• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis potensi wisata bahari di kawasan taman nasional kepulauan seribu, Propinsi DKI Jakarta dengan pendekatan recreation opportunity spectrum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis potensi wisata bahari di kawasan taman nasional kepulauan seribu, Propinsi DKI Jakarta dengan pendekatan recreation opportunity spectrum"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POTENSI WISATA BAHARI DI KAWASAN

TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU, PROPINSI DKI

JAKARTA DENGAN PENDEKATAN

RECREATION

OPPORTUNITY SPECTRUM

DIAN ANGGRAINI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ANALISIS POTENSI WISATA BAHARI DI KAWASAN

TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU, PROPINSI DKI

JAKARTA DENGAN PENDEKATAN

RECREATION

OPPORTUNITY SPECTRUM

DIAN ANGGRAINI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Judul Tesis : Analisis Potensi Wisata Bahari Di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta dengan Pendekatan Recreation Opportunity Spectrum

Nama : Dian Anggraini NIM : A353060131

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah, M.Sc Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S

(4)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Potensi Wisata Bahari di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta dengan Pendekatan Rekreation Opportunity Spectrum adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(5)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas limpahan dan karunia-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : Analisis Potensi Wisata Bahari di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta dengan Pendekatan Recreation Opportunity Spectrum. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Master Sains pada program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Institut Pertanian Bogor.

Seiring dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : Bapak Dr.Muhammad Ardiansyah, M.Sc dan Bapak Dr.Luky Adrianto, M.sc, atas segala arahan dan bimbingannya. Terimakasih kepada : Ayahanda Sahid Purnomo, Ibunda Endang Heruwati atas segala do’a dan kepercayaan yang telah diberikan pada ananda, Kakak tercinta Rahmi Purnomowati dan Dini Kartikawati atas inspirasi dan dukungannya, Kakak iparku Adnan Anwar, Kakak Awa yang cantek juga Adek Adam yang ganteng atas gangguan dan godaannya.

Selanjutnya ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Bapak Dr. Ir. Setiahadi, M.Si selaku dosen penguji. 2. Dosen-dosen dan Teman-teman PWL-IPB 2006 yang telah memberi ilmu dan

kebersamaan selama penulis menempuh pendidikan.

3. Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu khususnya Bapak Joko Prihatno selaku Kepala Balai, Mbak Badiah atas ide ROS dan diskusinya, Pak Sugeng selaku Kepala Seksi atas fasilitas selama di Pulau Pramuka, Abah Sairan atas pelajaran selamnya, Pak Satibi dan Pak Jakaria atas pendampingan selama di lapangan, Kahfi dan Oman yang rela mengisi tabung di pagi-pagi buta, Pak kapten atas traveling yang mengesankan.

(6)

5. Biotrop khususnya Bapak Vincent atas data terumbu karang dan masukannya. 6. Mas Cacul dan Mbak Nanik atas masukan dan dukungan selama penelitian 7. Yayasan DANA MANDIRI atas bantuan dana penelitian yang telah diberikan. 8. Terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan mendukung proses

dan penyusunan tesis ini, semoga tesis ini bermanfaat.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mataram Nusa Tenggara Barat pada tanggal 6 April 1978 dari ayah Ir.Sahid Purnomo dan Ibu Endang Heruwati. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Sistem Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan meraih gelar Sarjana Komputer pada tahun 2001. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah.

(8)

RINGKASAN

Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) merupakan daerah konservasi yang sekaligus dimanfaatkan untuk wisata. Sebagai daerah konservasi TNKS memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya alam. Hal ini berarti bahwa TNKS harus merencanakan dan melakukan pengelolaan kawasan dengan benar melalui strategi dan kerangka pengelolaan yang menjamin dan mendukung keberlanjutan nilai-nilai sumberdaya alam. Recreation Opportunity Spectrum (ROS) yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sebuah kerangka perencanaan melalui sistem zonasi pada landscape dan seascape. Tujuan dari ROS adalah untuk mendapatkan keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi. ROS memandang empat komponen pembentuk peluang rekreasi (recreation opportunity) adalah aktifitas, lokasi, pengalaman dan manfaat baik secara ekonomi maupun lingkungan.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kesesuaian aktivitas rekreasi, mengestimasi nilai ekonomi wisata, memetakan zona peluang rekreasi dan merencanakan pengelolaan kawasan berdasarkan karakteristik zona masing-masing kawasan serta potensi wisata yang dimilikinya.

(9)

akan menjadi bahan untuk dilakukannya rencana pengelolaan kawasan wisata di TNKS.

Penilaian biofisik dan penilaian pengunjung menghasilkan nilai kesesuaian wisata terkait dengan wisata terumbu karang, perairan pantai dan darat pulau atau gosong. Nilai wisata sangat sesuai untuk wisata terumbu karang ditemukan di Pulau Panggang, Pulau Semak Daun, Pulau Karang Congkak dan Pulau Kotok. Nilai wisata sangat sesuai untuk wisata pantai ditemukan di perairan Pulau Semak Daun, Karang Congkak dan Kotok. Estimasi nilai ekonomi wisata atau nilai surplus konsumen untuk wisata pulau tertinggi pada Pulau Pramuka dengan nilai Rp.9,513,078,212.38 pertahun dan nilai terendah pada Pulau Panggang sebesar Rp.2,357,337,777,79 pertahun. Nilai surplus konsumen untuk wisata terumbu karang dengan nilai tertinggi diperoleh untuk Pulau Panggang dengan nilai Rp.1,951,355,395.03 pertahun dan nilai terendah di Pulau Pramuka dengan nilai Rp.137,790,894.72 pertahun. Nilai surplus konsumen untuk wisata memancing dengan nilai tertinggi diperoleh untuk Pulau Semak Daun dengan nilai Rp.698,469,686.84 pertahun dan nilai terendah di Pulau Panggang dengan nilai Rp.164,439,654.39 pertahun.

Zona peluang rekreasi berdasarkan analisis kelas spektrum dengan parameter fisik, sosial dan manajerial menghasilkan zona semi urban untuk Pulau Pramuka, zona rural developed untuk Pulau Panggang, Pulau Karya dan Gosong Pramuka, zona rural natural untuk Pulau Semak Daun dan Pulau Kotok dan zona semi primitive untuk Pulau Karang Congkak.

(10)

Daun, Karang Congkak dan Kotok. Sementara Potensi wisata memancing dapat dikembangkan pada semua lokasi yang memiliki terubu karang buatan dan lokasi budidaya keramba.

Perencanaan pengelolaan kawasan selanjutnya dilakukan dengan strategi pengaturan, strategi penataan fisik, strategi ekonomi dan strategi pendidikan. Strategi pengaturan dilakukan dengan pembatasan jumlah pengunjung, waktu kunjungan, larangan mengambil biota dan fauna perairan, dan lain-lain. Strategi penataan fisik dilakukan dengan penambahan sarana fisik untuk meningkatkan kenyamanan dan kemudahan wisatawan dalam mengakses obyek rekreasi dengan memperhatikan karakteristik kawasan. Strategi ekonomi dilakukan dengan sistem insentif dan disinsentif. Strategi Pendidikan dilakukan dengan meningkatkan pemahaman wisatawan dan masyarakat pulau terkait dengan fungsi kawasan dan nilai sumberdaya alam yang menjadi objek rekreasi.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

I. PENDAHULUAN ... 1.1. Latar Belakang ... 1.2. Permasalahan ... 1.3. Tujuan penelitian ……... 1.4. Manfaat penelitian ………

II. STUDI PUSTAKA ………..……

2.1. Recreation Opportunity Spectrum ………. 2.1.1. Konsep Recreation Opportunity Spectrum ……….. 2.1.2. Setting Peluang Rekreasi ……..……….. 2.2. Ekowisata Bahari ... 2.3. Permintaan Rekreasi ... 2.4. Konsep Dasar Valuasi Ekonomi ...

2.4.1. Sumberdaya Alam Sebagai Aset ... 2.4.2. Konsep Nilai untuk Sumberdaya... 2.4.3. Jenis-Jenis Nilai Ekonomi ... 2.5. Metode Valuasi Ekonomi Sumberdaya

2.5.1. Surplus Konsumen ... 2.5.2. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method) ... 2.6. Pengelolaan Pulau-pulau Kecil... 2.7. Penginderaan Jauh ... 2.8. Sistem Informasi Geografi ...

(12)

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 3.1. Kerangka Pikir Penelitian ... 3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian ………. 3.3. Metode Pengumpulan Data ... 3.4. Analisis Data ... 3.4.1. Pemetaan Penutupan Lahan dan Perairan Laut ... 3.4.2. Pemetaan Aktifitas Rekreasi ...……… 3.4.2.1. Pemetaan Berdasarkan Faktor Biofisik ... 3.4.2.2. Pemetaan Berdasarkan Penilaian Wisatawan ... 3.4.2.3. Pemetaan Berdasarkan Nilai Ekonomi Wisata ... 3.4.3. Pemetaan Zona Peluang Rekreasi (ROS)... 3.4.4. Pemetaan Potensi Wisata Bahari ... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………..

4.1. Pemetaan Penutupan Lahan dan Perairan Laut ... 4.2. Pemetaan Rekreasi Berdasarkan Faktor Biofisik...

(13)

4.5.3. Parameter Manajerial ... 4.5.4. Overlay Parameter Fisik, Sosial dan Manajerial ... 4.6. Posisi Zona Rekreasi dalam Zona Konservasi ... 4.7. Pemetaan Potensi Wisata Zona Peluang Wisata ... 4.8. Strategi Pengelolaan Wisata Bahari ... 4.9. Prioritas dan Bentuk Pengelolaan. ...

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 5.1. Kesimpulan... 5.2. Saran... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

99 102 106 110 113

(14)

DAFTAR TABEL

1. Sumber Obyek Ekowisata Bahari ... 2. Kegiatan Ekowisata Bahari yang Dapat Dikembangkan ... 3. Karakteristik Instrumen SPOT ... 4. Skala Ketelitian Produk SPOT ... 5. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ... 6. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Ekowisata Bahari Kategori

Wisata Diving... 7. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Ekowisata Bahari Kategori

Wisata Snorkling... 8. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Ekowisata Bahari Kategori Wisata Pantai... 9. Matrik Parameter Fisik Kelas Spektrum Wilayah ... 10. Matrik Parameter Sosial Kelas Spektrum Wilayah ... 11. Matrik Parameter Manajerial Kelas Spektrum Wilayah ... 12. Matrik Zonasi Gabungan Parameter Fisik, Sosial dan Manajerial ... 13. Nilai Surplus Konsumen Wisatawan Kepulauan Seribu ... 14. Deskripsi Zona Peluang Rekreasi (ROS) Taman Nasional

Kepulauan Seribu ... 15. Nilai Skor Peluang Zona Wisata Bahari ... 16. Deskripsi Kondisi Pulau di Zona Peluang Rekreasi (ROS)

Halaman

11 11 23 24 32

38

38 39 43 44 44 45 86

(15)

Taman Nasional Kepulauan Seribu ... .. 17. Strategi Pengelolaan Kawasan Wisata di TNKS... 18. Prioritas Rencana Pengembangan Wisata Pulau... 19. Prioritas dan Rencana Pengelolaan Wisata Terumbu Karang ... 20. Rencana Pengelolaan Wisata Memancing ...

104

1. Hubungan antara faktor-faktor ROS... 2. Klasifikasi Nilai Ekonomi... 3. Diagram Alir Penelitian ... 4. Citra Lokasi Penelitian ... 5. Multi Criteria Evaluation dalam Pembuatan Peta Potensi Wisata ... 6. Hasil Transformasi Lyzenga untuk Ekstraksi Tutupan Lahan Perairan TNKS... 7. Peta Wisata Pantai Berdasarkan Penilaian Biofisik ... 8. Stasiun Pengamatan Terumbu Karang ... 9. Peta Kesesuaian Wisata Snorkling ... 10. Peta Kesesuaian Wisata Diving ... 11. Peta Lokasi Wisata Memancing ... 12. Sebaran Responden Domestik dan Mancanegara ... 13. Sebaran Asal Responden Wisatawan Nusantara ... 14. Sebaran Asal Responden Wisatawan Mancanegara ... 15. Sebaran Jenis Kunjungan Wisatawan ... 16. Peta Wisata Berdasarkan Penilaian Wisatawan Terhadap

(16)

17. Sebaran Jumlah Jam Kunjungan Wisatawan ... 18. Sebaran Tingkat Kunjungan Wisatawan ... 19. Sumber Informasi Wisatawan ... 20. Biaya Perjalanan Wisata Pulau Pemukiman ... 21. Biaya Perjalanan Wisatawan Pulau Resort ... 22. Peta Sebaran Nilai Surplus Konsumen ... 23. Peta Zona Peluang Rekreasi Parameter Fisik ... 24. Peta Zona Peluang Rekreasi Parameter Sosial ... 25. Peta Zona Peluang Rekreasi Parameter Manajerial ... 26. Peta Zona Peluang Rekreasi Parameter Fisik, Sosial dan Manajerial... 27. Overlay Zonasi Konservasi dan Zonasi ROS ... 28. Peta Potensi Wisata Bahari dalam Zona Wisata ...

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Transformasi Lyzenga... 2. Koordinat Geografi Lokasi Penelitian ... 3. Kategori Subtrat dan Kode Lifeform ... 4. Persentase Substrat dan Lifeform di setiap stasiun ... 5. Perhitungan Nilai Indek Kesesuaian Wisata Diving 3m ... 6. Perhitungan Nilai Indek Kesesuaian Wisata Snorkling 3-5m ... 7. Perhitungan Nilai Indek Kesesuaian Wisata Pantai ... 8. Hasil Perhitungan Surplus Konsumen dengan Regresi Linier

dan Semi Log... 9. Perhitungan Nilai Potensi Wisata Pulau dengan MCE ... 10.Perhitungan Nilai Potensi Wisata Pantai dengan MCE ... 11.Perhitungan Nilai Potensi Wisata Terumbu Karang dengan MCE ... 12.Koordinat Lokasi Terumbu Buatan Wisata Memancing

13.Kuisoner Pakar Terhadap Penilaian Parameter Fisik Wilayah

dengan ROS ... 14.Kuisoner Penilaian Pakar Terhadap Penilaian Parameter Sosial

Halaman

128 129 130 131 135 136 138

140 141 142 143 144

(18)

Wilayah dengan ROS ... 15.Kuisoner Penilaian Pakar Terhadap Penilaian Parameter Manajerial

Wilayah dengan ROS ... 16.Kuisoner Wisatawan ...

146

(19)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kelautan atau kepulauan dengan luas laut 5,1 juta km2 dan panjang garis pantai sekitar 81.000 km, dengan jumlah pulau diperkirakan sebesar 17.508 dengan kata lain 63% dari total wilayah teritorial Indonesia (DKP, 2006). Sebagai negara kelautan Indonesia mempunyai sumberdaya laut (marine resources) yang sangat potensial untuk dimanfaatkan demi kepentingan pembangunan nasional. Sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan kekayaan alam yang tersimpan dalam sumberdaya laut. Sementara itu potensi sumberdaya di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi sumberdaya hayati dan non hayati, energi kelautan serta jasa-jasa lingkungan masih belum dimanfaatkan secara optimal dikarenakan belum adanya kesamaan pola pikir pemerintah dan para pemanfaat (masyarakat) tentang pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Padahal potensi sumberdaya laut merupakan penyumbang devisa negara yang dapat diperhitungkan.

Globalisasi telah mampu membuka wilayah-wilayah terisolir seperti kawasan taman nasional. Adanya pergeseran kepariwisataan internasional dimana wisatawan menginginkan perjalanannya lebih bermakna, berkualitas dan menambah pengalaman hidup serta memperoleh pengetahuan baru mendorong dibukanya akses kawasan taman nasional yang tidak lagi hanya sekedar menjadi kawasan konservasi untuk penelitian (Fandeli, 2005). Taman nasional menawarkan wisata biofisik yang sangat menarik dan menantang pada beberapa kawasan yang menjadi bagian dari taman nasional seperti zona-zona yang lebih liar atau alami yang memiliki keanekaragaman dan keindahan hayati baik flora maupun fauna. Indonesia memiliki taman nasional yang sangat banyak dan beraneka ragam baik darat maupun perairan laut dan memiliki peluang besar untuk menjadi tujuan pariwisata.

(20)

semestinya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaan sumber daya alam dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya mengharuskan adanya perencanaan dan pengelolaan yang tepat. Suatu hal yang penting ketika pariwisata akan dikembangkan di sebuah kawasan konservasi, untuk menempatkan kerangka pengelolaan dan strategi, sehingga pariwisata dapat mendukung dan menjamin nilai-nilai yang dilindungi tetap lestari (Eagles, 2002 dalam Badiah, 2004). Kondisi yang tidak dapat dihindari dari aktifitas kunjungan adalah hampir sebagian besar pengunjung melakukan aktivitas yang bersentuhan dengan ekosistem seperti diving, snorkling, fishing, menanam mangrove dan lamun yang tanpa disengaja ataupun tidak disengaja akan mempengaruhi kualitas dan keberadaan ekosistem.

Dalam perencanaan pemanfaatan wisata bahari di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) sangat dibutuhkan informasi mengenai potensi wilayah pesisir dan lautan. Secara fisik baik luasan hamparan terumbu karang maupun ekosistem lain yang merupakan daya tarik wisata di perairan dalam kawasan TNKS belum terpetakan (Renstra TNKS, 2005). Bentuk sistem informasi dan pengkajian spasial yang sesuai dalam pengertian dapat menyimpan dan mengolah serta menyampaikan secara cepat dan mudah dari berbagai sektor adalah Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dapat dipadukan dengan Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja) yang memiliki kelebihan dalam memberikan data spasial multi temporal, cakupan luas dan mampu menjangkau daerah yang terpencil.

(21)

1.2. Permasalahan

Kawasan taman nasional adalah kawasan perlindungan yang tidak saja mempunyai fungsi sebagai kawasan perlindungan alam akan tetapi juga dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, menangkap ikan, wisata, penelitian dan pendidikan serta menunjang kegiatan budidaya. Kondisi dan penurunan kualitas sumber daya alam di kawasan taman nasional memiliki keterkaitan dengan pola pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dan keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan pada kawasan tersebut.

Sementara adanya permintaaan terhadap obyek wisata memiliki tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan persediaan sumberdaya alam yang menunjang kegiatan obyek wisata ini memiliki tren yang menurun, maka sangat diperlukan adanya upaya-upaya pengelolaan sumberdaya alam di kawasan taman nasional tersebut secara berkelanjutan. Hal tersebut menjadi suatu tantangan bagi pihak pengelola TNKS dalam mewujudkan sistem pengelolaan kawasan yang mampu mempertahankan kualitas lingkungan.

Pariwisata merupakan sektor ekonomi kedua yang terpenting setelah perikanan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Setidaknya 44 pulau telah dikembangkan untuk kegiatan pariwisata baik untuk tujuan komersial maupun untuk kepentingan pribadi. Berbagai fasilitas mewah dibangun di pulau-pulau tersebut, seperti bungalow, restoran, ruang pertemuan, dan fasilitas olahraga. Sampai tahun 1998, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kepulauan Seribu memperlihatkan peningkatan, namun setelah situasi politik di Jakarta yang memanas terjadi di tahun 1998, terjadi penurunan jumlah kunjungan wisata hingga minus 27,5%. Penurunan signifikan terlihat dari kunjungan wisatawan mancanegara (LAPI-ITB 2001, dalam Terangi, 2005). Catatan jumlah wisatawan yang mengunjungi 11 pulau wisata umum yang terdata dari Januari – Mei 2001 sebanyak 22.868 orang, 87 % diantaranya adalah wisatawan nusantara (Adriani, 2000 dalam Terangi, 2005)

(22)

adalah kepentingan penduduk lokal, faktor kedua adalah kepentingan pemilik resort pulau wisata, dan faktor ketiga adalah karakteristik dan fungsi pulau itu sendiri (Yuwana, 2000).

Keberadaaan masyarakat di pulau-pulau dalam wilayah TNKS sudah lama jauh sebelum terbentuknya TNKS sehingga masyarakat akan merasakan manfaat keberadaan taman nasional apabila mereka memperoleh kesempatan meningkatkan pendapatan dari keberadaan TNKS termasuk aktivitas eko-wisata (wisata alam). Manfaat ini akan mendorong masyarakat untuk berperan serta mendukung keberadaan taman nasional dan tidak melakukan tekanan yang dapat merusak lingkungan. Faktor kedua yaitu faktor pengunjung. Perilaku pengunjung untuk ikut menjaga lingkungan akan menciptakan lingkungan lebih nyaman. Perilaku pengunjung merupakan apresiasi pengunjung tersebut terhadap lingkungan rekreasi dan pengalaman yang mereka dapatkan dari lingkungan. Kenyamanan dan kepuasan pengunjung terhadap suatu obyek wisata akan menimbulkan kesediaan untuk membayar dengan harga yang lebih tinggi. Faktor ketiga adalah karakteristik dan fungsi pulau. Faktor ini akan terjaga bila ada pengelolaan yang benar yang dapat menaikkan kualitas dan daya tarik ekowisata (Yuwana, 2000).

Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Aktifitas rekreasi wisata apa yang sesuai di pulau dan bagaimana potensi pulau terhadap aktifitas rekreasi yang ada dari sisi biofisik, pengunjung dan ekonomi wisata ?

b. Bagaimana zona peluang rekreasi yang menggambarkan karakteristik pulau yang dapat memberikan pengalaman dalam wisata ?

c. Berapa nilai ekonomi wisata di kawasan TNKS ?

(23)

1.3. Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Memetakan aktivitas rekreasi dan bagaimana potensi wilayah terhadap

aktifitas rekreasi berdasarkan faktor alami/biofisik, penilaian wisatawan dan nilai ekonomi wisata.

b. Memetakan peluang lokasi atau zona rekreasi dengan analisa Spektrum Peluang Rekreasi/ Recreation Opportunity Spectrum (ROS) yang ada dalam wilayah TNKS.

c. Mengestimasi nilai ekonomi wisata di TNKS.

d. Memberikan rekomendasi rencana pengelolaan wisata di kawasan TNKS berdasarkan potensi dan karakteristik kawasan.

1.4. Manfaat penelitian

(24)

II.

STUDI PUSTAKA

2.1. Recreation Opportunity Spectrum

2.1.1. Konsep Recreation Opportunity Spectrum

Recreation Opportunity Spectrum (ROS) adalah sebuah planning framework yang diterapkan pada landscape dan seascape dengan tujuan menangani terjadinya landuse conflik melalui inventarisasi, perencanaan dan manajemen. Tujuan dari penerapan ROS adalah untuk mendapatkan keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi. ROS mendukung zonasi dan pembangunan recreation experiance dimana wilayah diklasifikasikan dan dibagi berdasarkan kondisi lingkungan dan aktivitas rekreasi. Pada umumnya berbagai kepuasan yang ingin dicapai dalam sebuah aktifitas rekreasi akan mengarahkan orang ke wilayah tertentu yang terproteksi dan tentunya hal ini akan menimbulkan konflik.

Dalam mengembangkan sebuah recreation opportunities haruslah memperhatikan faktor lingkungan, sosial dan manajerial yang dapat dikombinasikan dalam cara yang berbeda sebagaimana digambarkan pada Gambar 1.

Sumber : Manning (1999) dalam Ankre at al (2006)

Gambar 1. Hubungan antara faktor-faktor ROS

Environmental condition merupakan kualitas dari bentuk landscape dan

seascape, social condition adalah bagaimana landscape dan seascape tersebut Natural

Low density Undeveloped

FACTORS

Unnatural High-density

Developed Environmental conditions

Social conditions Managerial conditions

(25)

dimanfaatkan oleh masyarakat dan managerial condition adalah bagaimana sebuah wilayah dikelola. Total dari faktor tersebut menciptakan spektrum. Spektrum terdiri atas kelas-kelas yang berbeda dimana wilayah di zonasikan sebagai primitive, semi-primitive, non-motorized, semi-primitive motorized, rustic, concentrated, and modern urban (Manning, 1999 dalam Ankre at al, 2006).

Faktor utama dalam menentukan kelas ROS adalah setting. Setting

menggambarkan keseluruhan lingkungan luar dimana aktivitas tejadi, mempengaruhi keragaman aktivitas, dan pada akhirnya menentukan keragaman rekreasi yang dapat dilakukan.

ROS merangkum keragaman dari recreational setting berdasarkan pengalaman (experience) tertentu. Recreation setting terdiri dari atribut lingkungan fisik, sosial dan managerial. Kombinasi dari atribut-atribut tersebut membentuk aktivitas tertentu yang mengarahkan pada suatu pengalaman.

Tujuan dari seseorang yang berekreasi adalah memperoleh kepuasan dengan pengalaman yang menyenangkan, melalui keterlibatan mereka di dalam kegiatan-kegiatan yang disukai pada setting lingkungan yang mereka sukai pula. Peluang untuk mencapai pengalaman yang memuaskan tergantung pada elemen-elemen alami seperti vegetasi, seascape dan pemandangan, serta kondisi-kondisi yang dikontrol oleh manajemen kawasan, seperti pengembangan kawasan, jalan dan regulasi. Sehingga tujuan dari pengelolaan sumberdaya rekreasi adalah menjadikannya dapat memberikan peluang untuk memperoleh jenis-jenis pengalaman dengan mengelola setting kealamian dan kegiatan-kegiatan di dalamnya (Canada National Park Service, 1997 dalam Badiah, 2004).

ROS dibagi ke dalam enam kelas, berkisar dari yang betul-betul alami atau area penggunaan yang rendah, sampai kepada pembangunan yang tinggi atau area penggunaan intensif (fasilitas/ kendaraan tergantung pada kesempatan rekreasi). Masing-masing kelas didefinisikan dalam tiga komponen prinsip yaitu : setting

(26)

pengalaman rekreasinya tergantung pada setting lingkungan dan perbedaan individu berdasarkan latar belakang, pendidikan, jenis kelamin, umur, dan asal.

2.1.2. Setting Peluang Rekreasi

Menurut Kohl (2003) dalam Badiah (2004) ROS mencakup sebuah setting

berbagai rekreasi dimana pengalaman tertentu mungkin didapat. Tujuh elemen memberikan dasar untuk menginventarisasi dan melukiskan setting rekreasi. Ketujuh elemen tersebut adalah : akses, keterpencilan, kealamian, fasilitas dan kawasan pengelolaan, pengelolaan pengunjung, perjumpaan sosial dan dampak pengunjung. Unsur-unsur tersebut dijelaskan sebagai berikut :

Akses - termasuk cara perjalanan yang digunakan dalam area tersebut dan yang mempengaruhi baik level maupun tipe penggunaan rekreasi di sebuah kawasan penerima.

Keterpencilan - perasaan individu jauh dari aktivitas manusia didalam sebuah kawasan yang luas. Variasi vegetasi dan topografi dapat menambah perasaaan keterpencilan ini. Kurangnya keterpencilan sangat penting untuk beberapa pengalaman rekreasi.

Kealamian - mengenai variasi tingkatan modifikasi oleh manusia pada suatu lingkungan. Seringkali menggambarkan suatu kualitas pemandangan yang dipengaruhi oleh tingkat alterasi dari sebuah landskap alami.

Manajemen kawasan - mengacu pada tingkat pembangunan suatu tempat. Rendahnya modifikasi suatu tempat dapat memfasilitasi perasaan keterasingan dan kealamian, walaupun pembangunan fasilitas yang tinggi dapat meningktakan kenyamanan dan kesempatan untuk bertemu serta berinteraksi satu sama lain.

(27)

Perjumpaan sosial - melibatkan jumlah dan tipe pertemuan pengunjung satu sama lain didalam sebuah areal rekreasi. Juga mengukur luasan dimana sebuah kawasan memberikan pengalaman kesunyian atau interaksi sosial. • Dampak pengunjung - sesuatu yang berpengaruh terhadap sumberdaya alam

seperti tanah, vegetasi, udara, air dan kehidupan liar. Walaupun pada tingkat penggunaan yang rendah, pengunjung dapat menghasilkan dampak biofisik yang signifikan, dan dampak-dampak ini dapat mempengaruhi pengalaman pengunjung juga.

2.2. Ekowisata Bahari

Ekowisata bahari merupakan kegiatan pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Ekowisata merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan (META, 2002 dalam Yulianda, 2007). Sedangkan Wood (1999) dalam Yulianda (2007) mendefinisikan ekowisata merupakan bentuk baru dari perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami dan berpetualang, serta dapat menciptakan industri pariwisata.

Konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai tujuan : (1) Menjaga tetap berlangsungnya proses biofisik yang tetap mendukung sistem kehidupan, (2) Melindungi keanekaragaman hayati, (3) menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan (4) Memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat.

The Ecotourism Society (Eplerwood, 1999 dalam Fandeli, 2000) menyebutkan ada delapan prinsip pengembangan ekowisata :

1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2. Pendidikan konservasi lingkungan; Mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi.

(28)

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; Merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.

5. Penghasilan bagi masyarakat; Masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.

7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

8. Kontribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat)

Pengelolaan ekowisata bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian dan memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya masyarakat. Konsep pengelolaan ekowisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi lebih daripada itu yaitu mempertahankan nilai sumberdaya alam dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan, dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan menjual filosofi. Hal ini membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar. Meskipun pasar sangat menentukan pengembangan ekowisata namun konsep pengelolaan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar ekowisata.

(29)

Tabel 1. Sumber Obyek Ekowisata Bahari

Obyek Komoditi Obyek Ekosistem Obyek Kegiatan

Penyu

Duyung, Paus Lumba-lumba, Hiu

Spesies endemik, Pasir putih dan ombak

Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan wisata pantai dan wisata bahari (Tabel 2). Wisata pantai atau wisata bahari adalah wisata yang obyek dan daya tariknya bersumber dari potensi bentang laut (seascape) maupun bentang darat pantai (coastal landscape) (Sunarto, 2000 dalam Yulianda, 2007). Secara terpisah dapat dijelaskan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olah raga, menikmati pemandangan dan iklim. Sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut.

Ada faktor-faktor alam yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengembangan wisata pantai dan wisata bahari meliputi angin, gelombang laut, arus laut, pasang surut, bentuk pantai, bentuk butir pasir, biota pantai dan ekosistem perairan.

Tabel 2. Kegiatan Ekowisata Bahari yang Dapat Dikembangkan

Wisata Pantai Wisata Bahari

Rekreasi pantai

Panorama, Resort/Peristirahatan Berenang, Berjemur, Berperahu

Olahraga pantai (volley pantai, jalan pantai, lempar cakram, dll)

Memancing Wisata mangrove

Rekreasi pantai dan laut Resort/peristirahatan

Wisata selam (diving) dan wisata snorkling

Selancar, Jet ski, banana boat, perahu kaca, kapal selam

Wisata ekosistem lamun, wisata nelayan, wisata pulau, wisata pendidikan, wisata pancing

Wisata satwa (penyu, lumba-lumba, burung)

(30)

2.3. Permintaan Rekreasi

Permintaan (demand) umumnya diartikan jumlah dari suatu barang atau jasa yang mau dan dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai kemungkinan harga, dalam jangka waktu tertentu dengan anggapan hal-hal lain tetap sama atau cateris paribus (Gilarso, 1993 dalam Sabda, 2003).

Dari pernyataan di atas, jelas bahwa jumlah permintaan terhadap suatu barang atau jasa sangat dipengaruhi oleh harga dari barang atau jasa tersebut, dengan pengertian, bila harga suatu barang atau jasa naik, jumlah yang mau dibeli oleh konsumen akan lebih banyak. Jumlah permintaan ini juga akan berubah, bila terjadi perubahan-perubahan pada jumlah konsumen yang mau membeli barang atau jasa tersebut, terutama barang atau jasa subtitusi dan komplemennya (Sabda, 2003).

Dalam rekreasi, permintaan umumnya diapresiasikan dalam bentuk daftar volume atau tingkat kunjungan yang dilakukan pada berbagai tingkat biaya perjalanan (Clawson dan Knetsch, 1995).

Keinginan seseorang untuk melakukan rekreasi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, waktu luang yang dimilikinya, dan tempat tinggal (Brockman dan Lawrence, 1979). Sementara Gregory (1972) dalam Suwarya (1995), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap suatu tempat rekreasi pada dasarnya terdiri atas : (1) faktor penduduk meliputi : jumlah dan kepadatan penduduk, tempat tinggal (kota atau desa), penyebaran kelas umur, dan tingkat pendidikan penduduk, (2) faktor pendapatan, (3) faktor ketersediaan waktu luang, dan (4) faktor tempat rekreasi lain.

Clawson dan Knetsch (1975) dalam Sabda (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap suatu tempat rekreasi, secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut :

(31)

keluarga, dan tingkat pendidikan, (d) rata-rata pendapatan dan pendistribusiannya, (e) rata-rata pembagian waktu luang, serta (f) pendidikan khusus, pengalaman dan pengetahuan yang berhubungan dengan rekreasi. 2. Faktor yang berhubungan dengan tempat rekreasi seperti : (a) keindahan dari

daya tarik, (b) intensitas dan sifat pengelolaan, (c) jumlah tempat rekreasi alternative, (d) kapasitas tempat rekreasi untuk akomodasi pengunjung, serta (e) karakteristik iklim dan cuaca tempat rekreasi.

3. Faktor yang berhubungan dengan keterkaitan antara permintaan potensial dan tempat rekreasi seperti : (a) lama waktu perjalanan dari tempat tinggal ke tempat rekreasi dan kembali ke tempat tinggal, (b) kenyamanan dalam perjalanan rekreasi, (c) biaya perjalanan untuk berkunjung ke tempat rekreasi, serta (d) adanya promosi.

2.4. Konsep Dasar Valuasi Ekonomi 2.4.1. Sumberdaya Alam Sebagai Aset

Sumberdaya alam adalah aset alami (natural asset) yang selain menyediakan barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan manusia, juga menghasilkan jasa yang tidak diorganisasikan melalui mekanisme pasar. Sebagai aset, sumberdaya alam menyediakan dua jenis jasa yang dapat dijadikan sebagai basis dalam menghitung nilai ekonomi yang dihasilkan.

Pertama menyangkut bagaimana pilihan terhadap konsumsi atau pemanfaatan sumberdaya alam tersebut dilakukan. Sebagai contoh, sumberdaya ikan bisa dimanfaatkan oleh nelayan untuk menghasilkan produk yang bisa dijual di pasar (marketable output), sementara sumberdaya yang sama bisa dimanfaatkan untuk rekreasi yang menghasilkan output yang berbeda, bukan sebatas ikan yang diperoleh tapi kepuasan rekreasi yang tidak terukur di pasar. Jadi, meski sumberdaya ikan menyediakan jasa input untuk kedua kegiatan tersebut, jenis output dan pendekatan untuk melakukan valuasi ekonominya pun berbeda.

(32)

pihak lain. Ketiadaan kendali terhadap akses sumberdaya tidak berarti bahwa semua pihak akan menilai sumberdaya dengan penilaian yang sama.

2.4.2. Konsep Nilai untuk Sumberdaya

Sebagaimana disebutkan di atas, barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam memberikan manfaat baik langsung maupun tidak langsung bagi kebutuhan manusia. Manfaat langsung dapat berupa komoditas maupun jasa yang dapat dikonsumsi langsung oleh manusia, sementara manfaat tidak langsung dapat berupa manfaat dari fungsi-fungsi biofisik yang dihasilkan dari sumberdaya alam seperti pencegah banjir, penjaga keseimbangan ekosistem, penyedia keaneka ragaman hayati dan lain sebagainya. Dengan kata lain sumberdaya alam memiliki nilai yang tinggi, baik nilai ekonomis maupun nilai biofisiks bagi kelangsungan hidup manusia. Berikut ini adalah uraian mengenai konsep nilai ekonomi yang disarikan dari Fauzi (2002) dalam DKP (2003).

Pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan memang bisa saja berbeda jika dipandang dari perspektif yang berbeda. Sebagai contoh, dari sisi biofisik misalnya, nilai dari suatu kawasan lindung bisa berarti pentingnya kawasan tersebut sebagai tempat produksi bagi spesies ikan tertentu, ataupun fungsi biofisiks lainnya. Dari sisi konservasi kawasan lindung memiliki arti bagi pelestarian keanekaragaman hayati serta perlindungan spesies tertentu. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistem.

Oleh karenanya diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan basis untuk menilai suatu sumberdaya alam adalah dengan memberikan ”price tag” (harga) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut sebagai nilai ekonomi dari sumberdaya alam dan lingkungan.

(33)

sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang untuk membayar barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai biofisik dari ekosistem bisa di ”terjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa. Sebagai contoh jika suatu ekosistem mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya.

2.4.3. Jenis-Jenis Nilai Ekonomi

Dalam menilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, para ahli ekonomi sumberdaya membagi nilai tersebut ke dalam beberapa jenis. Secara umum nilai ekonomi sumberdaya dibagi kedalam nilai kegunaan atau pemanfaatan (use values) dan nilai non-kegunaan atau non-use values atau passive values. Use value adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa seperti menangkap ikan, menebang kayu, dan sebagainya. Kedalam nilai ini juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam misalnya ikan dan kayu yang bisa dijual maupun untuk konsumsi langsung. Use value secara lebih rinci diklasifikasikan kembali kedalam direct use value (nilai kegunaan langsung) dan

indirect use value (nilai kegunaan tidak langsung).

Direct use value merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya seperti penangkapan ikan, pertanian, kayu sebagai bahan bakar dan lain sebagainya baik secara komersial maupun non komersial. Sementara indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Termasuk didalam kategori indirect use value ini misalnya fungsi pencegahan banjir dan

nursery ground dari suatu ekosistem (misalnya mangrove).

(34)

lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Secara detail, kategori non-use value ini dibagi lagi kedalam beberapa sub-class yakni : Existence Value, Bequest Value dan Option Value.

Existance Value atau nilai keberadaan pada dasarnya adalah penilaian yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan meskipun masyarakat misalnya tidak akan memanfaatkan atau mengunjunginya. Sebagai contoh, seseorang misalnya mungkin mau membayar untuk menjaga keberadaan Taman Nasional Laut Pulau Seribu meskipun yang bersangkutan belum pernah mengunjunginya. Nilai eksistensi ini sering juga disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsik dari sumberdaya alam atau nilai yang memang sudah melekat pada sumberdaya alam itu sendiri.

Bequest value atau nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang (mereka yang belum lahir). Jadi bequest value diukur berdasarkan keinginan membayar masyarakat untuk memelihara (to preserve) sumberdaya alam dan lingkungan untuk generasi mendatang sehingga mereka dapat menikmatinya.

Option Value lebih diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh masyarakat atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa dari sumberdaya di masa mendatang. Dengan kata lain option value juga merupakan nilai pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk memanfaatkannya (option) masih tersedia untuk masa yang akan datang. Option value, mengandung makna ketidakpastian. Nilai ini merujuk pada nilai barang dan jasa dari SDA yang mungkin timbul sehubungan dengan ketidakpastian permintaan di masa mendatang. Jadi jika kita yakin akan preferensi dan ketersediaan SDA di masa mendatang, misalnya, maka nilai option value kita akan nol. Sebaliknya jika kita tidak yakin, maka nilai

(35)

Gambar 2. Klasifikasi Nilai Ekonomi (diadopsi dari Adrianto, 2006)

2.5. Metode Valuasi Ekonomi Sumberdaya 2.5.1. Surplus Konsumen

Barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam ada yang diperdagangkan (traded goods) dan ada yang tidak diperdagangkan (non traded). Untuk barang dan jasa yang diperdagangkan, teknik pengukuran valuasi ekonomi sudah well-established dan lebih terukur. Salah satu pengukuran yang biasa dilakukan adalah menyangkut pengukuran perubahan dalam perubahan surplus konsumen.

Pengukuran yang didasarkan pada perubahan surplus konsumen pada prinsipnya adalah mengukur seberapa besar kehilangan surplus akibat perubahan harga atau kuantitas yang mempengaruhi keinginan membayar seseorang terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya alam. Surplus konsumen sendiri diartikan sebagai perhitungan berdasarkan selisih keinginan membayar seseorang terhadap barang dengan apa yang sebenarnya dia bayar.

2.5.2. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)

Metode biaya perjalanan merupakan teknik penilaian secara tidak langsung dari segi manfaat yang berorientasi pasar, yaitu dengan menggunakan pendekatan harga pasar pengganti (surrogate market price) yang berupa kesediaan membayar (Hufschmidt et al, 1996). Metode ini diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hoteling pada tahun 1949 (Kahn, 1995), dan mulai diaplikasikan secara formal oleh Clawson pada tahun 1959 (Walter dan Schofield, 1977). Dixon dan Hufschmidt (1993), menyatakan bahwa metode biaya perjalanan pada hakekatnya merupakan suatu pendekatan untuk menentukan

Total Economic Value

Use Non Use

Option value Indirect value

(36)

kurva permintaan dan menduga surplus konsumen tempat rekreasi secara tidak langsung, yaitu dengan memperlakukan biaya perjalanan dan waktu yang digunakan dalam perjalanan (opportunity cost of time) sebagai kesediaan pengunjung untuk membayar (willingness to pay) tempat tersebut. Untuk menyatakan banyaknya jasa rekreasi yang dikonsumsi diukur berdasarkan tingkat kunjungan yang dilakukan pada berbagai tingkat harga atau biaya perjalanan. Dalam hal ini, konsumen diasumsikan akan memberikan reaksi atas kenaikan biaya perjalanan.

Oleh karena kompleksnya permasalahan yang menyangkut keinginan seseorang untuk melakukan perjalanan rekreasi, yaitu tidak hanya ditentukan oleh biaya perjalanan saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti preferensi, tempat rekreasi alternatif, dan lain sebagainya, maka untuk membentuk kurva permintaan berdasarkan kesediaan membayar dengan metode biaya perjalanan harus disertai dengan sejumlah asumsi, baik yang menyangkut perilaku konsumen maupun peubah yang diukur (James, 1991). Adapun beberapa asumsi tersebut sebagai berikut :

1. Semua pengunjung memperoleh manfaat total yang sama, yaitu sama dengan biaya perjalanan pengunjung marginal (pengunjung paling jauh).

2. Pengunjung akan memberikan reaksi terhadap meningkatnya biaya perjalanan dengan cara yang sama seperti mereka bereaksi terhadap meningkatnya harga karcis.

3. Surplus pengunjung bagi pengunjung marginal nol.

4. Pengaruh tempat rekreasi lain terhadap permintaan jasa rekreasi di kawasan yang dinilai adalah minimal.

5. Selera, preferensi dan alastisitas pendapatan sama untuk seluruh pengunjung. Dengan kata lain, sudut kurva permintaan untuk seluruh daerah asal pengunjung sama.

6. Perjalanan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu tempat rekreasi, dan tidak ada manfaat sekunder atau kepuasan sepanjang perjalanan ke tempat rekreasi yang dituju.

(37)

8. Hasil survey cukup representatif bagi populasi, baik penduduk suatu daerah asal maupun distribusi geografis pengunjung (daerah asal, wilayah pasar).

Metode travel cost ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat: • Perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi

• Penambahan tempat rekreasi baru

• Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi • Penutupan tempat rekreasi yang ada

Pada dasarnya, prinsip kerja TCM cukup sederhana. Misalnya, kita ingin mengetahui sumber daya alam yang atraktif untuk rekreasi (misalnya pantai) yang terletak dalam suatu radius tertentu. Tujuan dasar TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan (use value) dari sumber daya alam ini melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumber daya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumber daya tersebut. Asumsi mendasar yang digunakan pada pendekatan TCM adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya rekreasi, bersifat dapat dipisahkan (separable). Artinya, fungsi permintaan kegiatan rekreasi seperti memancing tersebut tidak dipengaruhi (independent) oleh permintaan kegiatan rileks lainnya, seperti menonton TV, belanja, dan lain-lain.

2.6. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Pulau-pulau kecil memiliki definisi yang sangat beragam dan telah mengalami perdebatan yang panjang. Meskipun belum ada kesepakatan tentang definisi pulau kecil ditingkat nasional maupun internasional, akan tetapi terdapat kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau-pulau kecil disini adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), memiliki batas yang pasti dan terisolasi dari habitat yang lain, sehingga mempunyai sifat insular (Al.Hess, 1990 dalam Dahuri, 1998).

(38)

terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman yang hidup di pulau tersebut. Dimana pulau yang mempunyai lingkungan khusus dengan proporsi spesies endemik lebih tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Disamping hal itu, perbedaan segi budaya masyarakat yang mendiami pulau kecil sangat menonjol bila dibandingkan dengan pulau kontinen dan daratan. Menurut Begen (2002), karakteristik biofisik pulau-pulau kecil yang menonjol, adalah :

(1) Terpisah dari habitat pulau induk (mainland).

(2) Tangkapan air yang terbatas dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas.

(3) Peka dan rentan terhadap berbagai tekanan dan pengaruh eksternal baik yang alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelobang besar, kegiatan ekonomi serta pencemaran.

(4) Memiliki sejumlah besar jenis (organisme) endemik yang bernilai ekonomis tinggi.

Uraian tadi memberikan pandangan, terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil yaitu: (1) batasan fisik/luas pulau, (2) batasan ekologis/proporsi spesies endemik dan terisolasi, dan (3) keunikan budaya. Karena secara ekologi memiliki kondisi yang sangat rentan, maka pengembangan atau pembangunan pada kawasan tersebut apabila tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan dampak eksternal yang cukup nyata. Oleh karena itu kajian mendasar yang intensif menduduki posisi penting dalam pengelolaan dan pengembangan sumberdaya pulau-pulau kecil (Kusumastanto, 2000).

Karakteristik pulau kecil yang demikian khas, maka didalam pengembangannya dapat menemui kesulitan. Menurut Dahuri (1998) beberapa karakteristik ekosistem pulau-pulau kecil yang dapat merupakan kendala bagi pembangunan adalah :

(39)

(2) Ketidakmampuan atau kesulitan dalam pencapaian skala ekonomi yang optimal dalam hal usaha produksi, transportasi serta administrasi

(3) Budaya lokal yang kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan.

Beberapa kendala tersebut tidaklah berarti pulau-pulau kecil tidak dapat dibangun atau dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaedah-kaedah ekologis, dalam arti tingkat pemanfaatan secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung suatu pulau, dampak negatif suatu pembangunan hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan ekosistem pulau serta pembangunan yang akan dikembangkan seyogyanya memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan tanpa memarginalkan budaya lokal.

Dalam suatu wilayah pesisir khususnya di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau-pulau kecil pesisir, antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (marine culture) dan kawasan pemukiman (Dahuri et al., 2001).

(40)

Selain segenap potensi sumberdaya tersebut diatas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan, bukan saja bagi kesinambungan ekonomi tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya harus secara seimbang diikuti dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan (Dahuri, 1998).

2.7. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diintrepretasikan guna menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di berbagai bidang seperti pertanian, pariwisata, perencanaan wilayah dan lain sebagainya.

Data penginderaan jauh ini dapat berupa citra satelit maupun foto udara. Data inderaja, terutama yang berasal dari satelit mempunyai beberapa keuntungan, antara lain liputannya yang sinoptik (luas) dan sistematik (Sutrisno, et al, 1994). Setiap satelit memiliki sensor tertentu untuk merekam citra. Beberapa citra satelit maupun foto udara yang sering digunakan meliputi : NOAA, GMS, SPOT, Landsat, Ikonos, QuickBird dan lain-lain. Penggunaan citra disesuaikan dengan kebutuhan pengelolaan, misalkan untuk pemantauan cuaca digunakan Citra NOAA dan GMS, untuk penggunaan lahan dan ekstraksi informasi perairan umumnya digunakan citra SPOT, Landsat dan QuickBird.

(41)

SPOT-4 yang telah mengalami berbagai perbaikan kinerja dan seri ketiga adalah SPOT-5 yang juga meningkatkan kinerja pendahulunya. Ciri SPOT antara lain : resolusi tinggi, pencitraan stereo dan pengulangan orbit fleksibel. Penggunaan atau aplikasinya antara lain untuk studi penggunaan lahan, kerusakan lahan, dan dampaknya terhadap lingkungan hidup (Lapan, 2006).

Tabel 3. Karakteristik Instrumen SPOT

Resolusi Spasial

Sumber : Publikasi CNES, 1999 dalam Lapan 2006 Keterangan :

Karakteristik sistem SPOT dari seri ke seri terus mengalami peningkatan tingkat akurasi, sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Peningkatan kinerja sistem SPOT tercermin dalam karakteristik instrumen utama SPOT seperti pada Tabel 3.

(42)

Kemampuan SPOT-4 atau SPOT seri II seperti seri-I tetapi ada tambahan informasi yang signifikan untuk produk multispektral yang berasal dari saluran/band B4 khususnya diskripsi tipe atau jenis-jenis tanah. Berbagai produk SPOT seri-II mempunyai tingkat ketelitian pada skala yang sama seperti SPOT seri-I. Pada SPOT-5 atau SPOT seri-III terjadi perombakan besar pada tingkat ketelitian baik planimetri maupun altimetri. Diskripsi menggunakan saluran/band pankhromatik (2,5 m dan 5m) akan menghasilkan informasi pada skala ketelitian 1:10.000 dan 1:20.000, dan bila digunakan saluran/band multispekral B1, B2, B3 dan B4 diperoleh skala ketelitian 1:35.000 dan 1:70.000 (seperti produk multispektral SPOT-4). Untuk ketelitian altimetri, instrumen HRS (High Resolution Stereoscopic) berperan dalam memproduksi DEM (Digital Elevation Model) yang lebih baik dari SPOT-4. Produk ortho SPOT-5 durasinya 90 detik sedangkan SPOT-4, tiga sampai lima hari, durasi yang relative singkat merupakan jaminan kualitas DEM yang cukup baik. Dari penjelasan di atas dapat dibandingkan skala ketelitian produk SPOT sebagaimana disajikan pada Tabel 4. (Lapan, 2006).

Tabel 4. Skala Ketelitian Produk SPOT

Seri SPOT

Pengindera

SPOT -123 SPOT-4 SPOT-5 Keterangan

Instrumen HRV HRVIR HRG HRS Sumber : Publikasi CNES, 1999

(43)

Tampak bahwa produk SPOT-5 mempunyai skala ketelitian yang lebih tinggi (1:10.000 dan 1:20.000) dibanding generasi sebelunya, artinya misi SPOT-5 lebih memprioritaskan peningkatan kemampuan determinasi pada skala rinci, lebih jelas lagi bahwa ketelitian lapangan data SPOT-5 juga diupgrade dengan memasang instrument baru untuk mengukur satelit pada setiap saat (Lapan, 2006).

Berbagai pembaharuan pada sistem SPOT-5 dilakuan melalui peningkatan kinerja instrumennya, instrument SPOT-4 yang biasa disebut HRVIR disempurnakan agar mampu menghasilkan informasi yang lebih tajam (sensor barunya disebut HRG) dan yang mampu menghasilkan citra ortho dengan kualitas tertinggi (sensornya disebut HRS). Dengan demikian HRG dan HRS merupakan instrumen utama untuk mengemban misi SPOT-5 (Lapan, 2006).

Sensor satelit SPOT-5 memiliki kemampuan untuk mendeteksi objek bawah air karena memiliki saluran/band sinar tampak hijau (B1), merah (B2) serta inframerah dekat (B3). Kedalaman yang mampu ditembus oleh B1(0,49-0,61

m

μ ) sekitar 15 meter, B2 (0,61 – 0,68 μm) sekitar 5 meter, inframerah dekat B3(0,78 – 0,89 μm) sekitar 0,5 meter dan inframerah seluruhnya diserap oleh perairan (publikasi CNES, 1999 dan Green et.al, 2000 dalam Lapan, 2006).

2.8. Sistem Informasi Geografi

Burrough (1986) dalam Manafi (2003) memberikan definisi yang agak bersifat umum, yaitu Sistem Informasi Geografi sebagai suatu perangkat alat untuk mengumpulkan, menyimpan, menggali kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek-aspek permukaan bumi. Sementara ESRI (1990) dalam Manopo (2002) mendefinisikan Sistem Informasi Geografi sebagai suatu sistem informasi spasial berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi dalam hal pemasukan, manajemen data (penyimpanan dan memperbaharui), memanipulasi dan analisis, serta pengembangan produk dan menyajikan kembali semua bentuk informasi spasial.

(44)

geografi. Dengan kata lain, SIG adalah sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial.

Selain data spasial dan data atribut yang dikumpulkan dari berbagai sektor terpadu, data penginderaan jauh dapat pula diintegrasikan dengan data SIG untuk dianalisa maupun dimanipulasi lebih lanjut. Data indraja ini dapat berupa citra satelit maupun foto udara. Data inderaja, terutama yang berasal dari satelit mempunyai beberapa keuntungan, antara lain liputannya yang sinoptik (luas) dan sistematik (Sutrisno, et al, 1994). Sutrisno (1994) menjelaskan beberapa keuntungan pada kombinasi penggunaan Inderaja dan SIG pada pengelolaan informasi untuk studi, yaitu :

1. Data Inderaja dapat digunakan dengan cepat pada saat memperbaharui peta, khususnya pada kasus data hasil survei lapang yang lambat dan belum tentu selesai pada selang waktu proyek.

2. Basis data SIG dapat menyediakan data tambahan untuk memantau kondisi sebenanya dalam klasifikasi atau analisis data inderaja, dengan demikian dapat meningkatkan ketepatan peta yang dihasilkan.

3. Data Inderaja sangat bermanfaat sekali apabila dikombinasikan dengan SIG dari sumber data lainnya atau citra dari berbagai waktu dan spektrum yang berbeda disajikan secara bersama-sama.

(45)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pikir Penelitian

Menurut Aukerman (2004) wisatawan tidak hanya datang untuk melakukan aktifitas rekreasi tetapi juga mencari lokasi rekreasi yang spesifik disamping menikmati pengalaman rekreasi tertentu sekaligus mendapatkan

manfaat (benefit) baik secara individu, komunitas, ekonomi dan lingkungan. Sehingga dikatakan empat komponen yang membentuk peluang rekreasi (recreation opportunity) adalah aktifitas, lokasi, pengalaman dan manfaat. Sebagai contoh sebuah keluarga ingin berkemah di daerah modern yang memiliki fasilitas bumi perkemahan disamping untuk menghabiskan waktu yang berkualitas dengan keluarga juga untuk beristirahat dan rileks serta melihat keindahan alam. Sementara dilain pihak ada keluarga lain yang ingin berkemah di lokasi pedesaan dimana mereka dapat menguji kemampuan memancing, menikmati kesunyian dan melihat keindahan alam. Kedua keluarga tersebut sama-sama ingin pergi berkemah tetapi dilokasi yang sangat berbeda yang akan membawa mereka pada pengalaman dan manfaat yang berbeda. Dalam hal ini mereka mencari peluang rekreasi yang berbeda.

Aktifitas rekreasi sangat banyak ragamnya yang dapat disediakan suatu daerah rekreasi oleh pihak pengelola karena adanya perkembangan teknologi maupun ketertarikan publik (public interests) namun dalam hal ini pengelola harus menentukan aktifitas rekreasi yang sesuai untuk lokasi tertentu.

Lokasi rekreasi dibentuk oleh parameter fisik, sosial dan manajerial. Kombinasi ketiga parameter tersebut membentuk aktifitas tertentu yang mengarahkan pada pengalaman tertentu. Pengalaman rekreasi adalah respon psikologis terhadap aktifitas dan lokasi rekreasi. Pengalaman merupakan hasil dari sebuah manajemen lokasi disamping merepresentasikan apa yang dinikmati oleh wisatawan.

(46)

Recreation opportunity spectrum (ROS) tidak secara eksplisit menyediakan langkah-langkah untuk menilai atau mengukur dan menginventarisasi aktifitas, lokasi, pengalaman dan manfaat rekreasi. Mengadopsi pernyataan Aukerman (2004) bahwa ROS didesain sebagai sebuah metode yang dinamik dan adaptif dimana beberapa konsep yang populer dalam rekreasi dapat menjadi pondasi untuk ROS maka dalam penelitian ini digunakan beberapa analisis untuk mencapai tujuan tersebut.

Penentuan lokasi dalam kerangka ROS yang digunakan sebagai pendekatan dalam penelitian ini merupakan sebuah rangkaian proses yang melibatkan parameter fisik, sosial dan manajerial kawasan. Tujuan dari penetuan lokasi ini adalah melakukan zonasi dengan melakukan pemetaan kawasan wisata bahari di kawasan taman nasional dengan membagi wilayah dalam beberapa spektrum atau zona yang muncul dari parameter fisik, sosial dan manajerial. Spektrum atau zona tersebut diantaranya kawasan urban, semi urban, rural developed, rural natural, semi primitive dan primitive. Melalui zonasi kawasan ini akan diperoleh lokasi yang memberikan pengalaman dan manfaat yang berbeda bagi wisatawan.

Keragaman aktifitas wisata dibeberapa lokasi dengan kualitas yang berbeda dapat memberikan manfaat bagi wisatawan baik secara lingkungan, individu, komunitas dan ekonomi. Manfaat lingkungan akan dipetakan berdasarkan parameter biofisik, manfaat individu dan komunitas akan dipetakan berdasarkan pengalaman pengunjung dan manfaat ekonomi akan dipetakan berdasarkan sebaran nilai ekonomi wisata.

(47)

Tumpang tindih atau overlay dengan pendekatan Multi Criteria Evaluation

terhadap ketiga penilaian aktivitas rekreasi menghasilkan peta potensi wisata. Peta potensi wisata selanjutnya dapat digunakan untuk mengidentifikasi supply

berbagai aktifitas dan pengalaman dengan kualitas yang berbeda di wilayah taman nasional. Disamping itu peta potensi akan digunakan sebagai dasar dilakukannya prioritas pengelolaan wisata disetiap pulau untuk setiap aktifitas wisata dengan memperhatikan zona yang mencerminkan karakteristik kawasan.

Secara skematis kerangka pemikiran yang akan dilakukan dapat dilihat pada diagram alir penelitian pada Gambar 3.

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2008 sampai dengan bulan Oktober 2008 di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu yang merupakan bagian dari wilayah Administratif Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Lokasi penelitian khususnya pada sebagian zona pemukiman dan pemanfaatan yang meliputi sebagian wilayah perairan kelurahan Pulau Panggang (Gambar 4). Pulau Pramuka, Gosong Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya, Pulau Semak Daun, Gosong Semak Daun, Gosong Karang Lebar, Pulau Karang Congkak dan Gosong Karang Congkak adalah pulau dan gosong yang terletak pada zona pemukiman sementara Pulau Kotok terletak pada zona pemanfaatan wisata.

(48)

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian

Peta Zona Peluang Rekreasi Peta

Interpretasi dan Cek Lapangan

Peta Penutupan

Identifikasi Lahan dan Perairan Laut Penilaian Pengunjung Penilaian Ekonomi Wisata Zonasi

Kriteria

PETA POTENSI WISATA BAHARI Peta Potensi Wisata Dalam Zonasi Recreation Opportunity Spectrum

(49)
(50)

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diambil di lapangan secara langsung dalam hal ini adalah kondisi fisik, sosial, manajerial wilayah, beberapa data biofisik dan data wisatawan. Pengambilan data primer dilakukan dengan menggunakan teknik kuisioner, wawancara dan groundchek. Sementara data sekunder adalah data yang diambil melalui studi literatur dari beberapa instansi terkait.

Responden kuisoner adalah wisatawan dan pakar (peneliti, pegawai TNKS, anggota LSM dan instansi terkait) yang memahami kondisi wilayah TNKS. Pengambilan sampel individu atau responden dilakukan secara purpose sampling. Dalam penentuan jumlah sampel didasarkan pada pendapat atau saran para ahli riset yaitu menyarankan untuk mengambil sampel sebesar 10 % dari populasi atau minimal 30 orang (Azwar.S, 1999). Untuk rincian pengumpulan data sebagaimana disebutkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis Data dan Metode Pegumpulan Data

Data Teknik Tujuan Jumlah Kebutuhan Analisa

Kuisoner,

Nilai ekonomi wisata, penilaian keindahan, kenyamanan,

pengalaman. Penilaian kondisi fisik, sosial, manajerial wilayah.

Primer

Cek Lapangan

Biofisik 7 Pulau Kesesuaian wisata bahari

Sekunder Studi Pustaka Biofisik - Kesesuaian wisata bahari

3.4. Analisis Data

3.4.1. Pemetaan Penutupan Lahan dan Perairan Laut

(51)

terhadap ekosistem perairan seperti terumbu karang, lamun dan penggunaan-penggunaan lain yang menggambarkan kondisi existing wilayah perairan.

Identifikasi ekosistem perairan dan pemanfaatannya dilakukan dengan menampilkan citra komposit pada data SPOT-5. Data SPOT-5 yang digunakan adalah data akusisi 13 september 2004 wilayah perairan TNKS. Dengan tampilan komposit RGB 321. Untuk mendapatkan informasi jenis tutupan dasar perairan dilakukan dengan transformasi citra menggunakan model transformasi Lyzenga (1978). Lyzenga membangun persamaan dengan menggunakan dua kanal sinar tampak.

Tahapan dalam proses komputerisasi pengolahan citra yang dimaksud dijelaskan sebagai berikut :

• Pemulihan Citra

Pemulihan citra berfungsi untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi kearah gambaran yang lebih sesuai dengan keadaan aslinya sehingga citra lebih bermanfaat untuk kegiatan analisa. Langkah-langkahnya meliputi koreksi geometrik dan radiometrik pada citra aslinya dengan mengunakan referensi geometri dari data citra SPOT 5 terkoreksi tahun 2003. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan 4 titik control tanah (Ground Control Point) baik pada data citra scene satu dan data citra scene dua. Selanjutnya dilakukan koreksi radiometrik yang dilakukan terhadap kesalahan akibat pengaruh atmosfer. Teknik koreksi radiometrik yang digunakan adalah teknik penyesuaian histogram (hitsogram adjustment).

• Penggabungan Data Citra

Setelah kedua scene data citra terkoreksi dilakukan penggabungan data sehingga didapat satu data citra yang merupakan wilayah penelitian di sebagian kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.

• Penajaman Citra

(52)

dapat diinterpretasikan secara visual pada citra. Teknik penajaman citra dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya algoritma Lyzenga (1978).

Algoritma ‘pemetaan perairan dangkal’ Lyzenga bertujuan untuk mendapatkan band baru dengan cara menggabungkan dua band tampak yang mampu penetrasi ke dalam tubuh air hingga kedalaman tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi obyek-obyek yang ada di dasar perairan. Jika dasar perairan laut dangkal dapat terlihat, maka dapat dibentuk suatu hubungan antara kedalaman perairan dengan sinyal pantul yang diterima oleh sensor (Priyono 2000).

Lyzenga (1978) dalam membangun persamaan menggunakan Citra Landsat dengan RGB 421 dimana band 4 adalah infra merah dekat (NIR) dengan panjang gelombang 0.76-0.90μm, band 2 adalah hijau dengan panjang gelombang 0.52-0.60μm dan band 1 adalah biru dengan panjang gelombang 0.45-0.52μm.

Pada penelitian ini digunakan Citra SPOT 5 dengan RGB 321 mengadopsi metode yang dikembangkan oleh Mumby (1998) dan Siregar (1995) dimana band 3 adalah band infra merah dekat (NIR) dengan panjang gelombang 0.78-0.89μm, Band 2 adalah band merah dengan panjang gelombang 0.61-0.68μm dan Band 1 adalah band hijau dengan panjang gelombang 0.49-0.61μm.

Sensor satelite SPOT 5 mempunyai kemampuan untuk mendeteksi obyek di bawah air karena memiliki saluran/band sinar tampak hijau (XS1), merah (XS2) serta inframerah dekat (XS3). Kedalaman yang mampu ditembus oleh XS1 sekitar 15 meter, XS2 sekitar 5 meter dan XS3 sekitar 0.5 meter dan infra merah seluruhnya diserap oleh perairan (publikasi CNES, 1999 dan Green et.all., 2000 dalam Lapan, 2006).

(53)

sehingga menghasilkan kanal baru menggunakan formula (Green et all,

ki = koefisien atenuasi air pada panjang gelombang ke-i (XS1)

kj = koefisien atenuasi air pada panjang gelombang ke-j (XS2)

Untuk memperoleh nilai ki dan kj dilakukan pendekatan berdasarkan iterasi dengan citra pada layar komputer. Iterasi dilakukan pada citra dengan kombinasi band 3 (Inframerah dekat), band 2 (merah) dan band 1 (hijau) dengan membuat digitasi training area pada objek yang berwarna cyan shallow water pada kedalaman yang berbeda dan diusahakan pada saat mendigitasi tidak mengenai obyek lain (darat dan perairan dalam). Selanjutnya nilai ki /kjdihitung dengan rumus :

(

1

)

...(2)

/k =a+ a2 +

ki j

Sementara nilai a diperoleh dengan rumus :

(

)

• Klasifikasi Citra

Klasifikasi citra berfungsi untuk menganalisis data citra secara kuantitatif berdasarkan kesamaan nilai spektral tiap piksel dan untuk interpretasi secara otomatis data citra digital. Pendekatan yang dilakukan adalah mencari pola nilai piksel (pattern recognation). Karakteristik nilai spektral merupakan gambaran sifat dasar interaksi antar obyek dengan spektrum yang bekerja, nilai-nilai spektral tersebut dikelompokkan ke dalam suatu kelas, dimana kelas-kelas tersebut mewakili obyek yang berada di permukaan bumi.

(54)

• Pengamatan Lapangan

Pengamatan lapangan bertujuan untuk verifikasi hasil klasifikasi guna menghasilkan citra yang sesuai dengan keadaan aslinya. Penentuan lokasi pengamatan berdasarkan pengamatan kualitatif pada hasil pengolahan citra awal, yaitu dengan melihat persentase penutupan perairan secara umum serta kondisi dan penyebarannya, sehingga dapat ditetapkan daerah mana yang akan dijadikan lokasi pengamatan.

3.4.2. Pemetaan Aktifitas Rekreasi

3.4.2.1. Pemetaan Berdasarkan Faktor Biofisik

Selanjutnya pada hasil interpretasi citra yang telah dipetakan akan dilakukan proses overlay dalam tools GIS untuk mendapatkan kelas-kelas kesesuaian lahan untuk kegiatan wisata bahari.

Kegiatan wisata yang akan dikembangkan disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya. Setiap kegiatan wisata mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai obyek wisata yang akan dikembangkan. Rumus yang digunakan untuk kesesuaian wisata adalah :

[

]

×100%...(4)

=

Ni Nmaks

IKW

Dimana :

IKW = Indeks Kesesuaian Wisata

Ni = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)

Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata

Penentuan kesesuaian berdasarkan perkalian skor dan bobot yang diperoleh dari setiap parameter. Kesesuaian kawasan dilihat dari tingkat persentase kesesuaian yang diperoleh penjumlahan nilai dari seluruh parameter.

(55)

• Kategori S1 : Sangat Sesuai

Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menetapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti, dengan kata lain tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan atau tingkat perlakuan yang diberikan.

• Kategori S2 : Sesuai

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus ditetapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukan atau tingkatan perlakuan yang diperlukan. • Kategori S3 : Sesuai Bersyarat

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan.

• Kategori N : Tidak Sesuai

Daerah ini mempunyai pembatas permanen, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.

Tingkat kesesuaian suatu kegiatan pemanfaatan wisata dievaluasi berdasarkan kelas kesesuaian yang terendah. Penilaian kesesuaian disusun untuk menilai kelayakan atas dasar pemberian bobot atau skor pada parameter-parameter pembatas kegiatan tersebut.

Gambar

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian
Gambar 4. Citra Lokasi Penelitian
Tabel 7. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Ekowisata Bahari Kategori Wisata Snorkling
Tabel 8. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Ekowisata Bahari Kategori Wisata Pantai
+7

Referensi

Dokumen terkait

produktivitas kawasan terumbu karang perlu dilakukan penelitian yang bertujuan. mengetahui nilai ekonomi terumbu karang di kawasan Taman Nasional

Pulau Puhawang memiliki potensi bahari yang baik, pantainya yang indah dengan pasir putih dan terumbu karang yang menawan sangat potensial untuk dinikmati sebagai wisata selam dan

Meskipun di wilayah TNKpS telah di alokasikan zona khusus yaitu Zona Pemanfaatan Wisata yang diperuntukan bagi berbagai kegiatan pemanfaatan pariwisata alam dengan terumbu

Pengamatan yang dilakukan pada ekosistem terumbu karang di kedalaman perairan dangkal dan dalam pada Pulau Putri, Macan Kecil dan Kayu Angin Genteng, diketahui bahwa tutupan

Persentase tutupan terendah terdapat di stasiun 4 atau lokasi Pulau Jagung pada zona perlindungan, sedangkan persentase tutupan karang paling tinggi berada pada stasiun

Persebaran tutupan karang keras kembali naik secara signifikan ke arah tenggara pada zona pemukiman.Terdapat dua stasiun penelitian pada zona pemukiman yaitu Pulau

Persentase tutupan terendah terdapat di stasiun 4 atau lokasi Pulau Jagung pada zona perlindungan, sedangkan persentase tutupan karang paling tinggi berada pada stasiun

Memang belum sepenuhnya masyarakat berperan dalam kegiatan pariwisata di pulau Tidung.Padahal salah satu kriteria kawasan pariwisata yang baik adalah kawasan wisata