National Training Cipayung, Bogor. SUPERVISED by BUDI SETIAWAN and MIRA DEWI.
The general objective of study was to analyze food consumption, adequacy ratio, nutritional status, and fitness level of adolescents taekwondo athletes in Centralization of National Training Cipayung, Bogor. The research used cross sectional study design with 23 adolescents athletes as samples. The primary data included characteristic of samples, nutritional status by anthropometry (body mass index), and food consumption. The secondary data included fitness level by bleep test (VO2 max values), sit and reach test
(flexibility), sit up and squat jump (muscle endurance), and overview of the study site which was Centralization of National Training. The study showed that overall athletes has normal nutritional status. Most athletes were lack of sufficient levels of energy and protein. There was positive correlations between the ages of athletes with flexibility (p<0,05, r=0,456) and muscle endurance (sit up test) (p<0,05, r=0,456). The correlations between with fitness level (VO2 max) was
positive significantly correlated (p<0,05, r=0,456).
RINGKASAN
APRILIA PITRIANI. Hubungan Konsumsi Pangan dan Status Gizi dengan Tingkat Kebugaran Atlet Taekwondo Remaja di Pemusatan Latihan Nasional Cipayung, Bogor. Dibimbing oleh BUDI SETIAWAN dan MIRA DEWI.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsumsi pangan dan status gizi dengan tingkat kebugaran atlet taekwondo remaja di pemusatan latihan nasional Cipayung, Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) mengetahui karakteristik atlet meliputi jenis kelamin, daerah asal, usia, berat badan, dan tinggi badan, 2) mengetahui konsumsi pangan dan tingkat kecukupan gizi, 3) mengetahui status gizi, 4) menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan zat gizi dan status gizi dengan tingkat kebugaran atlet (VO2
max, flexibility dan daya tahan otot).
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juni 2012 di Cipayung, Bogor. Penarikan contoh dilakukan dengan menggunakan metode Purposive Sampling. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan contoh dan penyebaran kuesioner. Data primer antara lain : data karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan daerah asal), data konsumsi pangan (food recall 1 x 24 jam selama 3 hari). Data sekunder diperoleh dari data administrasi pemusatan latihan nasional, Cipayung, Bogor yang meliputi data keadaan umum dan susunan keorganisasian di pemusatan latihan nasional taekwondo, serta data kebugaran (VO2 max, flexibility, dan daya tahan otot). Pengolahan menggunakan program Microsoft Excell dan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16.0 for windows. Hubungan antar variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Pearson serta uji beda Independent T-Test. Data status gizi contoh (IMT/U) diolah dari data antropometri menggunakan software WHO Antroplus dan diklasifikasikan menurut klasifikasi WHO (WHO 2007).
Atlet taekwondo remaja di pemusatan latihan nasional (pelatnas) terdiri dari laki-laki (43,5%) dan perempuan (56,5%). Rata-rata usia atlet laki laki yaitu 16,22 ± 1,05 tahun dan rata-rata usia atlet perempuan yaitu 15,46 ± 1,67 tahun. Daerah asal atlet terdiri dari Jawa Tengah (43,5%), Jawa Barat (34,8%), D.I Yogyakarta (8,7%), Riau (8,7%) dan Sumatera Selatan (4,3%). Rata-rata berat badan atlet laki laki 50,67 ± 4,15 kg dan rata-rata berat badan atlet perempuan yaitu 54,80 ± 3,87 kg. Tinggi badan atlet laki-laki yaitu 168,50 ± 3,24 cm dan rata-rata tinggi badan atlet perempuan yaitu 160,47 ± 3,24 cm. Secara keseluruhan atlet pelatnas taekwondo memiliki status gizi yang normal.
kecukupan karbohidrat pada atlet laki-laki sebagian besar berada pada kategori >70% dari kebutuhan energi (50,0%) sedangkan sebagian besar atlet perempuan berada pada kategori >70% dari kebutuhan energi (53,8%). Rata-rata konsumsi vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi atlet berturut-turut adalah 2669,8 ± 1603,0 µgRE, 110,4 ± 44,7 mg, 5313,0 ± 6156,0 mg, dan 15,5 ± 11,6 mg. Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C dan kalsium sebagian besar berada dalam kategori cukup sedangkan tingkat kecukupan zat besi sebagian besar berada dalam kategori kurang.
Usia atlet memiliki hubungan positif yang signifikan dengan tingkat kebugaran flexibility (p<0,05, r=0,456) dan daya tahan otot (p<0,05, r=0,421). Tinggi badan memiliki hubungan yang positif dan signifikan (p<0,05, r=0,558) dengan tingkat kebugaran atlet (VO2 max). Status gizi dengan tingkat kebugaran menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05). Tingkat kecukupan energi, protein, lemak, kalsium, zat besi, maupun vitamin C tidak memiliki hubungan yang signifikan (p>0,05) dengan tingkat kebugaran atlet (VO2
Olahraga adalah aktifitas fisik atau jasmani yang memilki peranan penting
dalam meningkatkan kebugaran dan stamina tubuh. Seseorang yang memiliki
kebugaran dan stamina tubuh yang baik terutama pada atlet olahraga akan
menghasilkan suatu prestasi yang baik pula. Pencapaian prestasi yang diraih
oleh atlet-atlet perwakilan suatu bangsa di suatu kompetisi olahraga ikut
berperan dalam membangun kejayaan bangsa.
Atlet berprestasi didukung oleh banyak faktor diantaranya latihan dan
pembinaan terprogram secara berkesinambungan serta gizi yang memadai.
Pengaturan gizi olahraga bertujuan untuk memperoleh latihan dan performa yang
baik. Dalam pengaturan gizi atlet, kebutuhan zat gizi akan berbeda dibandingkan
dengan kelompok bukan atlet. Zat gizi yang dibutuhkan pada dasarnya tidak
berlebihan namun disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi
badan, aktifitas serta jenis olahraga yang ditekuninya (Depkes 1993). Konsumsi
pangan yang dapat memenuhi tingkat kecukupan zat gizi yang diperlukan oleh
tubuh dapat mempengaruhi status gizi atlet. Konsumsi dan status gizi pada atlet
memiliki peran penting selain mempertahankan kebugaran, juga untuk
meningkatkan prestasi pada cabang olahraga yang ditekuninya.
Menurut Sumosardjuno (1992) kebugaran atau kesegaran jasmani adalah
kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari dengan mudah,
tanpa merasa lelah yang berlebihan, dan masih mempunyai sisa atau cadangan
tenaga untuk keperluan yang mendadak. Dengan memiliki fisik sehat dan bugar,
maka seseorang dapat menjalankan aktivitas harian secara optimal. Pengukuran
kebugaran dapat dilakukan pada komponen daya tahan kardiorespiratori (VO2
max), komposisi tubuh, kekuatan dan daya tahan otot serta kelentukan (Fatmah & Ruhayati 2011).
Salah satu olahraga yang memerlukan kebugaran tubuh yang optimal
adalah olahraga taekwondo. Menurut Kazemi et al (2010), taekwondo merupakan seni bela diri unik yang ditunjukkan dengan penggunaan tendangan
dan teknik yang dominan. Pada cabang olahraga taekwondo, atlet harus mampu
bergerak dengan kelincahan, kecepatan dan kekuatan yang tinggi. Pemusatan
latihan nasional untuk cabang olahraga taekwondo dilaksanakan di Cipayung,
Bogor. Pelatihan tersebut bertujuan untuk memberikan serangkaian kegiatan
menghadapi pertandingan. Selain diberikan pembinaan dan pelatihan, atlet
mendapatkan asuhan gizi berupa pemberian makanan penunjang. Asuhan gizi
serta kebugaran jasmani yang baik akan secara langsung memberikan dampak
positif bagi prestasi atlet. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui
hubungan konsumsi pangan dan status gizi dengan tingkat kebugaran atlet
taekwondo remaja di pemusatan latihan nasional Cipayung, Bogor.
Tujuan Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
konsumsi pangan dan status gizi dengan tingkat kebugaran atlet taekwondo
remaja di pemusatan latihan nasional Cipayung, Bogor.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik atlet taekwondo remaja meliputi jenis kelamin, usia,
daerah asal, berat badan, dan tinggi badan.
2. Mengetahui konsumsi pangan dan tingkat kecukupan gizi pada atlet
taekwondo remaja di pemusatan latihan nasional Cipayung, Bogor.
3. Mengetahui status gizi pada atlet taekwondo remaja di pemusatan latihan
nasional Cipayung, Bogor.
4. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan zat gizi dan status gizi
dengan tingkat kebugaran atlet (VO2 max, kelentukan / flexibility, dan daya tahan otot) di pemusatan latihan nasional Cipayung, Bogor.
Hipotesis
1. Atlet remaja dengan status gizi pada kisaran normal memiliki performa yang
lebih baik pada tes kebugaran jasmani dibandingkan dengan atlet yang
memiliki status gizi pada kisaran kurus atau gemuk.
2. Terdapat hubungan positif antara tingkat kecukupan gizi dan tingkat
kebugaran atlet taekwondo remaja.
Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
kebutuhan gizi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan atlet meningkatkan
performa dan menunjang prestasi dalam bidang yang dijalaninya. Adapun
1. Bagi atlet taekwondo di pemusatan latihan nasional akan memperoleh
informasi tentang bagaimana asupan yang cukup berperan penting dalam
menjaga kualitas performa.
2. Bagi pemusatan latihan nasional (pelatnas) dapat memberikan gambaran
mengenai kecukupan gizi dan pentingnya gizi yang baik bagi setiap atlet,
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh dewasa”. Secara lebih luas, remaja mencakup usia kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Awal masa remaja
berlangsung pada usia 13 tahun hingga 17 tahun, dan akhir masa remaja
berlangsung dari usia 17 tahun hingga 18 tahun, yaitu usia matang secara
hukum (Hurlock 2000). Menurut Almatsier et al. (2011) rentang usia remaja adalah 10-18 tahun. Masa remaja merupakan masa perubahan serta
peningkatan pertumbuhan yang disertai dengan perubahan-perubahan
hormonal, kognitif, dan emosional. Usia remaja merupakan periode rentan gizi
karena berbagai sebab yaitu remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena
peningkatan pertumbuhan dan perkembangan fisik, perubahan gaya hidup dan
kebiasaan makan remaja mempengaruhi asuan dan kebutuhan gizinya, remaja
mempunyai kebutuhan gizi khusus yaitu remaja yang aktif dalam kegiatan
olahraga, menderita penyakit kronis, sedang hamil, melakukan diet secara
berlebihan, pecandu alkohol atau obat terlarang.
Sebagai seorang remaja yang sedang mengalami pertumbuhan fisik yang
pesat, kebutuhan energi akan lebih besar karena selain energi diperlukan untuk
pertumbuhan fisiknya, juga karena lebih banyak melakukan aktifitas fisik, seperti
olahraga dan bermain, selain kegiatan rutin sebagai pelajar. Menurut Tirtawinata
dan Soerjodibroto (1981) dalam Helinda (2000), bagi seorang olahragawan
remaja, karena masih dalam masa pertumbuhan, maka jumlah makanan yang
seimbang akan menunjang pertumbuhan fisik semaksimal mungkin. Diharapkan
dengan demikian tubuh akan mencapai bentuk yang paling optimal bagi cabang
olahraga yang ditekuni ole masing-masing olahragawan.
Olahraga Taekwondo
Taekwondo, adalah salah satu dari banyak bentuk seni bela diri yang
awalnya dikembangkan lebih dari 120 abad yang lalu di Korea. Kata Taekwondo
berasal dari kata “tae” untuk memukul menggunakan kaki, “kwon” memukul menggunakan tinju, dan “do” untuk melakukan dengan mengacu pada seni.
Istilah ini secara langsung diterjemahkan ke dalam seni menendang dan
meninju. Taekwondo merupakan seni bela diri yang unik dengan menggunakan
berubah dari kemampuan bela diri Korea selama perang menjadi olahraga
internasional yang diakui (Lee MG & Kim MG 2007).
Taekwondo merupakan cabang olahraga yang menyajikan kategori berat
badan yang dapat disebut juga weight cycling misalnya terjadi kehilangan berat badan secara cepat akibat beberapa metode yaitu mengkonsumsi makanan
secara terbatas atau keadaan dehidrasi yang ekstrim (Rossi et al. 2009). Pada cabang olahraga ini terdapat pengklasifikasian / pengelompokan jenis
pertandingan menurut berat badan atlet. Taekwondo berkaitan langsung dengan
kemampuan untuk bergerak secara licah, cepat dan kuat. Dalam suatu
pertandingan, seorang atlet harus menguasai teknik menyerang dan bertahan.
Kemampuan tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam perolehan nilai selama
pertandingan. Menurut Kazemi et al. (2010), dalam taekwondo, nilai dapat diperoleh dengan menggunakan teknik kaki yaitu dengan menggunakan
beberapa bagian kaki seperti bagian bawah pergelangan kaki atau teknik
meninju ke bagian tubuh lawan. Pada tahun 2003, peraturan berubah untuk
memperkenalkan peningkatan perolehan nilai. Penambahan 2 poin untuk setiap
teknik yang mengarah ke bagian kepala, dan 1 poin untuk teknik yang mengarah
bagian badan.
Penilaian Status Gizi Secara Antropometri
Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan
keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang
bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku
yang telah tersedia. Banyak cara untuk melakukan penilaian status gizi terhadap
individu yaitu dengan cara penilaian status gizi secara antropometri, secara
biokimia, secara klinis dan juga dengan asupan pangan (Arisman 2004).
Menurut Gibson (2005) metode antropometri merupakan pengukuran
ukuran tubuh dan komposisi tubuh secara kasar. Pengukuran ini dapat
berubah-ubah sesuai dengan usia dan juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin.
Antropometri merupakan salah satu metode yang digunakan dalam melakukan
penilaian status gizi secara langsung. Pengukuran antropometri mempunyai
keuntungan dalam menyediakan informasi status gizi pada masa lampau yang
tidak dapat diperoleh dengan teknik penilaian yang lain. Pengukuran
antropometri dapat digunakan dengan cepat, mudah, dan dapat dipercaya.
Metode antropometri menggunakan pengukuran-pengukuran dimensi fisik dan
sehingga bermanfaat terutama pada keadaan dimana terjadinya
ketidakseimbangan energi dan protein secara kronis. Antropometri juga dapat
digunakan untuk mendeteksi malnutrisi derajat sedang dan berat. Keuntungan
lain dari pengukuran antropometri adalah memberikan informasi tentang riwayat
gizi masa lampau, hal ini tidak dapat diperoleh (dengan tingkat kepercayaan
yang sama) dengan menggunakan teknik penilaian lainnya (Riyadi 2003).
Penilaian status gizi dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit yang
berkaitan dengan asupan gizi. Penilaian status gizi adalah upaya
menginterpretasikan semua informasi yang diperoleh melalui beberapa cara yaitu
penilaian antropometri, konsumsi pangan, biokimia, dan klinik. Informasi ini dapat
digunakan untuk menetapkan status kesehatan individu atau kelompok
penduduk yang dipengaruhi oleh konsumsi dan utilisasi zat gizi (Gibson 2005).
Pengukuran antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan,
berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh (triceps, biceps, subscapula dan suprailiac). Pengukuran antropometri bertujuan untuk mengetahui status gizi berdasarkan satu ukuran menurut ukuran lainnya, misalnya berat badan dan
tinggi badan menurut umur, berat badan menurut tinggi badan, lingkar lengan
atas menurut umur, dan lingkar lengan atas menurut tinggi badan. Pengukuran
status gizi secara antropometri merupakan cara yang paling sering digunakan
karena memiliki beberapa kelebihan, yaitu : alat mudah diperoleh, pengukuran
mudah dilakukan, biaya murah, hasil pengukuran mudah disimpulkan, dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan dapat mendeteksi riwayat gizi masa
lalu (Irianto 2007). Menurut WHO (2007) pengukuran status gizi pada anak usia 5
hingga 19 tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi
menggunakan indeks masa tubuh menurut umur (IMT/U). Nilai indeks massa
tubuh menurut IMT/U disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kategori status gizi menurut IMT/U berdasarkan WHO (2007)
Kategori IMT/U Simpangan baku
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu
masalah pengupahan (kebutuhan hidup minimal), ukuran kemiskinan, serta
perencanaan ketersediaan dan produksi pangan daerah (Hardinsyah et al. 2002). Konsumsi pangan diartikan sebagai jumlah makanan yang dinyatakan
dalam bentuk energi dan zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan
mineral). Konsumsi makanan yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik
kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan masalah gizi. Konsumsi makanan
adalah faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang
(Soediaoetama 2008).
Survei atau penilaian konsumsi pangan adalah salah satu metode yang
digunakan dalam penentuan tingkat asupan gizi perorangan atau kelompok.
Dalam melakukan penilaian konsumsi pangan banyak terjadi bias yang
disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketidaksesuaian dalam menggunakan
alat ukur, waktu pengumpulan data yang tidak tepat, instrumen tidak sesuai
dengan tujuan, kemampuan dalam mengumpulkan data, daya ingat responden,
dan daftar komposisi makanan yang digunakan tidak sesuai dengan makanan
yang dikonsumsi responden sehingga interpretasi hasil yang kurang tepat. Oleh
karena itu, perlu pemahaman yang baik dalam melakukan survei konsumsi
pangan baik untuk individu, kelompok, maupun rumah tangga. Walaupun data
konsumsi pangan sering digunakan sebagai salah satu metode penentuan status
gizi, namun survei konsumsi tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau
masyarakat secara langsung. Metode kuantitatif juda dapat menghitung
konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan
(DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti daftar Ukuran Rumah Tangga
(URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM), dan Daftar Penyerapan Minyak
(DPM). Metode pengukuran konsumsi makanan bersifat kualitatif antara lain
metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon (recall), metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa et al. 2001).
Recall selama 24 jam dapat dilakukan secara berulang dalam waktu yang berbeda dalam setahun untuk memperkirakan rata-rata konsumsi pangan
individu untuk jangka waktu yang lebih panjang. Jumlah pengulangan yang
dibutuhkan untuk menggambarkan kebiasaan asupan gizi bergantung pada
derajat presisi yang diinginkan serta zat-zat gizi dan kelompok populasi yang
ingin diteliti. Pada umumnya, bila prosedur penentuan sampel dilakukan baik
pola makan, sehingga hasilnya dapat memperkirakan konsumsi pangan secara
keseluruhan (Almatsier et al. 2011).
Pada olahragawan, pengaturan makanan yang tepat berdasarkan cabang
olahraganya akan menunjang performa dan prestasi para olahragawan.
Makanan yang baik bagi para olahragawan adalah makanan yang seimbang
(balanced diet), yaitu makanan yang disusun tidak hanya disesuaikan dengan kebutuhan energi dalam bentuk kalori saja tetapi juga harus memperhatikan
komposisi makanannya (Depkes 1993).
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Atlet
Menurut Almatsier (2005) aktifitas fisik memerlukan energi di luar
kebutuhan untuk metabolisme basal. Pada saat melakukan aktifitas fisik, otot
memerlukan tambahan energi di luar metabolisme untuk bergerak, sedangkan
jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan
zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari
tubuh. Banyaknya energi yang dibutuhkan selama aktifitas fisik bergantung pada
banyaknya otot yang bergerak, berapa lama, dan berapa berat pekerjaan yang
dilakukan. Oleh sebab itu, kecukupan gizi seseorang yang melakukan aktifitas
fisik seperti atlet lebih besar dibandingkan orang biasa.
Energi
Energi dibutuhkan antara lain untuk metabolism basal (BMR = Basal Metabolism Rate) dan aktifitas fisik. Kebutuhan gizi menggambarkan jumlah zat gizi minimal yang diperlukan oleh masing-masing individu. Konsumsi energi
berada di atas atau di bawah kebutuhan secara terus menerus, maka berat
badan atau komposisi badan akan mengalami perubahan (Karyadi & Muhilal
1991). Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004), angka kecukupan energi
adalah rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang dengan
pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh (berat),
dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat. Pada olahragawan yang sedang
melakukan latihan, dibutuhkan kurang lebih 3000-3500 kkal per hari
(Sumosardjuno 1990). Menurut rekomendasi ADA (2001) dalam Kazemi et al. (2010), asupan energi untuk individu yang memiliki aktifitas fisik tinggi dapat
bervariasi antara 2000-6000 kkal/hari.
Karbohidrat
Hidrat arang merupakan sumber energi utama bagi manusia sehingga
makanan adalah pati, sukrosa, laktosa, dan fruktosa (Beck 2011). Pada atlet,
kecukupan zat gizi berbeda dari rata-rata masyarakat karena aktifitas atlet tidak
sama dengan masyarakat umum serta terdapat kondisi-kondisi tertentu pada
atlet yang harus ditunjang oleh nutrisi yang tepat. Energi diperlukan antara lain
untuk metabolisme basal dan aktifitas fisik. Energi pada manusia sebagian besar
berasal dari makanan sumber hidrat arang (Depkes 1993).
Para pekerja berat termasuk olahragawan yang melakukan aktifitas berat,
kebutuhan karbohidratnya dapat mencapai 9-10 gr/kg BB/hari atau kurang lebih
70% dari kebutuhan energi keseluruhan setiap hari dan sebaiknya mengandung
karbohidrat kompleks. Sekitar 80% atau lebih karbohidrat yang diberikan
sebaiknya berupa karbohidrat kompleks dan gula sederhana sebaiknya kurang
dari 20% (Irianto 2007). Menurut Degoutte et al. (2003), meskipun konsumsi ideal untuk taekwondo belum ditetapkan, asupan rendah dapat mencegah resintesis
glikogen dan kurang dari 500 g/hari adalah jumlah yang cukup untuk
menggantikan kehilangan setelah latihan.
Protein
Protein tersusun dari karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Protein
dalam makanan merupakan satu-satunya sumber nitrogen bagi tubuh. Protein
dalam makanan mampu menggantikan protein yang hilang selama proses
metabolisme yang normal serta dapat digunakan sebagai sumber energi (Beck
2011). Olahragawan yang sedang dalam masa pertumbuhan akan berkembang
dengan baik apabila diberikan protein yang cukup untuk perkembangan
tubuhnya, termasuk otot-ototnya. Protein sebanyak kurang lebih 20% dalam
makanan adalah sangat baik (Sumosadjuno 1990).
Menurut Irianto (2007), atlet dari cabang olahraga yang memerlukan
kekuatan dan kecepatan perlu mengonsumsi 1,2-1,7 gr/kg BB/hari dan atlet
endurance memerlukan protein 1,2-1,4 gr/kg BB/hari. Proporsi protein berubah sesuai dengan jumlah energi total perhari yang meningkat dan sebaiknya
separuhnya berasal dari protein hewani. Atlet juga sebaiknya mengkonsumsi
pangan yang bervariasi untuk meningkatkan kualitas protein. Akan tetapi, atlet
tidak dianjurkan mengkonsumsi pangan sumber protein dalam jumlah berlebih.
Asupan protein yang berlebih akan diubah menjadi lemak tubuh dan
Lemak
Lemak merupakan sumber energi yang dipadatkan. Lemak memiliki nilai
energi yang paling tinggi jika dibandingkan dengan hidrat arang atau
karbohidrat., protein, ataupun alkohol (Beck 2011). Kebutuhan lemak sangat baik
apabila komposisi lemak yang terdiri dari lemak jenuh dan tak jenuh seimbang
(Sumosardjuno 1989). Latihan olahraga dapat meningkatkan kapasitas otot
dalam menggunakan lemak pada waktu melakukan kegiatan olahraga yang lama
yang mampu melindungi pemakaian glikogen dan memperbaiki kapasitas
ketahanan fisik.
Kebutuhan lemak tidak dinyatakan secara mutlak, akan tetapi seseorang
yang berprofesi bukan sebagai atlet sebaiknya mengkonsumsi makanan yang
mengandung lemak 15-30%, sedangkan kebutuhan lemak atlet berkisar antara
20-25% dari total energi yang dibutuhkan (Depkes 1993). Konsumsi energi dari
lemak dianjurkan tidak lebih dari 30% total energi per hari (Irianto 2007). Menurut
ADA (1993), secara umum, asupan lemak pada atlet dan praktisi dengan aktifitas
fisik tinggi tidak boleh melebihi 30% dari total energi atau 1 g/kg/hari, proporsi
tersebut terdiri dari asam lemak esensial (10 % dari asam lemak jenuh dan asam
lemak tidak jenuh rantai panjang).
Vitamin
Vitamin adaah zat-zat rganik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah
yang sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh
karena itu, harus diperoleh dari bahan makanan. Vitamin bersifat organik
sehingga vitamin dapat rusak karena penyimpanan dan pengolahan. Vitamin
termasuk kelompok zat pengatur pertumbuhan dan pemelihara kehidupan.
(Almatsier 2005). Menurut Fatmah dan Ruhayati (2011) pada aktifitas olahraga,
kegiatan metabolisme zat gizi akan terjadi peningkatan seiiring dengan
meningkatnya kebutuhan akan zat-zat gizi termasuk vitamin. Vitamin berperan
dalam mengatur fungsi tubuh, misalnya memacu dan memelihara : pertumbuhan,
reproduksi, kesehatan dan kekuatan tubuh, stabilitas sistem syaraf, selera
makan, pencernaan, dan penggunaan zat-zat makanan lainnya. Selain itu
vitamin berperan sebagai antioksidan yakni zat untuk menghindarkan terjadinya
radikal bebas. Jenis vitamin yang termasuk zat antioksidan diantaranya vitamin
A, dan vitamin C (Irianto 2007).
prekursor / provitamin A / karotenoid yang mempunyai aktifitas biologik seperti
retinol. Fungsi utama dari vitamin A adalah sebagai bagian yang vital pada
sistem penglihatan (Wolinsky & Driskell 2006). Vitamin A selain berperan dalam
proses penglihatan juga berperan dalam kekebalan tubuh, pertumbuhan dan
perkembangan, reproduksi, dan pencegahan penyakit kanker dan penyakit
degeneratif seperti penyakit jantung (Almatsier 2005).
Bagi atlet, vitamin A sangat berperan penting dalam diferensiasi sel, oleh
sebab itu asupan vitamin A yang cukup sangat diperlukan dalam peningkatan
performa atlet dan pemulihan latihan. Menurut Wolinsky dan Driskell (2006)
asupan vitamin A yang dianjurkan bagi atlet yang berumur diantara 14-18 tahun
sebaiknya lebih dari 900 µgRE dan tidak melebihi 2800 µgRE.
Vitamin C. Vitamin C atau yang biasa dikenal dengan nama asam askorbat merupakan salah satu vitamin larut air yang berfungsi dalam sintesis
kolagen, katekolamin, serotonin dan karnitin di dalam tubuh. Vitamin C atau
asam askorbat merupakan antioksidan yang sangat kuat dalam menangkal
radikal bebas. Vitamin C juga berguna dalam absorbsi, peredaran, dan juga
cadangan zat besi, serta dibutuhkan untuk pembentukan jaringan ikat (Beck
2011). Dalam aktifitas, vitamin C berguna dalam stimulasi sistem imun,
mengurangi kelelahan dan kelemahan otot, meningkatkan performa, dan
melindungi sel dari ancaman radikal bebas (Chen 2000). Olahragawan perlu
mengonsumsi vitamin yang lebih besar, karena konsumsi vitamin C yang cukup
dapat menghambat terbentuknya asam laktat dalam otot yang dapat
menyebabkan kelelahan (Sumosardjuno 1990).
Kecukupan vitamin C yang dianjurkan WKNPG 2004 untuk pria remaja
adalah sebanyak 50-90 mg per hari, sedangkan untuk wanita remaja adalah
sebanyak 50-75 mg per hari. Namun jumlah tersebut dapat melebihi anjuran, hal
ini dikarenakan terdapat beberapa aktifitas fisik yang terkadang menurunkan
kadar vitamin C di dalam tubuh. Menurut Wolinsky dan Driskell (2006), asupan
vitamin C bagi atlet dapat bervariasi dari 100 mg hingga 1000 mg per hari
bergantung kepada aktifitas yang dilakukan.
Mineral
Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting
dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun
fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral berperan dalam berbagai tahap
Menurut Irianto (2007) secara umum fungsi mineral bagi tubuh adalah sebagai
berikut : menyediakan bahan sebagai komponen penyusun tulang dan gigi,
membantu fungsi organ, kontraksi otot, konduksi syaraf, keseimbangan asam
basa, serta memelihara keteraturan metabolisme seluler. Khusus bagi
olahragawan, perhatian utama harus diberikan pada status zat besi dan kalsium.
Zat besi sangat penting dalam pembentukan hemoglobin dan sebagai alat
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sedangkan kalsium dalam
cairan ekstraseluler dan intraseluler memegang peranan penting dalam mengatur
fungsi sel seperti untuk transmisi syaraf, kontraksi otot, penggumpalan darah dan
menjaga permeabilitas membran sel.
Kalsium. Menurut Irianto (2007) kalsium merupakan salah satu mineral makro yaitu mineral yang diperlukan oleh tubuh lebih dari 100 mg/hari. Kalsium
adalah mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh, lebih dari 99% kalsium
terdapat dalam tulang. Kalsium tambahan diperlukan dalam keadaan tertentu,
seperti masa pertumbuhan mulai dari anak-anak hingga usia remaja, pada saat
hamil, dan selama laktasi (Beck 2011). Menurut Kartono dan Soekatri (2004)
anak yang masih tumbuh dan kembang seperti remaja memerlukan
pembentukan tulang yang lebih banyak daripada orang tua. Oleh sebab itu atlet
remaja masih sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalsium
dalam mencapai pertumbuhan yang optimal. Atlet yang masih remaja
memerlukan kalsium yang jumlahnya relatif lebih tinggi untuk pertumbuhan
tulangnya. Kecukupan kalsium yang dianjurkan oleh WKNPG 2004 untuk remaja
baik pria maupun wanita yang berumur 15-16 tahun adalah sebanyak 1000 mg
setiap harinya.
Zat Besi. Menurut Irianto (2007) zat besi (Fe) merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan oleh tubuh kurang dari 100 mg/hari atau dapat disebut
juga dengan mineral mikro. Zat besi merupakan mineral mikro yang paling
banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di
dalam tubuh manusia dewasa. Zat besi sangat penting dalam pembentukan
hemoglobin dan sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh.
(Almatsier 2005). Menurut Sumosardjuno (1990) pada olahragawan, konsumsi
Fe dalam jumlah yang cukup sangat dianjurkan karena diketahui bahwa zat besi
mudah hilang melalui keringat. Kebanyakan atlet wanita dan sebagian atlet pria
penampilannya. Apabila seorang olahragawan kekurangan zat besi secara terus
menerus, maka akan cepat lelah dan lambat masa pemulihannya.
Kandungan total zat besi dalam tubuh sangat sedikit dan pada seseorang
dengan ukuran badan rata-rata, diperkirakan kandungan zat besinya sekitar 4
mg. Zat besi diperlukan untuk pembentukan hemoglobin yang memegang
peranan penting dalam pengangkutan oksigen serta karbon dioksida antara
paru-paru dan jaringan (Beck 2011). Kecukupan zat besi yang dianjurkan oleh
WKNPG tahun 2004 untuk remaja pria berumur 13-15 tahun adalah sebanyak 19
mg, sedangkan untuk remaja pria berumur 16-18 tahun sebanyak 15 mg.
Kecukupan besi untuk remaja wanita berumur 13-15 dan 16-18 tahun sebanyak
26 mg.
Kebugaran
Kebugaran didefinisikan secara umum sebagai rangkaian kemampuan
seseorang untuk mengerjakan aktifitas fisik secara spesifik (Fatmah & Ruhayati
2011). Kebugaran jasmani adalah sekumpulan luaran yang telah dicapai oleh
seseorang, sebagai tujuan utama dari aktifitas fisik secara berkelanjutan (Bovet
et al. 2007; Caspersen et al. 1985). Secara umum, komponen kebugaran dibagi menjadi dua kategori yaitu kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan, dan
kebugaran yang berhubungan dengan olahraga/keterampilan. Kebugaran yang
berhubungan dengan kesehatan digambarkan kemampuan dalam melakukan
aktifitas sehari-hari dengan kekuatan dan berhubungan dengan rendahnya resiko
terhadap penyakit degeneratif dengan komponen daya tahan kardiorespiratori,
kebugaran muskuloskeletal (daya tahan otot, fleksibilitas), dan komposisi tubuh
yang optimal. Kebugaran yang berkaitan dengan olahraga atau keterampilan
digambarkan dengan kemampuan dalam melakukan gerakan-gerakan fisik
dalam aktifitas atletik atau olahraga. Komponennya terdiri dari kekuatan,
kecepatan, daya tahan dan skill motorik neuromuskular yang spesifik terkait
olahraga dari atlet (Williams 1989).
VO2 Max
Kebugaran dapat diukur melalui jumlah oksigen yang dikonsumsi saat
berolahraga/latihan pada kapasitas maksimum. VO2 max adalah jumlah oksigen dalam milliliter yang dapat digunakan dalam satu menit per kilogram berat badan
(ml/kg /menit). Nilai VO2 max seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, 1) kemampuan kimia dari sistem jaringan otot selular untuk menggunakan
jantung dan paru untuk mengangkut oksigen ke sistem jaringan otot. Beberapa
studi menyatakan bahwa nilai VO2 max seseorang dapat ditingkatkan dengan melakukan aktifitas yang mampu meningkatkan denyut jantung secara
maksimum hingga 65-85% selama 20 menit pada 3-4 kali seminggu. Nilai
rata-rata VO2 max untuk atlet-atlet laki-laki adalah sekitar 3,5 liter/menit dan untuk atlet-atlet wanita sekitar 2,7 liter/menit. (Mackanzie 2001).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Frachini et al. (2007), ditemukan bahwa rentang VO2 max atlet judo adalah 50-60 ml/kg/menit. Atlet judo dengan nilai VO2 max yang tinggi memberikan keuntungan selama pertandingan (combat) dengan maksimal durasi 5 menit karena usaha yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan atlet yang memiliki nilai VO2 max yang lebih rendah.
Multistage fitness test merupakan salah satu tes kebugaran bertingkat yang sering digunakan untuk mengetahui asupan maksimum oksigen atlet (VO2
max). Keuntungan menggunakan metode ini antara lain mudah dalam pengaturan dan digunakan, pengukuran terhadap sekelompok orang sekaligus
pada waktu yang bersamaan sehingga dapat meminimalkan biaya, serta dapat
dilakukan di dalam atau di luar ruangan. Kekurangan dari penggunaan metode
ini adalah banyak faktor yang mempengaruhi hasil tes seperti jika tes dilakukan
di luar ruangan maka faktor lingkungan akan mempengaruhi hasilnya.
(Mackanzie 1999).
Flexibility (Kelentukan)
Flexibility / kelentukan menurut Kirkendall et al. (1980) adalah kemampuan tubuh atau bagian-bagian tubuh untuk melakukan berbagai gerakan
dengan leluasa dan seimbang antara kelincahan dan respon keseimbangan.
Secara umum, suhu badan dan usia sangat mempengaruhi luasnya gerakan
bagian-bagian tubuh. Kelentukan gerak tubuh pada persendian tersebut, sangat
dipengaruhi oleh : elastisitas otot, tendon dan ligamen di sekitar sendi serta
kualitas sendi itu sendiri. Kelentukan dapat menjadi bagian dari kebugaran
karena kelentukan dapat menunjukkan kekuatan sistem muskuloskeletal atau
sistem gerak seseorang. Terkait dengan kesehatan, maka kelentukan
merupakan salah satu parameter kesembuhan akibat cedera dan
penyakit-penyakit terkait sistem muskuloskeletal.
Alat yang digunakan untuk tes kelentukan biasanya yaitu bangku atau
balok dan mistar dengan ukuran 50 cm atau biasa juga yang disebut dengan
test adalah salah satu metode yang dilakukan untuk pengukuran kelentukan seseorang yang dilakukan dengan cara berdiri di atas balok kemudian
membungkukkan badan sejauh mungkin dengan posisi kaki dan tangan lurus
kebawah. Tangan mencapai balok akan dihitung dengan nilai (+) sedangkan
tangan yang tidak bisa mencapai balok akan dihitung dengan nilai (-) dengan
satuan centimeter (Anonim 2009).
Daya Tahan Otot
Salah satu unsur kesegaran jasmani yang sangat penting adalah daya
tahan. Dengan daya tahan yang baik, performa atlet akan tetap optimal dari
waktu ke waktu karena memiliki waktu menuju kelelahan yang cukup panjang.
Hal ini berarti bahwa atlet mampu melakukan gerakan, yang dapat dikatakan,
berkualitas tetap tinggi sejak awal hingga akhir pertandingan. Daya tahan otot
adalah kemampuan otot rangka atau sekelompok otot untuk meneruskan
kontraksi pada periode atau jangka waktu yang lama dan mampu pulih dengan
cepat setelah lelah. Kemampuan tersebut dapat diperoleh melalui metabolisme
aerob maupun anaerob. Daya tahan diperlukan untuk bekerja dalam durasi yang
panjang (Parahita 2009). Menurut Fatmah & Ruhayati (2011) tes yang dapat
pelatihan dan pembinaan dalam jangka waktu tertentu yang terpusat di dalam
suatu lingkungan tertentu dimana atlet dapat tinggal bersama dan melakukan
kegiatan sehari-hari sesuai dengan program pelatihan dicabang olahraga
tertentu. Dalam penelitian ini pemusatan latihan nasional yang dilaksanakan
pada cabang olahraga taekwondo.
Setiap atlet memerlukan zat gizi yang sesuai dengan yang diperlukan
oleh tubuh untuk melakukan aktifitas pada saat latihan maupun bertanding. Atlet
taekwondo diberikan asuhan gizi berupa pengaturan makanan yang baik dari
penyelenggaraan makanan di pemusatan latihan nasional. Tujuan pengaturan
makanan adalah untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat-zat gizi makro
maupun mikro sehingga mampu menjaga stamina dan mempertahankan status
gizi.
Stamina yang baik dapat dilihat dari kondisi kebugaran atlet. Pengukuran
tingkat kebugaran seseorang dapat dilakukan dengan serangkaian tes yang
secara spesifik mengukur komponen kebugaran jasmani. Komponen kebugaran
kardiorespiratori dapat diukur menggunakan bleep test sedangkan komponen kebugaran muskuloskeletal meliputi kekuatan, ketahanan, dan kelentukan.
Berbagai komponen muskuloskeletal ini dapat diukur melalui beberapa tes
seperti sit up, squat jump, serta tes duduk raih. Kerangka berpikir hubungan konsumsi pangan dan status gizi dengan tingkat kebugaran disajikan pada
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
= Hubungan yang diteliti
= Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan antara konsumsi pangan dan status gizi dengan tingkat kebugaran
Tingkat Kebugaran
(VO2 Max, Flexibility dan Daya Tahan Otot) Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Aktifitas Fisik
Status Gizi
Prestasi Atlet Taekwondo Pengaturan Makanan
Penyelenggaraan Makanan Pelatnas
Konsumsi Pangan Kebiasaan Makan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juni 2012 di Cipayung, Bogor. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive karena pemusatan latihan nasional merupakan wadah untuk pembinaan dan pelatihan atlet taekwondo nasional
yang akan mengikuti beberapa event internasional untuk mewakili negara Indonesia. Atlet nasional tersebut mendapatkan beberapa fasilitas seperti
penginapan sehingga juga terdapat penyelenggaraan makanan pada pemusatan
latihan di Cipayung, Bogor.
Cara Pengambilan Contoh
Contoh pada penelitian ini adalah anggota populasi (atlet remaja
taekwondo nasional) sebanyak 25 orang. Cara pengambilan dilakukan secara
purposive sampling yang termasuk kedalam kriteria inklusi : usia 10-18 tahun, dimana usia tersebut merupakan rentang usia untuk remaja (almatsier et al. 2011), sedang mendapatkan pelatihan dan pembinaan di pemusatan latihan
nasional, dapat diajak berinteraksi, dan bersedia berpartisipasi. Adapun kriteria
eksklusi antara lain : tidak berada di pelatnas ketika pengambilan data, dan tidak
mengikuti rangkaian tes fisik yang dilaksanakan oleh pelatnas. Berdasarkan
kriteria tersebut keseluruhan atlet dapat dijadikan sebagai contoh yaitu sebanyak
25 atlet, namun selama berlangsungnya pengambilan data penelitian terdapat 2
orang yang drop out karena tidak mengikuti tes fisik dan sedang mengikuti kegiatan akademik di sekolah asal.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan contoh dan penyebaran
kuesioner. Data primer yang dikumpulkan antara lain : data karakteristik contoh
meliputi usia, jenis kelamin dan asal daerah dilakukan dengan menggunakan
kuesioner, data antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan yang
dikumpulkan dengan mengukur secara langsung berat badan contoh
menggunakan timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg sedangkan tinggi badan
Data sekunder diperoleh dari data administrasi pemusatan latihan
nasional Cipayung, Bogor yang meliputi :data keadaan umum dan fasilitas
pemusatan latihan nasional taekwondo, data jumlah dan susunan keorganisasian
di pemusatan latihan nasional taekwondo, dan data kebugaran (VO2 max,
flexibility, dan daya tahan otot), data VO2 max diperoleh dari multistage fitness
test atau bleep test, data flexibility diperoleh dari sit and reach test, dan data daya tahan otot diperoleh dari tes sit up dan squat jump dapat dilihat pada Lampiran 2.
Berikut adalah jenis data, variabel, kategori penelitian dan cara
pengumpukan data secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kategori pengukuran data
Jenis data Variabel Kategori pengukuran Cara pengumpulan
data Karakteristik
contoh
Usia 10-18 tahun Pengisian Kuesioner
Jenis kelamin 1.Laki-Laki
2.Perempuan
Asal daerah Beberapa daerah di Indonesia
Antropometri IMT/U IMT/U dengan kategori (WHO 2007):
1. Sangat kurus (Z skor < -3 sd)
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian diolah secara statistik. Pengolahan data
dimulai dari pengkodean (coding), pemasukan data (entry), pengecekan ulang (cleaning), dan analisis data. Tahapan pengkodean dimulai dengan cara menyusun kode-kode tertentu sebagai panduan dalam mengentri dan
pengolahan data. Kemudian data dientri ke tabel yang sudah ada. Setelah itu
dilakukan pengecekan ulang untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam
memasukkan data. Tahapan terakhir adalah analisis data yang diolah dengan
program Microsoft Excell dan Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16 for windows. Hubungan antar variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Pearson dan uji beda Independent t-test. Analisis / uji statistik yang digunakan pada penelitian ini antara lain : hubungan antara usia, berat badan, tinggi badan,
status gizi, tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan tingkat kebugaran (VO2
max, flexibility, dan daya tahan otot) diuji dengan menggunakan analisis korelasi Pearson. Hubungan antara status gizi, tingkat kecukupan zat gizi, dan tingkat kebugaran (VO2 max, flexibility, dan daya tahan otot) pada jenis kelamin yang berbeda dianalisis dengan uji beda Independent t-test.
Data karakteristik contoh diperoleh dengan cara wawancara langsung
dengan menggunakan pertanyaan yang ada pada kuesioner. Data karakteristik
contoh terdiri dari karakteristik individu (jenis kelamin, usia, daerah asal),
konsumsi pangan baik secara kualitatif (kebiasaan makan) maupun kuantitatif.
Data berat badan diperoleh dengan melakukan penimbangan langsung dengan
menggunakan timbangan injak. Data tinggi badan diperoleh dengan mengukur
tinggi badan secara langsung dengan menggunakan microtouise. Data karakteristik contoh pada akhirnya akan memberikan gambaran mengenai
contoh. Data status gizi ditentukan berdasarkan data yang diperoleh yaitu usia
contoh, berat badan, dan tinggi badan dengan parameter indeks massa tubuh
menurut umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO anthroplus 2007. Software ini dapat digunakan pada usia 5-19 tahun.
Data konsumsi pangan yang diperoleh kemudian dikonversikan untuk
menentukan zat gizi contoh yatu energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A,
vitamin C, kalsium, dan zat besi. Jumlah makanan dalam bentuk gram/URT
kemudian dikonversi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan.
Kemudian dilakukan perhitungan tingkat kecukupan gizi untuk energi dan zat gizi
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
Keterangan:
KGij = Kandungan zat gizi –i dalam bahan makanan –j
Bj = Berat makanan –j yang dikonsumsi
Gij = Kandungan zat gizi –i dalam 100 gram BDD bahan
makanan –j
BDDj = Bagian yang dapat dimakan dalam bahan makanan –j
Untuk menentukan kecukupan energi contoh digunakan formula WKNPG
tahun 2004 (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Formula yang digunakan yaitu.
Proses Estimasi AKE Remaja
AKE = (88,5 – 61,9U) + 26,7B (Akf) + 903TB + 25
Keterangan:
AKE = Angka kecukupan energi (kkal)
U = Usia (tahun)
B = Berat badan (kg)
Akf = Angka Aktifitas Fisik (disesuaikan pada masing-masing
individu)
TB = Tinggi badan (m)
Untuk vitamin dan mineral dihitung langsung dengan menggunakan
angka kecukupan tanpa menggunakan AKGI. Selanjutnya tingkat kecukupan
energi dan protein diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat
gizi tersebut dengan menggunakan rumus.
TKG = (K/AKGI) x 100
Keterangan :
TKG = Tingkat kecukupan zat gizi
K = Konsumsi zat gizi
AKGI = Angka kecukupan zat gizi contoh
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswa dinyatakan dalam persen.
Tabel 3 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi
Energi dan Zat Gizi Klasifikasi Tingkat Kecukupan
Energi dan protein a. Defisit tingkat berat (< 70% angka kebutuhan)
b. Defisit tingkat sedang (70 – 79% angka kebutuhan)
c. Defisit tingkat ringan (80 – 89% angka kebutuhan)
d. Normal (90 – 119% angka kebutuhan)
e. Di atas angka kebutuhan (≥ 120% angka kebutuhan)
Vitamin dan mineral a. Kurang (< 77% angka kebutuhan)
b. Cukup (≥ 77% angka kebutuhan) Sumber : Gibson (2005)
Data aktifitas fisik didapatkan dengan metode recall 1 x 24 jam selama 3 hari berturut-turut dengan mengisi kuesioner aktifitas fisik Menurut
FAO/WHO/UNU (2001) besarnya aktifitas fisik yang dilakukan seseorang dalam
24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical activity level) atau tingkat aktifitas fisik. PAL ditentukan dengan rumus berikut:
PAL = ∑ (PAR x Alokasi Waktu Tiap Aktifitas) 24 Jam
Keterangan :
PAL = Physical activity level (tingkat aktifitas fisik)
PAR = Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis aktifitas per satuan waktu tertentu)
Jenis aktifitas yang dapat dilakukan dikategorikan menjadi 18 jenis
kategori berdasarkan PAR seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 Kategori aktifitas berdasarkan nilai PAR
Kategori Keterangan PAR
PAL1 Tidur (tidur siang dan malam) 1
PAL2 Tidur-tiduran (tidak tidur), duduk diam, dan membaca 1,2
PAL3 Duduk sambil menonton TV 1,72
PAL4 Berdiri diam, beribadah, menunggu (berdiri), berhias 1,5
PAL5 Makan dan minum 1,6
PAL6 Jalan santai 2,5
PAL7 Berbelanja (membawa beban) 5
PAL8 Mengendarai kendaraan 2,4
PAL9 Menjaga anak 2,5
PAL10 Melakukan pekerjaan rumah (bersih-bersih) 2,75
PAL11 Setrika pakaian (duduk) 1,7
PAL12 Kegiatan berkebun 2,7
PAL13 Office worker (duduk di depan meja, menulis, dan mengetik) 1,3
PAL14 Office worker (berjalan-jalan mondar-mandir membawa arsip) 1,6
PAL15 Olahraga (badminton) 4,85
PAL16 Olahraga (jogging, lari jarak jauh) 6,5
PAL17 Olahraga (bersepeda) 3,6
PAL18 Olahraga (aerobic, berenang, sepak bola, dan lain-lain) 7,5
Selanjutnya PAL akan dikategorikan menjadi tiga kategori menurut
FAO/WHO/UNU (2001), seperti yang disajikan dalam tabel 5.
Tabel 5 Kategori tingkat aktifitas fisik berdasarkan nilai PAL
Kategori Nilai PAL
Aktifitas Sangat Ringan < 1,40
Aktifitas Ringan 1,40- 1,69
Aktifitas Sedang 1,70-1,99
Aktifitas Berat 2,00-2,40
Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)
Definisi Operasional
Atlet taekwondo nasional adalah atlet yang menjalani rangkaian tes dari pemusatan latihan nasional seperti fisik, teknik, kecepatan, dan
kesehatan di Pusdikkes Kodiklat TNI AD dan Laboratorium Universitas
Negeri Jakarta.
Contoh adalah atlet nasional taekwondo yang berada di pemusatan latihan nasional.
Daya tahan otot adalah kemampuan atlet dalam menghasilkan kekuatan dan kemampuan untuk melakukan dan mempertahankan suatu gerakan
selama mungkin yang diukur dengan tes sit up dan squat jump.
Flexibility adalah kemampuan atlet untuk menekuk, meregang dan memutar tubuhnya yang diukur dengan sit andreach test.
Kebugaran atlet adalah kemampuan atlet untuk melakukan kegiatan sehari-hari tanpa mengalami kelelahan yang berarti baik fisik maupun mental dan
masih mempunyai sisa atau cadangan tenaga untuk digunakan pada
waktu senggang dan untuk keperluan mendadak yang diukur melalui VO2
max, flexibility, dan daya tahan otot
Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh atlet, data diperoleh dengan recall 1 x 24 jam selama 3 hari berturut-turut, yaitu
recall dilakukan pada hari sabtu, minggu dan senin.
Status gizi atlet adalah keadaan kesehatan tubuh atlet yang ditentukan melalui Indek Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) dan dikelompokkan menjadi 5
kategori: Sangat Kurus = < -3 sd, Kurus = -3 sd sampai dengan < -2 sd,
Normal = ≥ -2 sd sampai dengan +1 sd, Gemuk = ≥ +1 sd sampai dengan
+2 sd, Obese = Z-score ≥ +2 sd (WHO 2007).
Tingkat kecukupan zat gizi adalah perbandingan konsumsi dari rata-rata zat gizi makro maupun zat gizi mikro terhadap angka kecukupan yang
dianjurkan menurut umur berdasarkan WKNPG (2004) dan dinyatakan
VO2 max adalah volume maksimum oksigen yang dapat digunakan per menit
Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Garuda Emas 2012 adalah
kegiatan pelaksanaan program pelatihan dalam jangka waktu tertentu yang
terpusat di dalam suatu lingkungan tertentu dimana atlet dapat tinggal bersama
dan melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan program pelatihan dicabang
olahraga taekwondo. Pelatnas memiliki ciri-ciri khusus antara lain : pada
umumnya berlangsung lebih lama (lebih dari 1 bulan sampai beberapa tahun),
konsumen yang dilayani lebih homogen, satu atau beberapa cabang olahraga
saja serta adanya periodisasi latihan selama masa penyelenggaraan makanan
(Depkes 1993). Ciri-ciri tersebut menyebabkan adanya peraturan-peraturan gizi
khusus yang perlu dilaksanakan oleh tim medis yang bertanggung jawab dalam
pemusatan latihan nasional.
Pemilihan atlet juga didasarkan atas hasil pengamatan dan seleksi yang
dilakukan Komisi Kepelatihan PBTI terhadap atlet-atlet di berbagai daerah yang
dinilai punya potensi. Para atlet juga menjalani rangkaian tes seperti tes fisik,
teknik, kecepatan, serta tes kesehatan di Pusdikkes Kodiklat TNI AD dan
Laboratorium Universitas Negeri Jakarta. Atlet yang terpilih akan mendapatkan
pelatihan dan pembinaan dari pelatnas selama 6 bulan yaitu sejak bulan Januari
2012 hingga bulan Juni 2012. Dalam waktu tersebut para atlet diproyeksikan
untuk mengikuti 6 kejuaraan. Di antaranya Kejuaraan Dunia Yunior di Mesir pada
4-8 April, Kejuaraan Asia Yunior di Vietnam pada 25-27 April, Kejuaraan Asia di
Vietnam pada 28-30 April, Kejuaraan Asia Poomsae di Vietnam pada 1-2 Mei,
Kejuaraan Yunior Poomsae di Vietnam pada 3-4 Mei, dan Kejuaraan Dunia
Universitas di Korea Selatan pada 25-30 Mei. Bagi atlet yang terpilih dan masih
sekolah di tingkat SMP dan SMU tetap mendapatkan bimbingan pelajaran setiap
hari selama 2 jam yang orientasinya sudah distandarkan dengan sekolah umum.
Penyediaan makanan bagi atlet pada pelatnas Garuda Emas 2012
dilakukan oleh Hotel Mars 91 yang berada di Cipayung, Bogor. Dalam hal ini,
pelayanan konsumsi menjadi bagian dari pelayanan akomodasi. Menu yang
disajikan telah diatur oleh tim medis Pelatnas Garuda Emas 2012 yaitu dengan
menggunakan siklus menu 10 hari. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari
kebosanan atlet terhadap makanan yang disajikan. Sebagian besar waktu para
atlet dihabiskan di pelatnas sehingga kegiatan makan baik makan pagi, siang,
benar-benar memperhatikan susunan menu, kebersihan dan penampilannya
agar para atlet tertarik untuk mengonsumsi hidangan. Asmuni (1979) dalam
Karfarina (2002) mengungkapkan penyelenggaraan makan atlet hendaknya
memperhatikan hal-hal seperti hal berikut : (1) memenuhi syarat-syarat gizi, (2)
tampak menarik, (3) bervariasi agar tidak membosankan, (4) menurut cita rasa /
selera konsumen, (5) terdiri dari bahan-bahan makanan yang biasa digunakan
dan terdapat di pasaran setempat, (7) sesuai dengan agama / kepercayaan
konsumen, (8) memberikan rasa puas, (9) jumlah makanan sesuai dengan daya
tampung lambung. Pendistribusian makanan di Pelatnas Taekwondo Cipayung
menggunakan sistem prasmanan dimana para atlet dapat mengambil sendiri
makanan yan telah tersedia di ruang makan sesuai dengan selera
masing-masing. Kelemahan dengan sistem ini adalah tidak tercukupinya kebutuhan
energi dan zat gizi atlet serta tidak meratanya konsumsi energi dan zat gizi atlet
karena atlet memilih makanan tidak berdasarkan kebutuhan tetapi kesukaan
terhadap makanan tertentu sehingga pada suatu saat atlet dapat mengonsumsi
makanan yang tinggi zat gizi tertentu namun rendah zat gizi lainnya.
Struktur Pelatnas dibawah tanggung jawab Ketua Umum PBTI (Pengurus
Besar Taekwondo Indonesia). Pelatnas Garuda Emas 2012 terdiri dari dewan
penasehat, komandan pelatnas, sekretaris/bendahara, koordinator pelatih,
koordinator kesehatan, serta koordinator logistik dan perlengkapan. Komponen
pelatnas ini memiliki saling keterkaitan dan kerja sama satu dengan yang lainnya.
Struktur Organisasi Pelatnas dapat dilihat pada Lampiran 1.
Karakteristik Contoh
Karakterisitik merupakan suatu gambaran mengenai contoh meliputi sifat
maupun ciri-ciri baik secara fisik maupun sosial. Karakterisitik ini dibutuhkan
untuk mengetahui lebih jelas mengenai gambaran contoh dalam penelitian.
Karakteristik yang diteliti meliputi jenis kelamin, daerah asal, usia, berat badan,
tinggi badan.
Jenis Kelamin
Contoh adalah atlet taekwondo remaja nasional secara keseluruhan (baik
laki-laki maupun perempuan) yang mengikuti pembinaan dan pelatihan khusus di
Cipayung, Bogor. Contoh yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini
adalah 25 orang yang diperoleh berdasarkan kriteria inklusi dari populasi
sebanyak 42 atlet taekwondo nasional, sehingga semua populasi digunakan
tetapi, 1 orang atlet drop out karena tidak dapat melakukan tes kebugaran dan 1 orang atlet tidak mengisi kuesioner karena harus mengikuti kegiatan akademik di
sekolah asal. Oleh karena itu dari 25 contoh berdasarkan kriteria inklusi, terpilih
23 orang yang dijadikan sebagai contoh.
Gambar 2 Sebaran atlet taekwondo menurut jenis kelamin
Sebagian besar contoh yang mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus
atlet nasional di Cipayung, Bogor, berjenis kelamin perempuan (56,5%) dan
berjenis kelamin laki-laki (43,5%).
Usia
Atlet yang masuk ke pelatnas adalah atlet-atlet berprestasi yang tidak
memerlukan usia khusus untuk mengikuti program di pelatnas. Oleh sebab itu
usia contoh sedikit beragam. Sebaran atlet taekwondo menurut usia disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran atlet taekwondo berdasarkan usia
Usia
Jenis kelamin
Laki-Laki Perempuan
Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%)
10-12 tahun 0 0,0 1 7,7
13-15 tahun 2 20,0 5 38,5
16-18 tahun 8 80,0 7 53,8
Jumlah 10 100,0 13 100,0
Rata-rata usia contoh laki laki yaitu 16,22 ± 1,05 tahun dan contoh
perempuan yaitu 15,46 ± 1,67 tahun. Usia semua contoh yang diteliti tergolong
ke dalam usia remaja yaitu antara 10-18 tahun (Almatsier et al. 2011). Daerah Asal
Pemusatan latihan nasional merupakan wadah yang dijadikan untuk
melatih dan sekaligus digunakan untuk tempat pembinaan atlet-atlet dari
olahraga taekwondo. Atlet yang masuk di pelatnas berasal dari beberapa daerah
di Indonesia. Sebaran atlet menurut daerah asal disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran atlet taekwondo menurut daerah asal
Daerah asal Jumlah (n) Persentase (%)
Sumatra Selatan 1 4,3
sebanyak 10 atlet (43,5%). Asal daerah atlet terbanyak kedua yaitu Jawa Barat
sebanyak 8 orang atlet (34,8%), asal daerah berikutnya yaitu Riau dan D.I
Yogyakarta masing-masing sebanyak 2 orang atlet (8,7%), sedangkan untuk asal
daerah Sumatera Selatan sebanyak 1 orang dengan persentase 4,3%.
Pemilihan atlet di pelatnas ini tidak didasarkan pada subjektivitas dari
contoh. Pemilihan atlet dilakukan melalui seleksi dan pemilihan ketat yang
dilakukan oleh pelatih, pembina, maupun pengurus besar taekwondo indonesia
(PBTI) yaitu tes psikologi, tes kesehatan, tes kemampuan fisik, dan tes
keterampilan untuk cabang olahraga taekwondo. Selain itu, atlet pelatnas
direkomendasikan oleh atlet dari SMA Ragunan Jakarta.
Berat Badan
Pengukuran antropometri yang dilakukan pada contoh meliputi
pengukuran berat badan, dan tinggi badan. Sebaran atlet menurut berat badan
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Berat badan atlet taekwondo berdasarkan jenis kelamin
Berat Badan
Sebagian besar contoh laki-laki (60,0%) memiliki kisaran berat badan
antara 51-55 kg. Sebanyak 20,0%, contoh laki-laki memiliki berat badan antara
56-60 kg, sebanyak 10,0% contoh laki-laki memiliki berat badan antara 46-50 kg
dan sebanyak 10,0% contoh laki-laki memiliki berat badan antara 61-65 kg.
Sebagian besar contoh perempuan (46,2%) memiliki kisaran berat badan antara
51-55 kg. Sebanyak 30,8%, contoh perempuan memiliki berat badan antara
antara 41-45 kg. Berdasarkan hasil uji beda Independent t-test dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,009) antara berat badan pada
contoh laki-laki dengan contoh perempuan. Contoh laki-laki memiliki rata-rata
berat badan yaitu 50,67 ± 4,15 kg dan rata-rata berat badan contoh perempuan
yaitu 54,80 ± 3,87 kg. Rata-rata berat badan contoh tersebut belum memenuhi
rata-rata berat badan standar untuk remaja menurut Widya Karya Pangan dan
Gizi (WKNPG) tahun 2004 yaitu 55 kg (Hardinsyah & Tambunan 2004).
Tinggi Badan
Secara keseluruhan diketahui rata-rata tinggi badan contoh laki-laki yaitu
168,50 ± 3,24 cm dan rata-rata tinggi badan contoh perempuan yaitu 160,47 ±
3,24 cm. Berdasarkan hasil uji beda Independent t-test dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,000) antara tinggi badan pada contoh
laki-laki dengan contoh perempuan. Sebagian besar contoh laki-laki memiliki
kisaran tinggi badan antara 166-170 cm (40,0%) dan 171-175 cm (40,0%).
Sebanyak 20,0%, contoh laki-laki memiliki tinggi badan antara 161-165 cm.
Sebagian besar contoh perempuan (38,5%) memiliki kisaran tinggi badan antara
161-165 cm. Sebanyak 30,8%, contoh perempuan memiliki tinggi badan antara
151-155 cm, sebanyak 23,1% contoh perempuan memiliki tinggi badan antara
156-160 cm dan sisanya sebanyak 7,7% contoh perempuan memiliki tinggi
badan antara 166-170 cm. Sebaran tinggi badan contoh disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Tinggi badan atlet taekwondo berdasarkan jenis kelamin
Tinggi badan
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh individu atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan
penggunaan zat gizi. Beberapa cara untuk mengukur status gizi adalah dengan
konsumsi, biokimia/laboratorium, antropometri dan secara klinis. Pengukuran
status gizi yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode antropometri.
Untuk menentukan status gizi contoh terlebih dahulu ditentukan IMT contoh.
yang direkomendasikan sebagai indikator penentuan status gizi untuk remaja
(Riyadi 2003).
Secara keseluruhan baik contoh laki-laki dan contoh perempuan memiliki
status gizi pada rentang -1,67 SD sampai dengan 0,84 SD dimana rentang
tersebut merupakan kategori status gizi normal menurut WHO (2007). Hasil uji
beda Independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) antara status gizi pada contoh laki-laki dengan contoh
perempuan. Status gizi yang baik sangat penting bagi atlet karena dapat
meningkatkan kemampuan dan performa atlet (Williams 1989).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu
tertentu. Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan,
masalah pengupahan (kebutuhan hidup minimal), ukuran kemiskinan, serta
perencanaan ketersediaan dan produksi pangan daerah (Hardinsyah et al 2002). Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan
seseorang atau kelompok orang baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Survei
konsumsi pangan secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah
pangan atau makanan yang dikonsumsi (Suhardjo et al 1988). Metode kuantitatif juda dapat menghitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti
daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM),
dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM). Metode pengukuran konsumsi makanan
bersifat kualitatif antara lain metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon (recall), metode pendaftaran makanan (food list) (Supariasa et al 2001). Recall selama 24 jam dapat dilakukan secara berulang dalam waktu yang berbeda dalam setahun untuk memperkirakan rata-rata
konsumsi pangan individu untuk jangka waktu yang lebih panjang. Jumlah
pengulangan yang dibutuhkan untuk menggambarkan kebiasaan asupan gizi
bergantung pada derajat presisi yang diinginkan serta zat-zat gizi dan kelompok
populasi yang ingin diteliti. Pada umumnya, bila prosedur penentuan sampel
dilakukan baik dengan memperhitungkan pengaruh akhir pekan, musim, dan hari
libur terhadap pola makan, sehingga hasilnya dapat memperkirakan konsumsi
Frekuensi Makan
Frekuensi makan dan kebiasaan makan contoh digunakan untuk
mengetahui konsumsi pangan secara kualitatif. Menurut Khomsan (2000) dapat
menjadi kecukupan konsumsi gizi diartikan sebagai semakin tinggi frekuensi
makan, maka peluang untuk mencukupi kebutuhan gizi akan semakin besar.
Frekuensi makan yang diukur pada penelitian ini adalah dalam satuan kali per
hari dengan menggunakan metode recall. Frekuensi makan contoh dapat dilihat dari Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran atlet taekwondo menurut frekuensi makan
Frekuensi Makan Sebaran
Jumlah (n) Persentase (%)
1 kali 0 0,0
2 kali 1 4,3
3 kali 17 73,9
> 3 kali 5 21,7
Jumlah 23 100
Sebanyak 73,9% contoh memiliki frekuensi makan sebanyak tiga kali
setiap harinya, sedangkan sebanyak 5 contoh memiliki frekuensi makan lebih
dari 3 kali yaitu sebesar 21,7% dan sebanyak 1 contoh memiliki frekuensi makan
sebanyak 2 kali sehari yaitu sebesar 4,3%. Kebiasaan makan tiga kali sehari
pada contoh sudah dianggap cukup baik untuk menghindari terjadinya masalah
gizi (Suhardjo 1989).
Kebiasaan Makan
Atlet diharapkan memiliki kondisi fisik yang optimal selama menjalani
latihan yang intensif. Untuk mencapai kondisi yang optimal tersebut dibutuhkan
kebiasaan makan yang baik untuk mencapai gizi yang optimal dan akan
menghasilkan kondisi fisik yang prima bagi atlet. Kebiasaan makan contoh
diperoleh melalui hasil wawancara dengan menggunakan metode recall. Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
yaitu konsumsi pangan, preferensi pangan (kesukaan atau ketidaksukaan
terhadap suatu pangan), ideologi terhadap makanan, dan faktor sosial budaya
seorang individu. Sebaran atlet taekwondo menurut kebiasaan makan disajikan
Tabel 11 Sebaran atlet taekwondo menurut kebiasaan makan
Hasil recall mengenai kebiasaan makan pada contoh menunjukkan bahwa sebagian besar contoh selalu membiasakan diri untuk sarapan yaitu
sebanyak 18 contoh dengan persentase 78,3% contoh. Menu sarapan yang
biasa dikonsumsi oleh sebagian besar contoh (48,7%) berupa nasi dan lauk
pauk. Makan siang contoh sebagian besar diisi dengan menu berupa nasi, lauk
hewani, lauk nabati, sayur dan buah (73,9%), sedangkan makan malam contoh
sebagian besar diisi dengan menu nasi, lauk hewani atau lauk nabati serta sayur
(52,2%). Kebiasaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu,
konsumsi pangan, preferensi (kesukaan atau ketidaksukaan) makan, ideologi
terhadap makanan, dan faktor sosial budaya seorang individu. Untuk konsumsi
makanan cepat saji (fast food) sebagian besar contoh (52,2%) menyatakan kadang-kadang mengkonsumsi fast food. Menurut Irianto (2007) penyediaan makanan cepat saji memiliki kelebihan antara lain penyajian yang cepat
sehingga tidak menghabiskan waktu dan dapat dihidangkan kapan dan dimana