• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1 Hasil Anova yang dilanjutkan dengan uji Scheffe jumlah kunjungan per

menit 6 spesies lebah penyerbuk pertanaman caisin pada waktu

pengamatan berbeda ... 2 HasilAnova yang dilanjutkan dengan uji Scheffe lama kunjungan per

bunga 6 spesies lebah penyerbuk pertanaman caisin pada waktu pengamatan berbeda ... 3 Hasil Anova yang dilanjutkan dengan uji Scheffe lama pencarian pakan

6 spesies lebah penyerbuk pertanaman caisin pada waktu pengamatan berbeda ... 4 Hasil uji-t two group tinggi tanaman, jumlah polong, jumlah biji per

polong, jumlah biji per tanaman, dan bobot biji per tanaman dari tanaman caisin yang dikurung dan terbuka ... 5 Hasil uji-t two group perkecambahan biji tanaman caisin yang dikurung

dan terbuka ... 117 120 123 126 128

1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Asosiasi antara serangga penyerbuk (insect pollinators) dengan tanaman angiospermae merupakan bentuk asosiasi mutualisme yang spektakuler. Asosiasi ini diduga telah terjadi sejak awal Cretaceous (sekitar 130-90 jtl) melalui proses koevolusi yang menghasilkan keanekaragaman tumbuhan dan serangga seperti saat ini (Schoonhoven et al., 1998). Dominansi tumbuhan saat ini sangat bergantung pada hubungan mutualistik dengan serangga penyerbuk dan burung sebagai penyebar biji. Asosiasi mutualisme antara serangga dengan tumbuhan bervariasi antar spesies dan terjadi dalam spektrum luas. Bagi tumbuhan, asosiasi dengan serangga berdampak positif, terutama dengan terjadinya penyerbukan silang. Bagi serangga, asosiasi dengan tumbuhan memberi keuntungan, yaitu sebagai sumber pakan berupa serbuksari (pollen) dan nektar. Serbuksari mengandung 15-30% protein dan nektar mengandung sekitar 50% gula dan senyawa lain, seperti lipid, asam amino, mineral, dan senyawa aromatik (Schoonhoven et al., 1998).

Penyerbukan (pollination) merupakan bertemunya serbuksari dengan kepala putik (stigma). Sekitar 2/3 spesies tanaman berbunga memerlukan penyerbukan serangga untuk menghasilkan biji yang optimal. Proses penyerbukan dimulai dari lepasnya serbuksari dari kepalasari (anthesis) sampai serbuksari tersebut menempel di kepala putik. Pada tanaman Angiospermae, penyerbukan terjadi dalam tiga fase, yaitu lepasnya serbuksari dari kepalasari, perpindahan serbuksari dari kepalasari menuju kepala putik, dan perkecambahan serbuksari. Setelah terjadi perkecambahan, fase selanjutnya adalah pembuahan (fertilisasi). Kegagalan perkecambahan menyebabkan kegagalan penyerbukan karena serbuksari tidak mampu membuahi sel telur (Faegry & van Der Pijl, 1971). Keberhasilan penyerbukan umumnya tinggi pada penyerbukan silang dibandingkan penyerbukan sendiri (Barth, 1991). Beberapa faktor menentukan keberhasilan penyerbukan, seperti viabilitas serbuksari, reseptibilitas putik,

Istilah efisiensi penyerbukan digunakan untuk mengakses bermacam-macam tahap dalam perjalanan serbuksari dari kepalasari sampai biji terbentuk. Evaluasi efisiensi penyerbukan berkaitan dengan aspek kuantitatif dalam tahap-tahap penyerbukan. Untuk pembentukan biji yang optimal, bunga umumnya memerlukan lebih dari satu kunjungan serangga. Menurunnya populasi serangga penyerbuk di alam menyebabkan pembentukan biji pada tanaman pertanian dan hortikultura menjadi kurang optimal.

Serangga merupakan agens penyerbuk yang sangat penting. Di lahan pertanian, serangga penyerbuk yang umum dijumpai adalah lebah madu dan bumble bees yang mengunjungi 20-30% spesies tanaman (Steffan-Dewenter & Tscharntke, 1999). Disamping lebah, serangga penyerbuk tanaman yang penting adalah kumbang (Coleoptera), lalat (Diptera), dan kupu-kupu (Lepidoptera) (Faegry & Van Der Pijl, 1971). Keanekaragaman serangga penyerbuk di suatu lokasi berkaitan dengan habitat sekitarnya. Keanekaragaman serangga penyerbuk di lahan pertanian tepi hutan dipengaruhi juga oleh serangga penyerbuk di dalam hutan. Hal ini disebabkan karena pencarian pakan serangga di dalam hutan juga dilakukan di lahan sekitarnya, termasuk lahan pertanian tepi hutan. Steffan- Dewenter et al., (2002) melaporkan keanekaragaman Bombus spp. sebagai penyerbuk tanaman sawi (mustard) dan radish tinggi di habitat dekat hutan dan makin menurun dengan meningkatnya jarak dari hutan. Jarak pencarian pakan berkorelasi positif dengan ukuran tubuhnya. Ukuran tubuh lebah penyerbuk yang besar mempunyai daerah pencarian pakan yang luas.

Lebah merupakan penyerbuk terpenting karena beberapa sifat, diantaranya aktif mengumpulkan serbuksari dan nektar dan tubuh berambut yang membantu mengumpulkan serbuksari. Pada saat mengumpulkan serbuksari, lebah menyisir benangsari dengan tungkainya, selanjutnya serbuksari dikumpulkan ke dalam pollen baskets yang terletak pada sisi luar tibia tungkai belakang (Schoonhoven et al., 1998). Setiap koloni lebah mengkonsumsi sekitar 20 kg serbuksari dan 60 kg nektar setiap tahunnya. Berdasarkan teori pencarian pakan optimum (optimal foraging theory), serangga mengumpulkan sebanyak mungkin makanan dengan energi dan waktu seminimal mungkin. Dalam pencarian pakan, lebah madu

menunjukkan adanya flower constancy, yaitu cenderung mengunjungi bunga dari tanaman dalam satu spesies dalam setiap perjalanan (Schoonhoven et al., 1998). Pencarian pakan dilakukan oleh lebah madu pekerja untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anggota koloninya yang berjumlah sekitar 10-50 ribu individu.

Penelitian tentang perilaku pencarian pakan merupakan hal penting di bidang biologi penyerbukan. Perilaku pencarian pakan tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi efektifitas serangga penyerbuk. Beberapa perilaku kunjungan tersebut adalah jumlah kunjungan per satuan waktu (foraging rate), lama kunjungan per bunga (flower handling time), dan lama pencarian pakan. Disamping itu, efektifitas penyerbukan juga dapat diukur dari banyaknya buah atau biji yang terbentuk (Dafni, 1992).

Di seluruh dunia, lebah dilaporkan membantu penyerbukan lebih dari 16% dari spesies tanaman berbunga dan sekitar 400 spesies tanaman pertanian. Di Amerika, lebah dilaporkan membantu penyerbukan lebih dari 130 spesies tanaman pertanian dengan nilai ekonomi mencapai US$ 9 juta setiap tahunnya. Di Inggris, serangga penyerbuk terutama lebah madu dan bumble bees membantu penyerbukan paling tidak 39 spesies tanaman dengan nilai ekonomi mencapai 202 juta pounds (Delaplane & Mayer, 2000). Secara keseluruhan, penyerbuk mampu memenuhi sekitar 15-30% kebutuhan hidup manusia (Roubik, 1995).

Penyerbukan serangga dilaporkan meningkatkan hasil panen pada berbagai spesies tanaman. Tanaman yang dibantu penyerbukan oleh serangga dilaporkan terjadi peningkatan hasil panen sebesar 41% pada cranberry, 7% pada blueberry, 26% pada tomat, 45% pada strawberry, 22-24% pada kapas (Delaplane & Mayer, 2000), 25% pada Crotalaria juncea, dan 4% pada kubis bunga (Brassica oleracea var Botrytis) (Ramadhani et al., 2000). Disamping meningkatkan hasil panen, lebah penyerbuk yang bersarang dalam tanah (ground-nesting bees) berperan dalam perbaikan tekstur tanah dan membantu penyerapan nutrisi oleh tanaman (Delaplane & Mayer, 2000).

Serangga membantu penyerbukan silang yang memberikan keuntungan bagi tanaman berupa pencampuran dan rekombinasi material genetik dari dua tanaman. Pencampuran dan rekombinasi material genetik tersebut meningkatkan

heterosigositas keturunannya (Barth, 1991). Disamping meningkatkan heterosigositas, penyerbukan silang juga meningkatkan keragaan (fitness), kualitas dan kuantitas biji dan buah, dan akhirnya dapat mencegah kepunahan spesies tanaman (Kearns & Inouye, 1997).

Tanaman caisin (Brassica rapa: Brassicaceae) merupakan tanaman sayuran penting di Indonesia dan Asia pada umumnya. Tanaman ini mulai berbunga setelah pertumbuhan daun mulai terhenti. Bunga tersusun dalam tandan, berwarna kuning terang, petal berjumlah 4 yang tersusun bersilangan, benangsari (stamen) berjumlah 6, dua diantaranya lebih pendek dan 4 lainnya lebih panjang dari tangkai putik (stylus). Kepala putik tunggal berada di ujung stylus (Delaplane & Mayer, 2000). Tanaman caisin bersifat hermaprodit, namun demikian tanaman ini memerlukan penyerbukan silang karena bersifat self-incompatibility (SI) yang memerlukan penyerbukan silang untuk pembentukan biji (Takayama & Isogai, 2005). Angin tidak berperan penting dalam penyerbukan beberapa spesies Brassica (Delaplane & Mayer, 2000).

Penelitian ini mempelajari keanekaragaman dan perilaku kunjungan serangga penyerbuk serta pengaruhnya dalam pembentukan biji tanaman caisin. Dalam penelitian ini, tanaman sengaja ditanam di lahan pertanian tepi hutan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Keanekaragaman serangga penyerbuk dipelajari berdasarkan waktu dan lokasi yang berbeda, fenologi bunga, dan parameter lingkungan. Perilaku kunjungan serangga penyerbuk dipelajari dari jumlah kunjungan per satuan waktu (foraging rate), lama kunjungan per bunga (flower handling time), dan lama pencarian pakan pada pertanaman caisin. Perilaku kunjungan tersebut diamati pada enam spesies lebah, yaitu Apis cerana, A. dorsata, Ceratina sp., Xylocopa caerulea, X. confusa, dan X. latipes.

b. Identifikasi Masalah

1. Sedikitnya informasi tentang keanekaragaman serangga penyerbuk pada berbagai tanaman pertanian di Indonesia.

2. Sedikitnya informasi tentang perilaku kunjungan dan efektifitas penyerbukan masing-masing spesies serangga penyerbuk.

3. Sedikitnya informasi dan pemahaman tentang peranan serangga dalam membantu penyerbukan tanaman.

c. Tujuan Penelitian

1. Mempelajari keanekaragaman serangga penyerbuk pada pertanaman caisin di lahan pertanian tepi hutan.

2. Mempelajari perilaku kunjungan enam spesies lebah penyerbuk yang meliputi jumlah kunjungan per satuan waktu (foraging rate), lama kunjungan per bunga (flower handling time), danlama kunjungan pada pertanaman caisin.

3. Mengukur hasil panen pertanaman caisin yang dibantu penyerbukannya oleh serangga dan tanpa serangga.

d. Pemecahan Masalah

Untuk mendapatkan penyelesaian terhadap masalah dan tujuan seperti di atas, dilakukan penelitian yang mencakup tiga aspek yaitu keanekaragaman dan perilaku kunjungan serangga penyerbuk, serta pengaruhnya dalam pembentukan biji pertanaman caisin. Lokasi penelitian dipilih di lahan pertanian di tepi hutan Gunung Halimun-Salak, di desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Keanekaragaman serangga penyerbuk di lahan pertanian tepi hutan diduga lebih spesifik, karena serangga penyerbuk yang bersarang di dalam hutan melakukan pencarian pakan di lahan pertanian tersebut. Keanekaragaman serangga penyerbuk diamati di tiga pertanaman caisin yang ditanam pada waktu berbeda dan lokasi pertanaman terletak pada jarak 0-400 m dari tepi hutan.

Pengambilan data keanekaragaman serangga penyerbuk dilakukan dengan scan method (Martin & Bateson, 1993), selama sekitar 15 menit, mulai pukul 07.30-14.30 pada saat cuaca cerah. Data keanekaragaman serangga penyerbuk dianalisis berdasarkan jumlah spesies dan individu pada waktu berbeda dan di kaitkan dengan jumlah tanaman berbunga dan data lingkungan. Perilaku kunjungan diamati pada 6 spesies lebah penyerbuk, yaitu Apis cerana, A. dorsata, Ceratina sp., Xylocopa caerulea, X. confusa, dan X. latipes (famili Apidae) dengan metode focal sampling (Martin & Bateson, 1993). Perilaku kunjungan yang diamati adalah jumlah kunjungan per menit, lama kunjungan per bunga, dan lama kunjungan pada pertanaman caisin. Data perilaku kunjungan tersebut digunakan untuk menduga efektivitas penyerbukan masing-masing spesies pada pertanaman caisin. Pengaruh keanekaragaman serangga penyerbuk terhadap pembentukan biji caisin diukur dari jumlah polong per tanaman, biji per polong, biji per tanaman, bobot biji per tanaman, dan perkecambahan biji. Secara keseluruhan, kerangka pemikiran penelitian dituangkan ke dalam diagram alur, seperti ditampilkan dalam Gambar 1.

e. Hipotesis

1. Ho: Keanekaragaman serangga penyerbuk pada pertanaman caisin tidak

bervariasi pada waktu pengamatan berbeda.

H1: Keanekaragaman serangga penyerbuk pada pertanaman caisin bervariasi

pada waktu pengamatan berbeda.

2. Ho: Perilaku kunjungan lebah penyerbuk tidak bervariasi antar spesies.

H1: Perilaku kunjungan lebah penyerbuk bervariasi antar spesies.

3. Ho: Pertanaman caisin terbuka dimana penyerbukannya dibantu oleh serangga

tidak menghasilkan jumlah biji lebih banyak dibandingan dengan pertanaman yang dikurung.

H1: Pertanaman caisin terbuka dimana penyerbukannya dibantu oleh serangga

menghasilkan jumlah biji lebih banyak dibandingan dengan pertanaman yang dikurung.

f. Manfaat Penelitian

1. Keanekaragaman serangga penyerbuk pada pertanaman caisin dalam penelitian ini dapat dijadikan gambaran umum tentang keanekaragaman serangga penyerbuk di lahan pertanian.

2. Data tentang perilaku kunjungan lebah penyerbuk dapat digunakan untuk menentukan efektivitas penyerbukan masing-masing spesies.

3. Penyerbukan oleh serangga yang meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil panen tanaman sangat mendukung usaha intensifikasi pertanian. 4. Pemahaman tentang pentingnya keanekaragaman dan peranan serangga

dalam membantu penyerbukan tanaman menjadi landasan dalam usaha konservasi serangga penyerbuk dan habitatnya.

1. TINJAUAN PUSTAKA

a. Praktik Pertanian, Fragmentasi Habitat, dan Keanekaragaman Hayati

Bentang alam (lansekap) tropik didominasi oleh sistem pertanian (agroekosistem). Sistem pertanian intensif menyebabkan berkurangnya habitat alami, meningkatnya fragmentasi dan isolasi habitat yang menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati (Saunders et al., 1991) yang kemudian berakibat menurunnya stabilitas dan fungsi ekosistem (Naeem et al., 1995). Dalam kaitannya dengan serangga penyerbuk, fragmentasi habitat menyebabkan menurunnya jumlah spesies (species richness) dan kelimpahan individu (abundance), mengubah perilaku pencarian pakan (foraging behavior), dan merusak interaksi tanaman dengan serangga penyerbuk (Steffan-Dewenter et al., 2002). Kerusakan dan fragmentasi habitat menurunkan kompleksitas struktur lansekap yang berpengaruh terhadap keanekaragaman dan kelimpahan lebah soliter dan bumble bees (Steffan-Dewenter et al., 2002). Disamping itu, fragmentasi habitat dapat menurunkan pembentukan biji dan aliran gen (gen flow) dari populasi tanaman yang terisolasi (Didham et al., 1996). Disamping fragmentasi dan isolasi habitat, menurunnya keanekaragaman serangga penyerbuk juga disebabkan karena penggunaan pestisida (Shephered et al., 2000) dan pertanaman monokultur (Delaplane & Mayer, 2000). Perubahan penanaman polikultur menjadi monokultur mendorong terjadinya isolasi habitat yang dapat mempengaruhi struktur komunitas lebah (Steffan-Dewenter & Tscharntke, 1999).

Usaha-usaha menjaga biodiversitas perlu dilakukan, terutama difokuskan pada ekosistem alami (Moguel & Toledo, 1999). Usaha menjaga biodiversitas dapat juga dilakukan dengan praktik pertanian tradisional, seperti agroforestry yang menghasilkan struktur lansekap mosaik dengan keanekaragaman vegetasi tinggi (Pimentel et al., 1992). Disamping itu, usaha untuk meningkatkan kekayaan spesies dan kelimpahan populasi lokal dapat dilakukan dengan memelihara struktur “koridor” sebagai penghubung organisme dalam memanfaatkan sumberdaya yang terpisah secara spasial (habitat connectivity) (Gonzales et al., 1998). Struktur konektivitas juga memungkinkan setiap individu berinteraksi

dengan individu lain melalui kemampuan menyebar (With et al., 1999). Disamping itu, habitat dengan konektivitas tinggi meningkatkan populasi musuh alami yang dapat mengendalikan populasi hama di bawah ambang batas (Thies & Tscharntke, 1999).

b. Struktur Habitat dan Keanekaragaman Serangga Penyerbuk

Penelitian serangga penyerbuk dalam kaitannya dengan struktur habitat telah banyak dilaporkan. Steffan-Dewenter & Tscharntke (1999) melaporkan kelimpahan individu dan kekayaan spesies lebah liar (wild bees) pengunjung bunga sawi (Sinapsis arvensis: Brassicaceae) ditemukan tinggi di habitat alami dan kelimpahannya makin menurun dengan meningkatnya jarak dari habitat alami. Habitat alami merupakan source habitat bagi habitat di sekitarnya. Pada pertanaman kopi dalam sistem agroforestry, Klein et al. (2002) melaporkan intensitas penggunaan lahan berpengaruh terhadap keanekaragaman lebah penyerbuk. Kelimpahan dan kekayaan spesies lebah sosial makin meningkat dengan menurunnya intensitas penggunaan lahan, sedangkan kelimpahan lebah soliter makin meningkat dengan meningkatnya intensitas penggunaan lahan. Dalam kaitannya dengan struktur habitat, Steffan-Dewenter (2002) melaporkan kelimpahan lebah pengunjung bunga Centaurea jacea (Asteraceae) makin meningkat dengan meningkatnya struktur habitat. Struktur habitat juga berpengaruh terhadap aktifitas pencarian pakan lebah penyerbuk. Jumlah kunjungan lebah pada bunga di struktur habitat yang sederhana lebih tinggi dibandingkan dengan struktur habitat yang kompleks (Steffan-Dewenter et al., 2001). Proporsi dan keanekaragaman tipe habitat menjadi faktor penting bagi keberadaan lebah penyerbuk (Steffan-Dewenter & Tscharntke, 1999).

c. Taksonomi dan Biologi Lebah Penyerbuk

Lebah (Superfamili Apoidea, Ordo Hymenoptera) terbagi dalam 2 Seri, yaitu Apiformes dan Spheciformes. Seri Apiformes memiliki 7 famili, yaitu Stenotritidae, Colletidae, Andrenidae, Halictidae, Melittidae, Megachilidae, dan Apidae. Seri Spheciformes memiliki 3 famili, yaitu Ampulicidae, Sphecidae, dan

Crabonidae. Di seluruh dunia, jumlah spesies lebah diperkirakan mencapai 16.000 (Michener, 2000). Berdasarkan struktur alat mulutnya, lebah dikelompokkan menjadi 2, yaitu lebah dengan alat mulut pendek (short-tongued bees) dan lebah dengan alat mulut panjang (long-tongued bees). Lebah dengan alat mulut pendek diduga sudah ada sejak munculnya tanaman Angiospermae awal yang mempunyai bentuk bunga dangkal (shallow). Lebah dengan alat mulut panjang muncul setelah adanya tanaman Angiospermai dengan struktur bunga yang lebih berkembang. Sejalan dengan meningkatnya kompleksitas bunga angiospermae, lebah dengan alat mulut panjang lebih diuntungkan. Lebah madu merupakan contoh lebah dengan alat mulut panjang (Winston, 1987).

Famili Apidae mempunyai 3 subfamili, yaitu Xylocopinae, Nomadinae, dan Apinae. Subfamili Xylocopinae memiliki 3 tribe, yaitu Manueliini (1 genus: Manuelia), Xylocopini (1 genus: Xylocopa), dan Ceratinini (2 genus: Ceratina dan Megaceratina). Subfamili Nomadinae mempunyai 10 tribe, sebagai contohnya tribe Nomadini dengan contoh genusnya Nomia. Subfamili Apinae mempunyai 19 tribe. Tribe Meliponini (contoh Trigona) dan Apini (1 genus: Apis) merupakan serangga sosial dengan tingkatan paling tinggi (Roubik, 1989; Michener, 2000).

Lebah dalam subfamili Xylocopinae dan Nomadinae termasuk lebah soliter. Pada umumnya, induk betina lebah soliter tidak pernah bertemu dengan anaknya. Namun pada beberapa spesies Ceratina, Xylocopa, Nomia, dan Megachilidae ditemukan induk-anak atau anak-anak di dalam sarangnya. Diantara lebah dewasa sering menunjukkan pembagian kasta, yaitu mirip ratu dan mirip pekerja (Michener, 2000). Roubik (1989) menyatakan beberapa spesies Ceratina dan Xylocopa termasuk kelompok parasosial, yaitu sebagai komunal, kuasisosial, atau semisosial. Michener (2000) mengelompokkan Xylocopa sebagai lebah subsosial karena anak dan induk ditemukan dalam satu sarang dan induk secara aktif memberi makan anak-anaknya.

Trigona spp. dan Apis (subfamili Apinae) termasuk lebah sosial dengan tingkatan paling tinggi (Roubik, 1989; Michener, 2000). Anggota Apinae dicirikan oleh adanya corbicula atau pollen basket pada permukaan luar tibia tungkai belakang yang digunakan untuk membawa serbuksari dan material

pembuat sarang (Roubik, 1989). Genus Apis memiliki 9 spesies, yaitu A. mellifera Linnaeus, A. cerana Fabricus, A. dorsata Fabricus, A. laboriosa Smith, A. florea Fabricus, A. andreniformis Smith, A. koschevnikovi Buttel-Reepen, A. nigrocincta, dan A. nuluensis (Michener, 2000). Lebah A. cerana dan A. mellifera merupakan lebah berukuran sedang (10-11 mm), sarang dibuat di dalam lubang yang terdiri beberapa sisir (multiple combs), jumlah pekerja mencapai 6 000-7 000 individu pada A. cerana dan dapat mencapai 100 000 individu pada A. mellifera (Winston, 1987). Sarang A. florea, A. andreniformis, A. dorsata, A. laboriosa ditemukan di tempat terbuka dengan sisir tunggal (single comb) (Michener, 2000).

d. Lebah Soliter dan Lebah Sosial

Dalam siklus hidupnya, lebah dapat bersifat soliter, sosial fakultatif, atau sosial obligat. Lebah soliter berbeda dengan serangga soliter pada umumnya, karena pada lebah soliter terjadi interaksi antara satu individu dengan individu lain dalam satu sarang. Koloni pada lebah dapat berupa asosiasi multifoundress, ketika beberapa lebah terkonsentrasi di suatu area, atau berupa asosiasi matrifilial, ketika lebah keturunannya hidup bersama dengan induk dalam satu sarang (Roubik, 1989). Sarang lebah soliter dibuat oleh induk betina dan induk tersebut memberi makan keturunannya. Biasanya induk mati atau meninggalkan sarang sebelum keturunannya dewasa. Oleh karena itu, sifat soliter pada lebah dapat berupa: “komunal”, jika sarang digunakan oleh induk dan betina soliter lain; “subsosial”, jika koloni terdiri satu betina dewasa yang memberi makan keturunannya; “kuasisosial”, jika koloni terdiri atas beberapa betina dewasa yang berumur sama dan menghasilkan keturunannya; atau “semisosial”, jika koloni dari lebah dewasa yang berumur sama, biasanya saudaranya, beberapa diantaranya tidak meletakkan telur. Koloni semisosial, kuasisosial, dan komunal secara kelompok disebut “parasosial” (Roubik, 1989).

Lebah sosial mempunyai tingkat lebih tinggi dibandingkan lebah soliter. Beberapa ciri lebah sosial adalah membentuk koloni, adanya pembagian kasta sebagai ratu, pekerja, dan jantan, dan pertemuan generasi dalam koloni. Dalam koloni terdapat 1 individu ratu, beberapa-ratusan individu jantan, dan beberapa-

ratusan ribu individu pekerja. Lebah pekerja umumnya tidak kawin dan berperan dalam pemeliharaan koloni, sebagai penjaga, dan mencari pakan. Lebah ratu melakukan perkawinan dengan lebah jantan dan meletakkan telur (Michener, 2000). Lebah madu dan stingless bees (Trigona spp). merupakan lebah sosial dengan tingkatan paling tinggi (Roubik, 1989). Kemungkinan tahapan evolusi lebah soliter ke sosial tertera dalam Gambar 2 dan beberapa contoh spesies lebah soliter dan sosial tertera dalamTabel 1.

Gambar 2 Kemungkinan evolusi koloni lebah sosial dari lebah soliter. Lingkaran kecil menggambarkan sarang dan lingkaran besar menggambarkan koloni sarang (Roubik, 1989).

Tabel 1 Contoh beberapa spesies lebah soliter dan lebah sosial (Roubik, 1989).

Lebah soliter: komunal, kuasisosial, semisosial

Lebah subsosial dan eusosial primitif Lebah eusosial Colletidae Hylaeus Andrenidae Andrena Halictidae Nomia Lasioglossum Apidae Xylocopa Ceratina Euglossa Megachilidae Chalicodoma Halictidae Halictus Lasioglossum Apidae Bombus Ceratina Apidae Apis Melliponinae

e. Serbuksari dan Nektar sebagai Sumber Pakan

Serbuksari merupakan sumber pakan utama lebah karena mengandung 16- 30% protein, 1-7 % pati, 0-15% gula, 3-10% lemak, dan 1-9% ashes. Nektar merupakan sumber gula dengan kandungan antara 25-75%. Perbandingan glukosa, fruktosa, dan sakarosa dalam nektar bervariasi pada berbagai spesies tanaman (Faegry & Van Der Pijl, 1971). Selain gula, nektar juga mengandung asam amino, protein, asam organik, phospat, vitamin, dan enzim dalam jumlah kecil (Barth, 1991).

Kualitas dan kuantitas nektar dan serbuksari menentukan perkembangan dan kelangsungan hidup koloni lebah. Oleh lebah, nektar diproses menjadi madu sebagai sumber energi bagi koloni. Serbuksari merupakan sumber utama protein bagi perkembangan larva dan perkembangan kelenjar pada lebah pekerja yang masih muda (Winston, 1987). Serbuksari mengandung protein, lemak, karbohidrat, sterol, vitamin, dan mineral yang semuanya merupakan nutrisi yang diperlukan lebah madu, namun nilai nutrisi serbuksari lebih ditentukan oleh kandungan proteinnya (Cook et al., 2003). Serbuksari dari spesies tanaman berbeda mempunyai komposisi dan konsentrasi asam amino berbeda. Serbuksari

tinggi (Day et al., 1990). De Groot (1953) melaporkan asam amino esensial bagi lebah madu adalah methionine, arginine, tryptophan, lysine, isoleucine, phenylalanine, histidine, valine, leucine, dan threonine. Asam amino non esensial bagi lebah adalah tyrosine, cysteine, serine, hydroxyproline, alanine, glycine, dan proline.

Perilaku pencarian pakan pada lebah madu dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas nutrisi, termasuk gula, asam amino, dan air (Stone, 1994), dan kondisi iklim mikro (Bosch & Kemp, 2002). Preferensi lebah madu dalam menentukan kualitas serbuksari ditentukan oleh warna dan aromanya. Preferensi tersebut bukan merupakan innate preference, tetapi sesuatu yang dipelajari (acquired). Berdasarkan pembelajaran terhadap warna dan aroma, lebah madu dapat menentukan kualitas makanannya (Cook et al., 2003).

f. Serangga Penyerbuk dan Pengaruhnya dalam Pembentukan Biji

Penggunaan serangga untuk membantu penyerbukan berbagai tanaman pertanian telah banyak dilaporkan. Penggunaan Bombus vosnesenskii sebagai penyerbuk tanaman tomat di dalam rumah kaca, meningkatkan ukuran buah (Dogterom et al., 1998). Buah tomat hasil penyerbukan serangga mempunyai daging buah lebih padat dan mengandung 20% vitamin C lebih tinggi dibandingkan buah tomat tanpa penyerbukan serangga (Kahono, komunikasi pribadi). Pada tanaman mentimun (Cucumis sativus L.), jumlah kunjungan lebah madu berpengaruh terhadap buah yang dihasilkan. Tanaman yang dikunjungi lebah madu menghasilkan buah tiga kali lebih banyak dibandingkan dari tanaman yang tidak dikunjungi lebah. Kunjungan lebah madu 6 kali meningkatkan lebih dari 50% buah, sedangkan kunjungan kurang dari 1 kali menyebabkan tanaman tidak atau sedikit menghasilkan buah (Gingras et al. 1999). Pada tanaman bunga matahari (Halianthus annuus), keberadaan lebah liar dapat meningkatkan efisiensi penyerbukan lebah madu melalui mekanisme interaksi perilaku interspesies. Keberadaan lebah liar dapat meningkatkan frekuensi lebah madu dalam mentransfer serbuksari ke bunga betina. Efisiensi penyerbukan lebah liar pada bunga matahari bervariasi dari 1 sampai 19 biji per kunjungan. Efisiensi

penyerbukan lebah madu meningkat pada waktu kelimpahan lebah liar tinggi (Greenleaf & Kremen, 2006). Peningkatan produksi biji dilaporkan juga terjadi pada beberapa tanaman yang dibantu penyerbukannya oleh serangga (Tabel 2).

Tabel 2 Pembentukan biji beberapa spesies tanaman yang dibantu

Dokumen terkait