama.

Tingkah laku berjalan dilakukan owa jawa ketika berpindah tempat baik di pohon maupun di lantai kandang. Hal ini terjadi saat owa jawa melakukan tingkah laku bergerak dan sosial, serta mencari pakan yang jatuh di dasar lantai kandang. Aktivitas berjalan owa jawa di TSI sama dengan berlari, namun memiliki perbedaan dari segi kecepatannya, karena hewan ini berjalan dengan kecepatan lambat. Sementara, owa jawa berlari menggunakan dua kaki seperti manusia, dengan menggangkat lengan tinggi-tinggi agar keseimbangan tubuhnya tidak terganggu dan tidak terseret di tanah/lantai kandang (DeVore dan Eimerl 1987). Tingkah laku ini dilakukan pada saat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan cepat, sering terlihat saat bergerak, bermain atau bercanda dengan individu lainnya. Owa jawa di TSI sering turun ke lantai untuk berlari saat bermain dan mengambil pakan yang jatuh. Hasil ini berbeda dengan penelitian Permana et al. (2012) yang menyatakan bahwa owa jawa di JGC (Javan Gibbon Center) jarang turun ke lantai kandang disebabkan kondisi lantai yang mirip hutan alami yang ditanami dengan tanaman jenis paku-pakuan dan serasah.

Tingkah laku makan

Kebutuhan pakan dan air minum owa jawa di TSI disediakan oleh perawat satwa (keeper) setiap hari yang terdiri dari buah-buahan, sayuran-sayuran, makanan tambahan (monkey chow), dan air kran. Selain itu, disediakan juga oleh alam seperti: air embun dan air hujan. Tingkah laku makan owa jawa di TSI adalah makan dan minum. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkah laku makan pada owa jawa di TSI, antara lain: umur, jenis dan bobot pakan, jadwal makan, cuaca, penempatan tempat air, dan kualitas air.

Gambar 5. Frekuensi dan durasi tingkah laku makan owa jawa di TSI

(30)

Berdasarkan hasil pengamatan tingkah laku makan owa jawa di TSI yang lebih sering dilakukan oleh individu dewasa (Ari dan Mimis) sebesar 4,74% (2,22 jam) dan 4,57% (4,04 jam) dibandingkan dengan individu anak (OO dan Ano) sebesar 3,34% (4,99 jam) dan 2,82% (4,96 jam) (Gambar 5). Hal ini karena jenis pakan yang dimakan individu dewasa kurang bervariasi dan lebih banyak memakan buah-buahan yang banyak mengandung glukosa yang berguna untuk menambah energi, sedangkan jenis pakan yang di makan individu anak lebih bervariasi baik buah-buahan dan daun-daunan yang berguna untuk pemenuhan nutrisi di dalam tubuhnya. Di TSI induk jantan (Ari) mengambil pakan paling belakangan setelah induk betina (Mimis) dan anak (Ano), sedangkan pengambilan pakan pada remaja jantan (OJ) bersama-sama dengan anak (OO). Hal ini disebabkan antara Ari, Mimis, dan Ano tidak terjadi persaingan di saat proses aktivitas makan, tetapi pada OJ dan OO sering terjadi kompetisi atau persaingan antar kedua individu tersebut. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Prastyono (1999) yang menyatakan bahwa aktivitas makan owa jawa di alam (Cikaniki dan Ciawitali) lebih banyak dilakukan oleh individu jantan dewasa sebesar 39,42% (284 menit) dan betina dewasa sebesar 51,99% (374 menit). Namun sebaliknya hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Riendriasari et al. (2009) yang menyebutkan bahwa aktivitas makan owa jawa di PSSP-IPB lebih banyak dilakukan oleh individu anak (Ola) sebesar 23,90% (10,04 menit). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas makan owa jawa terjadi perbedaan yang dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: umur individu, persediaan sumber pakan, dan jenis pakan.

(31)

Tingkah laku sosial

Tingkah laku sosial yang dilakukan owa jawa di TSI antara lain: bermain, menelisik (grooming), bersuara, berkelahi, kawin, menyusui, dan menyusu. Aktivitas bermain dilakukan oleh Ari dan Mimis dengan Ano, OJ dengan OO; tingkah laku menelisik dilakukan oleh Mimis dengan Ari, Mimis dengan Ano, OJ dengan OO; tingkah laku bersuara dilakukan semua individu; tingkah laku kawin hanya dilakukan oleh Ari dengan Mimis, sedangkan tingkah laku menyusui dan menyusu hanya dilakukan oleh Mimis dengan Ano.

Berdasarkan pada Gambar 6, tingkah laku sosial owa jawa di TSI lebih sering dilakukan oleh induk jantan (Ari) sebesar 14,05% (1,73 jam) dibandingkan dengan individu anak (OO) sebesar 5,12% (3,15 jam). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian di PSSP-IPB oleh Riendriasari et al. (2009) yang menerangkan bahwa aktivitas sosial owa jawa yang lebih sering dilakukan oleh individu remaja (OJ) sebesar 19,40% (7,11 menit) dan yang paling jarang dilakukan oleh Mimis sebesar 7,6% (1,10 menit). Sebaliknya hasil penelitian owa jawa di alam yang dilakukan oleh Prastyono (1999) menunjukkan bahwa di Resort Cikaniki hanya individu betina dewasa yang melakukan aktivitas sosial, sedangkan di Resort Ciawitali yang paling sering melakukan aktivitas sosial adalah individu anak sebesar 15,75% (113 menit) dan jantan dewasa sebesar 3,99% (29 menit).

Gambar 6. Frekuensi dan durasi tingkah laku sosial owa jawa di TSI

(32)

hanya mempunyai frekuensi kopulasi 1 kali/hari. Pernyataan tersebut berbeda dengan hasil pengamatan pada pasangan owa jawa (Ari dan Mimis) di TSI yang dapat melakukan kopulasi sebanyak 2 kali setiap hari.

Tingkah laku istirahat

Berdasarkan hasil pada Gambar 7, tingkah laku istirahat owa jawa di TSI lebih sering dilakukan oleh individu dewasa (Mimis dan Ari) sebesar 47,35% (39,41 jam) dan 46,10% (42,88 jam), sedangkan individu yang paling jarang melakukan aktivitas istirahat adalah anak, sebesar 44,19% (32,27 jam). Hasil ini serupa dengan hasil penelitian di PSSP-IPB oleh Riendriasari et al. (2009); dan Prastyono (1999) di Resort Cikaniki TNGHS yang menyatakan bahwa aktivitas istirahat lebih sering dilakukan oleh individu jantan dewasa sebesar 42,50% (18,02 menit) dan 31,68% (228 menit). Perbedaan frekuensi dan durasi tingkah laku istirahat owa jawa di TSI disebabkan oleh perbedaan umur dan peranan setiap individu tersebut di dalam keluarga kelompok.Individu anak melakukan aktivitas istirahat guna mengimbangi aktivitas bergerak dan bermain. Dalam istirahatnya individu anak berusaha untuk mengawasi induk betina yang sedang beraktivitas dengan tujuan untuk mencontoh dan menirukan dalam rangka proses belajar (Prastyono 1999). Aktivitas istirahat pada individu dewasa berguna untuk mengawasi aktivitas anggota keluarga dan daerah jelajahnya.

Gambar 7. Frekuensi dan durasi tingkah laku istirahat owa jawa di TSI

Owa jawa yang berada di alam umumnya istirahat pada siang hari, pada pohon atau cabang yang rindang dengan strata pohon pada ketinggian antara 21-25 m. Strata ini merupakan tajuk bagian tengah yang rimbun dengan percabangan yang relatif besar, sehingga memberikan ruang yang cukup luas untuk melakukan tingkah laku istirahat. Pohon tempat tidur yang dipilih ialah pohon yang cukup tinggi, memiliki tajuk yang rapat pada percabangan

(33)

yang horizontal atau sejajar (Arifin 2011). Peningkatan tingkah laku istirahat owa jawa yang ada di TSI terjadi pada waktu siang hari dan juga dilakukan di selang tingkah laku bergerak dan makan. Seiringan waktu istirahat kadang-kadang owa jawa terlihat melakukan aktivitas lain, yakni menelisik atau grooming, dan bercanda. Tingkah laku istirahat dilakukan di tempat duduk, di dalam dan atas kotak tidur, batang pohon dan tali ban yang melintang horizontal, dan lubang kawat dengan ketinggian antara 1-5 m. Pada malam hari owa jawa melakukan istirahat di dalam kotak tidur dengan ketinggian sekitar 2,5 m. Perbedaan tempat istirahat owa jawa yang ada di alam dengan penangkaran dipengaruhi kondisi habitat yang berbeda. Fungsi antara pohon tempat tidur yang tinggi dan rimbun di alam dengan kotak tidur di penangkaran adalah sama, yaitu kedua-duanya memberikan rasa aman dan nyaman dari kedatangan predator atau pemangsa dan kondisi cuaca yang buruk, seperti hujan, angin dan kabut yang turun. Saat melakukan tingkah laku istirahat biasanya induk jantan berdiam diri menyendiri dibagian atas kandang berlainan dengan tempat duduknya posisi induk betina dan anak. Posisi istirahat induk jantan sering dilakukan dengan cara duduk dan bergelantungan pada kedua tangannya, dengan pandangan mata kearah keluar kandang dan ke arah keluarga kelompoknya bertujuan untuk dapat mengawasi keadaan lingkungan diluar kandang dan menjaga keselamatan keluarga kelompoknya dari berbagai macam ancaman dari luar kandang.

Tingkah laku istirahat dilakukan diantara tingkah laku bergerak, sosial, maupun makan dengan posisi, yaitu: duduk, bergelantungan dengan satu atau dua tangan, merebahkan diri, telungkup dan jongkok. Tingkah laku istirahat yang paling sering dilakukan owa jawa di TSI adalah posisi bergelantungan dengan dua cara yaitu (1) kedua tangan dan kakinya diletakkan di lubang-lubang kawat, dan (2) dapat juga kedua tangannya diletakkan di tali tambang dengan kedua kakinya gelantungan ke bawah. Hasil ini berbeda dengan penelitian Permana et al. (2012) yang menerangkan bahwa posisi duduk adalah posisi istirahat yang paling banyak dilakukan owa jawa di alam.

Tingkah laku membuang kotoran

(34)

diperkuat dengan pernyataan Kurnadi (2002) menyatakan bahwa individu yang sudah tua (dewasa) sering terjadi kerusakan pada syaraf-syaraf yang menguasai musculus sphinter ani axterna, sehingga sama seperti bayi akan buang air besar dimana saja dan kapan saja.

Gambar 8.Frekuensi dan durasi tingkah laku membuang kotoran owa jawa di TSI

Tingkah laku membuang kotoran owa jawa di TSI dilakukan saat tingkah laku istirahat dengan posisi jongkok dan bergelantungan pada pagi dan sore hari. Tingkah laku membuang kotoran dilakukan saat sebelum dan setelah pemberian pakan, setelah melakukan tingkah laku bergerak, dan kadang-kadang saat owa jawa merasa dalam keadaan terancam, dengan adanya manusia yang pertama kali datang ke kandang, dan predator (macan tutul).

Tingkah laku membuang kotoran (defekasi dan urinasi) merupakan suatu proses yang dilakukan secara sistematis di dalam sistem pencernaan dan sistem urinaria untuk menghasilkan produk atau zat buangan yang sudah tidak terpakai kembali di dalam tubuh, berbentuk padat (tinja atau feses) dan cair (air urine). Defekasi merupakan suatu proses pembuangan kotoran yang terjadi di dalam sistem pencernaan di dalam tubuh yang menghasilkan zat buangan berbentuk padat (feses), sedangkan urinasi merupakan suatu proses pembuangan kotoran yang terjadi di dalam sistem urinaria di dalam tubuh yang menghasilkan zat buangan berbentuk cair (air urine).

Proses pengeluaran kotoran dapat dipengaruhi dari kondisi fisiologis tubuh, jenis dan jumlah pakan yang dimakan, serta bentuk dan banyak feses yang dikeluarkannya sehingga durasi yang terpakai setiap individu berbeda-beda. Biasanya aktivitas membuang kotoran biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum makan pagi dan beberapa jam setelah makan pagi. Tingkah laku abnormal

Tingkah laku abnormal merupakan perubahan atau respon tingkah laku menyimpang yang terjadi di dalam tubuh. Penyebab terjadinya aktivitas abnormal berasal dari cekaman

(35)

dari luar tubuh satwa, diantaranya keterbatasan ukuran kandang, berkurangnya interaksi sosial dengan kelompok sejenis, dan berubahnya perilaku spesifik spesies yang bersangkutan, serta teknik penangkapan yang salah di dalam kandang. Sapolsky 1993; Boere 2001; Maheshwari et al. (2008) menyatakan sebagai akibatnya, perubahan-perubahan yang signifikan dapat teramati, seperti: gangguan fisiologis, pengasingan diri, depresi, perilaku yang stereotype, bahkan tidak jarang kematian. Selain itu, satwa menjadi sangat kuat tiba-tiba atau sebaliknya kehilangan kekuatan sama sekali, diare, buang air tanpa sadar, berkeringat dingin, terlambat menstruasi, meningkatkannya kadar gula darah (Isnaeni 2006).

Berdasarkan hasil pengamatan owa jawa di TSI tingkah laku abnormal yakni mencabut rambut, merontak, muntah, dan menggelengkan kepala yang hanya dilakukan dua individu yaitu OJ dan OO. Dari kedua individu tersebut, OO merupakan individu yang paling sering sebesar 3,09% (0,1 jam) dibandingkan dengan OJ sebesar 2,30% (0,1 jam) (Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa respon di dalam tubuh individu anak lebih cepat dibandingkan individu remaja terhadap cekaman yang berasal dari dalam atau luar tubuh dirinya. Cekaman yang berlebihan dapat individu owa jawa menjadi stres.

Gambar 9.Frekuensi dan durasi tingkah laku abnormal owa jawa di TSI

(36)

agen-agen antibakteri, seperti lisozim (Campbell dan Reece 2008). Lisozim merupakan suatu enzim bakterizid (pembunuh bakteri) yang terdapat pada air ludah, air mata dan keringat yang akan mengurangi kemungkinan infeksi oleh berbagai bakteri (Kurnadi 2002), sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka.

Tingkah laku abnormal yang dilakukan oleh OJ di TSI, antara lain: muntah dan menggelengkan kepala. Aktivitas muntah ialah pengeluaran isi lambung (kadang-kadang isi duodenum) melalui esophagus dan mulut secara paksa. Muntah sering disebut suatu respon terhadap pertahanan tubuh yang sangat berguna misalnya muntah yang terjadi bila zat racun yang termakan (Kurnadi 2002). Tingkah laku muntah yang dilakukan owa jawa di TSI kemungkinan terjadi diakibatkan setelah pemberian pakan kacang panjang. Hal ini terlihat pada saat pembersihan kandang di pagi hari terdapat bekas muntah di dalam kandang tidur (Komunikasi Pribadi, Syamsul 2013). Hal ini diduga karena zat yang terkandung di kacang panjang dapat memberikan dampak negatif menimbulkan gas pada lambung hewan tersebut.

Tingkah laku menggelengkan kepala juga dilakukan oleh OJ, diawali dengan melakukan brankhiasi (berayun-ayun) memutar di tiap sisi kandang kemudian berhenti untuk bergelantungan menggunakan kedua tangan dengan memegang kawat dan kepala digelengkan ke kanan kiri. Menggelengkan kepala sering dilakukan pada pagi dan siang hari, dibandingkan pada sore hari, saat pintu kandang tidur belum dibuka oleh petugas kandang. Kondisi ini kemungkinan disebabkan adanya depresi di dalam diri OJ karena belum mendapatkan pasangan hidupnya.

Tingkah Laku Harian

(37)

Tabel 3. Frekuensi dan durasi tingkah laku harian owa jawa di TSI

Ket: JD = Jantan Dewasa, BD = Betina Dewasa, JR = Jantan Remaja, Ak = Anak

Frekuensi dan durasi yang terkecil pada Ari adalah tingkah laku kawin sebesar 1,56% (0,0025 jam atau 0,15 menit), sedangkan pada Mimis, OJ, dan OO frekuensi dan durasi terkecil terjadi di tingkah laku berkelahi sebesar 1,21% (0,0025 jam atau 0,15 menit), 0,85% (0,04 jam), dan 0,77% (0,03 jam). Frekuensi yang terkecil pada Ano adalah tingkah laku menyusu sebesar 0,53% (0,32 jam).

Tingkah laku bergerak

Tingkah laku bergerak owa jawa di TSI dilakukan dengan posisi sebagai berikut: brankhiasi (berayun-ayun), meloncat, jalan, lari, dan memanjat atau turun dengan quadropedal. Individu anak (OO dan Ano) di TSI lebih sering melakukan aktivitas bergerak dari sisi kandang ke sisi kandang lainnya dan meniru pergerakan individu remaja dan dewasa sebagai proses belajar menuju dewasa, serta melatih bagian otot-otot tubuh agar menjadi kuat. Selain itu, bermanfaat juga untuk mempelajari situasi wilayah jelajahnya dalam situasi baik maupun buruk. Ladjar (1996); Sutrisno (2001) yang menerangkan bahwa pergerakan individu muda atau remaja merupakan proses dalam upaya belajar untuk berpisah dari kelompok atau keluarganya dan mencari pasangan dari kelompok atau keluarga owa jawa lainnya. Aktivitas bergerak individu dewasa lebih ditunjukkan untuk mencari sumber pakan, melindungi keluarga, serta menjaga teritorial dari predator (pemangsa), serta primata lainnya yang mengganggu.

(38)

PSSP-IPB (7,99% atau 1,33 jam), Mimis di TSI (36,43% atau 2,87 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (9,67% atau 1,61 jam), Ano di TSI (40,36% atau 7,11 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) saat di PSSP-IPB (22,61% atau 3,77 jam), OJ di TSI (39,63% atau 7,45 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB yakni 15,90% atau 2,65 jam, dan OO di TSI (41,73% atau 7,30 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) yakni (24,57% atau 4,10 jam). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bergerak owa jawa di TSI lebih sering dilakukan dibandingkan saat di PSSP-IPB karena jumlah individu di dalam kandang lebih sedikit, bertambahnya umur pada tiap individu, dan volume ukuran kandang di TSI 2,5 kali lebih besar (ukuran kandang owa jawa di TSI sebesar 78,804 m3/ekor dibandingkan 30,415 m3/ekor di PSSP-IPB) memungkinkan setiap individu bergerak lebih leluasa dan tidak berdesak-desakan. Anak owa jawa di TSI memiliki tulang dan otot yang masih lentur sehingga aktivitas bergeraknya lebih sering dan cepat dibandingkan dengan individu remaja dan dewasa yang sedikit lambat dalam bergerak.

Gambar 10.Frekuensi tingkah laku bergerak owa jawa di TSI dan PSSP-IPB

Tingkah laku bergerak lebih banyak dilakukan oleh owa jawa di TSI pada pagi dan sore hari saat suhu udara tidak terlalu panas untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada pagi hari tingkah laku bergerak owa jawa di TSI terjadi pada jam 08.00-10.00 WIB dan pada periode sore hari terjadi pada jam 13.30-15.30 WIB, sedangkan tingkah laku bergerak mulai menurun pada siang hari terjadi pada jam 11.00-13.00 WIB dan sore hari pada jam 16.30-17.30 WIB saat matahari mulai terbenam untuk mencari tempat tidur.

0

(39)

Tingkah laku menelisik

Tingkah laku menelisik (grooming) owa jawa di TSI dilakukan dengan dua cara yaitu autogrooming (sendiri) dan allogroming (bersama dengan individu lain). Tingkah laku autogrooming dengan cara menggaruk, mencabut kotoran, mengusap kotoran di bagian rambut dirinya sendiri, mengibas-ngibaskan rambut dari air, dan menjilat-jilat darah yang ada di bagian kulit hingga bersih, sedangkan allogrooming dengan adanya saling menelisik antar individu secara bergantian, yaitu ada individu yang melakukan menelisik maupun ada individu yang ditelisik. Menurut Nuraisah et al. (2011) pergantian peran antar individu yang saling menelisik dilakukan dengan menyodorkan bagian tubuh yang akan dibersihkannya. Tingkah laku menelisik owa jawa di TSI dilakukan sepanjang harisaat istirahat, lebih sering terlihat pada siang hari dan cuaca mendung karena penurunan aktivitas bergerak.

Gambar 11. Frekuensi tingkah laku menelisik owa jawa di TSI dan PSSP-IPB

Berdasarkan data pada Gambar 11, aktivitas menelisik Ari di TSI (4,31% atau 0,50 jam) lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (15,65% atau 2,61 jam), Mimis di TSI (4,75% atau 1,04 jam) lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (7,61% atau 1,27 jam), Ano di TSI (1,57% atau 1,36 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) saat di PSSP-IPB (1,55% atau 0,26 jam), OJ di TSI (2,73 % atau 1,76 jam) lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) saat di PSSP-IPB (14,70% atau 2,45 jam), dan OO di TSI (2,80% atau 2,50 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) saat di PSSP-IPB (1,95% atau 0,32 jam). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas menelisik owa

(40)

terdiri dari menggaruk, mencabut kotoran di rambut, menjilat-jilat sisa makanan yang menempel di kuku, dan menjilat-jilat darah di kulit dengan menggunakan air liurnya hingga bersih.

(41)

sisa makanan, biji salak, daun ketapang, ranting, daun pohon mangga, batu, katak, kadal, dan tong biru besar.

Gambar 12.Frekuensi tingkah laku bermain owa jawa di TSI dan PSSP-IPB

Tingkah laku bermain owa jawa di TSI dilakukan oleh semua individu yakni pada pagi dan sore hari, atau saat cuaca tidak terlalu panas, di dalam dan atas kotak tidur, sela-sela kawat kandang, dan lantai kandang. Tingkah laku bermain dilakukan oleh induk jantan (Ari) dengan anak (Ano), induk betina (Mimis) dengan anak (Ano), dan remaja (OJ) dengan anak (OO). Tingkah laku bermain dilakukan Ano dengan mendekati Ari dan Mimisyang sedang istirahat untuk bermain dengan berkejaran dan bergulat-gulatan. Induk betina mengawasi aktivitas bermain anak-anaknya, sehingga dapat memantau bila terjadi bahaya yang menimpa anak-anaknya. Bila terlihat anak dan induk jantan melakukan aktivitas bermain secara kasar, induk betina bergerak cepat mendekati induk jantan untuk melerai atau memisahkannya. Anak owa jawa OO melakukan aktivitas bermain secara sendiri dengan cara berayunan menggunakan tali tambang, namun saat bermain bersama OO dengan OJ, dilakukan dengan cara berkejaran dan bergulat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkah laku bermain lebih sering dilakukan oleh anak dan bayi. Hasil ini hampir sama dengan pernyataan Kartono et al. (2002) menyatakan bahwa aktivitas bermain owa jawa di alam biasanya dilakukan oleh anak dan bayi. Tingkah laku bermain pada anak dan bayi dapat membantu kemampuan individu tersebut untuk mempercepat pergerakan, melatih otot-otot agar menjadi lebih kuat saat remaja dan mempererat ikatan emosional antar individu.

Tingkah laku berkelahi

Berdasarkan data pada Gambar 13, aktivitas berkelahi (agonistik) dilakukan oleh semua owa jawa di TSI pada Ari, Mimis, Ano, OJ, dan Ano sebesar 2,02% (0,01 jam); 1,21%

(42)

(0,0025 jam); 0,88% (0,03 jam); 0,85% (0,04 jam); dan 0,77% (0,03 jam). Hasil ini berbeda dengan hasil pengamatan Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB yakni yang dilakukan oleh tiga individu, yaitu Ari, Mimis, dan OJ sebesar 0,16% (0,03 jam); 0,26% (0,04 jam); dan 1,01% (0,17 jam). Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas agonistik owa jawa di TSI lebih beragam dibandingkan sebelumnya yang ada di PSSP-IPB karena aktivitas ini dilakukan oleh semua individu. Induk jantan (Ari) lebih sering melakukan aktivitas agonistik ke Ano daripada ke Mimis untuk memberikan suatu proses belajar bagi anak ketika menjadi remaja atau dewasa. Selain itu, OJ dan OO melakukan aktivitas agonistik saat perebutan makanan dengan cara memukul dan menggigit. Aktivitas agonistik juga terjadi saat owa jawa di TSI merasakan adanya ancaman dari lingkungan luar kandang dengan menunjukkan gigi taring, menendang kawat dengan kedua kaki.

Gambar 13. Frekuensi tingkah laku berkelahi owa jawa di TSI dan PSSP-IPB

Tingkah laku agonistic pada Ari terjadi saat kedatangan tamu/pengunjung ke kandang, dan saat peneliti melakukan pengamatan. Ano juga sering melakukan tindakan menyerang di sela-sela bermain dengan Ari. Penyerangan yang dilakukan Ano adalah memukul, menggigit dan menendang kawat. Aktivitas berkelahi antara OJ dan OO dengan cara memukul sering terjadi saat perebutan makanan. Saat merasakan ancaman yang berasal dari kedatangan manusia ke kandang, anak (OO) dan remaja (OJ) akan merespon dengan cara menendang kawat kandang dan memperlihatkan gigi taringnya, yang diikuti dengan aktivitas bersuara. Durasi Mimis untuk melakukan tingkah laku agonistik lebih pendek dibandingkan dengan aktivitas lain, karena waktu yang digunakan induk betina untuk beristirahat lebih banyak sambil memantau pergerakan individu anak yang sedang bermain.

0

(43)

Tingkah laku bersuara

Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas bersuara owa jawa di TSI oleh Ari, Mimis, Ano, OJ, dan OO sebesar (2,05% atau 0,41 jam; 2,01% atau 0,33 jam; 0,84% atau 0,63 jam; 1,66% atau 0,34 jam; dan 1,08% atau 0,14 jam). Hasil ini berbeda dengan hasil di PSSP-IPB yang dilaporkan Rahman (2011) bahwa aktivitas bersuara dilakukan oleh individu bayi oleh OO (0,14% atau 28 menit); Nuraisah et al. (2011) aktivitas bersuara Ano sebesar 0,46% atau 0,08 jam dengan suara meminta dipelihara (immature song bout). Menurut Iskandar (2007) dan Riendriasari et al. (2009), owa jawa di PSSP-IPB tidak melakukan aktivitas bersuara (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bersuara owa jawa di TSI lebih beragam dibandingkan di PSSP-IPB karena semua individu merespon datangnya rangsangan dari dalam dan luar kandang seperti saat perebutan makanan, adanya predator (macan tutul), dan keberadaan manusia. Menurut Oktaviani (2009), tingkah laku bersuara memiliki kaitan dengan kondisi cuaca, 67% tingkah laku bersuara terjadi pada kondisi cuaca cerah dan 33% bersuara terjadi pada kondisi cuaca mendung.

Gambar 14. Frekuensi tingkah laku bersuara owa jawa di TSI dan PSSP-IPB

Aktivitas bersuara owa jawa di TSI berfungsi untuk berkomunikasi antar individu kelompoknya untuk melarikan diri atau melakukan perlawanan bila terjadi serangan predator. Mimis mengeluarkan tipe suara (scream bout) dengan nada “wa wa wa”. Individu OJ dan OO mengeluarkan suara (communal call bout) dengan nada “up up up”, sedangkan individu Ano mengeluarkan suara meminta dipelihara (immature song bout) agak pelan dengan nada

“ngeek ngeek”, dan seluruh individu dengan mengeluarkan tipe suara (disturbance hoot bout)

dengan nada “wa wa hoo wa oo wow waoo”. Aktivitas bersuara owa jawa Mimis di TSI lebih

lama dan lebih keras dibandingkan dengan individu lainnya. Napier dan Napier (1967)

(44)

menyatakan bahwa betina memiliki frekuensi, tempo suara lebih tinggi, dan lebih lama dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya, Keppler (1981); Permana et al. (2012) hal ini terkait dengan tingkat dominasi betina dalam kelompok owa jawa.

Aktivitas bersuara yang dilakukan owa jawa di TSI dalam durasi yang bervariasi, yaitu antara 1 detik sampai dengan 18 menit 6 detik, lebih pendek bila dibandingkan dengan hasil laporan Oktaviani (2009) yang menyatakan bahwa durasi bersuara owa jawa yang terdapat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) antara 2 detik sampai dengan 24 menit 18 detik. Panjang pendeknya durasi bersuara owa jawa dipengaruhi oleh suara yang dikeluarkan oleh kelompok lain dan seberapa besar bahaya atau gangguan yang diterimanya.

Tingkah laku makan

Aktivitas makan Ari di TSI (4,31% atau 2,22 jam) lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (10,90% atau 1,82 jam), Mimis di TSI (4,17% atau 4,04 jam) lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (14,92% atau 2,49 jam), Ano di TSI (2,74% atau 4,95 jam) lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (21,42% atau 3,57 jam), OJ di TSI (4,08% atau 5,24 jam) lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (33,80% atau 5,63 jam), dan OO di TSI (3,27% atau 5,00 jam) lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (26,75% atau 4,46 jam). Diasumsikan bahwa semakin tua umur owa jawa di TSI pakan yang dimakan kurang bervariasi dibandingkan individu muda (anak dan remaja). Individu dewasa lebih banyak makan makanan yang banyak mengandung glukosa (buah masak) yang digunakan untuk menambah energi dalam menjalankan aktivitas hariannya. Pemberian jenis pakan juga mempengaruhi aktivitas makan owa jawa di dalam penangkaran. Owa jawa di TSI lebih banyak diberikan jenis buah-buahan dibandingkan di PSSP-IPB yang lebih banyak diberikan jenis daun-daunan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan pada owa jawa di TSI lebih baik dibandingkan di PSSP-IPB karena variasi yang lebih baik sesuai dengan karakteristik owa jawa yang frugivorus (pemakan buah-buahan).

(45)

aktivitas makan owa jawa terjadi sekitar pukul 11.00-13.00 WIB seiring dengan cuaca yang mulai panas, sehingga terjadinya peningkatan aktivitas istirahat dan sosial.

Gambar 15. Frekuensi tingkah laku makan owa jawa di TSI dan PSSP-IPB

Owa jawa di TSI makan dengan cara duduk dan bergelantungan, diawali dengan memilah-milih jenis pakan yang disukai, menggunakan satu tangan. Tidak semua pakan yang diambil langsung dimakan, tetapi dicium-cium dan dicicipi makanannya ke ujung lidah terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam mulut. Makanan yang sudah dicicipi rasanya kurang enak atau masih mentah dan keras, maka owa jawa akan membuangnya ke lantai dan mengambil pakan yang lain. Namun, saat pakan yang tersedia habis, owa jawa di TSI akan mengambil makanan yang sudah jatuh di lantai dan dibersihkan dengan cara mengusap-usap makanan dengan kedua tangannya hingga bersih. Saat makan owa jawa di TSI akan bersuara bila ada interaksi antar individu saat perebutan makanan, dan individu yang lebih tua sering lebih dominan daripada yang muda.

Aktivitas minum owa jawa di TSI dilakukan setelah air embun turun pada pagi hari dan hujan yang menempel di sela-sela kawat. Kawat dipegang menggunakan kedua tangan sambil menjilat bagian kawat yang ada air embun dan air hujan. Selain itu, aktivitas minum dilakukan menggunakan satu tangan yang dicelupkan ke dalam kotak air, kemudian tangan yang sudah basah dijilat menggunakan mulut.

Tingkah laku istirahat

Aktivitas istirahat Ari di TSI (41,90% atau 42,88 jam) lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (63,74% atau 10,62 jam), Mimis di TSI (43,21% atau 39,42 jam) lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (50,50% atau 8,42 jam), Ano di TSI (45,67% atau 30,93 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (8,12% atau 1,35 jam), OJ

0

(46)

di TSI (44,06% atau 32,50 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (30,10% atau 5,02 jam), dan OO di TSI (43,50% atau 32,27 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (25,73% atau 4,29 jam). Hal ini menunjukkan bahwa owa jawa di TSI lebih seringistirahat dibandingkan di PSSP-IPB karena dipengaruhi dari tingkat umur, semakin bertambah umur individu maka aktivitas istirahatnya semakin sedikit. Namun, waktu yang dibutuhkan pada individu dewasa untuk aktivitas istirahatnya lebih banyak dibandingkan dengan individu remaja dan anak. Mereka mengawasi pergerakan atau aktivitas anggota keluarga dan menjaga wilayah teritorialnya dari kedatangan predator. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riendriasari et al. (2009) bahwa aktivitas istirahat individu dewasa (Ari) digunakan untuk mengawasi seluruh tingkah laku anggota keluarganya. Menurut Bismark (1986); Nurcahyo (1999); Ario (2011) aktivitas istirahat memberi kesempatan lambung memfermentasikan makanan dalam pencernaan. Selain itu, kondisi lingkungan kandang owa jawa di TSI yang masih banyak pepohonan dan berada di dataran tinggi, serta suhu udara yang rendah sehingga kondisi lingkungan kandang tersebut mirip seperti habitat alaminya. Dengan demikian, kondisi kandang tersebut dapat mempengaruhi aktivitas istirahatnya.

Gambar 16. Frekuensi tingkah laku istirahat owa jawa di TSI dan PSSP-IPB

Tingkah laku istirahat owa jawa di TSI dilakukan sepanjang hari, pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Istirahat owa jawa di TSI pada pagi hingga sore dilakukan disela-sela aktivitas bergerak, setelah selesai makan, suhu udara meningkat, cuaca turun hujan, dan saat banyaknya kabut yang turun dari pegunungan. DeVore dan Eimerl (1987) menyatakan bahwa owa jawa melakukan istirahat di malam hari dengan cara duduk atau meringkuk miring di

(47)

Owa jawa di TSI melakukan tingkah laku istirahat dengan posisi duduk ditepian besi bagian atas kandang sambil badan bersandar pada kawat, duduk dan tengkurap di batang kayu, duduk dan jongkok di karet ban, serta rebahan di atas kotak tidur. Selain itu, owa jawa di TSI juga melakukan istirahat disela-sela kawat ditepi kandang dengan cara bergelantungan. Biasanya aktivitas istirahat dilakukan dengan mengawasi anggota keluarganya dan kondisi diluar kandang. Hasil ini berbeda dengan Rahman (2011) yang menyatakan bahwa owa jawa yang hidup di hutan alami (hutan rasamala) akan memilih pepohonan dengan tajuk tertutup untuk melindungi diri dari sengatan matahari dan di strata pohon dengan ketinggian 21-25 m sebagai tempat beristirahat.

Tingkah laku membuang kotoran

Aktivitas membuang kotoran Ari di TSI (2,19% atau 0,03 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (0,20% atau 0,03 jam), Mimis di TSI (2,11% atau 0,07 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (0,20% atau 2,49 jam), Ano di TSI (0,79% atau 0,10 jam) lebih sering dibandingkan di PSSP-IPB (0,32% atau 0,05 jam), OJ di TSI (1,06% atau 0,07 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (0,29% atau 0,05 jam), dan OO di TSI (1,03% atau 0,12 jam) lebih sering dibandingkan hasil penelitian Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB (0,30% atau 0,05 jam). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas membuang kotoran owa jawa di TSI lebih sering dibandingkan saat di PSSP-IPB karena jenis pakan owa jawa di TSI lebih banyak diberikan buah-buahan dibandingkan jenis pakan owa jawa di PSSP-IPB yang lebih banyak diberikan daun-daunan sehingga aktivitas membuang kotoran di TSI lebih sering. Selain itu, aktivitas membuang kotoran owa jawa di TSI dipengaruhi dari bertambahnya umur individu, keadaan fisiologis (proses pencernaan) di dalam tubuh, kondisi/keadaan lingkungan kandang, kondisi kesehatan, dan cuaca di lingkungan luar kandang.

Gambar 17. Frekuensi tingkah laku membuang kotoran owa jawa di TSI dan PSSP-IPB

0

(48)

Aktivitas membuang kotoran (feses dan urine) owa jawa di TSI dilakukan saat pagi hari sebelum waktu pemberian pakan, setelah makan, di antara aktivitas bermain dan bergerak, serta sore hari setelah makan, sebelum tidur. Owa jawa membuang kotoran saat dalam keadaan bahaya atau terancam di dalam kandang oleh kelompok primata yang lain, predator atau pemangsa, dan gangguan dari manusia. Owa jawa akan bergerak dan mengeluarkan suara, terkadang sambil mengeluarkan feses dan urine dari dalam tubuhnya.

Owa jawa di TSI tidak membuang kotoran pada satu tempat, tapi pada seluruh bagian kandang, terlihat dari tumpukan feses dan bau urine di berbagai tempat, seperti di bawah tempat duduk, tali ban, ayunan, dan tempat pakan, bahkan ada juga yang menyangkut di kawat dan tembok kandang. Tekstur feses owa jawa di TSI berbentuk padat, dan lembek atau tidak padat. Sisa makanan owa jawa di TSI yang ada di dalam feses terdiri atas sisa kulit, daging buah, biji, dan daun-daunan. Kulit dan daging buah dapat dicerna dengan baik, namun biji dan daun-daunan tidak dapat dicerna dengan baik di dalam usus besar. Hal ini kemungkinan karena owa jawa mengalami kesulitan untuk mencerna kandungan serat daun dan biji, terlihat di dalam feses owa jawa masih dalam keadaan utuh. Menurut Gittin & Raemackers (1980); Nurcahyo (1999); Ario (2011), untuk mengekstrasi daun tua dibutuhkan banyak energi yang diperlukan adanya fermentase oleh organisme simbiosis di dalam usus untuk memecah serat menjadi karbohidrat. Terkait dengan pola makan satwa frugivorous, Fleagle (1988); Ario (2011) menyatakan bahwa sebagai satwa frugivorous, kelompok Hylobates mempunyai sistem pencernaan monogastrik, sehingga tidak mampu mencerna sumber pakan dengan kandungan serat yang tinggi.

Tingkah laku kawin

(49)

Berdasarkan Gambar 18, aktivitas kawin owa jawa di TSI terjadi pada pasangan Ari dan Mimis sebesar 1,5% (0,0025 jam) dan 1,8% (0,02 jam). Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya Nuraisah et al. (2011) di PSSP-IPB pada pasangan Ari dan Mimis tidak ada aktivitas kawin karena Mimis belum memasuki masa ovulasi (masih dalam masa menyusui), sedangkan hasil penelitian Iskandar (2007) di PSSP-IPB yang menyebutkan aktivitas kawin dilakukan oleh Ari dan Mimis (3,5 dan 2,8%). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas kawin owa jawa di TSI hampir sama dengan di PSSP-IPB sebab ukuran kandang di TSI 2,5 kali lebih luas dan umur individu dewasa (Ari dan Mimis) masih masa produktif. Aktivitas kawin owa jawa di TSI tidak dipengaruhi masa menyusui dan bunting, seperti manusia. Menurut Isnaeni (2006), hewan yang mengalami siklus menstrual, setiap saat disepanjang siklus hewan betina siap menerima hewan jantan untuk kawin, sekalipun ovum baru dilepaskan kira-kira pada pertengahan siklus. Dalam tubuh hewan betina, ovum dapat bertahan hidup dalam keadaan baik dan siap dibuahi hingga 72-96 jam setelah ovulasi.

Gambar 18. Histogram frekuensi tingkah laku kawin owa jawa di TSI dan PSSP-IPB

Gambar

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2. Peta lokasi penangkaran owa jawa di TSI Bogor (keterangan: tanda panah
Tabel 1. Kondisi kesehatan dan penyakit yang diderita owa jawa di TSI
Gambar 3. Silsilah owa jawa di TSI (Sumber: Dharma 2013)
+7

Referensi

Dokumen terkait

melakukan normalisasi matriks, melakukan proses perangkingan, dan menentukan nilai preferensi untk setiap alternatif dapat membantu proses penentuan bobot untuk kriteria

Penerbit : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia 259 Evaluasi pelaksanaan tahap Input yang terdiri dari 5M (Man, Machine, Method, Money, Materials),

Pada saat penelitian diperoleh jumlah pangan tradisional adalah sebanyak 12 (dua belas) jenis, yang terdiri dari: jumlah makanan atau lauk pauk adalah 6

Bahwa Pimpinan STIESIA dalam Rapat Pleno tanggal 14 September 2012 telah menerima konsep Rencana Strategis (Renstra) Prodi S3 Ilmu Manajemen Tahun 2012-2016, dan sesuai

Variabel (SPLDV). Calon subyek pada Analisis data pada penelitian ini penelitian ini sebanyak 8 siswa. 8 siswa mengacu pada indikator kemampuan dipilih secara

Berdasarkan penelitian yang dilakukan ibu yang bekerja memiliki lebih banyak waktu diluar dibandingkan dengan ibu rumah tangga atau ibu yang tidak bekerja, hal seperti ini

“Pengaruh Penyajian Neraca daerah dan Aksebilitas Laporan Keuangan Terhadap Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah”.. Yogyakarta: Universitas

Hasil kajian juga telah menunjukkan bahawa nilai pekali penyerapan bunyi sabut kelapa akan meningkat pada frekuensi-frekuensi rendah apabila dilapisi dengan plat berlubang yang