• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi sistem informasi geografis untuk melihat penyediaan hijauan pakan dan pemanfaatan lahan di kawasan usaha peternakan sapi perah Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi sistem informasi geografis untuk melihat penyediaan hijauan pakan dan pemanfaatan lahan di kawasan usaha peternakan sapi perah Kabupaten Bogor"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Geographical Information System Application to See Forage Requirement and Land Use at Ranch Business Area’s Dairy Cattle of Bogor's Regency

Dziyaudin, M., A. T. Permana, M. A. Setiana

Geographic Information Systems (GIS) can serve as a platform to link data sets and models based on locations and spatial relationships. The benefits of this research will enhance the capability of GIS as a platform of information integration for management forage supply and land use system at ranch business area (Kunak) of Bogor’s Regency, West Java. The research was done at Kunak Bogor's Regency dairy cattle as extensive as 94.41 ha that consist of Kunak I and Kunak II.

The method that is observation and interview sheet as GIS layer to record data management system (forage requirement, livestock’s population, milk production, and feed supplement that is given at Kunak). Identification of forage availability was used to calculate and identify agricultural waste.

The result of this research was on the form of maps as a basic of information for various purposes (such as forage and feed resources development). Moreover, it was also found there were a shortage of forage supply, a change of dairy cattle population composition, and an increasing of milk production. Based an calculation, forage requirement for 7,800 animal unit can be supplied either by utilization of agricultural waste from surrounding area (Cibungbulang’s district and Pamijahan’s district) or by land extencivication of forage planting from an area of 101.5 ha.

(2)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengembangan hijauan pakan ternak berperan strategis dalam

mempertahankan populasi ternak ruminansia. Perencanaan penyediaan hijauan pakan

memerlukan peran penelitian dan pengembangan dalam hal penggunaan teknologi

sebagai daya dukung sistem integrasi peternakan. Pola penyediaan kebun rumput

mempunyai potensi dan manfaat yang sangat besar bila dikembangkan dengan

penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam ketersediaan dan kuantitas

kebun rumput, terutama bagi peternakan sapi perah yang memerlukan hijauan lebih

dari 70% dari total konsumsi pakan. Integrasi dengan pendekatan analisis dan ilmu

pengetahuan tentang teknik monitoring mempunyai manfaat lebih dalam untuk SIG,

sehingga pengguna informasi khususnya peternak menyadari potensi penggunaan

teknologi informasi.

Perencanaan hijauan pakan skala besar perlu melibatkan penggunaan data

geografis untuk beberapa waktu. Data tersebut mencakup data topografi, tata guna

lahan, data infrastruktur wilayah, data curah hujan, peta jenis tanah, peta rupa bumi,

data irigasi, data administrasi wilayah, dan kebijakan perencanaan tata ruang

wilayah.

Analisa potensi hijauan pakan telah diterapkan menggunakan citra satelit,

iklim, data topografi, dan data cuaca model sederhana di New South Wales,

Australia. Penggunaan SIG juga berperan dalam manajemen keputusan sebagai

pertimbangan faktor lingkungan secara terukur, data vegetasi, dan pengaruh tata

guna lahan dalam manajemen sistem penggembalaan berkelanjutan di Central

Tablelands, New South Wales. Berdasarkan hal tersebut, perlu diterapkan teknologi

informasi berbasis SIG di Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) sapi perah Kabupaten

Bogor. Dalam penelitian ini dilakukan analisis luasan lahan dan pemanfaatannya

terhadap pola penyediaan dan potensi sumber daya pakan dengan menggunakan

aplikasi SIG untuk mendukung perencanaan pengembangan hijauan pakan dan

(3)

2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan sebagai informasi dasar untuk berbagai keperluan

(misalnya untuk estimasi dan perencanaan penyediaan hijauan pakan) sebagai faktor

pendukung usaha peternakan sapi perah yang menjadi dasar pengembangan hijauan

pakan ternak dan sumber informasi pakan di Kawasan Usaha Peternakan (Kunak)

(4)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Tata Guna Lahan dan Sumber Daya Pakan

Tata guna lahan dapat didefinisikan sebagai lahan yang dimanfaatkan oleh

manusia. Penggunaan lahan biasanya sebagai taman, kehutanan, sarana peternakan,

dan lahan pertanian (Weng, 2010). Field (2007) menjelaskan bahwa lahan dan pakan

ternak adalah dua sumber daya penting dalam pengoperasian peternakan sapi potong.

Lahan digunakan untuk memproduksi sumber pakan bagi ternak sapi potong.

Interaksi antara ternak dengan lahan dan tanaman berpengaruh nyata terhadap

konservasi dan pengembangan sumber daya tersebut.

Jumlah permintaan terhadap pakan biji-bijian dan bahan baku pakan lainnya

terus mengalami peningkatan, sehingga kebutuhan lahan pertanian untuk memenuhi

kebutuhan produksi ternak juga meningkat sebesar 34% dari penggunaan lahan untuk

bidang pertanian. Pengembangan lahan bagi ternak difokuskan pada savana, lahan

tidur, dan lahan yang tidak bisa diolah untuk lahan pertanian. Proses dan sistem

produksi peternakan perlu dihubungkan antara faktor permintaan dengan sumber

daya pakan, pekerja dan ketersediaan air, sehingga memerlukan penggunaan

teknologi yang relevan. Perbedaan trend geografis pada sistem produksi peternakan

mengalami perubahan pola pada setiap waktu, mengikuti populasi manusia secara

dinamis (pertumbuhan dan migrasi), perubahan teknis (domestikasi, pemanenan dan

transportasi) dan budaya setempat (FAO, 2006).

Kesesuaian dan Kualitas Lahan

FAO (1976) menjelaskan kesesuaian lahan adalah kecocokan dari suatu tipe

lahan tertentu bagi penggunaan yang direncanakan. Kesesuaian lahan tersebut seperti

penggunaan lahan untuk irigasi, peternakan, perikanan dan pertanian tanaman

semusim. Kesesuaian lahan yang lebih spesifik dapat ditinjau dari sifat-sifat fisik

lingkungan yang terdiri dari iklim, topografi, dan hidrologi yang sesuai untuk suatu

usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif.

Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi

biasanya mempunyai interaksi satu sama lain. Kualitas lahan adalah sifat-sifat atau

atribut yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai

(5)

4 Kualitas lahan ada yang dapat diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan.

Kualitas lahan kemungkinan berperan positif dan negatif terhadap penggunaan lahan

tergantung dari sifat-sifatnya. Kualitas lahan yang berperan positif adalah sifatnya

menguntungkan bagi suatu penggunaan, sebaliknya kualitas lahan yang bersifat

negatif karena keberadaannya akan merugikan dan merupakan kendala terhadap

penggunaan tertentu, sehingga merupakan faktor penghambat. Kenyataan

menunjukkan bahwa kualitas lahan yang sama dapat berpengaruh terhadap lebih dari

satu penggunaan (FAO, 1976).

Kualitas lahan untuk produksi ternak menurut FAO (1976) meliputi semua

kualitas lahan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, hijauan, rumput ternak,

kesulitan-kesulitan iklim yang mempengaruhi ternak, ketersediaan air minum untuk

ternak, penyakit-penyakit ternak, nilai nutrisi dari rumput, ketahanan terhadap

kerusakan rumput, dan ketahanan terhadap erosi akibat penggembalaan. Menurut

Djaenudin et al. (2003) banyaknya jumlah karakteristik lahan menyebabkan

kepentingan evaluasi lahan dapat dipilih dan ditentukan sesuai dengan keperluan

penggunaan dan kondisi lokal di wilayah yang akan dievaluasi. Evaluasi lahan pada

skala kecil (tingkat tinjau skala 1:250.000) dengan skala besar (tingkat spesifik

1:10.000) perlu dipertimbangkan mengenai jumlah dan macam kualitas serta

karakteristik lahan sebagai parameter yang akan digunakan, seperti parameter untuk

evaluasi lahan yang digunakan pada tingkat tinjau, tentu lebih sederhana

dibandingkan dengan untuk tingkat spesifik karena berkaitan dengan ketersediaan

dan kualitas data pada masing-masing tingkat pemetaan tanah tersebut.

Sumber Lahan untuk Pengembangan Ternak Ruminansia

Faktor sumberdaya lahan berkaitan erat dengan usaha pengembahan ternak

ruminansia sebagai tempat hidup dan sebagai penghasil hijauan makanan ternak.

Suratman et al. (1998) menyatakan bahwa kebutuhan lahan untuk peternakan dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu: usaha peternakan yang berbasis lahan dan usaha

peternakan yang tidak berbasis lahan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Balai

Penelitian Ternak (1995) juga menyatakan bahwa pemanfaatan lahan untuk

peternakan didasarkan pada kriteria antara lain: lahan adalah sumber pakan untuk

(6)

5 peternakan diartikan sebagai usaha penyerasian antara peruntukan lahan dengan

system pertanian; dan hubungan antara lahan dengan ternak bersifat dinamis.

Terdapat empat karakteristik utama lahan yang digunakan dalam penyusunan

kriteria lingkungan ekologis dalam pengembangan ternak ruminansia, yaitu:

temperatur (suhu rata-rata dan kelembaban); ketersediaan air (curah hujan, bulan

kering, dan sumber air) dan kualitas air; terrain (elevasi dan lereng); dan persentase

kandungan batuan (Suratman et al., 1998). Jenis penggunaan lahan yang dapat

dimanfaatkan oleh peternak antara lain: lahan sawah, tegalan, lahan tidak produktif,

lahan perkebunan, dan padang penggembalaan dengan tingkat kepadatan tergantung

pada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air, dan jenis ternak yang

dipelihara. Lahan-lahan tersebut memunginkan pengembangan pola integrasi

ternak-tanaman yang merupakan proses saling menunjang melalui pemanfaatan kotoran sapi

sebagai pupuk organik sementara lahan menghasilkan pakan hijauan yang

dibutuhkan oleh ternak.

Potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak secara teknik dapat

dihitung menurut populasi ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan

potensi makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan

(Natasasmita dan Mudikdjo, 1980). Perhitungan potensi wilayah untuk produksi

ternak herbivora dihitung berdasarkan kepadatan ternak teknis yang diperlukan.

Semakin rendah angka kepadatan teknisnya, berarti kemungkinan wilayah tersebut

mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan ternak. Angka kepadatan

teknis menunjukkan gambaran kasar tentang potensi suatu wilayah untuk

pengembangan ternak. Potensi yang sesungguhnya akan ditentukan oleh tingkat

produksi hijauan makanan ternak di wilayah yang bersangkutan. Kemampuan

produksi hijauan makanan ternak akan bergantung pada: derajat kesuburan tanah;

iklim; tata guna lahan; dan topografi lahan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk

memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya tanah-tanah yang

memiliki potensi untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang diperhitungkan,

misalnya tanah pertanian, perkebunan, padang penggembalaan, dan sebagian dari

(7)

6 Hijauan Makanan Ternak

Hijauan makanan ternak (HMT) merupakan semua bahan yang berasal dari

tanaman dalam bentuk daun-dauanan. Kelompok hijauan makanan ternak meliputi

famili rumput (gramineae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuhan lain, seperti daun

waru, nangka, dan lain-lain. Hijauan sebagai pakan ternak dapat diberikan dalam

keadaan segar dan dalam keadaan kering. Bulo (2004) menyatakan bahwa dalam

pengembangan ternak ruminansia di Indonesia, hijauan makanan ternak adalah faktor

yang sangat penting dengan komposisi yang terbesar yaitu 70-80% dari total biaya

pemeliharaan.

Reksohadiprojo (1984) menyatakan bahwa penggolongan tanaman budidaya

maupun alami yang umum digunakan sebagai hijauan makanan ternak terdiri atas

jenis rumput-rumputan (gramineae), perdu atau semak (herba), dan pepohonan.

Spesies hijauan yang memiliki potensi tinggi sebagai hijauan makanan ternak, antara

lain: rumput-rumputan, perdu/semak dan legum pohon. Rumput-rumputan terdiri

atas rumput para (Brachiaria mutica), rumput benggala (Panicum maximum),

rumput kolonjono (Panicum muticum), dan rumput buffel (Cenchrus ciliaris).

Perdu/semak terdiri atas beberapa jenis legum seperti kacang gude (Cajanus cajan),

komak (Dolichos lablab), dan perdu lainnya dari limbah tanaman pangan pertanian

seperti jerami padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar dan daun ubi kayu.

Legum pohon terdiri atas sengon laut (Albazzia falcataria), lamtoro (Leucaena

leucocephala), kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan turi (Sesbania grandiflora).

Manurung (1996) menyatakan bahwa hijauan leguminosa merupakan sumber protein

yang penting untuk ternak ruminansia. Keberadaannya dalam ransum ternak akan

meningkatkan kualitas pakan.

Limbah pertanian adalah hasil ikutan dari pengolahan tanaman pangan yang

produksinya sangat tergantung pada jenis dan jumlah areal penanaman atau pola

tanam dari tanaman pangan disuatu wilayah (Makkar, 2002). Dijelaskan lebih lanjut

beberapa macam jenis limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan

pakan ternak antara lain: jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, dan pucuk

tebu. Hasil limbah tanaman palawija pada umumnya bernilai gizi lebih tinggi

(8)

7 tersebut akan mendukung integrasi usaha peternakan dengan usaha pertanian baik

tanaman pangan, holtikultura maupun perkebunan.

Jerami padi mempunyai kualitas rendah dan dapat memberikan akibat negatif

terhadap tingkat konsumsi, apabila diberikan kepada ternak laktasi tanpa diberi

perlakuan yang menaikkan degradasi (Santosa et al., 2009). Nasrullah et al. (1996)

menyatakan bahwa untuk menggantikan sebagian pakan konsentrat, dapat digunakan

tanaman leguminosa, dengan perbandingan 75% hijauan dan 25% leguminosa. Cara

tersebut selain dapat meningkatkan kualitas ransum, juga akan memberikan

keuntungan untuk usaha ternak ruminansia.

Pennisetum purpureum

Rumput Pennisetum purpureum memiliki beberapa nama daerah sesuai

dengan tempatnya, antara lain: Elephant grass dan napier grass (Inggris), Herbe

d’éléphant dan fausse canne à sucre (Prancis), Rumput Gajah (Indonesia dan Malaysia), Buntot-pusa (Tagalog dan Filipina), Handalawi (Bokil), Lagoli (Bagobo),

Ya-nepia (Thailand), Co’ duôi voi (Vietnam) dan pasto elefante (Spanyol). Asal-usul dan penyebaran geografi rumput Pennisetum purpureum yaitu berasal dari Afrika

tropika, kemudian menyebar dan diperkenalkan ke daerah-daerah tropika di dunia,

dan tumbuh alami di seluruh Asia Tenggara yang bercurah hujan melebihi 1.000 mm

dan tidak ada musim panas yang panjang (Balai Penelitian Ternak, 2001).

Balai Penelitian Ternak (2001) menyatakan bahwa rumput gajah merupakan

keluarga rumput-rumputan (gramineae) yang telah dikenal manfaatnya sebagai

pakan ternak ruminansia yang alami di Asia Tenggara. Rumput ini biasanya dipanen

dengan cara membabat seluruh pohonnya lalu diberikan langsung (cut and carry)

sebagai pakan hijauan untuk kerbau dan sapi, atau dapat juga dijadikan sebagai

persediaan pakan melalui proses pengawetan pakan hijauan dengan cara silase dan

hay. Selain itu, rumput gajah juga bisa dimanfaatkan sebagai mulsa tanah yang baik.

Di Indonesia, rumput gajah merupakan tanaman hijauan utama pakan ternak.

Penanaman dan introduksinya dianjurkan oleh banyak pihak.

Nilai pakan rumput gajah dipengaruhi oleh perbandingan (rasio) jumlah daun

terhadap batang dan umurnya. Kandungan nitrogen dari hasil panen yang dilakukan

secara teratur berkisar antara 2-4% protein kasar, sedangkan untuk varietas Taiwan

(9)

8 kecernaan (TDN) pada daun muda diperkirakan mencapai 70%, tetapi pada usia tua,

nilai menurun hingga 55%. Batang-batang yang keras kurang palatable bagi ternak,

berbeda dengan yang masih muda dan mengandung cukup banyak air. Rumput ini

bergaris dengan dasar yang lebar dan memiliki ujung yang runcing (Balai Penelitian

Ternak, 2001).

Balai Penelitian Ternak (2001) menyatakan bahwa rumput gajah merupakan

tumbuhan yang memerlukan hari dengan waktu siang yang pendek, dengan foto

periode kritis antara 12-13 jam. Kecambah tumbuh dengan lemah dan lambat. Oleh

karena itu, rumput ini secara umum ditanam dan diperbanyak secara vegetatif. Bibit

vegetatif tumbuh dengan cepat dan dapat mencapai ketinggian sampai 2-3 meter

dalam waktu 2 bulan pada kondisi yang baik. Dijelaskan lebih lanjut bahwa rumput

gajah ditanam pada lingkungan hawa panas yang lembab, tetapi tahan terhadap

musim panas yang cukup tinggi dan dapat tumbuh dalam keadaan yang tidak terlalu

dingin. Rumput ini juga dapat tumbuh dan beradaptasi pada berbagai macam tanah

meskipun hasilnya akan berbeda, tetapi rumput ini tidak tahan hidup di daerah hujan

yang terus menerus. Secara alami rumput gajah dapat ditemukan di sepanjang

pinggiran hutan. Rumput gajah dapat dipanen sepanjang tahun dengan hasil

mencapai 20-40 ton/ha bahan kering. Rumput gajah biasa diberikan dalam bentuk

segar, tetapi dapat juga diawetkan sebagai silase. Kandungan nutrien setiap ton bahan

kering adalah 10-30 kg N, 2-3 kg P, 30-50 kg K, 3-6 kg Ca, 2-3 kg Mg dan S. Hasil

bahan kering setiap tahun diharapkan berkisar 2-10 ton/ha untuk tanaman yang tidak

dipupuk atau dengan pupuk yang sedikit. Tanaman yang dipupuk menggunakan

pupuk N dan P hasilnya berkisar antara 6-40 ton/ha.

Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan (KPS) Bogor

Sejarah

Pendirian Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan (KPS) Bogor

(10)

9 pemasaran susu. Hasil susu yang diproduksi sangat melimpah sehingga tidak dapat

seluruhnya terserap oleh tengkulak susu. Peningkatan produksi susu tersebut timbul

karena meningkatnya populasi sapi perah impor yang didatangkan oleh Perusahaan

Negara Perhewani. Peningkatan produksi susu tersebut belum diimbangi oleh

peningkatan permintaan pasar dan harga jual susu yang sesuai. Monopoli pemasaran

susu dan penjualan sarana produksi yang dilakukan oleh tengkulak mendorong

beberapa peternak untuk mendirikan wadah yang dapat meningkatkan kekuatan

tawar mereka. Berdasarkan hal tersebut, tanggal 21 Oktober 1970 sebanyak 24 orang

peternak bersatu dan mendirikan Koperasi Produksi Susu dan Peternakan Sapi Perah

(KPS-Bogor) dengan Badan Hukum No.4654/BH/IX-9. Sejak tanggal 25 Maret 1996

Badan Hukum KPS Bogor berubah menjadi No.4654/BH/PAD/KWK.10/III/1996

dan nama Koperasi Produksi Susu dan Peternakan Sapi Perah (KPS Bogor) diubah

menjadi Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan yang disingkat KPS Bogor.

Pada awal perkembangannya, KPS Bogor hanya menampung kelebihan susu

yang tidak dapat dipasarkan langsung peternak. Perkembangan KPS Bogor mulai

meningkat karena adanya kebijakan impor sapi perah Fries Holland dan keharusan

Industri Pengolahan Susu (IPS) menerima susu dari koperasi. Perkembangan KPS

Bogor semakin baik ketika terbit keputusan Presiden (Keppres) No.069/B/1994

tentang bantuan kredit sebesar Rp 6,7 milyar untuk pembangunan Kawasan Usaha

Peternakan (Kunak) Sapi Perah di wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten

Bogor.

Keanggotaan dan Wilayah Kerja

Jumlah anggota KPS Bogor cukup besar. Tahun 2009 tercatat jumlah anggota

secara keseluruhan sebanyak 908 orang. Walaupun memiliki jumlah anggota yang

cukup besar, anggota aktif koperasi tersebut hanya 253 orang atau sekitar 28 persen.

Anggota aktif adalah peternak yang tercatat dalam keanggotaan koperasi, memiliki

ternak sapi perah produktif, dan secara rutin menjual hasil produksinya (susu) kepada

koperasi.

Anggota koperasi yang aktif tersebut tersebar dalam 11 kelompok ternak

yang berlokasi di Kunak dan luar Kunak. Wilayah Kunak terdiri dari dua lokasi yaitu

Kunak I (berada di wilayah Kecamatan Cibungbulang) dan Kunak II (berada di

(11)

10 Bogor tersebar di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor, Kotamadya

Bogor, dan Kotamadya Depok. Wilayah kerja kelompok peternak sapi perah KPS

Bogor dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 . Kelompok dan Wilayah Kerja KPS Bogor Tahun 2009

No. Kelompok Lokasi

11. Langsung Tersebar di Kota dan Kabupaten Bogor

Sumber: KPS Bogor (2009)

Populasi Ternak

Populasi sapi perah yang dimiliki anggota KPS Bogor dibedakan berdasarkan

jenis kelamin. Populasi sapi perah tersebut terdiri atas induk betina, dara, jantan

dewasa, jantan muda, dan pedet. Jumlah populasi sapi perah disajikan pada Tabel 2.

Pada tahun 2009 populasi sapi perah KPS Bogor adalah sebanyak 4.142 ekor

yang terdiri dari 2.062 ekor sapi perah di Kunak dan 2.080 ekor sapi perah di luar

Kunak. Komposisi sapi perah yang dimiliki anggota KPS Bogor sebagian besar

merupakan sapi betina induk yaitu 56,4% dari populasi total, dan jantan dewasa yang

(12)

11 Tabel 2. Struktur Populasi Sapi Perah KPS Bogor Tahun 2009

Kelompok Umur Jumlah (ekor) Presentase (%)

Betina

Tujuan utama pendirian KPS Bogor adalah memasarkan hasil produksi susu

peternak anggota. Sampai saat ini pemasaran susu merupakan kegiatan utama KPS

Bogor di samping penyediaan pakan dan sarana produksi ternak. Susu produksi

peternak anggota KPS Bogor dipasarkan ke Industri Pengolahan Susu (IPS) seperti

Indomilk. Selain itu KPS Bogor juga mengolah susu sendiri dengan metode

pasteurisasi untuk dijual ke masyarakat di kawasan Bogor dan sekitarnya.

Produksi susu KPS Bogor mengalami peningkatan selama periode

kepengurusan 2003-2005 dan 2006-2008. Produksi susu KPS Bogor per tiga tahun

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi Susu KPS Bogor Tahun 1997-2008

No. Periode Kepengurusan (Tahun) Produksi Susu (Liter) Kenaikan (%)

1. Masa Bakti 1997-1999 13.667.666 -

2. Masa Bakti 2000-2002 12.871.917 -5,8

3. Masa Bakti 2003-2005 13.455.687 4,5

4. Masa Bakti 2006-2008 15.310.414 13,8

Sumber: KPS Bogor (2009)

Produksi susu KPS Bogor sebagian besar dipasok oleh anggota yang berada

di Kabupaten Bogor yaitu 10.648 liter/hari (211 orang anggota). Anggota yang

(13)

12 dipasok anggota yang berada di Kotamadya Depok (20 orang) yaitu kisaran sebesar

835 liter/hari. Dalam sehari, tiap peternak menyetorkan susu kepada koperasi antara

10 sampai 94 liter. Pasokan terbesar didapat dari anggota-anggota yang sebagian

besar berada di Kunak sedangkan pasokan terendah didapat dari anggota kelompok

Kania yang berlokasi di Tajur Halang. Rata-rata pasokan peternak per hari disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Produksi Susu Harian Anggota KPS Bogor Tahun 2008

No. Kelompok Lokasi Rataan Produksi Susu

11. Langsung Kota dan Kabupaten Bogor 53

Sumber: KPS Bogor (2009)

Pakan Ternak

Selain melakukan pemasaran hasil produksi susu peternak, KPS Bogor juga

melayani penjualan pakan ternak (konsentrat). Dalam melakukan kegiatan produksi

pakan ternak, KPS Bogor membuat unit usaha tersendiri yaitu unit usaha produksi

pakan ternak. Pembuatan pakan ternak dilakukan dengan mencampur berbagai jenis

bahan baku yaitu wheat pollard, onggok, bungkil kopra, tetes, dedak padi, dan kulit

kacang afkir.

Dalam perkembangannya, produksi pakan ternak KPS Bogor relatif tetap

dalam beberapa tahun terakhir ini. Jumlah produksi pakan ternak KPS Bogor dapat

(14)

13 Tabel 5. Produksi Pakan KPS Bogor Tahun 2006-2008

No. Keterangan 2006 2007 2008

1. Hasil Produksi (ton/bulan 329,10 280,70 314,00

2. Hasil Produksi (ton/hari) 14,95 12,75 14,27

Sumber: KPS Bogor (2009)

Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi Perah Kab. Bogor

Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi Perah merupakan sentra peternakan

sapi perah di wilayah Kabupaten Bogor. Manajemen Kunak berada di bawah lingkup

KPS Bogor. Kawasan ini dibangun dengan tujuan untuk merelokasi

peternak-peternak sapi perah anggota KPS yang terpencar di berbagai wilayah. Pembangunan

Kunak dilakukan mulai Agustus 1995 sampai dengan Desember 1996 dan

diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 7 Januari 1997 (Koperasi Produksi

Susu, 2009).

Dijelaskan lebih lanjut bahwa Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi

Perah menempati lahan seluas 140 ha yang berada di Kecamatan Cibungbulang yaitu

Desa Situ Udik, dan Desa Pasarean, Kecamatan Pamijahan. Keadaan Desa Situ Udik

dan Pamijahan dinyatakan tepat untuk mengembangkan usaha sapi perah karena

lokasi dan iklim kedua desa tersebut cocok untuk usaha ternak sapi perah. Wilayah

Kunak ini merupakan suatu tempat yang relatif terpisah dari pusat kegiatan kedua

desa. Penempatan lokasi tersebut dimaksudkan agar usaha ternak sapi perah tidak

mengalami gangguan sehingga dapat dihasilkan susu yang baik.

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) diartikan sebagai sistem informasi yang

digunakan untuk mengumpulkan data, memasukkan, menyimpan, memanggil

kembali, mengolah, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan informasi

geografis (Bettinger dan Wing, 2004), menghasilkan data bereferensi geografis atau

data geospasial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan

pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan transportasi, fasilitas

kota, dan pelayanan umum lainnya (EMHA, 2011). Menurut Bettinger dan Wing

(2004), SIG tidak hanya menganjurkan pengguna untuk memahami

keuntungan-keuntungan teknologi SIG dalam menganalisa data tetapi juga menganjurkan pada

(15)

14 dan sebagai strategi pemecah masalah dalam tingkatan sosial. Pengembangan SIG

saat ini telah diaplikasikan oleh beberapa pengguna dari berbagai disiplin ilmu untuk

menganalisa dan mengkategorikan data spasial tentang berbagai isu dan masalah

sosial sehingga dapat dijadikan bahan masukan dan dasar dalam pengambilan

keputusan dan kebijakan terkait dengan masalah-masalah geografis.

Komponen utama SIG adalah sistem komputer, data geospasial, dan

pengguna. Sistem komputer untuk SIG terdiri dari perangkat keras (hardware),

perangkat lunak (software), dan prosedur untuk penyusunan pemasukan data,

pengolahan, analisis, pemodelan, dan penayangan data geospasial. Sumber-sumber

data geospasial adalah peta digital, foto udara, citra satelit, tabel statistik, dan

dokumen lain yang berhubungan dengan data yang akan diolah. Pengguna sebagai

sasaran untuk memilih informasi yang diperlukan, membuat standar, membuat

jadwal pemutakhiran (updating) yang efisien, menganalisa hasil yang dikeluarkan

untuk kegunaan yang diinginkan dan merencanakan aplikasi (EMHA, 2011).

Penggunaan SIG pada sektor peternakan telah dikembangkan oleh akademisi

dan ilmuwan luar negeri antara lain: informasi variasi penggembalaan dan perilaku

ekskresi pada jenis ruminansia, tipe tata guna lahan, kesediaan kebun rumput, dan

manajemen penggembalaan ruminansia dengan sistem agropastura di Nigeria Barat

(Schlecht et al., 2006), menganalisa dampak kecukupan air pada padang

penggembalaan ternak di Georgia Selatan (Worley et al., 2001), estimasi parameter

beberapa faktor pada sistem integrasi peternakan di savana Afrika Barat (Manyong et

al., 2006), mengklasifikasikan zona pastura untuk padang penggembalaan komersial

di New South Wales (Hill et al., 1996), survei efisiensi penggunaan air untuk

peternakan sapi perah di Victoria Utara (Linehan et al., 2004), menganalisa

penerapan teknologi dan tata guna lahan pada peternakan sapi perah di Kenya (Staal

et al., 2002), penentuan zona adaptasi potensial untuk beberapa spesies tanaman pada

lahan pastura (Hill, 1996), prediksi produktivitas pastura pada sistem padang

penggembalaan (Zhang et al., 2006) dan penentuan lokasi minum ternak sapi potong

di Florida (Todd et al., 2004). Bettinger dan Wing (2004) menjelaskan bahwa

manfaat SIG terutama sebagai efisiensi penyimpanan data peta dan dapat sebagai

acuan pengembangan peta sehingga mudah direvisi menurut keadaan waktu. SIG

(16)

15 untuk pengambilan keputusan yang bermutu, lebih terarah dalam segi biaya, dan

meningkatkan efisiensi para pekerja. Kesuksesan implementasi SIG dapat diukur dari

penghematan uang, mengurangi waktu analisa, penghematan aktivitas untuk

mencapai target dari proyek yang akan dijalankan.

Perangkat Pendukung SIG

ArcGis 9.3

Terdapat beberapa perangkat lunak untuk mengolah data SIG, antara lain

ArcGIS, ArcInfo, ArcView, ATLAS, GRASS, GeoMedia, ILWIS, MapInfo, MGE

Products, dan PAMAP. Perangkat lunak tersebut mempunyai kelebihan

masing-masing. ArcGis 9.3 merupakan salah satu perangkat lunak untuk mengolah data

sistem informasi geografis. Produk tersebut tersedia dalam bentuk paket-paket

perangkat lunak yang terdiri dari multiprogram yang terintegrasi untuk mendukung

kemampuan-kemampuan khusus untuk pemetaan digital, manajemen, dan analisa

data geografi. Produk tersebut dikeluarkan oleh Environmental System Research

Institute, Inc. [ESRI] yang berlokasi di 380 New York Street, Redlands, CA

92373-8100 USA (ESRI, 1998).

Global Positioning System (GPS)

GPS atau NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global

Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentu posisi menggunakan

satelit. Sistem dalam GPS dapat digunakan oleh beberapa orang sekaligus dalam

segala cuaca dan didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang

teliti, dan juga informasi mengenai waktu secara kontinyu di seluruh dunia.

Pada dasarnya GPS terdiri dari tiga segmen utama, yaitu segmen angkasa

(space segment) yang terutama terdiri atas satelit-satelit GPS, segmen sistem kontrol

(control system segment) yang terdiri dari stasiun-stasiun pemonitor dan pengontrol

satelit, dan segmen pemakai (user segment) yang terdiri dari pemakai GPS termasuk

alat-alat penerima dan pengolah sinyal ataupun data GPS. Manfaat dari GPS yaitu

memberikan solusi pengurangan waktu dan biaya untuk menyusun data, verifikasi

data yang cepat dan akurat dalam penginderaan jauh, dan memudahkan dalam

(17)

16 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah Kawasan Usaha Peternakan

(Kunak) sapi perah Kabupaten Bogor seluas 94,41 hektar, berada dalam dua wilayah

yang berdekatan yaitu Kunak I terletak di Gunung Sarengseng, Kecamatan

Cibungbulang dan Kunak II di Gunung Geulis, Kecamatan Pamijahan. Pengolahan

data sekunder dan data primer dilaksanakan di Laboratorium Agrostologi, Bagian

Ilmu dan Teknologi Tumbuhan Pakan dan Pastura, Departemen Ilmu Nutrisi dan

Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 21

Oktober sampai tanggal 19 November 2011.

Materi

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang

dilengkapi dengan paket Sistem Informasi Geografis (perangkat keras dan perangkat

lunak) dengan software ArcGIS 9.3, Global Mapper 9.03, DNR Garmin 5.4.1., GPS

merk Garmin tipe 60CSX, kamera digital berkemampuan 10.0 mega pixel dan alat

tulis.

Bahan yang digunakan yaitu lembar kuisioner dan peta dasar. Peta dasar

diperoleh dari manajer Kunak dan petugas yang bertanggung jawab atas lahan

Kunak. Peta tersebut terdiri dari dua buah peta dasar yaitu peta Kunak I dan Kunak II

yang berisi informasi tentang lokasi kavling dan batas wilayah administrasi.

Prosedur

Observasi Lapang

Kegiatan observasi lapang dilakukan dengan pengamatan langsung

menggunakan GPS merk Garmin tipe 60CSX, kamera digital berkemampuan 10.0

megapixel, dan alat tulis. Kegiatan ini dilakukan untuk melihat secara langsung

kondisi lapangan dan verifikasi data spasial dengan penampakan sebenarnya di bumi.

Observasi lapang dikerjakan pada pagi sampai sore hari (keadaan langit cerah tidak

berawan) dengan presisi lokasi yang terlihat pada layar GPS antara ± 2-5 m. Hal ini

dilakukan agar receiving data dari satelit ke GPS lebih akurat dan pengambilan data

bersifat seragam. Semua data yang diperoleh kemudian menjadi input data untuk

(18)

17 Gambar 1. Observasi Lapang Menggunakan GPS

Wawancara

Wawancara dilakukan secara langsung kepada setiap pemilik/pengontrak dan

atau pengelola setiap kavling dengan metode sensus berjumlah 114 kavling, direktur

Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor, manajer Kunak, penanggung jawab urusan

lahan, dokter hewan setempat, dan ketua RT dalam tiap kelompok peternak Kunak.

Kegiatan wawancara dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur.

Wawancara terstruktur dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam

kuisioner secara teratur untuk memperoleh data primer yang diinginkan, sedangkan

wawancara tidak terstruktur dengan pembicaraan tanya jawab verifikasi data dan

informasi sebagai pelengkap data yang sudah diperoleh sebelumnya. Lembar

kuisioner yang digunakan untuk wawancara disajikan dalam Lampiran 5.

GIS Layers

Dasar pembuatan peta dengan SIG menggunakan peta tematik yang berisi

data spasial antara lain: denah lokasi seluruh kavling, jalan, sungai, fasilitas, dan

batas administrasi wilayah. Data spasial tersebut dipadukan dengan data vektor yang

diperoleh dari atribut GPS agar data tersebut bisa diolah menjadi peta dalam format

SIG. Data vektor tersebut terdiri dari hasil GPS Kunak I dengan atribut berisi 257

(19)

18 Sedangkan hasil dari pencatatan GPS pada lokasi Kunak II berisi 200 points dan 76

waypoints dengan panjang 7,7 km yang mencakup luasan 76.196 m2.

Software SIG (ESRI, 1998) digunakan untuk mengolah data vektor, membuat

atribut dan layer tambahan serta penerapan peta spasial sehingga bisa dibaca sebagai

bentuk dan ukuran peta yang sebenarnya pada permukaan bumi. SIG digunakan

untuk kalkulasi perjalanan dengan GPS dan untuk identifikasi serta merekam setiap

perjalanan yang dilakukan (ESRI, 1998). Data-data layer tersebut diolah menurut

atribut-atribut dan diinterpolasikan dengan peta dasar. Diagram alur pembuatan peta

disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alur Metode

Analisis Data

Analisis data berupa hasil kuisioner kemudian diolah menggunakan program

Microsoft Excel 2007. Data tersebut diolah secara kuantitatif dan kualitatif sehingga

dapat diambil kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis dan

informasi pemanfaatan lahan dilakukan dengan mengolah data spasial berupa peta

(20)

19 serta data dan peta hasil tracking menggunakan GPS. Peta tersebut menjadi sumber

input data dalam software ArcGIS 9.3. dengan ketelitian 89% yang digunakan untuk

analisis data atribut dan spasial seperti pemasukan dan joint tabel atribut, query,

operasi tumpang tindih (overlay), dan pembuatan peta-peta tematik. Data atau peta

tersebut dilakukan proses digitasi melalui layar (on screen) sehingga semua peta

tersedia dalam format digital, kemudian dilakukan pengolahan yaitu overlay serta

operasi SIG lainnya. Peta disajikan dalam format *.shp dan *.jpg dengan koordinat

UTM dan skala grafis yang disesuaikan. Data tabulasi setiap peta tematik disajikan

dalam bentuk tabel. Hasil Tracking GPS disajikan pada Gambar 3.

A. Kunak I B. Kunak II

Gambar 3. Wilayah Kunak I dan Kunak II (Citra Google Earth)

Identifikasi Tingkat Ketersediaan Hijauan Makanan Ternak

Identifikasi tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak dengan menghitung

daya dukung (DD) dan indeks daya dukung (IDD) hijauan makanan ternak.

Perhitungan dilakukan untuk kesesuaian lahan aktual. Sumanto dan Juarini (2004)

menjelaskan bahwa daya dukung (DD) dihitung dari total produksi bahan kering

cerna (BKC) dibagi jumlah kebutuhan 1 ST (satuan ternak) sapi potong (bobot badan

250 kg) dalam satu tahun, dimana total kebutuhan pakan = populasi ternak (ST) x

1,14 ton BKC / tahun. Rumus daya dukung limbah pertanian sebagai berikut:

Daya Dukung (ST) = Produksi bahan kering cerna (kg)

Kebutuhan bahan kering cerna sapi dewasa (kg/ST)

Nilai IDD dihitung berdasarkan BKC dengan persamaan sebagai berikut

(Sumanto dan Juarini, 2004):

Total produksi BKC (kg) IDD =

(21)

20 Berdasarkan nilai DD hijauan maka diperoleh kriteria status daya dukung

hijauan yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kriteria Status DD HMT Berdasarkan IDD

No. IDD Kriteria

1. ≤ 1 Sangat Kritis

2. > 1 – 1,5 Kritis

3. > 1,5 – 2 Rawan

4. > 2 Aman

Karakterisasi pakan limbah tanaman pangan dan potensi pakan hijauan pada

setiap penggunaan lahan seperti terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Karakterisasi Pakan Limbah Tanaman Pangan

No. Jenis limbah

tanaman pangan

Produksi limbah

(ton/th)*

Daya Cerna Produksi limbah

BKC Ton

Sumber: Sumanto dan Juarini (2004); *) perkiraan produksi optimum

Perhitungan jumlah populasi ternak ruminansia dalam satuan ternak (ST)

didasarkan pada nilai ST ternak ruminansia utama dapat ditunjukkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Satuan Ternak (ST) Ruminansia Utama

No. Jenis Ternak Jumlah (ekor) Faktor

(22)

21 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Sapi Perah

Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) sapi perah Kabupaten Bogor

merupakan kawasan khusus yang diperuntukkan untuk peternakan sapi perah.

Kawasan ini mempunyai luas total 94,41 hektar. Lokasi ini berada antara 06°37’046”

LS - 06°38’180” LS dan 106°38’545” BT - 106°39’544” BT dengan ketinggian

350,7 – 451,3 m dpl. Profil ketinggian disajikan pada Lampiran 6. Suhu udara pada

lokasi ini antara 20-28°C dan curah hujan rata-rata 2400 mm/tahun. Sumber air yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh kegiatan adalah sumber air dari

sungai Cigamea melalui saluran irigasi Pasar Rebo yang saat ini digunakan untuk

mengairi sawah yang ada di sekitar Kunak. Terdapat juga dua mata air yang terletak

di daerah puncak bukit yang dapat dijadikan sumber air bersih untuk seluruh

peternak yang ada di lokasi tersebut. Kawasan ini dibagi dalam dua wilayah yang

lokasinya berdekatan yaitu Kunak I dan Kunak II.

(23)

22 Wilayah Kunak I terletak di Gunung Sarengseng, Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang. Wilayah ini berada antara 06º37’046” LS - 06º37’799” LS dan 106º39’084” BT - 106º39’544” BT. Wilayah tersebut berada pada ketinggian 350,7 – 451,3 m dpl. Wilayah ini mempunyai luas 52,43 ha yang terdiri dari 98 kavling.

Kunak I terdiri dari tiga kelompok peternak, yaitu Kelompok Tertib yang terdiri dari

33 peternak; Kelompok Segar yang terdiri dari 30 peternak; dan Kelompok Bersih

yang terdiri dari 27 peternak

Wilayah Kunak II terletak di Gunung Geulis, Desa Pasarean, Kecamatan Pamijahan. Wilayah ini berada antara 06º37’544” LS - 06º37’863” LS dan 106º38’545” BT - 106º38’556” BT. Wilayah tersebut berada pada ketinggian 356,5 – 427,4 m dpl. Wilayah ini mempunyai luas 41,98 ha terdiri dari 83 kavling. Kunak II

terdiri dari tiga kelompok peternak, yaitu Kelompok Indah yang terdiri dari 23

peternak; Kelompok Aman yang terdiri dari 19 peternak; dan Kelompok Mandiri

yang terdiri dari 32 peternak.

Gambar 5. Foto Kunak Diambil dari Atas Bukit

Kawasan Kunak dibagi dalam 181 kavling. Satu kavling terdiri dari rumah

(24)

23 usaha dan fasilitas umum yang terdapat di Kunak antara lain: kantor manajemen,

chilling unit, genset, gudang pakan, kandang pembibitan, waduk dan tandon air,

mushola, sekolah, dan lapangan olah raga.

Gambar 6. Pintu Gerbang Utama Kunak

Peternak yang ada di Kunak merupakan gabungan peternak yang berasal dari

berbagai daerah peternakan di Bogor seperti Cisarua, Kebon Pedes dan Ciawi.

Jumlahnya yang terdaftar sampai tahun 2009 adalah 128 peternak. Dari jumlah

tersebut yang masih aktif memelihara sapi sampai bulan November 2011 adalah 114

peternak dan sisanya umumnya telah menjual sapi-sapinya atau berganti jenis usaha

dari total 181 kavling yang terdapat di Kunak.

Manajemen Pemeliharaan di Kunak

Manajemen Kunak dibentuk oleh Koperasi Produksi Susu (KPS) yang

merupakan manajemen puncak. Berikut adalah struktur organisasi dari KPS Bogor

periode kepengurusan 2009 – 2013. Pengurus KPS Bogor periode 2009-2013:

Ketua: I Made Soewecha

Sekretaris: Wahyanto, S.E., M.M.

Bendahara: Nanang Rahmat, S.T.

(25)

24 Pengawas KPS Bogor 2009-2013:

Ketua: Drs. Purwanto

Anggota: Deden Irianto, S.E. dan Agus Zaenudin, S.Pt.

Untuk mempermudah manajemen Kunak yang berada jauh dari kantor KPS,

dibentuklah kantor Kunak dan pelayanan susu murni Kunak. Pada unit ini

ditempatkan 20 karyawan yang terbagi pada bagian umum, keuangan, susu murni,

pakan ternak, pelayanan teknis peternakan, dan satpam. Pengurus Kunak Bogor

2009-2013:

Manajer Kunak: Agustanto

Penanggung jawab pakan dan lahan: Iik Iskandar

Penanggung jawab fasilitas: Ubad

Petugas kesehatan: drh. Asep dan drh. Haris Hadimulya

Pemeliharaan sapi perah di peternakan Kunak dilakukan secara intensif yaitu

dengan membuat kandang sebagai tempat berlindung, tempat beristirahat, tempat

makan dan minum serta tempat pemerahan. Keterbatasan pemilikan lahan dan profil

ketinggian dataran yang merupakan perbukitan (15-28%) sangat mendukung sistem

pemeliharaan menggunakan kandang. Konstruksi kandang secara umum terdiri dari

lantai, kerangka, atap, dan tempat pakan. Kerangka tersusun dari enam tiang

penyangga atap. Atap umumnya terbuat dari seng atau genting dan lantai terbuat dari

beton. Di bagian sisi terluar kandang terdapat saluran pembuangan yang mengalirkan

air bekas pembersihan kandang ke tempat penimbunan kotoran.

Sanitasi kandang peternakan di Kunak belum berjalan dengan baik. Peternak

biasanya membersihkan kandang pada waktu istirahat, sehingga kotoran

terakumulasi di kandang karena tidak langsung dibuang oleh peternak. Pembuangan

kotoran umumnya dilakukan pada saat peternak memandikan sapi dan dihanyutkan

dengan penyemprotan air sehingga kotoran mengalir ke saluran pembuangan.

Kotoran tersebut tidak ditangani lebih lanjut oleh peternak melainkan dialirkan saja

ke kebun rumput miliknya yang berfungsi sebagai pupuk bagi rumput tersebut.

Pemerahan dilakukan secara manual dua kali sehari yaitu pada pagi hari jam

06.00 WIB untuk pengiriman ke chilling unit pada pukul 08.00 WIB dan sore hari

jam 15.00 WIB untuk pengiriman ke chilling unit pada pukul 17.00 WIB. Sebelum

(26)

25 sudah diperah kemudian dimasukkan ke dalam milk can yang selanjutnya mereka

kirim sendiri atau rombongan bersama anggota kelompok dengan mengendarai mobil

pick up. Susu tersebut dikirim menuju tempat penimbangan dan penimbunan susu di

bagian chilling unit dekat lokasi kantor Kunak.

Gambar 7. Tempat Pengolahan Bahan Baku Pakan pada Salah Satu Kavling

(27)

26 Kebutuhan Hijauan Makanan Ternak Kunak Sapi Perah

Pada awalnya manajemen Kunak sudah menyediakan lahan untuk mencukupi

kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) di lokasi Kunak. Lahan tersebut sampai

sekarang ditanami Pennisetum purpureum (rumput gajah) akan tetapi kebutuhan

pakan sapi perah tidak sebanding dengan produksi rumput dari lahan yang dikelola

peternak tersebut. Hasil panen kebun rumput di Kunak rata-rata 26,43 ton/hari.

Berdasarkan perhitungan kebutuhan HMT total ternak yang ada di Kunak mencapai

95,94 ton/hari. Kebutuhan HMT Kunak dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10.

Lahan yang disediakan bagi setiap peternak seluas 2.100 m2. Dari luasan ini

berdasarkan perhitungan hanya dapat dipanen rumputnya maksimal 25 kg (as

feed)/ekor/hari untuk mencukupi kebutuhan enam ekor sapi tiap harinya. Rasio

konsentrasi HMT pada sapi laktasi dipengaruhi oleh Dry Matter Intake (DMI).

Konsentrasi pemberian HMT berkisar 40-60% tergantung tipe HMT yang diberikan

pada ternak. Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1985), kebutuhan rata-rata HMT

yaitu sekitar 30-40 kg (as feed)/ekor/hari, sedangkan NRC (2001) menyatakan bahwa

rata-rata kebutuhan HMT untuk seekor sapi sekitar 15-27 kg (as feed)/hari dengan

kualitas HMT yang bagus. Konsumsi HMT tiap kavling secara lengkap disajikan

pada Lampiran 1. Kekurangan kebutuhan HMT didasarkan pada banyaknya ternak

yang dipelihara dalam satu kavling, semakin banyak ternak yang dipelihara melebihi

kapasitas awal dari kavling tersebut maka status HMT akan mengalami kekurangan.

Klasifikasi kebutuhan HMT yang diolah menggunakan SIG dapat dilihat pada

Lampiran 7, diperoleh data kebutuhan hijauan makanan ternak rata-rata Kunak I

sebesar 377 kg/kavling/hari dengan standar deviasi sebesar 428 kg dan kebutuhan

totalnya berdasarkan data aktual sebanyak 33.940 kg/hari. Wilayah Kunak II

mempunyai total kebutuhan hijauan makanan ternak aktual sebesar 51.570 kg/hari

dengan rata-rata kebutuhan hijauan makanan ternak sebesar 696,89 kg/kavling/hari

dengan standar deviasi sebesar 2.017,74 kg. Dari data tersebut dapat disimpulkan

bahwa wilayah Kunak II mempunyai total kebutuhan HMT yang lebih besar daripada

Kunak I, tetapi sebaran kebutuhan HMT tidak merata pada setiap kavling yang

terlihat dari besarnya standar deviasi. Hal ini disebabkan karena wilayah Kunak II

memiliki tiga peternak yang mempunyai kapasitas ternak hingga ratusan ekor

(28)

27 kavling kurang dari 10 ekor di wilayah Kunak II. Berdasarkan kuantitas produksi

rumput gajah per kavling, status kebutuhan HMT lokasi Kunak I dan Kunak II,

kelebihan HMT lebih besar pada lokasi Kunak II dengan persentase 37,84%. Hal ini

dikarenakan wilayah Kunak II sebanyak 28 kavling umumnya mempunyai ternak

yang tidak melebihi kapasitas tampung (6 ekor ST) atau pada kavling tersebut tidak

memiliki ternak. Status kecukupan HMT dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Status Kebutuhan HMT Peternak di Kunak

No. Status HMT

Kunak I Kunak II

Jumlah (kavling) Persentase Jumlah (kavling) Persentase

1. Kurang 52 57,8% 42 56,76%

2. Cukup 17 18,9% 4 5,40%

3. Lebih 21 23,3% 28 37,84%

Total 90 100% 74 100%

Kekurangan HMT sementara ini diatasi dengan penambahan jerami

padi/daun jagung /limbah pasar. Jumlah pemberian HMT tambahan tidak dihitung

karena pemberiannya bersifat subtitusi dengan rumput gajah dan tidak diberikan tiap

hari. Jumlah peternak yang memberikan HMT tambahan di Kunak dapat dilihat pada

Tabel 10. Kekurangan HMT juga diatasi peternak secara berkala dengan cara

mencari rumput lapang antara lain Panicum maximum, Eleusine indica, dan

Axonopus compressus dengan radius hingga 5 km diluar lokasi Kunak. Jenis rumput

lapang yang sering diberikan untuk ternak di Kunak dapat dilihat pada Lampiran 8.

Pemberian rumput lapang tidak dihitung karena pemberiannya bersifat subtitusi

dengan rumput gajah dan tergantung dari ketersediaan rumput gajah.

Tabel 10. Jumlah Peternak dengan Pemberian HMT Tambahan di Kunak

(29)
(30)
(31)

30 Populasi Ternak di Kunak

Topografi lokasi Kunak merupakan bentuk perbukitan dengan kelerengan

sekitar 15 – 28% berada pada perbukitan dan lereng gunung. Lokasi seperti ini

mempengaruhi sistem pemeliharaan ternak yang harus dikandangkan. Berbeda pada

daerah lahan datar yang pemeliharaan ternak dapat dilakukan dengan cara

digembalakan. Sistem pemeliharaan yang dikandangkan memerlukan penanganan

lebih intensif.

Pada umumnya, peternak sapi perah tidak hanya memelihara sapi perah

induk, tetapi sapi perah lainnya yang belum atau tidak produktif. Sapi-sapi perah

yang tidak atau belum produktif yang disebut dengan nonproduktif, terdiri dari pedet,

dara, jantan, dan induk yang berada dalam keadaan kering. Beberapa peternak juga

memelihara kambing, sapi potong, kerbau, kuda, bahkan rusa, padahal waktu

perencanaan awal pada tahun 1995 lokasi ini dikhususkan untuk merelokasi para

peternak sapi perah yang ada di Kabupaten Bogor. Hal ini dikarenakan pemilik

kavling kebanyakan merupakan investor dari daerah Jakarta, sehingga ternak yang

mereka pelihara beragam sesuai keingian dan kebutuhan dari pemilik kavling itu

sendiri. Kepemilikan ternak secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.

Kepemilikan skala usaha sapi perah yang produktif akan menghasilkan output

yang optimal. Hal ini terkait dengan penggunaan faktor-faktor produksi yang

semakin efisien salah satunya adalah kebutuhan HMT. Kebutuhan pakan hijauan tiap

kandang berbeda-beda tergantung jenis ternak, umur ternak dan besarnya populasi

pada tiap kavling. Pembibitan sapi perah membutuhkan hijauan mendekati 96% dan

pemeliharaan pada sistem feedlot pemberian hijauannya sebesar 5-10% (Field, 2007).

Kepemilikan ternak di lokasi Kunak II lebih banyak dibandingkan kepemilikan

ternak Kunak I, hal ini dikarenakan pada lokasi Kunak II terdapat tiga peternak yang

mempunyai jumlah sapi lebih dari 200 ekor. Jumlah sapi tersebut dikandangkan

paling sedikit menggunakan dua kavling yang telah direnovasi menjadi kandang

dengan kapasitas tampung maksimal. Kepemilikan ternak pada Kunak II juga lebih

beragam bila dibandingkan Kunak I. Pada lokasi Kunak II terdapat ternak kerbau dan

kuda, ternak tersebut tidak ditemukan pada lokasi Kunak I. Jumlah dan jenis ternak

yang dipelihara per kavling dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Kepemilikan

(32)

31 Tabel 11. Kepemilikan Ternak di Kunak per November 2011

No. Jenis Ternak

Total Ruminansia 1008 100,00% 1737 100,00%

Keterangan: Masing-masing prosentase mempunyai dua kolom, kolom pertama persentase yang didasarkan pada kepemilikan sapi perah sedangkan kolom kedua didasarkan pada kepemilikan ternak ruminansia.

Populasi ternak di Kunak secara keseluruhan per November 2011 sebanyak

2.745 ekor dengan total sapi betina laktasi sebanyak 1.086 ekor dan total jantan

dewasa sebanyak 92 ekor atau dengan komposisi 43,96% dan 3,76% dari total

populasi ternak ruminansia yang dipelihara oleh 114 peternak di Kunak. Data KPS

(2009) pada tahun 2008 melaporkan bahwa populasi sapi perah di Kunak tercatat

sebanyak 2.062 ekor. Komposisi sapi perah yang dimiliki anggota sebagian besar

merupakan sapi betina induk yaitu 56,4% dari populasi total dan jantan dewasa yang

dimiliki 5,41% dari total ternak yang dipelihara oleh 128 peternak pada tahun

tersebut. Dapat disimpulkan dalam tiga tahun terjadi peningkatan populasi ternak di

Kunak sebesar 33,12%, namun terjadi penurunan komposisi sapi betina laktasi dan

sapi jantan dewasa. Hal ini terjadi karena komposisi sapi nonproduktif mengalami

peningkatan dan adanya pemeliharaan ternak ruminansia lain sebesar 9,54% dari

(33)

32 Gambar 11. Peta Kepemilikan Ternak Kunak I

Keterangan: *warna berbeda pada bagian peta menunjukkan kelompok usaha peternak Kunak I di bawah manajemen Kunak.

(34)

33 Gambar 12. Peta Kepemilikan Ternak Kunak II

Keterangan: *warna berbeda pada bagian peta menunjukkan kelompok usaha peternak Kunak II di bawah manajemen Kunak.

(35)

34 Produksi Susu di Kunak

Produksi susu sapi perah laktasi diukur dalam harian berupa produksi susu

rata-rata/hari atau dalam satu masa laktasi berupa produksi susu rata-rata/laktasi.

Pada waktu penelitian didapatkan data produksi susu harian per November 2011

sebesar 10.427 liter/hari dengan populasi total sapi perah laktasi sejumlah 1.086 ekor

dengan rata-rata sebesar 9,6 liter/ekor/hari dari total anggota aktif sejumlah 114

peternak. Hal ini lebih tinggi bila dibandingkan pada laporan KPS (2009) pada tahun

2008 bahwa produksi susu sebesar 8.000-9.500 liter/hari dengan rata-rata 9,14

liter/ekor/hari dengan jumlah anggota yang aktif menyetor susu sebanyak 128 orang

dengan populasi total sapi perah sejumlah 1.009 ekor. Produksi susu tiap kavling

disajikan secara lengkap pada Lampiran 3. Santosa et al. (2009) menyatakan bahwa

produksi susu rata-rata/laktasi akan meningkat sampai dengan laktasi yang ke- 4–6

apabila sapi perah itu beranak pertama pada umur dua tahun. Setelah induk sapi

perah mencapai laktasi yang ke-6, produksi susu/laktasi sudah mulai menurun.

Produktivitas sapi perah tergantung dari kualitas hijauan yang diberikan dan

peran pakan konsentrat yang berkualitas. Apabila hijauan dan konsentrat sesuai

dengan kebutuhan untuk sapi-sapi perah laktasi maka akan berdampak terhadap

produksi susu. Apabila kualitas hijauan atau konsentrat rendah, maka akan

berdampak pada penurunan jumlah produksi susu. Hasil penelitian Hadiana dan

Hasan (2008) serta Firmansyah (2008) menunjukkan bahwa ketidaktersediaan

hijauan dan lamanya waktu yang digunakan untuk mencari rumput menyebabkan

tidak efisiennya usaha yang dimanifestasikan dengan turunnya produksi susu.

Sistem pemeliharaan ternak di Kunak masih tergolong sederhana sehingga

produksi susu kurang maksimal dan rata-rata produksi susu per ekor masih rendah.

Sebagian besar produksi susu nasional dihasilkan oleh peternak rakyat dengan skala

<6 ekor ternak dengan sistem pemeliharaan sederhana (Daryanto, 2009). Umumnya

para peternak mengeluhkan tentang kurangnya HMT dan kualitas pakan tambahan

yang palatabilitasnya kurang disukai ternak. Ada beberapa kavling yang

menghasilkan susu dengan kuantitas dan kualitas yang baik, hal ini selain kebutuhan

HMT yang telah terpenuhi, umumnya para peternak tersebut mempunyai supervisor

kandang yang kompeten dan ditopang dengan modal yang besar. Jumlah produksi

(36)

35 Gambar 13. Peta Produksi Susu Kunak I

Keterangan: *warna berbeda pada bagian peta menunjukkan kelompok usaha peternak di bawah manajemen Kunak.

(37)

36 Gambar 14. Peta Produksi Susu Kunak II

Keterangan: *warna berbeda pada bagian peta menunjukkan kelompok usaha peternak di bawah manajemen Kunak.

(38)

37 Pakan Tambahan

Konsentrat merupakan ransum tambahan utama pada sapi perah. Walaupun

kualitas bahan pakan konsentrat pada umumnya lebih baik dibandingkan dengan

pakan hijauan, namun kualitasnya sangat variatif tergantung pada jenis bahan baku,

musim, dan tempat asal sumber konsentrat tersebut. Kualitas konsentrat bernilai

tinggi, yaitu >75% TDN dengan kandungan protein >16%. Sebaliknya, Santosa et al.

(2009) melaporkan dari hasil pemeriksaan beberapa konsentrat di Indonesia, bahwa

kualitasnya relatif rendah yaitu kandungan TDN <55% dengan kandungan protein

<13%.

Konsentrat pada peternakan sapi perah di Indonesia mempunyai peran yang

sangat penting untuk meningkatkan dan mempertahankan produksi susu. Berbeda

dengan negara maju yang memiliki mutu hijauan yang relatif tinggi, sedangkan di

Indonesia mutu hijauan relatif rendah menyebabkan peran konsentrat menjadi sangat

dominan dalam memasok energi dan zat makanan lain (Suryahadi et al., 2004).

Pemberian konsentrat untuk setiap jenis ternak berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi

oleh bobot badan ternak, kualitas pakan hijauan yang diberikan, produksi susu yang

ingin dicapai dan kualitas konsentrat. Konsentrat yang diberikan pada ternak sapi

atau kerbau perah sebaiknya memiliki kandungan protein kasar sebesar 18% dan

TDN sebesar 75% (Sudono, 1999). Konsentrat yang digunakan peternak di Kunak

mempunyai kandungan bahan kering (BK) sebanyak 77,52%, 89,45% bahan organik,

10,55% abu, 11,75% protein kasar, 3,77% lemak kasar, 17,34% serat kasar, 56,59%

BK bahan ekstrak tanpa nitrogen dan gross energy sebesar 4.392,16 Kkal/100 gram

(Fharhandani, 2006).

Ampas tahu adalah sumber protein yang mudah terdegradasi di dalam rumen

(Suryahadi, 1990). Proses pembuatan tahu hanya memanfaatkan sebagian protein

kedelai, sedangkan sebagian lagi masih tertinggal dalam ampasnya. Ampas tahu

mengandung 58% dari jumlah protein kedelai, jika kandungan biji kedelai sebesar

±38% maka protein ampas tahu sebesar 22% berdasarkan berat kering (Wiriano,

1985). Penggunaan ampas tahu sebagai pengikat mineral organik dapat dilakukan

karena kandungan gugus karboksil dan amino ampas tahu yang dapat mengikat

mineral. Ampas tahu yang direndam dengan aquades dapat membuat gugus tersebut

(39)

38 Menurut Santosa et al. (2009) bahwa produk konsentrat umumnya harus

memenuhi standar baku, seperti minimal 16% protein kasar dan 67% TDN,

maksimal 12% kadar air, 6% lemak kasar, 11% serat kasar, 10% abu, serta

kandungan Ca = 0,9-1,2%; P = 0,6-0,8%. Bahan penyusun konsentrat umumnya

terdiri dari: dedak padi, wheat pollard, bungkil biji kapuk, bungkil dan kulit kedelai,

onggok atau gaplek, dan bungkil inti sawit.

Sebanyak 73,68% kebutuhan konsentrat dipenuhi oleh Unit Usaha Produksi

Pakan Ternak, KPS, sisanya sebesar 18,42% dari luar KPS (Cibinong, Jakarta, dan

Bandung) dan 7,90% pakan diolah secara mandiri (bahan baku pakan diperoleh dari

luar daerah Bogor karena pertimbangan harga bahan baku yang lebih murah). Pakan

tambahan yang diberikan oleh peternak yaitu konsentrat dan ampas tahu. Jumlah

Pakan tambahan disajikan secara lengkap pada Lampiran 4. Pakan tersebut diberikan

berdasarkan kebiasaan sehari-hari dengan takaran ember (10-20 kg). Besarnya

pemberian pakan tambahan dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Kebutuhan pakan

tambahan berkisar antara 2-4% bahan kering/hari (NRC, 2001), Jika berat badan sapi

sebesar 600 kg maka kebutuhan konsentrat sebesar 2 kg(BK)/hari (Hill dan Andrews,

2000). Konsentrat yang digunakan peternak harganya berkisar diantara Rp. 1.400,00

- Rp. 2.300,00 per kg.

Kendala mendapatkan bahan pakan yang berkualitas untuk penyusunan

ransum (konsentrat) sering disebabkan bahan-bahan yang tersedia di bawah standar

dan bervariasi. Penyimpangan di lapangan antara lain karena rendahnya mutu bahan

pakan dan pakan konsentrat, termasuk pemalsuan bahan dan penipuan

kemasan/label. Bahan pakan yang boleh diformulasikan di pabrik atau koperasi pada

umumnya harus kering (kadar air maksimal 14%) sehingga perkembangan mikroba

perusak dapat dicegah. Bahan pakan dalam keadaan lembab akan mudah terserang

aflatoksin. Bahan pakan tersebut bila diolah menghasilkan konsentrat yang tengik

dan berjamur bila tidak dilakukan proses pengeringan lanjutan pada saat pengolahan

di pabrik (Santosa et al., 2009). Umumnya konsentrat di Kunak yang diperoleh dari

KPS berbau tengik dan terasa kasar saat diremas sehingga menurunkan palatabilitas

(40)

39 Gambar 15. Peta Kebutuhan Pakan Tambahan Kunak I

Keterangan: *warna berbeda pada bagian peta menunjukkan kelompok usaha peternak di bawah manajemen Kunak.

(41)

40 Gambar 16. Peta Kebutuhan Pakan Tambahan Kunak II

Keterangan: *warna berbeda pada bagian peta menunjukkan kelompok usaha peternak di bawah manajemen Kunak.

(42)

41 Identifikasi Tingkat Ketersediaan Hijauan Makanan Ternak

Pakan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan

peternakan sapi perah. Tingkat produksi susu yang relatif rendah di Indonesia

sebagian besar dipengaruhi oleh faktor pakan yang kurang memadai. Hal ini

disebabkan pakan hijauan dan konsentrat yang cukup potensial tersedia di Indonesia,

belum dimanfaatkan secara optimal.

Hijauan merupakan pakan utama bagi ternak, namun sisa-sisa hasil pertanian

seperti jerami padi digunakan juga sebagai pakan komplementasi hijauan untuk sapi

perah. Berbagai bagian tanaman jagung telah digunakan juga sebagai sumber pakan

hijauan sapi perah. Di samping itu, hasil ikutan agro-industri merupakan produk

pakan konsentrat yang telah banyak dimanfaatkan di Indonesia. Menurut Sukria dan

Krisnan (2009), bahan pakan yang dapat dijadikan komplementasi HMT dapat

berupa hasil sisa tanaman, hasil ikutan/samping/limbah tanaman, dan hasil

ikutan/samping/limbah indusri agro.

Soetanto (1994) merekomendasikan jumlah minimum pemberian HMT pada

sapi laktasi sebanyak 36 kg/hari dengan konsentrat 12,7 kg/hari. Jumlah ini tidak

tercapai di peternakan rakyat karena selain kemampuan konsumsinya rendah bagi

sapi peranakan FH, budidaya peternakan sapi FH di dataran rendah sampai sedang

tidak dapat memaksimalkan konsumsi hijauan yang kadar seratnya cukup tinggi.

Peternak di dataran tinggi tidak memberikan hijauan sebanyak itu. Peternak rakyat

lebih fokus pada pemberian konsentrat untuk memperbaiki produksi susu. Di dataran

tinggi seperti di BBPTU Sapi Perah Baturaden, hijauan segar diberikan sebanyak

50-60 kg/ekor/hari pada sapi periode pertengahan laktasi dengan berat badan 500 kg dan

produksi 9-15 liter/ekor/hari. Pada musim hujan hijauan mudah diperoleh, peternak

dapat meningkatkan jumlah pemberian hijauannya, dan pada masa awal sampai

pertengahan laktasi konsentrat diberikan sejumlah yang dapat memaksimalkan

produksi susu. Setelah produksi menurun, jumlah pemberiannya dikurangi.

Faktor yang menyebabkan ketidakcukupan HMT antara lain ketersediaan

lahan yang terbatas, tingkat produksi hijauan yang rendah, manajemen budidaya

HMT yang kurang baik, dan tidak adanya penyimpanan surplus HMT pada musim

panen untuk persediaan pada musim paceklik. Pelatihan tentang pembuatan silase di

(43)

42 Pertanian Bogor untuk meningkatkan kualitas HMT. Kini silase itu sudah jarang

dijumpai di peternak Kunak.

Kebutuhan total HMT di Kunak mencapai 95,94 ton/hari. Agar kebutuhan

HMT tercukupi, maka diperlukan tambahan 69,51 ton/hari atau menurut perhitungan

perlu dilakukan ekstensifikasi lahan seluas 101,5 hektar untuk kebun rumput gajah di

sekitar lokasi Kunak. Hal ini sesuai rekomendasi Abdullah (2009) bahwa perlu

dilakukan perluasan areal produksi khusus hijauan pakan berupa padang pangonan

yang dikelola dengan baik dalam suatu bentuk kawasan, seperti amanat UU

Peternakan dan Kesehatan Hewan no. 18 tahun 2009 pasal 4-6 mengenai amanat

pemerintah untuk menyediakan lahan khusus pangonan. Dijelaskan lebih lanjut,

bahwa pastura yang dibangun harus memenuhi fungsi berikut: (1) pastura menjadi

sumber pakan HMT utama di wilayah pengembangan ternak ruminansia, (2) pastura

menjadi sumber bibit HMT, (3) pastura menjadi wahana pengembangan ekonomi

masyarakat, (4) pastura menjadi sumber pelestarian nuftah ternak wilayah dan

memiliki nilai ekologis bagi lingkungan sekitarnya, (5) pastura harus mudah dan

murah dikelola, dan (6) wahana pembelajaran peternak dan keorganisasian kelompok

ternak sebagai sarana pelestarian lingkungan dengan keragaman tanaman.

Cara lain untuk mencukupi kebutuhan HMT dengan pemanfaatan limbah

pertanian yang produksi hasil ikutan pertaniannya berlimpah. Hal ini merupakan

salah satu manfaat yang dapat membantu memecahkan masalah kekurangan rumput.

Tabel hasil produksi pertanian disajikan dalam Lampiran 10. Kecukupan tersebut

perlu adanya identifikasi tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak dengan

menghitung daya dukung (DD) dan indeks daya dukung (IDD) hijauan makanan

ternak terutama di Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan.

Berdasarkan perhitungan nilai DD dan IDD yang disajikan pada Lampiran 11, hasil

perhitungan pemanfaatan limbah pertanian di sekitar lokasi Kunak pada wilayah

Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan dengan total produksi 8892,36

ton BKC. Hasil perhitungan daya dukung (DD) HMT didapatkan hasil nilai DD

Kecamatan Cibungbulang sebesar 3.066 ST sedangkan nilai DD Kecamatan

Pamijahan sebesar 4.734 ST. Dari perhitungan IDD didapat hasil nilai IDD sebesar

1,83 artinya hasil tersebut menurut Sumanto dan Juarini (2004) bahwa daya dukung

(44)

43 tidak dapat memenuhi kebutuhan total populasi ternak di Kunak dan di wilayah Kec.

Cibungbulang serta Kec. Pamijahan. Jumlah ternak ruminansia yang terdapat pada

kedua kecamatan tersebut disajikan pada Lampiran 9.

Jerami tanaman pangan sulit dijadikan pengganti rumput tanpa penambahan

bahan pakan lain yang lebih bergizi. Bahkan seandainya diberikan dalam jumlah

sebanyak-banyaknyapun, jerami tidak akan memenuhi kebutuhan ternak akan nutrien

dan energi. Akibatnya, kemampuan ternak untuk mengonsumsi jerami juga rendah.

Sentosa et al. (2009) menyatakan bahwa rumput kering yang diberikan pada sapi

sebanyak-banyaknya akan dikonsumsi sebanyak 2% dari bobot badan, atau dalam

bentuk segar sekitar 10% dari bobot badan. Sebaliknya bahan kering jerami hanya

memungkinkan dikonsumsi sekitar 0,9-1,5% dari bobot badan. Itu menunjukkan

masih perlunya pemberian rumput atau hijauan konvensional lainnya, di samping

pakan tambahan. Di samping itu, pencampuran beberapa bahan pakan akan

(45)

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK

MELIHAT PENYEDIAAN HIJAUAN PAKAN DAN

PEMANFAATAN LAHAN DI KAWASAN

USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH

KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI

MOHAMMAD DZIYAUDIN

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(46)

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK

MELIHAT PENYEDIAAN HIJAUAN PAKAN DAN

PEMANFAATAN LAHAN DI KAWASAN

USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH

KABUPATEN BOGOR

SKRIPSI

MOHAMMAD DZIYAUDIN

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Gambar

Gambar 10.  Peta Kebutuhan HMT Kunak II
Tabel 11.  Kepemilikan Ternak di Kunak per November 2011
Gambar 11.  Peta Kepemilikan Ternak Kunak I
Gambar 12.  Peta Kepemilikan Ternak Kunak II
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gangguan citra tubuh adalah perubahan persepsi tentang tubuh yang diakibatkan oleh perubahan ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit demyelinating yang Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit demyelinating yang menyerang

3 Operator mengecek oli mesin 31,25 Kategori pekerjaan ringan, dengan karakteristik pekerjaan wajar/tingkat kesulitan ringan 4 Operator menghidupkan mesin 10,00 Kategori

Dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh selebriti endorser (X 1 ) dan desain produk ( X 2 ) berpengaruh secara simultan dan secar parsial

menampung hasil tangkapan pada hari itu. Menurut informasi yang didapatkan dari beberapa kolektor, dari hasil tangkapan yang dilakukan semalam saja, seorang kolektor

Pabrik Es yang berfungsi sebagai tempat penghasil es untuk mengawetkan hasil tangkapan. Pabrik es ini sangat penting untuk menjamin tepeliharanya kualitas ikan tangkapan

Jadi, level organisasi menunjukkan bahwa berita tentang kabut asap yang dikritik dalam Pojok Atan Sengat karena tujuan dari dibentuknya pojok tersebut adalah

Sistem ini dibangun dengan menerapkan metode Simple Additive Weighting (SAW) sebagai metode penjumlahan terbobot yang digunakan dalam memecahkan masalah multi