• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWI AYU LESTARI D24080067

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Judul : Uji Kualitas Silase Singkong Utuh (Manihot esculenta) dengan Beda Umur Panen secara In Vitro sebagai Upaya Peningkatan Pemanfaatan Pakan Lokal

Nama : Dewi Ayu Lestari NIM : D24080067

Menyetujui:

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Despal, S.Pt., M.Sc.Agr.) (Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP. 19701217 199601 2 001 NIP. 19670506 199103 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen, Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP. 19670506 199103 1 001

Penulis bernama Dewi pada tanggal 2 Februari 1990 anak ketiga dari empat pasangan Bapak Imam Sujono Widiarti.

Pada tahun 1994, pendidikannya di Taman Kanak tahun 1996 di Serang-Banten. pendidikannya ke Sekolah pada tahun 1996 hingga 2002

Pendidikan lanjutan SMP Negeri 1 Ciawi-Bogor. menengah atas di Sekolah hingga 2008. Penulis diterima jalur USMI dan diterima

Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun Selama masa kuliah,

HIMASITER (Himpunan Peternakan IPB periode 2009 pada tahun 2010, Purna Paskibraka 2011. Penulis juga aktif dalam Pertanian Bogor diantaranya

Action (2010) dan Bakti Himasiter (2010)

RIWAYAT HIDUP

bernama Dewi Ayu Lestari, dilahirkan 1990 di Cianjur. Penulis adalah empat bersaudara yang lahir dari ujono dan Ibu Ida Ayu Putu

1994, penulis mengawali Taman Kanak-Kanak AL-Izzah hingga Banten. Penulis melanjutkan Sekolah Dasar Negeri 1 Ciawi-Bogor

2002.

lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2002 hingga Bogor. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Ciawi-Bogor pada tahun

diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Nutrisi dan

kan, Institut Pertanian Bogor tahun 2009.

kuliah, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi n Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak) 2009-2010, Anggota Paduan Suara Fakultas Peternakan Paskibraka Indonesia (PPI) Kabupaten Bogor periode

dalam kepanitiaan berbagai kegiatan mahasiswa aranya Dekan Cup Fakultas Peternakan IPB (2010), Bakti Himasiter (2010). Bogor, Ju hingga 2005 di pendidikan lanjutan pada tahun 2005 2008 melalui dan Teknologi organisasi seperti Ternak) Fakultas Peternakan IPB periode 2006-swa di Institut (2010), Nutrisi in Bogor, Juli 2012 Penulis

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyusun skripsi dengan judul “Uji Kualitas Silase Singkong Utuh (Manihot esculenta) dengan Beda Umur Panen secara In Vitro sebagai Upaya Peningkatan Pemanfaatan Pakan Lokal”.

Skripsi ini bertujuan untuk mengoptimalkan bahan pakan lokal yaitu singkong dengan mendapatkan umur panen pohon singkong yang paling efektif dalam menghasilkan kualitas silase dan kandungan nutrisi terbaik yang dibutuhkan oleh ternak, khususnya sapi perah.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan, akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak dapat teratasi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan dari program Sarjana Peternakan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2012

DAFTAR ISI

Halaman RINGKASAN... i ABSTRACT... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii LEMBAR PENGESAHAN ... iv RIWAYAT HIDUP ... v KATA PENGANTAR ... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Singkong... 3 Asam Sianida... 4 Peranan Waktu Panen... 5 Silase ... 5 Kualitas Silase ... 6 Amonia ... 7

Volatile Fatty Acid(VFA)... 8 MATERI DAN METODE... 9 Lokasi dan Waktu... 9 Materi ... 9 Prosedur... 9 Kondisi Lahan, Lingkungan, dan Penanaman Pohon

Singkong Utuh... 9 Teknik Pemanenan Singkong... 9 Persiapan Pengolahan Pohon Singkong dan Pembuatan Silase

Singkong... 9 Pengukuran Proporsi Botani... 10 Pengukuran Bahan Kering (BK) Awal Bahan ... 10 Pengukuran Protein Kasar (PK) Awal Bahan ... 10 Pengukuran Water Soluble Carbohydrate(WSC) Awal Bahan ... 11 Pengukuran Kadar Asam Sianida (HCN) Awal Bahan... 11 Karakteristik Fisik ... 11 Karakteristik Fermentatif ... 12

Pengukuran pH Silase ... 12 Pengukuran Bahan Kering (BK) Silase... 12 Pengukuran Volatile Fatty Acid(VFA) Silase ... 12 Kehilangan Bahan Kering (BK) Setelah Ensilase... 13 Pengukuran Protein Kasar (PK) Silase... 13 Pengukuran Amonia (NH3) Silase ... 13 Kehilangan Protein Kasar (PK) ... 14 Pengukuran Water Soluble Carbohydrate(WSC)

Silase ... 14 Pengukuran Kadar Asam Sianida (HCN) Silase ... 14 Perhitungan NilaiFleigh... 15 Karakteristik Utilitas ... 15 Pengukuran NH3dan VFA Rumen ... 15 Pengukuran KCBK dan KCBO... 15 Rancangan dan Analisis Data ... 16 Perlakuan ... 16 Rancangan Percobaan ... 16 Peubah ... 17 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18 Kandungan Awal Bahan... 18 Karakteristik Fisik Silase ... 19 Karakteristik Fermentatif Silase... 22 Nilai pH dan WSC Silase ... 22 BK, Perombakan BK Silase, dan VFA ... 24 Protein Kasar, Kadar NH3, dan Perombakan Protein... 25 Asam Sianida... 27 Nilai Fleigh(NF)... 29 Karakteristik Utilitas Silase... 30 Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ... 30

Volatile Fatty Acid(VFA)... 31 Amonia (NH3) ... 31 KESIMPULAN DAN SARAN ... 33 Kesimpulan... 33 Saran... 33 UCAPAN TERIMA KASIH ... 34 DAFTAR PUSTAKA ... 35 LAMPIRAN... 36

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Kandungan Unsur-unsur Nutrien dalam Singkong ... 3 2. Kriteria Kualitas Silase... 7 3. Kondisi Awal Bahan ... 18 4. Karakteristik Fisik Silase Singkong Utuh dan Silase Ransum

Komplit... 20 5. Kandungan BK, Perombakan BK, dan VFA Silase ... 25 6. Kandungan PK, Perombakan PK, dan NH3Silase ... 27 7. Hasil Pengamatan Karakteristik Utilitas Silase... 30

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Silase Singkong dengan Umur Panen Berbeda ... 20 2. Nilai pH Silase Singkong Utuh dan Ransum Komplit ... 22 3. Kadar WSC Silase dan Penggunaan WSC Silase ... 24 4. Kandungan Sianida Silase Singkong Utuh dan Ransum

Komplit... 28 5. Nilai FleighSilase Singkong Utuh dan Ransum Komplit ... 29

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Hasil Sidik Ragam BK Silase ... 41 2. Hasil Sidik Ragam Karakteristik Fisik pH Silase ... 41 3. Hasil Sidik Ragam Perombakan BK Silase... 41 4. Hasil Sidik Ragam Kandungan Sianida Silase ... 41 5. Hasil Sidik Ragam PK Silase... 42 6. Hasil Sidik Ragam Perombakan Protein Silase ... 42 7. Hasil Sidik Ragam WSC Silase ... 42 8. Hasil Sidik Ragam VFA Silase... 42 9. Hasil Sidik Ragam NH3Silase... 43 10. Hasil Sidik Ragam Nilai Fleigh... 43 11. Hasil Sidik Ragam KCBKIn Vitro... 43 12. Hasil Sidik Ragam KCBOIn Vitro... 44 13. Hasil Sidik Ragam NH3 In Vitro... 44 14. Hasil Sidik Ragam VFA In Vitro... 44

1 Indonesia merupakan negara dengan kondisi geografis yang potensial untuk sektor pertanian. Sumberdaya yang melimpah seharusnya tidaklah menjadi kendala penyediaan bahan baku lokal, baik untuk pangan maupun pakan. Kenyataannya Indonesia masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan bahan pakan. Dibandingkan dengan banyaknya impor dan ketersediaan bahan baku lokal yang melimpah, hal ini menggambarkan bahwa pemanfaatan sumber bahan pakan lokal kurang optimal. Salah satu bahan pakan lokal yang banyak diproduksi di Indonesia yaitu singkong. Singkong merupakan bahan baku pakan lokal yang tumbuh pada hampir semua jenis tanah. Produksi singkong di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 22 juta ton (Deptan, 2011), namun penggunaannya masih terbatas karena terdapat antinutrisi berupa asam sianida.

Sianida merupakan senyawa bersifat racun dan dapat menyebabkan kematian apabila dikonsumsi dalam jumlah besar oleh ternak (Osweiler et al., 1976). Yuningsih (2009) menyatakan bahwa racun sianida memiliki reaksi yang berbahaya dalam tubuh dan paling toksik dibandingkan dengan jenis racun lainnya, sianida sangat berbahaya bagi sebagian besar spesies hewan. Untuk penyediaan pakan yang berkelanjutan dan mengurangi kandungan antinutrisi pada bahan pakan lokal yang akan dioptimalkan, salah satu upaya yang dilakukan adalah teknologi pengolahan silase tanaman singkong utuh. Pemanfaatan keseluruhan bagian pohon singkong (daun, batang, dan umbi) sebagai pakan dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetisi singkong sebagai pakan dibandingkan dengan hanya memanfaatkan daun dan umbi singkong untuk pangan.

Singkong memiliki kandungan nutrien yang berbeda pada setiap bagiannya. Pohon singkong terdiri dari umbi yang berfungsi sebagai pakan sumber energi, daun yang mengandung protein tinggi, serta batang dan kulit umbi singkong yang dapat digunakan sebagai sumber serat. Kandungan tersebut bervariasi tergantung umur tanaman. Singkong dapat dipanen pada umur enam bulan. Pada bulan ke-6 pertumbuhan daun optimum, pada bulan ke-7 peralihan pertumbuhan daun ke bagian lain yaitu batang dan umbi. Pada bulan ke-9 pertumbuhan daun sangat menurun dan umbi mulai tumbuh ke titik optimum (Sudaryanto, 1990). Pada penelitian ini

2 digunakan singkong dengan umur berbeda untuk mengetahui umur efektif tanaman singkong yang menghasilkan kualitas silase terbaik dan penggunaannya untuk ternak.

Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan umur panen pohon singkong yang paling efektif dalam menghasilkan kualitas silase (karakteristik fisik, fermentatif, dan utilitas) dan kandungan nutrisi terbaik yang dibutuhkan oleh ternak, selain itu dapat mengatur masa panen yang lebih efektif dengan menghasilkan kualitas nutrien yang baik.

3 Singkong atau ubi kayu, tergolong dalam famili Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Henry, 2007). Bagian tanaman yang biasanya dimanfaatkan adalah umbi (akar), batang, dan daunnya. Menurut Devendra (1977), produk utama tanaman ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu daun 6%, batang 44%, dan umbi 50%. Singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80%-90% dengan pati sebagai komponen utamanya. Tanaman ini tidak dapat langsung dikonsumi ternak dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam air, dan penghancuran atau beberapa proses lainnya untuk mengurangi asam sianida yang bersifat racun yang terkandung dalam semua varietas singkong.

Tanaman singkong mulai menghasilkan umbi pada umur 6 bulan (Prihatman, 2000). Umbi yang dihasilkan banyak digunakan untuk bahan baku produk olahan seperti tapioka dan produk tanaman lainnya. Tanaman singkong (Manihot esculenta) merupakan salah satu tanaman yang memiliki nilai strategis, selain sebagai bahan pangan dan pakan juga sebagai bahan baku industri dan termasuk sebagai bahan bakar nabati, seperti etanol. Daun muda tanaman singkong sering digunakan sebagai sayur, batang tanaman singkong dapat digunakan untuk kayu bakar bahkan sebagai pagar hidup (Prihatman, 2000). Tanaman singkong juga potensial sebagai pakan ternak, dapat menghasilkan biomassa sumber energi pada bagian umbi dan protein pada daun (Kustantinah et al., 2005). Kandungan nutrien dalam singkong disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Unsur-unsur Nutrien dalam Singkong (dalam As Fed)

Sumber : a. Devendra (1977), b. Ramli dan Rismawati (2007)

Menurut Hasanah (2008), pada daun singkong (per 100 g) terkandung vitamin A sebesar 11.000 SI, vitamin C 275 mg, vitamin B1 0,12 mg, kalsium sekitar

Bahan BK PK LK SK BETN Ca P % Daun b 25,3 25,10 12,70 11,40 46,10 1,1-1,4 0,25-0,30 Batang a 10,90 22,60 47,90 0,31 0,34 Umbi b 30,8 2,30 1,40 3,40 88,90 0,31 0,07-0.46 Kulit b 29,6 4,90 1,30 16,60 68,50 0,02-0,3 0,13

4 165 mg, kalori 73 kal, fosfor 54 mg, protein 6,8 g, lemak 1,2 g, hidrat arang sebesar 13 g, zat besi 2 mg, dan asam amino metionin. Pada bagian buah atau umbi singkong memiliki kandungan vitamin B1 sebesar 0,06 mg dan vitamin C sebesar 30 mg, yang lebih rendah dibandingkan yang terdapat pada daun. Sedangkan pada kulit batang mengandung tanin, enzim peroksidase, glikosida, dan kalsium oksalat yang membatasi konsumsinya pada ternak-ternak tertentu.

Berdasarkan data statistik Indonesia (Deptan, 2011), luas areal tanaman singkong sekitar 1,3 juta ha. Selain umbi, produksi daun singkong juga cukup besar yaitu 0,92 ton/ ha/ tahun bahan kering. Setiap tahun terdapat lebih dari 1,2 juta ton limbah dari tanaman singkong yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Beberapa jenis tanaman mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik, salah satunya singkong yang mengandung asam sianida. Senyawa ini berbahaya karena jika termakan akan cepat terserap oleh alat pencernaan dan masuk ke aliran darah. Tergantung kadarnya, hidrogen sianida dapat menyebabkan sakit bahkan menimbulkan kematian (Osweiler et al., 1976). Adanya senyawa ini menyebabkan pemakaian singkong secara luas untuk ternak menjadi terbatas (Oluremi dan Nwosu, 2002). Kandungan sianida dalam singkong sangat bervariasi, rata-rata dalam singkong manis kurang dari 50 mg/ kg umbi, sedangkan pada jenis singkong pahit diatas 50 mg/ kg umbi (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Tinggi rendahnya asam sianida yang dihasilkan pada proses hidrolisis glukosida tergantung pada varietas tanaman, genetik tanaman, umur tanaman, tingkat kematangan, dan kesuburan tanah (Cardoso et al., 2005).

Kandungan glukosida sianogenik tersebar pada setiap bagian tanaman dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Siritunga et al. (2003) menjelaskan bahwa glukosida sianogenik disintesa di daun kemudian ditranslokasi ke umbi dan bagian lain dari tanaman singkong. Kadar glukosida tertinggi pada daun, sedangkan terendah pada umbi (Cardoso et al., 2005). Kadar glukosida sianogenik pada daun berkisar 200-1300 ppm HCN per kg berat segar dan umbi sebesar 10-500 ppm HCN per kg berat segar (Siritunga et al., 2003). Hasil analisa Purwanti (2005) menunjukkan nilai HCN dalam kulit singkong yaitu sebesar 143,3 mg/ kg bahan segar. Sedangkan menurut

5 Shreve (2002), sianida akan bersifat racun pada level 300-500 ppm bila dimakan ternak.

Waktu panen berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari terhadap tumbuhan. Energi matahari merupakan sumber energi utama bagi makhluk hidup terutama tumbuhan. Tumbuhan dapat melakukan fotosintesis dengan merubah energi dari matahari (cahaya) menjadi gula dengan bantuan air dan CO2. Jika intensitas cahaya rendah maka pertumbuhan akan terhambat. Penghambatan terjadi melalui berkurangnya aktivitas fotosintesis. Pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas, kualitas, lamanya penyinaran (perioditas), dan arah cahaya. Energi cahaya bertanggung jawab terhadap kegiatan fotosintesis dan sejumlah pengikatan nitrogen melalui reaksi kimia (Yana, 2011).

Cahaya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dikarenakan hubungannya dengan proses fotosintesis, pembukaan dan penutupan stomata, respirasi, permeabilitas dinding sel, absorbsi air dan unsur hara, aktivitas enzim, koagulasi protein, dan sintesa klorofil (Yana, 2011). Peranan beda waktu panen memiliki pengaruh terhadap kualitas fisik, pH, dan kandungan WSC (Water Soluble Carbohydrate) pada hijauan (Rijali, 2010).

Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi. Silase merupakan pakan produk fermentasi hijauan dengan kadar air tinggi yang diawetkan dalam kondisi anaerob (McDonald et al., 1991). Bolsen et al. (2000) menjelaskan bahwa silase adalah bahan pakan yang diproduksi melalui proses fermentasi, bahan tersebut berupa tanaman, hijauan, bahkan limbah pertanian yang memiliki kandungan kadar air di atas 50%.

Secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh tingkat kematangan hijauan, kadar air, ukuran partikel bahan, penyimpanan pada saat proses fermentasi, dan pemakaian aditif (Rijali, 2010).

Pembuatan silase bertujuan untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan untuk dimanfaatkan pada masa mendatang serta menurunkan sianida (Sandi et al., 2010). Teknik silase dirasakan selain mengawetkan limbah pertanian, juga lebih aman dan dapat memberikan nilai nutrisi yang lebih baik (Nevy, 1999).

6 Menurut Coblentz (2003), ada beberapa hal penting untuk memperoleh kondisi silase yang baik yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo, dan menghambat jamur selama penyimpanan.

Proses ensilase secara garis besar terdiri dari empat fase yaitu fase aerob, fermentasi, fase stabil, dan fase pengeluaran untuk diberikan kepada ternak (Sandi et al., 2010). Fase fermentasi terjadi ketika keadaan anaerob dicapai dan mikroorganisme berkembang terutama bakteri asam laktat. Mikroorganisme seperti Clostridia dan Enterobacteria tidak diharapkan karena memberikan pengaruh negatif terhadap proses ensilase. Mikroorganisme ini akan bersaing dengan bakteri asam laktat dalam memfermentasi karbohidrat (Bolsen et al., 2000). Pada fase fermentasi diawali dengan pertumbuhan bakteri asam asetat. Bakteri ini menggunakan karbohidrat terlarut dan menghasilkan asam asetat yang kemudian akan menurunkan pH, dan pertumbuhannya akan terhambat pada pH dibawah 5. Penurunan pH akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah bakteri asam laktat. Bakteri ini akan terhambat pertumbuhannya saat pH dibawah 4 dan berakhir aktivitasnya karena berkurangnya WSC, kemudian ensilase memasuki fase stabil. Pada fase ini, bakteri asam laktat memfermentasi gula yang berasal dari perombakan hemiselulosa dan penurunan pH mulai melambat (Bolsen et al., 2000).

Ensilase merupakan salah satu cara pengawetan daun singkong sebagai pakan ternak dan efektif menurunkan kandungan sianida (HCN) pada ubi kayu setelah tiga bulan ensilase yaitu dari 289 mg/ kg menjadi 20,1 mg/ kg (Kavana et al., 2005).

Pengamatan fisik silase seperti warna, bau, dan penampakan lainnya hanya menggambarkan nilai nutrisi secara umum (Macaulay, 2004). Pengukuran bahan kering, pH, kandungan protein, amonia, asam organik, kadar gula, serta jumlah mikrobial merupakan parameter yang umum dijadikan untuk menggambarkan kualitas fermentatif silase (Macaulay, 2004). Kualitas fisik meliputi warna, bau atau aroma, tekstur, kelembaban, dan keberadaan jamur.

Warna hasil silase dapat mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak kandungan asam asetat akan menghasilkan berwarna kekuning-kuningan, sementara kalau kelebihan asam butirat

7 akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan. Penentuan kualitas suatu fermentasi juga dapat ditentukan melalui bau. Pada fermentasi asam laktat hampir tidak mengeluarkan bau, sementara fermentasi asam propionat menimbulkan aroma wangi yang menyengat, sedangkan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau busuk (Saun dan Heinrichs, 2008).

Sementara Kung dan Nylon (2001) menyatakan bahwa pH adalah salah satu faktor penentu keberhasilan fermentasi. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Macaulay (2004), kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kriteria berdasarkan pH yaitu baik sekali dengan pH 3,2-4,2, baik pH 4,2-4,5, sedang pH 4,5-4,8, dan buruk pH >4,8. Salah satu tujuan ensilase adalah meminimalisasi aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh aktivitas enzim tanaman atau mikroorganisme lain terutama jenis Clostridium. Sejumlah komponen NPN meningkat dengan adanya aktivitas proteolisis. Akibatnya pH silase meningkat dan beberapa komponen NPN seperti amin dapat menurunkan konsumsi pakan (Saun dan Heinrichs, 2008).

Tabel 2. Kriteria Kualitas Silase

Kriteria Baik Sekali Baik Sedang Buruk

Warna Hijau tua Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Tidak hijau Cendawan Tidak ada Sedikit Lebih banyak Banyak

Bau Asam Asam Kurang asam Busuk

pH 3,2-4,2 4,2-4,5 4,5-4,8 >4,8

N-NH3 <10% total N 10-15% total N >20% total N >20% total N

(Wilkins, 1988)

Amonia (NH3) merupakan indikator kualitas silase yang menunjukkan kerusakan silase. Kandungan amonia silase menunjukkan perombakan protein pakan. Kadar amonia silase berasal dari perombakan oleh Enterobakteria selama proses ensilase yang berkompetisi dengan bakteri asam laktat dalam menggunakan WSC sehingga terjadinya degradasi protein. Selain itu, kadar NH3 dalam rumen dapat digunakan sebagai indikator fermentabilitas protein pakan. Kadar N-NH3 yang normal pada silase yaitu kurang dari 10% (Saun dan Heinrichs, 2008).

Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan

8 protein mikroba. Besarnya protein yang didegradasi dalam rumen dapat mencapai 70%-80% dan besarnya protein yang sulit dicerna sekitar 30%-40%. Jika terjadi degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba maka amonia terakumulasi dan tinggi kadarnya. Amonia optimum dalam rumen berkisar 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Sedangkan menurut Satter dan Slyter (1974), konsentrasi amonia cairan rumen yang optimal untuk aktifitas mikroba rumen adalah 3,57-15 mM. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan kadar NH3.

!" #

Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan senyawa yang diproduksi bila pakan atau ransum mengalami fermentasi. VFA diproduksi dari hasil fermentasi karbohidrat dan protein (Mathius et al., 1984). Proses pencernaan karbohidrat pada ensilase atau pada saat pakan berada di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan energi berupa VFA antara lain yang utama asetat, propionat, dan butirat dari proses fermentasi protein berupa asam lemak rantai cabang (asam isobutirat, asam valerat, dan asam isovalerat).

Chamberlain dan Wilkinson (1996) menyatakan bahwa konsentrasi VFA merupakan refleksi dari fementasi yang tidak efisien atau terjadinya fermentasi sekunder dimana asam laktat berubah menjadi asam butirat, degradasi asam amino menghasilkan amonia, dan produksi asam asetat dari rantai karbon asam amino. Konsentrasi VFA yang terdiri dari asam asetat, propionat, dan butirat memiliki persentase yang berbeda dari proses fermentasi dipengaruhi jenis pakan. Konsentrasi VFA pada silase yang ideal adalah <20% dari total asam, sedangkan konsentrasi VFA yang dihasilkan di dalam rumen bervariasi yaitu antara 200-1500 mg/ 100 ml cairan rumen (Bampidis dan Robinson, 2006) atau berkisar antara 70-150 mmol/ l (McDonald, 1995) dan menurut Bergman (1983) yaitu sekitar 79-150 mM.

9

$ % $ &

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Singkong Villa Indah Mustika Ratu Ciawi-Bogor untuk penanaman tanaman singkong, sedangkan pembuatan silase dan pengujian kualitas silase dilakukan di Laboratorium Nutrisi Perah, Fakultas Peternakan, IPB. Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan (Juni 2011-Februari 2012).

$

Materi yang digunakan adalah cairan rumen sapi, tanaman singkong utuh (seluruh bagian pohon baik daun, batang, dan umbi) dengan umur panen berbeda yaitu 7, 8, dan 9 bulan, serta silase ransum komplit. Silase ransum komplit yang digunakan tersusun dari beberapa bahan pakan. Penyusunan silase ransum komplit disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi sapi perah masa laktasi awal yang terdiri dari rumput lapang 50,00%, onggok 15,00%, jagung 7,07%, bungkil kelapa 15,73%, bungkil kedelai 10,49%, DCP 1,24%, dan CaCO3 sebanyak 0,47%.

' ( ( ' '

Lahan yang digunakan dalam penanaman singkong yaitu jenis tanah podsolik coklat, dengan cara tanam tanpa pemupukan. Luas jarak tanam antar pohon singkong yaitu sekitar 1 meter dalam luas lahan 1 hektar. Pengamatan lahan dan lingkungan dilakukan sebelum pemanenan pohon singkong.

Pohon singkong yang akan dijadikan silase, dipilih secara acak (representatif) dalam satu kebun singkong. Tanaman singkong dipanen dengan cara mencabut batangnya dan umbi yang tertinggal diambil dengan cangkul. Pada pengambilan berikutnya (satu bulan kemudian), tetap dilakukan di kebun yang sama dan dengan teknik yang sama.

) ' ' *

Singkong yang digunakan adalah singkong yang berumur sekitar 7, 8, dan 9 bulan. Singkong yang telah dipanen, dipotong-potong perbagiannya dan dipisahkan.

10 Bagian umbi dikupas dan dibersihkan terutama, agar tidak ada tanah yang melekat pada kulit luar umbi singkong. Limbah dari singkongpun tidak dibuang melainkan digunakan juga dalam pembuatan silase. Semua bagian pohon singkong tetap digunakan dalam perlakuan. Setiap bagian singkong kemudian dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil sekitar 1-2 cm dengan menggunakan alat manual. Setelah dipotong-potong, tiap bagian singkong ditimbang lalu dicampurkan hingga homogen. Diambil 2 kg dari campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam plastik. Setelah itu hasil campuran singkong ditutup rapat hingga tidak ada udara luar yang masuk. Lalu didiamkan hingga terjadi proses fermentasi selama lima minggu pada suhu ruang secara anaerob.

)

Pengamatan kondisi awal bahan meliputi proporsi botani, yang diukur dengan membandingkan bobot per bagian tanaman dengan bobot total tanaman.

Dokumen terkait