• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1. Struktur organisasi pelatnas Garuda Emas 2012 ... 57 2. Kategori pengukuran data kebugaran ... 58 3. Karakteristik atlet taekwondo ... 59 4. Status gizi atlet taekwondo ... 60 5. Konsumsi zat gizi atlet taekwondo ... 61 6. Tingkat kecukupan atlet taekwondo ... 62 7. Tingkat kebugaran atlet taekwondo ... 63 8. Uji beda Independent t-test status gizi antar jenis kelamin ... 64 9. Uji beda Independent t-test tingkat kecukupan zat gizi antar jenis kelamin ... 65 10. Uji beda Independent t-test tingkat kebugaran antar jenis kelamin ... 67 11. Uji Korelasi Pearson antara tigkat kecukupan zat gizi dengan nilai VO2

max ... 68 12. Uji Korelasi Pearson antara tigkat kecukupan zat gizi dengan nilai

flexibility ... 68 13. Uji Korelasi Pearson antara tigkat kecukupan zat gizi dengan nilai daya

tahan otot ... 69 14. Uji Korelasi Pearson antara status gizi dengan tingkat kebugaran ... 69 15. Uji Korelasi Pearson antara usia dengan tingkat kebugaran ... 70 16. Uji Korelasi Pearson antara berat badan dengan tingkat kebugaran ... 70 17. Uji Korelasi Pearson antara tinggi badan dengan tingkat kebugaran ... 70

Olahraga adalah aktifitas fisik atau jasmani yang memilki peranan penting dalam meningkatkan kebugaran dan stamina tubuh. Seseorang yang memiliki kebugaran dan stamina tubuh yang baik terutama pada atlet olahraga akan menghasilkan suatu prestasi yang baik pula. Pencapaian prestasi yang diraih oleh atlet-atlet perwakilan suatu bangsa di suatu kompetisi olahraga ikut berperan dalam membangun kejayaan bangsa.

Atlet berprestasi didukung oleh banyak faktor diantaranya latihan dan pembinaan terprogram secara berkesinambungan serta gizi yang memadai. Pengaturan gizi olahraga bertujuan untuk memperoleh latihan dan performa yang baik. Dalam pengaturan gizi atlet, kebutuhan zat gizi akan berbeda dibandingkan dengan kelompok bukan atlet. Zat gizi yang dibutuhkan pada dasarnya tidak berlebihan namun disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, aktifitas serta jenis olahraga yang ditekuninya (Depkes 1993). Konsumsi pangan yang dapat memenuhi tingkat kecukupan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dapat mempengaruhi status gizi atlet. Konsumsi dan status gizi pada atlet memiliki peran penting selain mempertahankan kebugaran, juga untuk meningkatkan prestasi pada cabang olahraga yang ditekuninya.

Menurut Sumosardjuno (1992) kebugaran atau kesegaran jasmani adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari dengan mudah, tanpa merasa lelah yang berlebihan, dan masih mempunyai sisa atau cadangan tenaga untuk keperluan yang mendadak. Dengan memiliki fisik sehat dan bugar, maka seseorang dapat menjalankan aktivitas harian secara optimal. Pengukuran kebugaran dapat dilakukan pada komponen daya tahan kardiorespiratori (VO2

max), komposisi tubuh, kekuatan dan daya tahan otot serta kelentukan (Fatmah & Ruhayati 2011).

Salah satu olahraga yang memerlukan kebugaran tubuh yang optimal adalah olahraga taekwondo. Menurut Kazemi et al (2010), taekwondo merupakan seni bela diri unik yang ditunjukkan dengan penggunaan tendangan dan teknik yang dominan. Pada cabang olahraga taekwondo, atlet harus mampu bergerak dengan kelincahan, kecepatan dan kekuatan yang tinggi. Pemusatan latihan nasional untuk cabang olahraga taekwondo dilaksanakan di Cipayung, Bogor. Pelatihan tersebut bertujuan untuk memberikan serangkaian kegiatan yang menunjang untuk pengembangan kemampuan dan strategi untuk

menghadapi pertandingan. Selain diberikan pembinaan dan pelatihan, atlet mendapatkan asuhan gizi berupa pemberian makanan penunjang. Asuhan gizi serta kebugaran jasmani yang baik akan secara langsung memberikan dampak positif bagi prestasi atlet. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui hubungan konsumsi pangan dan status gizi dengan tingkat kebugaran atlet taekwondo remaja di pemusatan latihan nasional Cipayung, Bogor.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsumsi pangan dan status gizi dengan tingkat kebugaran atlet taekwondo remaja di pemusatan latihan nasional Cipayung, Bogor.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik atlet taekwondo remaja meliputi jenis kelamin, usia, daerah asal, berat badan, dan tinggi badan.

2. Mengetahui konsumsi pangan dan tingkat kecukupan gizi pada atlet taekwondo remaja di pemusatan latihan nasional Cipayung, Bogor.

3. Mengetahui status gizi pada atlet taekwondo remaja di pemusatan latihan nasional Cipayung, Bogor.

4. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan zat gizi dan status gizi dengan tingkat kebugaran atlet (VO2 max, kelentukan / flexibility, dan daya tahan otot) di pemusatan latihan nasional Cipayung, Bogor.

Hipotesis

1. Atlet remaja dengan status gizi pada kisaran normal memiliki performa yang lebih baik pada tes kebugaran jasmani dibandingkan dengan atlet yang memiliki status gizi pada kisaran kurus atau gemuk.

2. Terdapat hubungan positif antara tingkat kecukupan gizi dan tingkat kebugaran atlet taekwondo remaja.

Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kebutuhan gizi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan atlet meningkatkan performa dan menunjang prestasi dalam bidang yang dijalaninya. Adapun manfaat yang akan diperoleh bagi penelitian ini adalah:

1. Bagi atlet taekwondo di pemusatan latihan nasional akan memperoleh informasi tentang bagaimana asupan yang cukup berperan penting dalam menjaga kualitas performa.

2. Bagi pemusatan latihan nasional (pelatnas) dapat memberikan gambaran mengenai kecukupan gizi dan pentingnya gizi yang baik bagi setiap atlet, dan diharapkan dapat memberikan masukan dalam peningkatan prestasi.

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh dewasa”. Secara lebih luas, remaja mencakup usia kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Awal masa remaja berlangsung pada usia 13 tahun hingga 17 tahun, dan akhir masa remaja berlangsung dari usia 17 tahun hingga 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum (Hurlock 2000). Menurut Almatsier et al. (2011) rentang usia remaja adalah 10-18 tahun. Masa remaja merupakan masa perubahan serta peningkatan pertumbuhan yang disertai dengan perubahan-perubahan hormonal, kognitif, dan emosional. Usia remaja merupakan periode rentan gizi karena berbagai sebab yaitu remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena peningkatan pertumbuhan dan perkembangan fisik, perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan remaja mempengaruhi asuan dan kebutuhan gizinya, remaja mempunyai kebutuhan gizi khusus yaitu remaja yang aktif dalam kegiatan olahraga, menderita penyakit kronis, sedang hamil, melakukan diet secara berlebihan, pecandu alkohol atau obat terlarang.

Sebagai seorang remaja yang sedang mengalami pertumbuhan fisik yang pesat, kebutuhan energi akan lebih besar karena selain energi diperlukan untuk pertumbuhan fisiknya, juga karena lebih banyak melakukan aktifitas fisik, seperti olahraga dan bermain, selain kegiatan rutin sebagai pelajar. Menurut Tirtawinata dan Soerjodibroto (1981) dalam Helinda (2000), bagi seorang olahragawan remaja, karena masih dalam masa pertumbuhan, maka jumlah makanan yang seimbang akan menunjang pertumbuhan fisik semaksimal mungkin. Diharapkan dengan demikian tubuh akan mencapai bentuk yang paling optimal bagi cabang olahraga yang ditekuni ole masing-masing olahragawan.

Olahraga Taekwondo

Taekwondo, adalah salah satu dari banyak bentuk seni bela diri yang awalnya dikembangkan lebih dari 120 abad yang lalu di Korea. Kata Taekwondo berasal dari kata “tae” untuk memukul menggunakan kaki, “kwon” memukul menggunakan tinju, dan “do” untuk melakukan dengan mengacu pada seni. Istilah ini secara langsung diterjemahkan ke dalam seni menendang dan meninju. Taekwondo merupakan seni bela diri yang unik dengan menggunakan tendangan dan teknik yang dominan. Beberapa waktu terakhir, taekwondo telah

berubah dari kemampuan bela diri Korea selama perang menjadi olahraga internasional yang diakui (Lee MG & Kim MG 2007).

Taekwondo merupakan cabang olahraga yang menyajikan kategori berat badan yang dapat disebut juga weight cycling misalnya terjadi kehilangan berat badan secara cepat akibat beberapa metode yaitu mengkonsumsi makanan secara terbatas atau keadaan dehidrasi yang ekstrim (Rossi et al. 2009). Pada cabang olahraga ini terdapat pengklasifikasian / pengelompokan jenis pertandingan menurut berat badan atlet. Taekwondo berkaitan langsung dengan kemampuan untuk bergerak secara licah, cepat dan kuat. Dalam suatu pertandingan, seorang atlet harus menguasai teknik menyerang dan bertahan. Kemampuan tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam perolehan nilai selama pertandingan. Menurut Kazemi et al. (2010), dalam taekwondo, nilai dapat diperoleh dengan menggunakan teknik kaki yaitu dengan menggunakan beberapa bagian kaki seperti bagian bawah pergelangan kaki atau teknik meninju ke bagian tubuh lawan. Pada tahun 2003, peraturan berubah untuk memperkenalkan peningkatan perolehan nilai. Penambahan 2 poin untuk setiap teknik yang mengarah ke bagian kepala, dan 1 poin untuk teknik yang mengarah bagian badan.

Penilaian Status Gizi Secara Antropometri

Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Banyak cara untuk melakukan penilaian status gizi terhadap individu yaitu dengan cara penilaian status gizi secara antropometri, secara biokimia, secara klinis dan juga dengan asupan pangan (Arisman 2004).

Menurut Gibson (2005) metode antropometri merupakan pengukuran ukuran tubuh dan komposisi tubuh secara kasar. Pengukuran ini dapat berubah-ubah sesuai dengan usia dan juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Antropometri merupakan salah satu metode yang digunakan dalam melakukan penilaian status gizi secara langsung. Pengukuran antropometri mempunyai keuntungan dalam menyediakan informasi status gizi pada masa lampau yang tidak dapat diperoleh dengan teknik penilaian yang lain. Pengukuran antropometri dapat digunakan dengan cepat, mudah, dan dapat dipercaya. Metode antropometri menggunakan pengukuran-pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh. Pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan derajat gizi,

sehingga bermanfaat terutama pada keadaan dimana terjadinya ketidakseimbangan energi dan protein secara kronis. Antropometri juga dapat digunakan untuk mendeteksi malnutrisi derajat sedang dan berat. Keuntungan lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan informasi tentang riwayat gizi masa lampau, hal ini tidak dapat diperoleh (dengan tingkat kepercayaan yang sama) dengan menggunakan teknik penilaian lainnya (Riyadi 2003).

Penilaian status gizi dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit yang berkaitan dengan asupan gizi. Penilaian status gizi adalah upaya menginterpretasikan semua informasi yang diperoleh melalui beberapa cara yaitu penilaian antropometri, konsumsi pangan, biokimia, dan klinik. Informasi ini dapat digunakan untuk menetapkan status kesehatan individu atau kelompok penduduk yang dipengaruhi oleh konsumsi dan utilisasi zat gizi (Gibson 2005).

Pengukuran antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh (triceps, biceps, subscapula dan suprailiac). Pengukuran antropometri bertujuan untuk mengetahui status gizi berdasarkan satu ukuran menurut ukuran lainnya, misalnya berat badan dan tinggi badan menurut umur, berat badan menurut tinggi badan, lingkar lengan atas menurut umur, dan lingkar lengan atas menurut tinggi badan. Pengukuran status gizi secara antropometri merupakan cara yang paling sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, yaitu : alat mudah diperoleh, pengukuran mudah dilakukan, biaya murah, hasil pengukuran mudah disimpulkan, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu (Irianto 2007). Menurut WHO (2007) pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga 19 tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U). Nilai indeks massa tubuh menurut IMT/U disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kategori status gizi menurut IMT/U berdasarkan WHO (2007)

Kategori IMT/U Simpangan baku

Obese >+2 SD

Gemuk +1 SD sampai dengan +2 SD

Normal -2 SD sampai dengan +1 SD

Kurus -3 SD sampai <-2 SD

Sangat kurus <-3 SD

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan,

masalah pengupahan (kebutuhan hidup minimal), ukuran kemiskinan, serta perencanaan ketersediaan dan produksi pangan daerah (Hardinsyah et al. 2002). Konsumsi pangan diartikan sebagai jumlah makanan yang dinyatakan dalam bentuk energi dan zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral). Konsumsi makanan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan masalah gizi. Konsumsi makanan adalah faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang (Soediaoetama 2008).

Survei atau penilaian konsumsi pangan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan tingkat asupan gizi perorangan atau kelompok. Dalam melakukan penilaian konsumsi pangan banyak terjadi bias yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketidaksesuaian dalam menggunakan alat ukur, waktu pengumpulan data yang tidak tepat, instrumen tidak sesuai dengan tujuan, kemampuan dalam mengumpulkan data, daya ingat responden, dan daftar komposisi makanan yang digunakan tidak sesuai dengan makanan yang dikonsumsi responden sehingga interpretasi hasil yang kurang tepat. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang baik dalam melakukan survei konsumsi pangan baik untuk individu, kelompok, maupun rumah tangga. Walaupun data konsumsi pangan sering digunakan sebagai salah satu metode penentuan status gizi, namun survei konsumsi tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat secara langsung. Metode kuantitatif juda dapat menghitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM), dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM). Metode pengukuran konsumsi makanan bersifat kualitatif antara lain metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon (recall), metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa et al. 2001).

Recall selama 24 jam dapat dilakukan secara berulang dalam waktu yang berbeda dalam setahun untuk memperkirakan rata-rata konsumsi pangan individu untuk jangka waktu yang lebih panjang. Jumlah pengulangan yang dibutuhkan untuk menggambarkan kebiasaan asupan gizi bergantung pada derajat presisi yang diinginkan serta zat-zat gizi dan kelompok populasi yang ingin diteliti. Pada umumnya, bila prosedur penentuan sampel dilakukan baik dengan memperhitungkan pengaruh akhir pekan, musim, dan hari libur terhadap

pola makan, sehingga hasilnya dapat memperkirakan konsumsi pangan secara keseluruhan (Almatsier et al. 2011).

Pada olahragawan, pengaturan makanan yang tepat berdasarkan cabang olahraganya akan menunjang performa dan prestasi para olahragawan. Makanan yang baik bagi para olahragawan adalah makanan yang seimbang (balanced diet), yaitu makanan yang disusun tidak hanya disesuaikan dengan kebutuhan energi dalam bentuk kalori saja tetapi juga harus memperhatikan komposisi makanannya (Depkes 1993).

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Atlet

Menurut Almatsier (2005) aktifitas fisik memerlukan energi di luar kebutuhan untuk metabolisme basal. Pada saat melakukan aktifitas fisik, otot memerlukan tambahan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan selama aktifitas fisik bergantung pada banyaknya otot yang bergerak, berapa lama, dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan. Oleh sebab itu, kecukupan gizi seseorang yang melakukan aktifitas fisik seperti atlet lebih besar dibandingkan orang biasa.

Energi

Energi dibutuhkan antara lain untuk metabolism basal (BMR = Basal Metabolism Rate) dan aktifitas fisik. Kebutuhan gizi menggambarkan jumlah zat gizi minimal yang diperlukan oleh masing-masing individu. Konsumsi energi berada di atas atau di bawah kebutuhan secara terus menerus, maka berat badan atau komposisi badan akan mengalami perubahan (Karyadi & Muhilal 1991). Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004), angka kecukupan energi adalah rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh (berat), dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat. Pada olahragawan yang sedang melakukan latihan, dibutuhkan kurang lebih 3000-3500 kkal per hari (Sumosardjuno 1990). Menurut rekomendasi ADA (2001) dalam Kazemi et al. (2010), asupan energi untuk individu yang memiliki aktifitas fisik tinggi dapat bervariasi antara 2000-6000 kkal/hari.

Karbohidrat

Hidrat arang merupakan sumber energi utama bagi manusia sehingga dapat disebut juga dengan zat tenaga. Hidrat arang yang terdapat dalam

makanan adalah pati, sukrosa, laktosa, dan fruktosa (Beck 2011). Pada atlet, kecukupan zat gizi berbeda dari rata-rata masyarakat karena aktifitas atlet tidak sama dengan masyarakat umum serta terdapat kondisi-kondisi tertentu pada atlet yang harus ditunjang oleh nutrisi yang tepat. Energi diperlukan antara lain untuk metabolisme basal dan aktifitas fisik. Energi pada manusia sebagian besar berasal dari makanan sumber hidrat arang (Depkes 1993).

Para pekerja berat termasuk olahragawan yang melakukan aktifitas berat, kebutuhan karbohidratnya dapat mencapai 9-10 gr/kg BB/hari atau kurang lebih 70% dari kebutuhan energi keseluruhan setiap hari dan sebaiknya mengandung karbohidrat kompleks. Sekitar 80% atau lebih karbohidrat yang diberikan sebaiknya berupa karbohidrat kompleks dan gula sederhana sebaiknya kurang dari 20% (Irianto 2007). Menurut Degoutte et al. (2003), meskipun konsumsi ideal untuk taekwondo belum ditetapkan, asupan rendah dapat mencegah resintesis glikogen dan kurang dari 500 g/hari adalah jumlah yang cukup untuk menggantikan kehilangan setelah latihan.

Protein

Protein tersusun dari karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Protein dalam makanan merupakan satu-satunya sumber nitrogen bagi tubuh. Protein dalam makanan mampu menggantikan protein yang hilang selama proses metabolisme yang normal serta dapat digunakan sebagai sumber energi (Beck 2011). Olahragawan yang sedang dalam masa pertumbuhan akan berkembang dengan baik apabila diberikan protein yang cukup untuk perkembangan tubuhnya, termasuk otot-ototnya. Protein sebanyak kurang lebih 20% dalam makanan adalah sangat baik (Sumosadjuno 1990).

Menurut Irianto (2007), atlet dari cabang olahraga yang memerlukan kekuatan dan kecepatan perlu mengonsumsi 1,2-1,7 gr/kg BB/hari dan atlet endurance memerlukan protein 1,2-1,4 gr/kg BB/hari. Proporsi protein berubah sesuai dengan jumlah energi total perhari yang meningkat dan sebaiknya separuhnya berasal dari protein hewani. Atlet juga sebaiknya mengkonsumsi pangan yang bervariasi untuk meningkatkan kualitas protein. Akan tetapi, atlet tidak dianjurkan mengkonsumsi pangan sumber protein dalam jumlah berlebih. Asupan protein yang berlebih akan diubah menjadi lemak tubuh dan menyebabkan diuresis sehingga dapat menyebabkan dehidrasi (Depkes 1993).

Lemak

Lemak merupakan sumber energi yang dipadatkan. Lemak memiliki nilai energi yang paling tinggi jika dibandingkan dengan hidrat arang atau karbohidrat., protein, ataupun alkohol (Beck 2011). Kebutuhan lemak sangat baik apabila komposisi lemak yang terdiri dari lemak jenuh dan tak jenuh seimbang (Sumosardjuno 1989). Latihan olahraga dapat meningkatkan kapasitas otot dalam menggunakan lemak pada waktu melakukan kegiatan olahraga yang lama yang mampu melindungi pemakaian glikogen dan memperbaiki kapasitas ketahanan fisik.

Kebutuhan lemak tidak dinyatakan secara mutlak, akan tetapi seseorang yang berprofesi bukan sebagai atlet sebaiknya mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak 15-30%, sedangkan kebutuhan lemak atlet berkisar antara 20-25% dari total energi yang dibutuhkan (Depkes 1993). Konsumsi energi dari lemak dianjurkan tidak lebih dari 30% total energi per hari (Irianto 2007). Menurut ADA (1993), secara umum, asupan lemak pada atlet dan praktisi dengan aktifitas fisik tinggi tidak boleh melebihi 30% dari total energi atau 1 g/kg/hari, proporsi tersebut terdiri dari asam lemak esensial (10 % dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh rantai panjang).

Vitamin

Vitamin adaah zat-zat rganik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah yang sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu, harus diperoleh dari bahan makanan. Vitamin bersifat organik sehingga vitamin dapat rusak karena penyimpanan dan pengolahan. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur pertumbuhan dan pemelihara kehidupan. (Almatsier 2005). Menurut Fatmah dan Ruhayati (2011) pada aktifitas olahraga, kegiatan metabolisme zat gizi akan terjadi peningkatan seiiring dengan meningkatnya kebutuhan akan zat-zat gizi termasuk vitamin. Vitamin berperan dalam mengatur fungsi tubuh, misalnya memacu dan memelihara : pertumbuhan, reproduksi, kesehatan dan kekuatan tubuh, stabilitas sistem syaraf, selera makan, pencernaan, dan penggunaan zat-zat makanan lainnya. Selain itu vitamin berperan sebagai antioksidan yakni zat untuk menghindarkan terjadinya radikal bebas. Jenis vitamin yang termasuk zat antioksidan diantaranya vitamin A, dan vitamin C (Irianto 2007).

Vitamin A. Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang pertama ditemukan dan merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan

prekursor / provitamin A / karotenoid yang mempunyai aktifitas biologik seperti retinol. Fungsi utama dari vitamin A adalah sebagai bagian yang vital pada sistem penglihatan (Wolinsky & Driskell 2006). Vitamin A selain berperan dalam proses penglihatan juga berperan dalam kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, dan pencegahan penyakit kanker dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung (Almatsier 2005).

Bagi atlet, vitamin A sangat berperan penting dalam diferensiasi sel, oleh sebab itu asupan vitamin A yang cukup sangat diperlukan dalam peningkatan performa atlet dan pemulihan latihan. Menurut Wolinsky dan Driskell (2006) asupan vitamin A yang dianjurkan bagi atlet yang berumur diantara 14-18 tahun sebaiknya lebih dari 900 µgRE dan tidak melebihi 2800 µgRE.

Vitamin C. Vitamin C atau yang biasa dikenal dengan nama asam askorbat merupakan salah satu vitamin larut air yang berfungsi dalam sintesis kolagen, katekolamin, serotonin dan karnitin di dalam tubuh. Vitamin C atau asam askorbat merupakan antioksidan yang sangat kuat dalam menangkal radikal bebas. Vitamin C juga berguna dalam absorbsi, peredaran, dan juga cadangan zat besi, serta dibutuhkan untuk pembentukan jaringan ikat (Beck 2011). Dalam aktifitas, vitamin C berguna dalam stimulasi sistem imun, mengurangi kelelahan dan kelemahan otot, meningkatkan performa, dan melindungi sel dari ancaman radikal bebas (Chen 2000). Olahragawan perlu mengonsumsi vitamin yang lebih besar, karena konsumsi vitamin C yang cukup dapat menghambat terbentuknya asam laktat dalam otot yang dapat menyebabkan kelelahan (Sumosardjuno 1990).

Kecukupan vitamin C yang dianjurkan WKNPG 2004 untuk pria remaja adalah sebanyak 50-90 mg per hari, sedangkan untuk wanita remaja adalah sebanyak 50-75 mg per hari. Namun jumlah tersebut dapat melebihi anjuran, hal ini dikarenakan terdapat beberapa aktifitas fisik yang terkadang menurunkan

Dokumen terkait