• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAUN JAGUNG DAN RUMPUT LAPANG

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Data Konsumsi Pakan Segar Domba Selama Penggemukan ... 39 2. Nilai Pertambahan Bobot Badan, dan Perhitungan Pertambahan

Bobot Badan ... 40 3. Nilai Konversi Pakan Domba Selama Penggemukan dan

Perhitungan Nilai Konversi Pakan ... 41 4. Data Income Over Feed Cost (IOFC) Selama Penggemukan dan

Perhitungan IOFC ... 42 5. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Duncan Konsumsi BK Pakan,

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Permintaan akan produk peternakan dari tahun ke tahun meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat dan semakin membaiknya kesadaran gizi masyarakat. Tingginya permintaan produk peternakan tidak diiringi oleh perkembangan dan pertumbuhan industri peternakan. Industri peternakan di Indonesia kenyataannya belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satu sumber pasokan daging untuk kebutuhan masyarakat berasal dari domba. Pada tahun 2010 sumbangan daging domba terhadap total produksi daging yang berasal dari ruminansia baru mencapai 7,6% (Direktorat Jendral Peternakan, 2011), sehingga pengembangan domba perlu digalakkan sebagai salah satu upaya mengurangi impor daging sapi. Selain untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, usaha pengembangan ternak domba juga membuka peluang untuk memenuhi peluang pasar luar negeri.

Ternak domba di Indonesia memiliki prospek yang baik di masa yang akan datang, mengingat daging domba seperti halnya daging sapi dan daging ayam bisa diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, agama dan kepercayaan di Indonesia. Ternak domba mudah dikembangkan dengan sistem pemeliharaan yang relatif mudah dilakukan, siklus reproduksi relatif singkat, dan domba merupakan ternak yang lebih tahan terhadap berbagai penyakit daripada ternak lainnya.

Data statistik pada tahun 2009 menunjukkan bahwa populasi ternak domba di Indonesia mencapai 10.198.766 ekor, Jawa Barat adalah provinsi yang memiliki populasi domba tertinggi yaitu 5.770.661 ekor atau 56,58% dari populasi domba nasional. Produksi daging domba di Jawa Barat sebesar 34.400 ton/tahun atau pemotongan sekitar 1.720.000 ekor domba, merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia (Direktorat Jendral Peternakan, 2011). Pemotongan ternak domba mengalami peningkatan saat hari raya Idul Adha.

Masalah pokok dalam meningkatkan produktifitas ternak domba adalah kurang tersedia dan rendahnya kualitas pakan ternak terutama hijauan pakan. Masalah ini merupakan akumulasi dari berbagai masalah dibelakangnya antara lain; a) kurangnya penyediaan sarana produksi hijauan, b) terbatasnya lahan untuk budidaya hijauan, c) berlebihnya hijauan pada musim hujan dan kurangnya

2 ketersediaan hijauan pada musim kemarau, dan d) belum dilakukannya pengolahan/ penyimpanan hijauan berlebih pada musim hujan. Hijauan pakan adalah bahan makanan utama bagi ternak ruminansia yang berasal dari tanaman berupa dedaunan dan batang lunak. Hijauan salah satunya dapat berasal dari limbah pertanian yang banyak diproduksi pada musim-musim panen, apabila tidak dimanfaatkan akan menimbulkan penumpukan sampah yang merugikan bagi manusia.

Limbah pertanian yang dimanfaatkan pada penelitian ini adalah jerami jagung (daun jagung). Sumbangan limbah pertanian, terutama jerami jagung terasa sangat bermanfaat dalam mendukung perkembangan populasi ternak ruminansia. Data dari Badan Pusat Statistik (2011) menunjukkan produksi jagung di Indonesia mencapai 18.327.636 ton dengan luasan panen 4.131.676 ha, maka dapat diperkirakan produksi jagung per ha yaitu 4,4 ton/ha. Basymeleh (2009), melaporkan bahwa limbah tanaman jagung terdiri atas 50% batang, 20% daun, 20% tongkol, 10% klobot.

Kendala yang dihadapi dalam penggunaan limbah tanaman jagung sebagai pakan ternak yaitu sifatnya yang mudah busuk dan bulky menyulitkan dalam penanganan baik pada saat transportasi maupun penyimpanan, sehingga memerlukan teknologi dalam penanganannya. Teknologi pengolahan pakan diperlukan untuk membuat bahan menjadi awet, mudah disimpan, dan mudah diberikan. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan dalam rangka meningkatkan manfaat limbah tanaman jagung adalah dengan memanfatkannya sebagai sumber pakan komersil dalam bentuk biskuit. Teknologi pengolahan pakan dalam bentuk biskuit dengan bentuk yang kompak diharapkan dapat langsung diberikan kepada ternak ruminansia. Biskuit pakan sumber serat merupakan pakan alternatif untuk mengganti hijauan pakan pada saat musim kemarau dan untuk memenuhi kebutuhan pakan sumber serat sepanjang tahun.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa domba Ekor Tipis jantan yang diberi biskuit daun jagung dan rumput lapang sebagai sumber serat dengan menguji nilai konsumsi, pertambahan bobot badan, konversi dan Income Over Feed Cost.

3 TINJAUAN PUSTAKA

Limbah Tanaman Jagung

Tanaman jagung (Zea mays L.) termasuk dalam famili rumput-rumputan (Graminea). Jagung merupakan tanaman asli Benua Amerika (Purwono dan Purnamawati, 2008). Tanaman jagung di Indonesia sudah dikenal sejak 400 tahun yang lalu, yang pertama kali dibawa oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Tanaman jagung termasuk jenis tumbuhan semusim (annual). Susunan tubuh (morfologi) tanaman jagung terdiri atas akar, batang, daun, bunga, dan buah. Panjang batang berkisar antara 60-300 cm, tergantung pada tipe jagung. Daun jagung tumbuh melekat pada buku-buku batang. Jumlah daun tiap tanaman bervariasi antara 8-48 helai. Ukuran daun berbeda-beda, yaitu panjang antara 30-150 cm dan lebar mencapai 15 cm (Purwono dan Purnamawati, 2008).

Jagung banyak digunakan di bidang peternakan sebagai pakan unggas sedangkan limbahnya sebagai pakan ruminansia. Limbah tanaman jagung berpotensi bagi ternak dan sudah banyak diberikan sebagai pakan ternak. Limbah jagung mempunyai kualitas pakan yang rendah sehingga tidak akan mencukupi kebutuhan pertumbuhan ternak kecuali jika diberi tambahan suplemen pada pakannya. Data statistik pada tahun 2009 menunjukkan bahwa populasi ternak domba di Indonesia mencapai 10.198.766 ekor, Jawa Barat adalah provinsi yang memiliki populasi domba tertinggi yaitu 5.770.661 ekor atau 56,58% dari populasi domba nasional. Produksi daging domba di Jawa Barat sebesar 34.400 ton/tahun atau pemotongan sekitar 1.720.000 ekor domba, merupakan yang tertinggi di seluruh Indonesia (Direktorat Jendral Peternakan, 2011).

Ada beberapa macam limbah tanaman jagung dan produk samping industri berbasis jagung (Umiyasih dan Wina, 2008). Di Indonesia, dikenal istilah lokal untuk beberapa limbah tanaman jagung dan industri jagung, yaitu:

1) Tebon jagung, yaitu seluruh tanaman termasuk batang, daun, dan buah jagung muda yang umumnya dipanen pada umur tanaman 45-65 hari (Soeharsono dan Sudaryanto, 2006). Petani yang hanya memproduksi tebon jagung biasanya bekerjasama dengan pengusaha peternakan. Petani hanya menanam jagung sebagai hijauan dan pada umur tertentu tanaman dipangkas dan dicacah untuk diberikan kepada ternak.

4 2) Jerami jagung atau brangkasan, yaitu bagian batang dan daun jagung yang telah dipanen tongkol jagungnya. Jerami jagung ada yang segar dan ada yang kering. Jerami jagung kering yaitu bagian batang dan daun jagung yang dibiarkan kering di ladang dan dipanen pada saat tongkol dipetik, jerami jagung seperti ini umumnya dijumpai di daerah penghasil benih atau jagung untuk keperluan industri pakan. Jerami jagung segar yaitu bagian batang dan daun jagung yang dipanen masih dalam keadaan hijau yang dihasilkan dari produksi jagung untuk keperluaan pangan.

3) Klobot jagung atau kulit buah jagung, yaitu kulit di luar buah jagung yang biasanya dibuang. Kulit jagung manis sangat potensial untuk dijadikan silase karena kadar gulanya cukup tinggi (Anggraeny et al., 2005).

4) Tongkol jagung atau janggel, yaitu bagian dari buah jagung setelah biji jagung dirontokkan (Rohaeni et al., 2006).

Limbah jagung dengan proporsi terbesar adalah batang jagung (stover) dengan kecernaan bahan kering in vitro terendah. Kulit jagung merupakan limbah dengan proporsi terkecil tetapi mempunyai kecernaan lebih tinggi dibanding limbah lainnya. Basymeleh (2009), melaporkan bahwa limbah tanaman jagung terdiri atas 50% batang, 20% daun, 20% tongkol, 10% klobot. Daun jagung memiliki nilai kecernaan bahan kering in vitro sebesar 58% dengan kandungan protein kasar sekitar 10% dan daun jagung mempunyai palatabilitas yang tinggi (Umiyasih dan Wina, 2008).

Rumput Lapang

Rumput lapang adalah campuran dari beberapa jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrisi yang rendah. Rumput lapang banyak ditemukan di sekitar sawah, ladang, pegunungan, tepi jalan, dan semak-semak. Rumput lapang mudah diperoleh, murah, dan mudah diolah karena tumbuh liar tanpa pembudidayaan, akan tetapi rumput ini memiliki kualitas yang rendah untuk pakan ternak (Wiradarya, 1989).

Hijauan merupakan pakan utama ternak ruminansia yang manfaatnya sangat besar, tercermin dari kesanggupan ternak untuk mengkonversikan hijuan tersebut menjadi protein hewani (Hasanuddin et al., 2002). Oleh karena itu, penyediaan dan pengolahan hijuan pakan secara berkelanjutan perlu mendapatkan perhatian khusus. Supriadi dan Musofie (2005) menyatakan bahwa ketersediaan hijauan sangat

5 tergantung pada musim dan pola tanam yang dilakukan oleh petani. Ketersediaan bahan hijauan di daerah tropis biasanya berlebih pada musim hujan namun kekurangan pada musim kering. Keadaan iklim membuat rumput alam tumbuh subur pada musim hujan dan kualitasnya lebih baik daripada musim kering karena pada musim kering rumput cepat menjadi tua sehingga kualitasnya menjadi rendah (Hasanuddin et al., 2002). Komposisi zat makanan rumput lapang berdasarkan bahan kering menurut Herman (2003) dan Furqaanida (2004) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Zat Makanan Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering

Zat Makanan Herman (2003) Furqaanida (2004)

Kadar (%)

Protein Kasar 9,08 7,75

Lemak Kasar 1,16 1,34

Serat Kasar 35,20 31,46

Beta-N 45,44 50,93

Keterangan: Beta-N = bahan ekstrak tanpa nitrogen

Teknologi Pakan

Teknologi pakan belum banyak dikenal dibandingkan dengan teknologi pangan, karena ilmu yang mendasari teknologi pakan belum semaju teknologi pangan, akan tetapi dengan kemajuan industri pangan teknologi pakan pun mulai berkembang. Teknologi pakan mencakup semua teknologi mulai dari penyediaan bahan pakan sampai ransum diberikan kepada ternak. Ketidakmampuan industri peternakan dalam negeri memenuhi kebutuhan domestik dipengaruhi oleh keterbatasan sebagai berikut: 1) penguasaan teknologi, baik dibidang produksi atau penanganan pasca panen; 2) kemampuan permodalan peternakan; 3) kualitas sumber daya manusia; 4) ketersediaan pakan (Suryana, 2000).

Pengetahuan tentang nutrisi ternak diperlukan dalam teknologi pakan, tetapi ilmu dasar seperti fisika, kimia, dan biologi juga berperan penting dalam formulasi, pengolahan, penyimpanan, evaluasi, dan distribusi pakan. Teknologi didefinisikan sebagai metode atau cara untuk mencapai tujuan praktis berdasarkan ilmu pengetahuan. Dalam prakteknya, teknologi pakan mempunyai tiga cakupan, yaitu: (1) teknologi bahan baku pakan; (2) teknologi pengolahan pakan termasuk formulasi sampai penyimpanan; dan (3) teknologi pengendalian mutu (quality control) pakan.

6 Telah diketahui bahwa biaya pakan dapat mencapai 70% dari biaya produksi ternak, sehingga akan mempengaruhi pendapatan peternak dan menentukan harga jual produk ternak (daging, susu, atau telur). Kendala dalam peningkatan produksi ternak adalah ketersediaan pakan dalam jumlah dan kualitas yang memadai serta harga yang terjangkau (Adawiah et al., 2006). Langkanya sumber pakan pada saat musim kemarau karena kekeringan sehingga rumput sulit tumbuh merupakan salah satu kendala. Disamping itu pada saat musim hujan juga dirasakan ada kendala yaitu terganggunya upaya penyediaan pakan. Kondisi ini menuntut adanya terobosan teknologi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. (Budiarsana et al., 2005).

Transportasi hijauan atau limbah pertanian sering menjadi kendala dalam penyediaan pakan ternak ruminansia. Sumber hijauan atau limbah pertanian sering kali terdapat di suatu daerah yang bukan kantong ternak, sehingga bahan pakan tersebut harus diangkut dari daerah sumber hijauan ke sentra ternak. Hal ini membutuhkan suatu teknologi, karena limbah pertanian atau hijauan bersifat bulky

(kamba) dan kadar airnya tinggi sehingga menyulitkan transportasi/ distribusi hijauan tersebut. Teknologi pengolahan pakan sudah diterapkan pada limbah pertanian untuk memperpanjang masa simpan. Beberapa teknologi pengolahan pakan yang telah dikenal antara lain adalah pembuatan hay, pellet, silase, fermentasi, dan wafer (Umiyasih dan Wina, 2008). Wafer pakan adalah salah satu bentuk pakan ternak yang merupakan modifikasi bentuk cube, dalam proses pembuatannya mengalami pemadatan dengan tekanan dan pemanasan dalam suhu tertentu (Noviagama, 2002).

Biskuit Pakan

Biskuit adalah sejenis makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, melalui proses pemanasan dan pencetakan (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Secara umum biskuit dapat diartikan sebagai produk yang berasal dari serealia yang dipanggang hingga kadar airnya berkurang menjadi 5%. Kata biskuit pada dasarnya sama dengan cookies tetapi memiliki arti yang berbeda berdasarkan cara pembuatannya. Bahan pembentuk biskuit dapat dibagi menjadi dua yaitu bahan pengikat atau pembentuk tekstur yang kompak dan bahan pelembut atau perapuh tekstur (Herdiansyah, 2005).

Biskuit pakan merupakan inovasi bentuk baru produk pengolahan pakan khusus ternak ruminansia. Pemanfaatan biskuit dalam bidang pakan ternak

7 digunakan atas dasar prinsip bentuk menyerupai biskuit pangan yang dibuat dari bahan serat terutama hijauan. Biskuit pakan digunakan sebagai pengganti hijauan segar agar ruminansia dapat memanfaatkan serat ketika jumlah dan kualitas hijauan menurun (Firki, 2010).

Biskuit pakan diproduksi melalui proses pemanasan dan pengempaan dengan suhu dan tekanan dalam waktu tertentu. Pemanasan biskuit termasuk ke dalam proses dry heating yaitu pemanasan yang dilakukan tanpa penambahan minyak atau lemak. Teknik pemasakan biskuit dengan cara meletakkan bahan adonan ke dalam mesin pencetak dengan elemen panas yang terletak di bagian bawah. Pemindahan panas yang terjadi terdiri dari tiga mekanisme, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi (Retnani, 2010). Penekanan dalam proses pencetakan biskuit pakan bertujuan untuk merekatkan bahan perekat molases dengan bahan pakan hijauan karena penekanan dilakukan untuk menciptakan ikatan antara permukaan bahan perekat dan bahan yang direkat (Wati, 2010).

Biskuit pakan memiliki warna hijau kecoklatan. Warna coklat pada biskuit pakan disebabkan adanya reaksi browning karena pemanasan mesin biskuit, sedangkan aroma harum yang timbul pada biskuit pakan disebabkan adanya molases dalam campuran formulasi biskuit pakan (Aisyah, 2010). Bentuk biskuit pakan yang tipis dan kompak diharapkan dapat: (1) memberikan nilai tambah karena dapat memanfaatkan limbah pertaniaan dan perkebunan, (2) memudahkan dalam penanganan, penyimpanan, dan transportasi, (3) menurunkan biaya transportasi karena adanya proses penekanan sehingga meningkatkan ukuran berat per volume bahan hijauan pakan, (4) menggunakan teknologi yang sederhana dengan proses operasi yang mudah.

Keuntungan biskuit adalah tidak mudah rusak oleh faktor biologis karena mempunyai kadar air sekitar 11,4%. Aisyah (2010), menyatakan bahwa biskuit pakan yang disimpan selama sembilan minggu tidak mengalami kerusakan fisik berupa warna dan aroma. Biskuit pakan ketersediannya dapat berkesinambungan karena sifatnya yang awet dapat bertahan cukup lama, sehingga dapat mengantisipasi ketersediaan pakan pada musim kemarau serta dapat dibuat pada saat musim hujan ketika hasil hijauan makanan ternak dan produk pertanian melimpah. Selain itu,

8 kemudahan dalam penanganan biskuit pakan karena bentuknya yang padat kompak sehingga memudahkan dalam penyimpanan dan transportasi (Wati, 2010).

Domba

Ternak domba termasuk dalam phylum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, subfamili Cuprinae, famili Bovidae, genus Ovis dan spesies Ovis aries (Damron, 2006). Menurut Freer dan Dove (2002), domba merupakan ternak yang pertama kali didomestikasi, dimulai dari daerah Kaspia, Iran, India, Asia Barat, Asia Tenggara dan Eropa sampai ke Afrika. Di Indonesia, domba dikelompokkan menjadi (1) domba Ekor Tipis (Javanese thin tailed), (2) domba Ekor Gemuk (Javanese fat tailed), dan domba Priangan atau domba Garut (Salamena, 2003). Salah satu bangsa domba yang banyak dipelihara di Indonesia adalah domba Ekor Tipis (Arifin et al., 2007).

Karakteristik domba Ekor Tipis diantaranya bertubuh kecil; warna bulunya putih dan biasanya memiliki bercak hitam di sekeliling matanya, selain itu pola warna belangnya bervariasi mulai dari bercak, belang dan polos; dan domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar (Mulyono, 1999). Domba Ekor Tipis termasuk golongan domba kecil dengan bobot potong sekitar 20-30 kg, sedangkan betinanya adalah 15-20 kg. Menurut Purbowati et al. (2005), bobot dewasa domba Ekor Tipis dapat mencapai 30-40 kg pada jantan dan 20-25 kg pada betina dengan persentase karkas berkisar antara 44%-49%. Domba Ekor Tipis termasuk ternak yang telah lama dipelihara oleh peternak karena domba ini memiliki toleransi tinggi terhadap bermacam-macam hijauan pakan ternak serta daya adaptasi yang baik terhadap berbagai keadaan lingkungan sehingga memungkinkan dapat hidup dan berkembangbiak sepanjang tahun (Purbowati et al., 2005).

Usaha peternakan domba merupakan model pabrik kecil bagi sebagian masyarakat pedesaan untuk menghasilkan produk utama berupa daging. Hasil lain yang dapat diperoleh dari ternak domba selain daging yaitu kulit, bulu dan kotorannya yang berfungsi sebagai pupuk kandang. Menurut Mulyono (1999) ternak domba memiliki kelebihan yang dapat diperoleh, antara lain: (1) domba mudah beradaptasi terhadap lingkungan walaupun Indonesia terletak di daerah tropis; (2) domba cepat berkembang biak karena dalam kurun waktu dua tahun dapat beranak

9 tiga kali, sekali beranak dapat mencapai dua ekor; dan (3) modal kecil dan dapat dijadikan sebagai tabungan.

Konsumsi Pakan

Tingkat konsumsi (voluntary feed intake) adalah jumlah pakan yang dikonsumsi apabila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum. Konsumsi merupakan faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam pakan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1991), konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, dimana zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut. Jumlah pakan yang layak diberikan perlu diperkirakan, karena pemberian pakan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit akan merugikan. Pemberian pakan yang baik adalah sesuai dengan kebutuhan nutrisi tubuh domba yang digunakan dalam proses metabolismenya (Hasanah, 2006). Kebutuhan harian zat makanan ternak domba berdasarkan NRC (1985) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Zat Makanan Harian Ternak Domba BB (kg) PBB (g/hari) BK Energi PK (g) Ca (g) P (g) (kg) %BB ME (Mkal) TDN (kg) 10 200 0,5 5,0 1,4 0,4 127 4,0 1,9 20 250 1,0 5,0 2,9 0,8 167 5,4 2,5 30 300 1,3 4,3 3,6 1,0 191 6,7 3,2 Sumber : NRC (1985)

Keterangan : BB = bobot badan, PBB = pertambahan bobot badan, BK = bahan kering, PK = protein kasar, Ca = calcium, P = phosphor.

Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh makanan yang diberikan, bobot badan atau besarnya tubuh, bobot badan dewasa, jenis kelamin, umur, faktor genetik, tipe bangsa dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara. Semakin besar bobot badan maka kapasitas saluran pencernaan akan semakin meningkat sehingga mampu menampung pakan dalam jumlah lebih banyak (Elita, 2006)

10 Konsumsi Bahan Kering

Kebutuhan ternak akan zat-zat gizi bervariasi antar spesies ternak dan umur fisiologis yang berlainan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan adalah keadaan fisiologis ternak, makanan yang diberikan dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan zat gizi antara lain adalah jenis kelamin, tingkat produksi, keadaan lingkungan serta aktivitas fisik ternak (Hasanah, 2006). Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi tingkat konsumsi, konsumsi akan menurun pada keadaan suhu panas dan akan meningkat dalam keadaan suhu dingin. Kandungan air pakan akan mempengaruhi jumlah konsumsi pada ternak. Sifat bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptik seperti penampakan, bau, rasa, tekstur, dan temperaturnya dapat menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengkonsumsinya (Yusmadi et al., 2008).

Kebutuhan bahan kering per ekor per hari untuk domba Indonesia dengan bobot badan 10-20 kg adalah 3,1%-4,7% dari bobot badan untuk pertambahan bobot badan harian 50-100 g (Haryanto dan Djajanegara, 1993). Menurut NRC (1985) domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan BK 0,5-1 kg.

Konsumsi dan nilai gizi makanan meningkat dengan penambahan konsentrat dalam pakan. Pakan tanpa konsentrat akan menunjukkan konsumsi bahan kering yang rendah. Domba yang setiap hari diberi pakan hijauan berupa rumput gajah kering udara dan konsentrat menghasilkan konsumsi bahan kering harian berkisar 651 g/ekor/hari (Rianto et al., 2006). Arifiyanti (2002) dalam penelitiannya menyatakan konsumsi bahan kering domba yang diberi pakan hijauan berupa rumput lapang dan konsentrat adalah 646±12,8 g/ekor/hari.

Menurut Parakkasi (1999), bahwa pakan yang berkualitas baik tingkat konsumsinya lebih tinggi dibandingkan dengan pakan berkualitas rendah sehingga kualitas pakan yang relatif sama maka tingkat konsumsinya tidak jauh berbeda. Pakan dengan struktur yang halus akan memudahkan mikroorganisme di dalam rumen untuk mencerna lebih cepat, sehingga rumen pun lebih cepat kosong, hal tersebut menyebabkan tingkat konsumsi pakan domba meningkat (Mulyaningsih, 2006). Tillman et al. (1991) menambahkan semakin banyak bahan yang dapat

11 dicerna berarti lebih cepat aliran digesta dan menyebabkan tersedia kembali ruangan untuk penambahan pakan.

Konsumsi Protein Kasar

Protein merupakan unsur penting dalam tubuh hewan dan diperlukan terus menerus untuk memperbaiki sel dalam proses sintesis (NRC, 1985). Fungsi dari protein antara lain untuk membangun dan memelihara protein jaringan dan organ tubuh, menyediakan energi dalam tubuh, menyediakan sumber lemak badan dan menyediakan asam amino (Tillman et al., 1991). Protein berfungsi sebagai zat pembangun atau pertumbuhan, zat pengatur dan mempertahankan daya tahan tubuh (Hasanah, 2006).

Purbowati et al. (2007) menyatakan bahwa konsumsi PK sejalan dengan konsumsi bahan keringnya, karena konsumsi nutrient tersebut dipengaruhi oleh konsumsi BK dan kandungan pakan tersebut. Arifin et al. (2007) menyatakan hal yang sama bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi PK adalah konsumsi BK dan kandungan PK dalam ransum. Haryanto dan Djajanegara (1992) menyatakan bahwa, kebutuhan protein kasar untuk domba dengan bobot badan sebesar 10-20 kg dengan pertambahan bobot badan 50-100 g/ekor/hari membutuhkan protein kasar sebesar 73,7-135,8 g/ekor/hari, sedangkan menurut NRC (1985), domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan protein 127-167 g/hari untuk pertambahan bobot badan sebesar 200-250 g/ekor/hari.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan (PBB) berhubungan erat dengan pertumbuhan. Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan yang dilakukan dengan penimbangan berulang yaitu tiap hari, tiap minggu, atau tiap bulan (Tillman et al., 1991). Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas pakan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zat-zat makanan dari pakan yang diberikan. Pada ternak muda pertambahan bobot badan merupakan salah satu tujuan penting yang ingin dicapai. Kelebihan makanan yang berasal dari kebutuhan hidup pokok akan digunakan untuk meningkatkan bobot

Dokumen terkait