• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN BOGOR

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Konsumsi HMT Kelompok Peternak Kunak Kab. Bogor ... 51 2. Jumlah Kepemilikan Ternak Kelompok Peternak Pada Lokasi

Kunak Kabupaten Bogor per November 2011 ... 57 3. Produksi Susu Lokasi Kunak Kabupaten Bogor per November

20011 ... 63 4. Kebutuhan Pakan Tambahan di Kunak Kab. Bogor per

November 2011 ... 69 5. Lembar Kuisioner dan Observasi Lapang ... 75 6. Profil Ketinggian Lokasi Kunak Kabupaten Bogor ... 76 7. Hasil Pengolahan SIG Kunak Kabupaten Bogor ... 77 8. Beberapa Jenis Rumput Lapang yang Sering Diberikan untuk

Ternak di Kunak ... 85 9. Populasi Ternak Ruminansia Kecil Kab. Bogor Tahun 2010 ... 86 10. Jumlah Produksi Limbah Pertanian Wilayah Bogor Barat ... 87 11. Hasil Perhitungan Identifikasi Daya Dukung Lahan ... 88

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengembangan hijauan pakan ternak berperan strategis dalam mempertahankan populasi ternak ruminansia. Perencanaan penyediaan hijauan pakan memerlukan peran penelitian dan pengembangan dalam hal penggunaan teknologi sebagai daya dukung sistem integrasi peternakan. Pola penyediaan kebun rumput mempunyai potensi dan manfaat yang sangat besar bila dikembangkan dengan penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam ketersediaan dan kuantitas kebun rumput, terutama bagi peternakan sapi perah yang memerlukan hijauan lebih dari 70% dari total konsumsi pakan. Integrasi dengan pendekatan analisis dan ilmu pengetahuan tentang teknik monitoring mempunyai manfaat lebih dalam untuk SIG, sehingga pengguna informasi khususnya peternak menyadari potensi penggunaan teknologi informasi.

Perencanaan hijauan pakan skala besar perlu melibatkan penggunaan data geografis untuk beberapa waktu. Data tersebut mencakup data topografi, tata guna lahan, data infrastruktur wilayah, data curah hujan, peta jenis tanah, peta rupa bumi, data irigasi, data administrasi wilayah, dan kebijakan perencanaan tata ruang wilayah.

Analisa potensi hijauan pakan telah diterapkan menggunakan citra satelit, iklim, data topografi, dan data cuaca model sederhana di New South Wales, Australia. Penggunaan SIG juga berperan dalam manajemen keputusan sebagai pertimbangan faktor lingkungan secara terukur, data vegetasi, dan pengaruh tata guna lahan dalam manajemen sistem penggembalaan berkelanjutan di Central Tablelands, New South Wales. Berdasarkan hal tersebut, perlu diterapkan teknologi informasi berbasis SIG di Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) sapi perah Kabupaten Bogor. Dalam penelitian ini dilakukan analisis luasan lahan dan pemanfaatannya terhadap pola penyediaan dan potensi sumber daya pakan dengan menggunakan aplikasi SIG untuk mendukung perencanaan pengembangan hijauan pakan dan informasi dasar tentang pakan yang disajikan dalam bentuk peta.

2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan sebagai informasi dasar untuk berbagai keperluan (misalnya untuk estimasi dan perencanaan penyediaan hijauan pakan) sebagai faktor pendukung usaha peternakan sapi perah yang menjadi dasar pengembangan hijauan pakan ternak dan sumber informasi pakan di Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi Perah, Kabupaten Bogor.

3 TINJAUAN PUSTAKA

Tata Guna Lahan dan Sumber Daya Pakan

Tata guna lahan dapat didefinisikan sebagai lahan yang dimanfaatkan oleh manusia. Penggunaan lahan biasanya sebagai taman, kehutanan, sarana peternakan, dan lahan pertanian (Weng, 2010). Field (2007) menjelaskan bahwa lahan dan pakan ternak adalah dua sumber daya penting dalam pengoperasian peternakan sapi potong. Lahan digunakan untuk memproduksi sumber pakan bagi ternak sapi potong. Interaksi antara ternak dengan lahan dan tanaman berpengaruh nyata terhadap konservasi dan pengembangan sumber daya tersebut.

Jumlah permintaan terhadap pakan biji-bijian dan bahan baku pakan lainnya terus mengalami peningkatan, sehingga kebutuhan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan produksi ternak juga meningkat sebesar 34% dari penggunaan lahan untuk bidang pertanian. Pengembangan lahan bagi ternak difokuskan pada savana, lahan tidur, dan lahan yang tidak bisa diolah untuk lahan pertanian. Proses dan sistem produksi peternakan perlu dihubungkan antara faktor permintaan dengan sumber daya pakan, pekerja dan ketersediaan air, sehingga memerlukan penggunaan teknologi yang relevan. Perbedaan trend geografis pada sistem produksi peternakan mengalami perubahan pola pada setiap waktu, mengikuti populasi manusia secara dinamis (pertumbuhan dan migrasi), perubahan teknis (domestikasi, pemanenan dan transportasi) dan budaya setempat (FAO, 2006).

Kesesuaian dan Kualitas Lahan

FAO (1976) menjelaskan kesesuaian lahan adalah kecocokan dari suatu tipe lahan tertentu bagi penggunaan yang direncanakan. Kesesuaian lahan tersebut seperti penggunaan lahan untuk irigasi, peternakan, perikanan dan pertanian tanaman semusim. Kesesuaian lahan yang lebih spesifik dapat ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungan yang terdiri dari iklim, topografi, dan hidrologi yang sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif.

Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi biasanya mempunyai interaksi satu sama lain. Kualitas lahan adalah sifat-sifat atau atribut yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaman yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu.

4 Kualitas lahan ada yang dapat diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan. Kualitas lahan kemungkinan berperan positif dan negatif terhadap penggunaan lahan tergantung dari sifat-sifatnya. Kualitas lahan yang berperan positif adalah sifatnya menguntungkan bagi suatu penggunaan, sebaliknya kualitas lahan yang bersifat negatif karena keberadaannya akan merugikan dan merupakan kendala terhadap penggunaan tertentu, sehingga merupakan faktor penghambat. Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas lahan yang sama dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu penggunaan (FAO, 1976).

Kualitas lahan untuk produksi ternak menurut FAO (1976) meliputi semua kualitas lahan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, hijauan, rumput ternak, kesulitan-kesulitan iklim yang mempengaruhi ternak, ketersediaan air minum untuk ternak, penyakit-penyakit ternak, nilai nutrisi dari rumput, ketahanan terhadap kerusakan rumput, dan ketahanan terhadap erosi akibat penggembalaan. Menurut Djaenudin et al. (2003) banyaknya jumlah karakteristik lahan menyebabkan kepentingan evaluasi lahan dapat dipilih dan ditentukan sesuai dengan keperluan penggunaan dan kondisi lokal di wilayah yang akan dievaluasi. Evaluasi lahan pada skala kecil (tingkat tinjau skala 1:250.000) dengan skala besar (tingkat spesifik 1:10.000) perlu dipertimbangkan mengenai jumlah dan macam kualitas serta karakteristik lahan sebagai parameter yang akan digunakan, seperti parameter untuk evaluasi lahan yang digunakan pada tingkat tinjau, tentu lebih sederhana dibandingkan dengan untuk tingkat spesifik karena berkaitan dengan ketersediaan dan kualitas data pada masing-masing tingkat pemetaan tanah tersebut.

Sumber Lahan untuk Pengembangan Ternak Ruminansia

Faktor sumberdaya lahan berkaitan erat dengan usaha pengembahan ternak ruminansia sebagai tempat hidup dan sebagai penghasil hijauan makanan ternak. Suratman et al. (1998) menyatakan bahwa kebutuhan lahan untuk peternakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: usaha peternakan yang berbasis lahan dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai Penelitian Ternak (1995) juga menyatakan bahwa pemanfaatan lahan untuk peternakan didasarkan pada kriteria antara lain: lahan adalah sumber pakan untuk ternak; semua jenis lahan cocok sebagai sumber pakan; pemanfaatan lahan untuk

5 peternakan diartikan sebagai usaha penyerasian antara peruntukan lahan dengan system pertanian; dan hubungan antara lahan dengan ternak bersifat dinamis.

Terdapat empat karakteristik utama lahan yang digunakan dalam penyusunan kriteria lingkungan ekologis dalam pengembangan ternak ruminansia, yaitu: temperatur (suhu rata-rata dan kelembaban); ketersediaan air (curah hujan, bulan kering, dan sumber air) dan kualitas air; terrain (elevasi dan lereng); dan persentase kandungan batuan (Suratman et al., 1998). Jenis penggunaan lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak antara lain: lahan sawah, tegalan, lahan tidak produktif, lahan perkebunan, dan padang penggembalaan dengan tingkat kepadatan tergantung pada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air, dan jenis ternak yang dipelihara. Lahan-lahan tersebut memunginkan pengembangan pola integrasi ternak-tanaman yang merupakan proses saling menunjang melalui pemanfaatan kotoran sapi sebagai pupuk organik sementara lahan menghasilkan pakan hijauan yang dibutuhkan oleh ternak.

Potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak secara teknik dapat dihitung menurut populasi ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan (Natasasmita dan Mudikdjo, 1980). Perhitungan potensi wilayah untuk produksi ternak herbivora dihitung berdasarkan kepadatan ternak teknis yang diperlukan. Semakin rendah angka kepadatan teknisnya, berarti kemungkinan wilayah tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan ternak. Angka kepadatan teknis menunjukkan gambaran kasar tentang potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak. Potensi yang sesungguhnya akan ditentukan oleh tingkat produksi hijauan makanan ternak di wilayah yang bersangkutan. Kemampuan produksi hijauan makanan ternak akan bergantung pada: derajat kesuburan tanah; iklim; tata guna lahan; dan topografi lahan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya tanah-tanah yang memiliki potensi untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang diperhitungkan, misalnya tanah pertanian, perkebunan, padang penggembalaan, dan sebagian dari kehutanan.

6 Hijauan Makanan Ternak

Hijauan makanan ternak (HMT) merupakan semua bahan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-dauanan. Kelompok hijauan makanan ternak meliputi famili rumput (gramineae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuhan lain, seperti daun waru, nangka, dan lain-lain. Hijauan sebagai pakan ternak dapat diberikan dalam keadaan segar dan dalam keadaan kering. Bulo (2004) menyatakan bahwa dalam pengembangan ternak ruminansia di Indonesia, hijauan makanan ternak adalah faktor yang sangat penting dengan komposisi yang terbesar yaitu 70-80% dari total biaya pemeliharaan.

Reksohadiprojo (1984) menyatakan bahwa penggolongan tanaman budidaya maupun alami yang umum digunakan sebagai hijauan makanan ternak terdiri atas jenis rumput-rumputan (gramineae), perdu atau semak (herba), dan pepohonan. Spesies hijauan yang memiliki potensi tinggi sebagai hijauan makanan ternak, antara lain: rumput-rumputan, perdu/semak dan legum pohon. Rumput-rumputan terdiri atas rumput para (Brachiaria mutica), rumput benggala (Panicum maximum), rumput kolonjono (Panicum muticum), dan rumput buffel (Cenchrus ciliaris). Perdu/semak terdiri atas beberapa jenis legum seperti kacang gude (Cajanus cajan), komak (Dolichos lablab), dan perdu lainnya dari limbah tanaman pangan pertanian seperti jerami padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar dan daun ubi kayu. Legum pohon terdiri atas sengon laut (Albazzia falcataria), lamtoro (Leucaena leucocephala), kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan turi (Sesbania grandiflora). Manurung (1996) menyatakan bahwa hijauan leguminosa merupakan sumber protein yang penting untuk ternak ruminansia. Keberadaannya dalam ransum ternak akan meningkatkan kualitas pakan.

Limbah pertanian adalah hasil ikutan dari pengolahan tanaman pangan yang produksinya sangat tergantung pada jenis dan jumlah areal penanaman atau pola tanam dari tanaman pangan disuatu wilayah (Makkar, 2002). Dijelaskan lebih lanjut beberapa macam jenis limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak antara lain: jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, dan pucuk tebu. Hasil limbah tanaman palawija pada umumnya bernilai gizi lebih tinggi daripada jerami padi atau jerami jagung. Pemanfaatan limbah pertanian untuk ternak

7 tersebut akan mendukung integrasi usaha peternakan dengan usaha pertanian baik tanaman pangan, holtikultura maupun perkebunan.

Jerami padi mempunyai kualitas rendah dan dapat memberikan akibat negatif terhadap tingkat konsumsi, apabila diberikan kepada ternak laktasi tanpa diberi perlakuan yang menaikkan degradasi (Santosa et al., 2009). Nasrullah et al. (1996) menyatakan bahwa untuk menggantikan sebagian pakan konsentrat, dapat digunakan tanaman leguminosa, dengan perbandingan 75% hijauan dan 25% leguminosa. Cara tersebut selain dapat meningkatkan kualitas ransum, juga akan memberikan keuntungan untuk usaha ternak ruminansia.

Pennisetum purpureum

Rumput Pennisetum purpureum memiliki beberapa nama daerah sesuai dengan tempatnya, antara lain: Elephant grass dan napier grass (Inggris), Herbe

d’éléphant dan fausse canne à sucre (Prancis), Rumput Gajah (Indonesia dan Malaysia), Buntot-pusa (Tagalog dan Filipina), Handalawi (Bokil), Lagoli (Bagobo), Ya-nepia (Thailand), Co’ duôi voi (Vietnam) dan pasto elefante (Spanyol). Asal-usul dan penyebaran geografi rumput Pennisetum purpureum yaitu berasal dari Afrika tropika, kemudian menyebar dan diperkenalkan ke daerah-daerah tropika di dunia, dan tumbuh alami di seluruh Asia Tenggara yang bercurah hujan melebihi 1.000 mm dan tidak ada musim panas yang panjang (Balai Penelitian Ternak, 2001).

Balai Penelitian Ternak (2001) menyatakan bahwa rumput gajah merupakan keluarga rumput-rumputan (gramineae) yang telah dikenal manfaatnya sebagai pakan ternak ruminansia yang alami di Asia Tenggara. Rumput ini biasanya dipanen dengan cara membabat seluruh pohonnya lalu diberikan langsung (cut and carry) sebagai pakan hijauan untuk kerbau dan sapi, atau dapat juga dijadikan sebagai persediaan pakan melalui proses pengawetan pakan hijauan dengan cara silase dan hay. Selain itu, rumput gajah juga bisa dimanfaatkan sebagai mulsa tanah yang baik. Di Indonesia, rumput gajah merupakan tanaman hijauan utama pakan ternak. Penanaman dan introduksinya dianjurkan oleh banyak pihak.

Nilai pakan rumput gajah dipengaruhi oleh perbandingan (rasio) jumlah daun terhadap batang dan umurnya. Kandungan nitrogen dari hasil panen yang dilakukan secara teratur berkisar antara 2-4% protein kasar, sedangkan untuk varietas Taiwan diatas 7%. Semakin tua umur, kandungan protein kasar semakin menurun. Nilai

8 kecernaan (TDN) pada daun muda diperkirakan mencapai 70%, tetapi pada usia tua, nilai menurun hingga 55%. Batang-batang yang keras kurang palatable bagi ternak, berbeda dengan yang masih muda dan mengandung cukup banyak air. Rumput ini secara umum merupakan tanaman tahunan yang berdiri tegak, berakar dalam, dan tinggi dengan rimpang yang pendek. Tinggi batang dapat mencapai 2-4 meter (bahkan mencapai 6-7 meter), dengan diameter batang dapat mencapai lebih dari 3 cm dan terdiri sampai 20 ruas/buku. Tumbuh berbentuk rumpun dengan lebar rumpun hingga 1 meter. Pelepah daun gundul hingga berbulu pendek. Helai daun bergaris dengan dasar yang lebar dan memiliki ujung yang runcing (Balai Penelitian Ternak, 2001).

Balai Penelitian Ternak (2001) menyatakan bahwa rumput gajah merupakan tumbuhan yang memerlukan hari dengan waktu siang yang pendek, dengan foto periode kritis antara 12-13 jam. Kecambah tumbuh dengan lemah dan lambat. Oleh karena itu, rumput ini secara umum ditanam dan diperbanyak secara vegetatif. Bibit vegetatif tumbuh dengan cepat dan dapat mencapai ketinggian sampai 2-3 meter dalam waktu 2 bulan pada kondisi yang baik. Dijelaskan lebih lanjut bahwa rumput gajah ditanam pada lingkungan hawa panas yang lembab, tetapi tahan terhadap musim panas yang cukup tinggi dan dapat tumbuh dalam keadaan yang tidak terlalu dingin. Rumput ini juga dapat tumbuh dan beradaptasi pada berbagai macam tanah meskipun hasilnya akan berbeda, tetapi rumput ini tidak tahan hidup di daerah hujan yang terus menerus. Secara alami rumput gajah dapat ditemukan di sepanjang pinggiran hutan. Rumput gajah dapat dipanen sepanjang tahun dengan hasil mencapai 20-40 ton/ha bahan kering. Rumput gajah biasa diberikan dalam bentuk segar, tetapi dapat juga diawetkan sebagai silase. Kandungan nutrien setiap ton bahan kering adalah 10-30 kg N, 2-3 kg P, 30-50 kg K, 3-6 kg Ca, 2-3 kg Mg dan S. Hasil bahan kering setiap tahun diharapkan berkisar 2-10 ton/ha untuk tanaman yang tidak dipupuk atau dengan pupuk yang sedikit. Tanaman yang dipupuk menggunakan pupuk N dan P hasilnya berkisar antara 6-40 ton/ha.

Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan (KPS) Bogor

Sejarah

Pendirian Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan (KPS) Bogor dilatarbelakangi oleh permasalahan yang dialami peternak sapi perah di Bogor dalam

9 pemasaran susu. Hasil susu yang diproduksi sangat melimpah sehingga tidak dapat seluruhnya terserap oleh tengkulak susu. Peningkatan produksi susu tersebut timbul karena meningkatnya populasi sapi perah impor yang didatangkan oleh Perusahaan Negara Perhewani. Peningkatan produksi susu tersebut belum diimbangi oleh peningkatan permintaan pasar dan harga jual susu yang sesuai. Monopoli pemasaran susu dan penjualan sarana produksi yang dilakukan oleh tengkulak mendorong beberapa peternak untuk mendirikan wadah yang dapat meningkatkan kekuatan tawar mereka. Berdasarkan hal tersebut, tanggal 21 Oktober 1970 sebanyak 24 orang peternak bersatu dan mendirikan Koperasi Produksi Susu dan Peternakan Sapi Perah (KPS-Bogor) dengan Badan Hukum No.4654/BH/IX-9. Sejak tanggal 25 Maret 1996 Badan Hukum KPS Bogor berubah menjadi No.4654/BH/PAD/KWK.10/III/1996 dan nama Koperasi Produksi Susu dan Peternakan Sapi Perah (KPS Bogor) diubah menjadi Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan yang disingkat KPS Bogor.

Pada awal perkembangannya, KPS Bogor hanya menampung kelebihan susu yang tidak dapat dipasarkan langsung peternak. Perkembangan KPS Bogor mulai meningkat karena adanya kebijakan impor sapi perah Fries Holland dan keharusan Industri Pengolahan Susu (IPS) menerima susu dari koperasi. Perkembangan KPS Bogor semakin baik ketika terbit keputusan Presiden (Keppres) No.069/B/1994 tentang bantuan kredit sebesar Rp 6,7 milyar untuk pembangunan Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi Perah di wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Keanggotaan dan Wilayah Kerja

Jumlah anggota KPS Bogor cukup besar. Tahun 2009 tercatat jumlah anggota secara keseluruhan sebanyak 908 orang. Walaupun memiliki jumlah anggota yang cukup besar, anggota aktif koperasi tersebut hanya 253 orang atau sekitar 28 persen. Anggota aktif adalah peternak yang tercatat dalam keanggotaan koperasi, memiliki ternak sapi perah produktif, dan secara rutin menjual hasil produksinya (susu) kepada koperasi.

Anggota koperasi yang aktif tersebut tersebar dalam 11 kelompok ternak yang berlokasi di Kunak dan luar Kunak. Wilayah Kunak terdiri dari dua lokasi yaitu Kunak I (berada di wilayah Kecamatan Cibungbulang) dan Kunak II (berada di wilayah Kecamatan Pamijahan) Kabupaten Bogor. Selain di Kunak, anggota KPS

10 Bogor tersebar di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor, Kotamadya Bogor, dan Kotamadya Depok. Wilayah kerja kelompok peternak sapi perah KPS Bogor dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 . Kelompok dan Wilayah Kerja KPS Bogor Tahun 2009

No. Kelompok Lokasi

1. Tertib Kunak I 2. Segar Kunak I 3. Bersih Kunak I 4. Indah Kunak II 5. Mandiri Kunak II 6. Aman Kunak II

7. Kania Tajur Halang

8. Ciawi Ciawi

9. Bojongsempu Cilebut

10. Kasumi Kota Depok

11. Langsung Tersebar di Kota dan Kabupaten Bogor

Sumber: KPS Bogor (2009)

Populasi Ternak

Populasi sapi perah yang dimiliki anggota KPS Bogor dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Populasi sapi perah tersebut terdiri atas induk betina, dara, jantan dewasa, jantan muda, dan pedet. Jumlah populasi sapi perah disajikan pada Tabel 2.

Pada tahun 2009 populasi sapi perah KPS Bogor adalah sebanyak 4.142 ekor yang terdiri dari 2.062 ekor sapi perah di Kunak dan 2.080 ekor sapi perah di luar Kunak. Komposisi sapi perah yang dimiliki anggota KPS Bogor sebagian besar merupakan sapi betina induk yaitu 56,4% dari populasi total, dan jantan dewasa yang dimiliki hanya 5,41% dari total.

11 Tabel 2. Struktur Populasi Sapi Perah KPS Bogor Tahun 2009

Kelompok Umur Jumlah (ekor) Presentase (%)

Betina

Induk 2336 56,4

Dara 508 12,26

Pedet 532 12,84

Total Sapi Betina 3376 81,51

Jantan

Dewasa 224 5,41

Muda 52 1,25

Pedet 490 11,83

Total Sapi Jantan 766 18,49

Jumlah Total 4142 100

Sumber: KPS Bogor (2009)

Produksi Susu

Tujuan utama pendirian KPS Bogor adalah memasarkan hasil produksi susu peternak anggota. Sampai saat ini pemasaran susu merupakan kegiatan utama KPS Bogor di samping penyediaan pakan dan sarana produksi ternak. Susu produksi peternak anggota KPS Bogor dipasarkan ke Industri Pengolahan Susu (IPS) seperti Indomilk. Selain itu KPS Bogor juga mengolah susu sendiri dengan metode pasteurisasi untuk dijual ke masyarakat di kawasan Bogor dan sekitarnya.

Produksi susu KPS Bogor mengalami peningkatan selama periode kepengurusan 2003-2005 dan 2006-2008. Produksi susu KPS Bogor per tiga tahun disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi Susu KPS Bogor Tahun 1997-2008

No. Periode Kepengurusan (Tahun) Produksi Susu (Liter) Kenaikan (%)

1. Masa Bakti 1997-1999 13.667.666 -

2. Masa Bakti 2000-2002 12.871.917 -5,8

3. Masa Bakti 2003-2005 13.455.687 4,5

4. Masa Bakti 2006-2008 15.310.414 13,8

Sumber: KPS Bogor (2009)

Produksi susu KPS Bogor sebagian besar dipasok oleh anggota yang berada di Kabupaten Bogor yaitu 10.648 liter/hari (211 orang anggota). Anggota yang berada di Kotamadya Bogor (32 orang) hanya memasok 910 liter/hari dan sisanya

12 dipasok anggota yang berada di Kotamadya Depok (20 orang) yaitu kisaran sebesar 835 liter/hari. Dalam sehari, tiap peternak menyetorkan susu kepada koperasi antara 10 sampai 94 liter. Pasokan terbesar didapat dari anggota-anggota yang sebagian besar berada di Kunak sedangkan pasokan terendah didapat dari anggota kelompok Kania yang berlokasi di Tajur Halang. Rata-rata pasokan peternak per hari disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Produksi Susu Harian Anggota KPS Bogor Tahun 2008

No. Kelompok Lokasi Rataan Produksi Susu

(Liter/Hari/Peternak) 1. Tertib Kunak I 43 2. Segar Kunak I 47 3. Bersih Kunak I 54 4. Indah Kunak II 58 5. Mandiri Kunak II 94 6. Aman Kunak II 73

7. Kania Tajur Halang 10

8. Ciawi Ciawi 23

9. Bojongsempu Cilebut 32

10. Kasumi Kota Depok 33

11. Langsung Kota dan Kabupaten Bogor 53

Sumber: KPS Bogor (2009)

Pakan Ternak

Selain melakukan pemasaran hasil produksi susu peternak, KPS Bogor juga melayani penjualan pakan ternak (konsentrat). Dalam melakukan kegiatan produksi pakan ternak, KPS Bogor membuat unit usaha tersendiri yaitu unit usaha produksi pakan ternak. Pembuatan pakan ternak dilakukan dengan mencampur berbagai jenis bahan baku yaitu wheat pollard, onggok, bungkil kopra, tetes, dedak padi, dan kulit kacang afkir.

Dalam perkembangannya, produksi pakan ternak KPS Bogor relatif tetap dalam beberapa tahun terakhir ini. Jumlah produksi pakan ternak KPS Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.

13 Tabel 5. Produksi Pakan KPS Bogor Tahun 2006-2008

No. Keterangan 2006 2007 2008

1. Hasil Produksi (ton/bulan 329,10 280,70 314,00

2. Hasil Produksi (ton/hari) 14,95 12,75 14,27

Sumber: KPS Bogor (2009)

Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi Perah Kab. Bogor

Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi Perah merupakan sentra peternakan sapi perah di wilayah Kabupaten Bogor. Manajemen Kunak berada di bawah lingkup KPS Bogor. Kawasan ini dibangun dengan tujuan untuk merelokasi peternak-peternak sapi perah anggota KPS yang terpencar di berbagai wilayah. Pembangunan Kunak dilakukan mulai Agustus 1995 sampai dengan Desember 1996 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 7 Januari 1997 (Koperasi Produksi Susu, 2009).

Dijelaskan lebih lanjut bahwa Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi Perah menempati lahan seluas 140 ha yang berada di Kecamatan Cibungbulang yaitu Desa Situ Udik, dan Desa Pasarean, Kecamatan Pamijahan. Keadaan Desa Situ Udik dan Pamijahan dinyatakan tepat untuk mengembangkan usaha sapi perah karena lokasi dan iklim kedua desa tersebut cocok untuk usaha ternak sapi perah. Wilayah Kunak ini merupakan suatu tempat yang relatif terpisah dari pusat kegiatan kedua

Dokumen terkait