• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji kualitas silase singkong utuh (Manihot esculenta) dengan beda umur panen secara in vitro sebagai upaya peningkatan pemanfaatan pakan lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji kualitas silase singkong utuh (Manihot esculenta) dengan beda umur panen secara in vitro sebagai upaya peningkatan pemanfaatan pakan lokal"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

1 Indonesia merupakan negara dengan kondisi geografis yang potensial untuk sektor pertanian. Sumberdaya yang melimpah seharusnya tidaklah menjadi kendala penyediaan bahan baku lokal, baik untuk pangan maupun pakan. Kenyataannya Indonesia masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan bahan pakan. Dibandingkan dengan banyaknya impor dan ketersediaan bahan baku lokal yang melimpah, hal ini menggambarkan bahwa pemanfaatan sumber bahan pakan lokal kurang optimal. Salah satu bahan pakan lokal yang banyak diproduksi di Indonesia yaitu singkong. Singkong merupakan bahan baku pakan lokal yang tumbuh pada hampir semua jenis tanah. Produksi singkong di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 22 juta ton (Deptan, 2011), namun penggunaannya masih terbatas karena terdapat antinutrisi berupa asam sianida.

Sianida merupakan senyawa bersifat racun dan dapat menyebabkan kematian apabila dikonsumsi dalam jumlah besar oleh ternak (Osweiler et al., 1976). Yuningsih (2009) menyatakan bahwa racun sianida memiliki reaksi yang berbahaya dalam tubuh dan paling toksik dibandingkan dengan jenis racun lainnya, sianida sangat berbahaya bagi sebagian besar spesies hewan. Untuk penyediaan pakan yang berkelanjutan dan mengurangi kandungan antinutrisi pada bahan pakan lokal yang akan dioptimalkan, salah satu upaya yang dilakukan adalah teknologi pengolahan silase tanaman singkong utuh. Pemanfaatan keseluruhan bagian pohon singkong (daun, batang, dan umbi) sebagai pakan dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetisi singkong sebagai pakan dibandingkan dengan hanya memanfaatkan daun dan umbi singkong untuk pangan.

(2)

2 digunakan singkong dengan umur berbeda untuk mengetahui umur efektif tanaman singkong yang menghasilkan kualitas silase terbaik dan penggunaannya untuk ternak.

(3)

3 Singkong atau ubi kayu, tergolong dalam famili Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Henry, 2007). Bagian tanaman yang biasanya dimanfaatkan adalah umbi (akar), batang, dan daunnya. Menurut Devendra (1977), produk utama tanaman ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu daun 6%, batang 44%, dan umbi 50%. Singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80%-90% dengan pati sebagai komponen utamanya. Tanaman ini tidak dapat langsung dikonsumi ternak dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam air, dan penghancuran atau beberapa proses lainnya untuk mengurangi asam sianida yang bersifat racun yang terkandung dalam semua varietas singkong.

Tanaman singkong mulai menghasilkan umbi pada umur 6 bulan (Prihatman, 2000). Umbi yang dihasilkan banyak digunakan untuk bahan baku produk olahan seperti tapioka dan produk tanaman lainnya. Tanaman singkong (Manihot esculenta) merupakan salah satu tanaman yang memiliki nilai strategis, selain sebagai bahan pangan dan pakan juga sebagai bahan baku industri dan termasuk sebagai bahan bakar nabati, seperti etanol. Daun muda tanaman singkong sering digunakan sebagai sayur, batang tanaman singkong dapat digunakan untuk kayu bakar bahkan sebagai pagar hidup (Prihatman, 2000). Tanaman singkong juga potensial sebagai pakan ternak, dapat menghasilkan biomassa sumber energi pada bagian umbi dan protein pada daun (Kustantinah et al., 2005). Kandungan nutrien dalam singkong disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Unsur-unsur Nutrien dalam Singkong (dalam As Fed)

Sumber : a. Devendra (1977), b. Ramli dan Rismawati (2007)

Menurut Hasanah (2008), pada daun singkong (per 100 g) terkandung vitamin A sebesar 11.000 SI, vitamin C 275 mg, vitamin B1 0,12 mg, kalsium sekitar

Bahan BK PK LK SK BETN Ca P

%

Daun b 25,3 25,10 12,70 11,40 46,10 1,1-1,4 0,25-0,30

Batang a 10,90 22,60 47,90 0,31 0,34

(4)

4 165 mg, kalori 73 kal, fosfor 54 mg, protein 6,8 g, lemak 1,2 g, hidrat arang sebesar 13 g, zat besi 2 mg, dan asam amino metionin. Pada bagian buah atau umbi singkong memiliki kandungan vitamin B1 sebesar 0,06 mg dan vitamin C sebesar 30 mg, yang lebih rendah dibandingkan yang terdapat pada daun. Sedangkan pada kulit batang mengandung tanin, enzim peroksidase, glikosida, dan kalsium oksalat yang membatasi konsumsinya pada ternak-ternak tertentu.

Berdasarkan data statistik Indonesia (Deptan, 2011), luas areal tanaman singkong sekitar 1,3 juta ha. Selain umbi, produksi daun singkong juga cukup besar yaitu 0,92 ton/ ha/ tahun bahan kering. Setiap tahun terdapat lebih dari 1,2 juta ton limbah dari tanaman singkong yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Beberapa jenis tanaman mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik, salah satunya singkong yang mengandung asam sianida. Senyawa ini berbahaya karena jika termakan akan cepat terserap oleh alat pencernaan dan masuk ke aliran darah. Tergantung kadarnya, hidrogen sianida dapat menyebabkan sakit bahkan menimbulkan kematian (Osweiler et al., 1976). Adanya senyawa ini menyebabkan pemakaian singkong secara luas untuk ternak menjadi terbatas (Oluremi dan Nwosu, 2002). Kandungan sianida dalam singkong sangat bervariasi, rata-rata dalam singkong manis kurang dari 50 mg/ kg umbi, sedangkan pada jenis singkong pahit diatas 50 mg/ kg umbi (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Tinggi rendahnya asam sianida yang dihasilkan pada proses hidrolisis glukosida tergantung pada varietas tanaman, genetik tanaman, umur tanaman, tingkat kematangan, dan kesuburan tanah (Cardoso et al., 2005).

(5)

5 Shreve (2002), sianida akan bersifat racun pada level 300-500 ppm bila dimakan ternak.

Waktu panen berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari terhadap tumbuhan. Energi matahari merupakan sumber energi utama bagi makhluk hidup terutama tumbuhan. Tumbuhan dapat melakukan fotosintesis dengan merubah energi dari matahari (cahaya) menjadi gula dengan bantuan air dan CO2. Jika intensitas cahaya rendah maka pertumbuhan akan terhambat. Penghambatan terjadi melalui berkurangnya aktivitas fotosintesis. Pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas, kualitas, lamanya penyinaran (perioditas), dan arah cahaya. Energi cahaya bertanggung jawab terhadap kegiatan fotosintesis dan sejumlah pengikatan nitrogen melalui reaksi kimia (Yana, 2011).

Cahaya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dikarenakan hubungannya dengan proses fotosintesis, pembukaan dan penutupan stomata, respirasi, permeabilitas dinding sel, absorbsi air dan unsur hara, aktivitas enzim, koagulasi protein, dan sintesa klorofil (Yana, 2011). Peranan beda waktu panen memiliki pengaruh terhadap kualitas fisik, pH, dan kandungan WSC (Water Soluble Carbohydrate) pada hijauan (Rijali, 2010).

Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi. Silase merupakan pakan produk fermentasi hijauan dengan kadar air tinggi yang diawetkan dalam kondisi anaerob (McDonald et al., 1991). Bolsen et al. (2000) menjelaskan bahwa silase adalah bahan pakan yang diproduksi melalui proses fermentasi, bahan tersebut berupa tanaman, hijauan, bahkan limbah pertanian yang memiliki kandungan kadar air di atas 50%.

Secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh tingkat kematangan hijauan, kadar air, ukuran partikel bahan, penyimpanan pada saat proses fermentasi, dan pemakaian aditif (Rijali, 2010).

(6)

6 Menurut Coblentz (2003), ada beberapa hal penting untuk memperoleh kondisi silase yang baik yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo, dan menghambat jamur selama penyimpanan.

Proses ensilase secara garis besar terdiri dari empat fase yaitu fase aerob, fermentasi, fase stabil, dan fase pengeluaran untuk diberikan kepada ternak (Sandi et al., 2010). Fase fermentasi terjadi ketika keadaan anaerob dicapai dan mikroorganisme berkembang terutama bakteri asam laktat. Mikroorganisme seperti Clostridia dan Enterobacteria tidak diharapkan karena memberikan pengaruh negatif terhadap proses ensilase. Mikroorganisme ini akan bersaing dengan bakteri asam laktat dalam memfermentasi karbohidrat (Bolsen et al., 2000). Pada fase fermentasi diawali dengan pertumbuhan bakteri asam asetat. Bakteri ini menggunakan karbohidrat terlarut dan menghasilkan asam asetat yang kemudian akan menurunkan pH, dan pertumbuhannya akan terhambat pada pH dibawah 5. Penurunan pH akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah bakteri asam laktat. Bakteri ini akan terhambat pertumbuhannya saat pH dibawah 4 dan berakhir aktivitasnya karena berkurangnya WSC, kemudian ensilase memasuki fase stabil. Pada fase ini, bakteri asam laktat memfermentasi gula yang berasal dari perombakan hemiselulosa dan penurunan pH mulai melambat (Bolsen et al., 2000).

Ensilase merupakan salah satu cara pengawetan daun singkong sebagai pakan ternak dan efektif menurunkan kandungan sianida (HCN) pada ubi kayu setelah tiga bulan ensilase yaitu dari 289 mg/ kg menjadi 20,1 mg/ kg (Kavana et al., 2005).

Pengamatan fisik silase seperti warna, bau, dan penampakan lainnya hanya menggambarkan nilai nutrisi secara umum (Macaulay, 2004). Pengukuran bahan kering, pH, kandungan protein, amonia, asam organik, kadar gula, serta jumlah mikrobial merupakan parameter yang umum dijadikan untuk menggambarkan kualitas fermentatif silase (Macaulay, 2004). Kualitas fisik meliputi warna, bau atau aroma, tekstur, kelembaban, dan keberadaan jamur.

(7)

7 akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan. Penentuan kualitas suatu fermentasi juga dapat ditentukan melalui bau. Pada fermentasi asam laktat hampir tidak mengeluarkan bau, sementara fermentasi asam propionat menimbulkan aroma wangi yang menyengat, sedangkan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau busuk (Saun dan Heinrichs, 2008).

Sementara Kung dan Nylon (2001) menyatakan bahwa pH adalah salah satu faktor penentu keberhasilan fermentasi. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Macaulay (2004), kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kriteria berdasarkan pH yaitu baik sekali dengan pH 3,2-4,2, baik pH 4,2-4,5, sedang pH 4,5-4,8, dan buruk pH >4,8. Salah satu tujuan ensilase adalah meminimalisasi aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh aktivitas enzim tanaman atau mikroorganisme lain terutama jenis Clostridium. Sejumlah komponen NPN meningkat dengan adanya aktivitas proteolisis. Akibatnya pH silase meningkat dan beberapa komponen NPN seperti amin dapat menurunkan konsumsi pakan (Saun dan Heinrichs, 2008).

Tabel 2. Kriteria Kualitas Silase

Kriteria Baik Sekali Baik Sedang Buruk

Warna Hijau tua Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan Tidak hijau Cendawan Tidak ada Sedikit Lebih banyak Banyak

Bau Asam Asam Kurang asam Busuk

pH 3,2-4,2 4,2-4,5 4,5-4,8 >4,8

N-NH3 <10% total N 10-15% total N >20% total N >20% total N

(Wilkins, 1988)

Amonia (NH3) merupakan indikator kualitas silase yang menunjukkan kerusakan silase. Kandungan amonia silase menunjukkan perombakan protein pakan. Kadar amonia silase berasal dari perombakan oleh Enterobakteria selama proses ensilase yang berkompetisi dengan bakteri asam laktat dalam menggunakan WSC sehingga terjadinya degradasi protein. Selain itu, kadar NH3 dalam rumen dapat digunakan sebagai indikator fermentabilitas protein pakan. Kadar N-NH3 yang normal pada silase yaitu kurang dari 10% (Saun dan Heinrichs, 2008).

(8)

8 protein mikroba. Besarnya protein yang didegradasi dalam rumen dapat mencapai 70%-80% dan besarnya protein yang sulit dicerna sekitar 30%-40%. Jika terjadi degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba maka amonia terakumulasi dan tinggi kadarnya. Amonia optimum dalam rumen berkisar 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Sedangkan menurut Satter dan Slyter (1974), konsentrasi amonia cairan rumen yang optimal untuk aktifitas mikroba rumen adalah 3,57-15 mM. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan kadar NH3.

!" #

Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan senyawa yang diproduksi bila pakan atau ransum mengalami fermentasi. VFA diproduksi dari hasil fermentasi karbohidrat dan protein (Mathius et al., 1984). Proses pencernaan karbohidrat pada ensilase atau pada saat pakan berada di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan energi berupa VFA antara lain yang utama asetat, propionat, dan butirat dari proses fermentasi protein berupa asam lemak rantai cabang (asam isobutirat, asam valerat, dan asam isovalerat).

(9)

9

$ % $ &

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Singkong Villa Indah Mustika Ratu Ciawi-Bogor untuk penanaman tanaman singkong, sedangkan pembuatan silase dan pengujian kualitas silase dilakukan di Laboratorium Nutrisi Perah, Fakultas Peternakan, IPB. Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan (Juni 2011-Februari 2012).

$

Materi yang digunakan adalah cairan rumen sapi, tanaman singkong utuh (seluruh bagian pohon baik daun, batang, dan umbi) dengan umur panen berbeda yaitu 7, 8, dan 9 bulan, serta silase ransum komplit. Silase ransum komplit yang digunakan tersusun dari beberapa bahan pakan. Penyusunan silase ransum komplit disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi sapi perah masa laktasi awal yang terdiri dari rumput lapang 50,00%, onggok 15,00%, jagung 7,07%, bungkil kelapa 15,73%, bungkil kedelai 10,49%, DCP 1,24%, dan CaCO3 sebanyak 0,47%.

' ( ( ' '

Lahan yang digunakan dalam penanaman singkong yaitu jenis tanah podsolik coklat, dengan cara tanam tanpa pemupukan. Luas jarak tanam antar pohon singkong yaitu sekitar 1 meter dalam luas lahan 1 hektar. Pengamatan lahan dan lingkungan dilakukan sebelum pemanenan pohon singkong.

Pohon singkong yang akan dijadikan silase, dipilih secara acak (representatif) dalam satu kebun singkong. Tanaman singkong dipanen dengan cara mencabut batangnya dan umbi yang tertinggal diambil dengan cangkul. Pada pengambilan berikutnya (satu bulan kemudian), tetap dilakukan di kebun yang sama dan dengan teknik yang sama.

) ' ' *

(10)

10 Bagian umbi dikupas dan dibersihkan terutama, agar tidak ada tanah yang melekat pada kulit luar umbi singkong. Limbah dari singkongpun tidak dibuang melainkan digunakan juga dalam pembuatan silase. Semua bagian pohon singkong tetap digunakan dalam perlakuan. Setiap bagian singkong kemudian dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil sekitar 1-2 cm dengan menggunakan alat manual. Setelah dipotong-potong, tiap bagian singkong ditimbang lalu dicampurkan hingga homogen. Diambil 2 kg dari campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam plastik. Setelah itu hasil campuran singkong ditutup rapat hingga tidak ada udara luar yang masuk. Lalu didiamkan hingga terjadi proses fermentasi selama lima minggu pada suhu ruang secara anaerob.

)

Pengamatan kondisi awal bahan meliputi proporsi botani, yang diukur dengan membandingkan bobot per bagian tanaman dengan bobot total tanaman.

' # + '

Sebanyak 1 kg bahan segar tanaman singkong yang sudah dicampur dari keseluruhan tanaman sebagai berat segar (a), dikeringkan menggunakan oven 60 oC selama 2 hari kemudian ditimbang kembali (b). Setelah itu, sampel digiling hingga halus. Kemudian sampel ditimbang sebanyak 2-3 g (c) dan dimasukkan kedalam oven 105 oC sampai berat konstan. Setelah kering silase ditimbang sebagai berat akhir (d). BK (%) dihitung menggunakan rumus:

100%

(11)

11 ditambahkan ke dalam labu, dipanaskan di atas hot plate hingga warna menjadi bening. Kemudian dilakukan destilasi dengan metode makro kjeldahl dengan cara NaOH kristal disiapkan sebanyak 0,6 g, lalu aquadest 100 ml diencerkan. Asam borat disiapkan dengan dilakukan pengenceran boric acid sebanyak 0,6 g dan aquadest 30 ml. Setelah destilasi dilakukan titrasi dengan larutan HCl 0,0119 N.

,# + '

Prosedur pengukuran kadar WSC yang digunakan yaitu Metode Fenol (Singleton dan Rossi, 1965). Sebanyak 2 g sampel bahan awal yang sudah dikeringkan, dihaluskan, lalu ditambahkan aquadest yang telah dipanaskan sebanyak 10 ml. Kemudian disaring untuk memisahkan cairan dan padatan sampel. Cairan sampel diambil sebanyak 2 ml dan dimasukan kedalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan fenol. Dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Larutan asam sulfat ditambahkan secepatnya sebanyak 2,5 ml dan divortex, kemudian absorban diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm.

, # + '

Prosedur pengukuran kadar sianida digunakan metode APHA (1985), diawali dengan sampel sebanyak 0,1 ml diambil menggunakan spoit dari tabung perlakuan, lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1,9 ml aquadest. Kemudian dimasukkan ke dalamnya 2 ml buffer CN dan 0,5 ml Chloramin T 1%. Larutan divortex dan didiamkan selama 2 menit setelah ditambahkan 0,5 ml larutan asam barbiturate-piridin, kemudian divortex kembali dan siap dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 578 nm.

! " # $ % &

"

(12)

12 dengan meraba tekstur yang dihasilkan (halus, sedang, atau kasar) dan kelembabannya (kering, sedang, atau basah). Kemudian dengan indera penciuman dilakukan penilaian aroma silase (asam seperti susu basi atau bau busuk).

"

-) . Pengukuran dilakukan dengan silase yang baru dibuka ditimbang sebanyak 10 g dan dicampur dengan 100 ml aquadest kemudian dimasukkan ke dalam erlenmayer lalu dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirer selama 5-10 menit. Setelah aquadest dan silase tercampur, disaring untuk mendapatkan supernatannya. Kemudian diukur pH supernatan tersebut dengan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi pada larutan ber pH 4 dan 7.

' # . Silase yang telah difermentasi selama 35 hari dikeluarkan dari plastik dan ditimbang sebagai berat awal (a), kemudian dikeringkan menggunakan oven 60 ⁰C selama 2 hari, lalu ditimbang kembali (b). Setelah itu, sampel digiling hingga halus. Kemudian sampel ditimbang sebanyak 2-3 g (c) dan dimasukkan kedalam oven 105⁰C sampai berat konstan. Setelah kering silase ditimbang sebagai berat akhir (d). BK (%) dihitung menggunakan rumus:

100% digunakan metode Destilasi Uap/ Steam Destilation (General Laboratory Procedure,

1966). Supernatan yang telah disiapkan menggunakan prosedur yang sama dengan

penggukuran pH, sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam tabung destilasi, lalu segera

ditambahkan dengan 1 ml H2SO4 15% dan ditutup dengan tutup karet yang mempunyai lubang dan dapat dihubungkan dengan labu pendingin. Tabung destilasi dimasukkan ke dalam labu penyulingan yang berisi air mendidih. Uap air panas akan

(13)

13 pendingin. Air yang terbentuk ditampung dalam labu erlenmeyer yang berisi 5 ml

NaOH 0,5 N hingga sampel menjadi 250 ml, kemudian ditambahkan dengan

indikator PP (Phenol Pthaline) sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N

sampai warna titrat berubah dari merah jambu menjadi tidak berwarna. Produksi

VFA total dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(

)

Keterangan : a = volume titran blanko (ml), b = volume titran sampel (ml)

' ' # ' . Kehilangan bahan kering

dihitung dengan membandingkan berat kering bahan setelah ensilase dengan bahan

kering awal. dimasukkan ke dalam labu kjeldahl, lalu ditambahkan sedikit selenium mixture pada

ujung sudip. Sebanyak 20 ml asam sulfat ditambahkan ke dalam labu, dipanaskan di

atas hot plate hingga warna menjadi bening. Kemudian dilakukan destilasi dengan

metode makro kjeldahl dengan cara NaOH kristal disiapkan sebanyak 0,6 g, aquadest

100 ml lalu diencerkan. Asam borat disiapkan dengan dilakukan pengenceran boric

acid sebanyak 0,6 g dan aquadest 30 ml. Setelah destilasi dilakukan titrasi dengan

Na2CO3 diletakkan pada sisi yang bersebelahan dengan sampel. Sebanyak 1 ml asam borat berindikator ditempatkan di bagian tengah cawan Conway, lalu ditutup rapat.

(14)

14 rata. Didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar dan setelah 24 jam asam borat

berindikator dititrasi menggunakan H2SO4 sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah. Kadar NH3 dihitung dengan rumus:

sample

' #. Kehilangan PK dihitung dari banyaknya protein

yang dirombak menjadi NH3 dibandingkan dengan berat PK awal bahan.

silase yang sudah dikeringkan dan dihaluskan, ditambahkan aquadest yang telah

dipanaskan sebanyak 10 ml. Kemudian disaring untuk memisahkan cairan dan

padatan sampel. Cairan sampel diambil sebanyak 2 ml dan dimasukan kedalam

tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan fenol. Dihomogenkan dengan

menggunakan vortex. Larutan asam sulfat ditambahkan secepatnya sebanyak 2,5 ml

dan divortex, kemudian absorban diukur menggunakan spektrofotometer dengan

panjang gelombang 490 nm. sianida digunakan metode APHA (1985), diawali dengan sampel silase sebanyak 0,1

ml diambil menggunakan spoit dari tabung perlakuan, lalu dimasukkan kedalam

tabung reaksi dan ditambahkan 1,9 ml aquadest. Kemudian dimasukkan ke dalamnya

2 ml buffer CN dan 0,5 ml Chloramin T 1%. Larutan divortex dan didiamkan selama

2 menit setelah ditambahkan 0,5 ml larutan asam barbiturate-piridin, kemudian

divortex kembali dan siap dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang

578 nm.

(15)

15 ' . Perhitungan nilai fleigh berdasarkan rumus (Indikut et al., 2009), yaitu NF = 220 + (2 x BK (%) – 15) - (40 x pH)

/ !" % . Prosedur pengukuran NH3 (Conway, 1957) dan VFA dengan teknik destilasi uap (General Laboratory Prosedure, 1966) rumen

sama dengan pengukuran NH3 dan VFA silase, hanya berbeda dalam prosedur pembuatan sampel (supernatan saat in vitro). Sebanyak 0,5 g silase yang sudah

dikeringkan dan digiling, dimasukkan ke dalam tabung fermentor bervolume 50 ml,

kemudian ditambahkan 40 ml larutan buffer McDougall dan 10 ml cairan rumen lalu

diaduk dengan gas CO2 selama 30 detik dan ditutup rapat dengan prop karet yang berventilasi, kemudian diinkubasi selama 6 jam dalam shaker water bath dengan

suhu 39 ⁰C. Setelah inkubasi, ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh ke dalam tabung fermentor, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit.

Kemudian diambil supernatannya.

, , &. Pengukuran KCBK dan KCBO mengikuti

metode Tilley dan Terry (1963) sebagai berikut:

1) Pencernaan Fermentatif

Sebanyak 0,5 g sampel pakan dimasukkan kedalam tabung fermentor,

ditambahkan 10 ml larutan buffer McDougall dan 40 ml cairan rumen, diaduk

dengan gas CO2 selama 30 detik dan ditutup rapat. Tabung fermentor ditempatkan pada suhu 39⁰C dan fermentasi dibiarkan berlangsung selama 48

jam. Setiap 6 jam, tabung diaduk dengan gas CO2. 2) Pencernaan Hidrolisis

Setelah diinkubasi selama 48 jam, ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh. Lalu disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dan supernatannya

dibuang, ke dalam tabung ditambahkan 50 ml larutan pepsin HCl 0,2%.

Pencernaan enzimatis berlangsung aerob selama 48 jam. Hasil pencernaan

hidrolisis (residu) disaring menggunakan kertas Whatman No. 41 yang dibantu dengan pompa vakum. Kemudian residu tersebut dimasukkan ke dalam cawan

(16)

16 menentukan BK residu. Selanjutnya residu BK dimasukkan ke dalam tanur

selama 6 jam. Kemudian KCBK dan KCBO dihitung berdasarkan rumus:

%

penggunaan ransum komplit sebagai kontrol. Perlakuan pada penelitian ini adalah

sebagai berikut:

SRK : silase ransum komplit

SSU7 : silase singkong utuh berumur 7 bulan

SSU8 : silase singkong utuh berumur 8 bulan

SSU9 : silase singkong utuh berumur 9 bulan

% 0 0 *

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan

Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan 3 kali ulangan untuk karakteristik

fermentatif silase dan Rancangan Acak Kelompok untuk karakteristik utilitas silase.

jika terdapat beda nyata, menggunakan uji lanjut ortogonal. Model matematik yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

Rancangan Acak Lengkap : Yij = µ + τj + εij Rancangan Acak Kelompok : Yij = µ + τi + ßj + εij Keterangan :

Yij = Hasil pengamatan pengaruh perlakuan ke-i ulangan ke-j

µ = Rataan umum

τj = Efek utama perlakuan ke-i ßj = Efek kelompok ke-j

(17)

17 * '

Peubah yang diamati dalam penelitian ini yaitu:

1) Karakteristik awal bahan meliputi proporsi bagian tanaman, kandungan bahan

kering, PK, WSC, dan HCN.

2) Kualitas silase diukur berdasarkan karakteristik fisik, fermentatif silase, dan

utilitas pada ternak secara in vitro.

a) Karakteristik fisik silase meliputi warna, aroma, tekstur, kelembaban, dan

keberadaan jamur (spoilage).

b) Karakteristik fermentatif silase, yang meliputi pH, BK, VFA, perombakan

BK, perombakan protein, NH3, kandungan asam sianida, Water soluble Carbohydrate (WSC), dan Nilai Fleigh.

c) Karakteristik utilitas meliputi fermentabilitas (fermentabilitas bahan

(18)

18 $

+ '

Proses ensilase atau fermentasi akan menyebabkan perubahan nutrisi. Kondisi

bahan setelah ensilase baik secara fisik maupun nutrisi, terlihat pada Tabel 4. Pada

Tabel 3, memperlihatkan proporsi tanaman singkong pada berbagai umur panen.

Semakin tua umur tanaman proporsi daun semakin menurun dan proporsi umbi

semakin meningkat. Sedangkan persentase kandungan protein kasar, asam sianida,

dan WSC tanaman singkong utuh mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Surono et al. (2006) yang menyatakan bahwa semakin tua tanaman, WSC

semakin menurun.

Tabel 3. Kondisi Awal Bahan

Perlakuan Proporsi Botani (%) BK (%)

PK

(%)

WSC

(%)

HCN

(ppm) Batang Daun Umbi

SRK - - - 45,29 20,83 13,88 12,95

SSU 7 35,82 19,94 44,24 28,14 7,87 18,82 3792,34

SSU 8 35,66 12,99 51,35 34,50 6,98 16,37 2102,61

SSU 9 34,96 12,09 52,95 35,18 5,71 11,56 911,95

Keterangan: SRK: silase ransum komplit, SSU7: silase singkong utuh umur 7 bulan, SSU8: silase singkong utuh umur 8 bulan, dan SSU9: silase singkong utuh umur 9 bulan.

Berdasarkan persentase BK awal bahan, tanaman singkong sejak umur 7

bulan sudah cocok untuk digunakan pada pembuatan silase. Dimana untuk

pembuatan silase yang baik membutuhan kadar BK 28%-35% (Bolsen, 2000),

sedangkan menurut Parakkasi (1999) adalah 30%-40%. Berdasarkan persentase

bahan kering pada masing-masing perlakuan silase singkong utuh, SSU9 merupakan

silase yang memiliki kandungan bahan kering sebesar 35,18%, sedangkan SSU8

memiliki persentase bahan kering 34,50%, SSU7 sebesar 28,14% dan SRK memiliki

kandungan bahan kering tertinggi yaitu 45,29%. Tingginya persentase bahan kering

pada SSU8 dan SSU9 diperkirakan adanya kandungan umbi yang lebih tinggi dan

persentase daun yang lebih rendah dari perlakuan lain yaitu SSU7. Menurut Sandi et

al. (2010), kandungan bahan kering pada masing-masing bagian singkong pada

(19)

19 adalah daun sebesar 30,14%. Sehingga pada perlakuan SSU8 dan SSU9 merupakan

perlakuan yang memiliki persentase bahan kering tertinggi.

Persentase produksi biomassa dari masing-masing bagian tanaman singkong

dengan beda umur panen menunjukkan bahwa semakin tua tanaman produksi umbi

semakin meningkat sedangkan daun dan batang menurun.

Berdasarkan kandungan protein kasar (Tabel 3), kandungan PK awal bahan

pada masing-masing perlakuan singkong dengan umur panen berbeda ≤7,87% dan

masih jauh dibawah potein kasar ransum komplit. Namun singkong dengan umur

termuda memiliki nilai protein yang tinggi dari perlakuan singkong lainnya.

Kandungan protein tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan ternak sehingga perlu

upaya untuk meningkatkan kualitas protein bahan.

Kandungan WSC awal bahan memperlihatkan kandungan substrat yang

cukup untuk fermentasi. Untuk menghasilkan silase yang baik dibutuhkan WSC bahan >10% BK (Parakkasi, 1999). Pada Tabel 1, menunjukkan kadar HCN awal

bahan yang cukup tinggi, melebihi ambang batas aman yaitu 500 ppm seperti yang

disampaikan oleh Sandi et al. (2010). Sehingga tidak dapat diberikan langsung ke

ternak, perlu pengolahan terlebih dahulu salah satunya dengan teknologi silase yang

diharapkan dapat mengurangi kandungan sianida hingga batas aman untuk

dikonsumsi ternak (Sandi et al., 2010).

"

Karakteristik fisik silase didasarkan atas pengamatan perubahan warna, bau

atau aroma, keberadaan jamur, tekstur, dan kelembaban silase. Pada Tabel 4,

menunjukkan karakteristik fisik silase. Berdasarkan karakteristik warna, silase

mengalami perubahan warna yang berbeda-beda, mulai dari sedikit perubahan warna

hingga banyak mengalami perubahan warna. Perlakuan SRK menunjukkan adanya

perubahan warna hijau setelah difermentasi selama lima minggu. Perlakuan SSU7

menjadi hijau tua, SSU8 mengalami perubahan warna silase menjadi hijau gelap

melebihi warna hijau pada SSU7 dan SSU9 mendekati warna SSU7, terlihat pada

Gambar 1.

Perubahan warna pada silase perlakuan dapat disebabkan oleh adanya

pengaruh suhu selama proses ensilase, seperti yang dinyatakan oleh Gonzalez et al.

(20)

20

SRK SSU7

SSU 8 SSU 9

Gambar 1. Silase Singkong dengan Umur Panen Berbeda

perubahan warna silase, sebagai akibat dari terjadinya reaksi Maillard yang

menghasilkan warna kecoklatan. Reaksi Maillard adalah reaksi kimia yang terjadi

antara asam amino dan gula tereduksi, biasanya pada suhu yang tinggi, dan reaksi

non enzimatik ini menghasilkan pewarnaan coklat (browning). Perubahan warna

dapat pula dipengaruhi oleh jenis bahan baku silase. Silase yang baik akan berwarna

normal, artinya tidak terjadi banyak perubahan dari warna sebelum ensilase (Saun

dan Heinrich, 2008). Silase yang baik memiliki warna yang tidak jauh berbeda

dengan warna bahan bakunya, memiliki pH rendah dan beraroma asam (Abdelhadi et

al., 2005), bertekstur lembut, tidak berjamur, dan tidak berlendir (Ridla et al., 2007).

Tabel 4. Karakteristik Fisik Silase Singkong Utuh dan Silase Ransum Komplit

Perlakuan Warna Bau Jamur Tekstur Kelembaban

SRK Hijau Asam, yogurt 1,16% Cukup halus Sedang

SSU7 Hijau tua Asam, yogurt tidak ada Cukup halus Sedang

SSU8 Hijau gelap Asam, yogurt tidak ada Cukup halus Basah

SSU9 Hijau tua Asam, yogurt tidak ada Cukup halus Sedang

(21)

21 Berdasarkan karakteristik bau, setiap perlakuan menunjukkan bau khas silase

seperti susu fermentasi atau tape. Hal ini menunjukkan sifat fisik silase yang baik.

Hasil ini didukung oleh Saun dan Heinrichs (2008), yang menyatakan bahwa silase

yang baik akan mempunyai bau seperti susu fermentasi karena mengandung asam

laktat, bukan bau yang menyengat. Jika produksi asam asetat tinggi maka akan

berbau cuka. Kandungan etanol tinggi yang berasal dari fermentasi jamur akan

menimbulkan bau alkohol, sementara fermentasi asam propionat akan menimbulkan

bau wangi yang tajam. Sedangkan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau

seperti mentega tengik, dan silase yang mengalami kerusakan panas akan berbau

karamel dan tembakau.

Berdasarkan tekstur, secara umum semua perlakuan menunjukkan silase

dengan kualitas yang baik mulai dari sedikit lembut atau halus hingga sedikit kasar,

hal ini sesuai dengan yang direkomendasikan Macaulay (2004), bahwa silase dengan kualitas baik akan memperlihatkan tekstur yang kompak, materi yang lembut, dan

komponen seratnya tidak mudah dipisahkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tekstur

silase dipengaruhi oleh kadar air bahan pada awal ensilase, silase dengan kadar air

yang tinggi (>80%) akan memperlihatkan tekstur yang berlendir, lunak, dan

berjamur, sedangkan silase berkadar air rendah (<30%) akan mempunyai tekstur

yang kering, mudah disobek, dan ditumbuhi jamur.

Tingkat kerusakan pada permukaan silase merupakan salah satu masalah

yang sering terjadi pada proses silase. Idealnya silase yang baik akan mempunyai

permukaan yang lembut dan tidak berjamur. Teksur yang dihasilkan silase perlakuan

tergolong “sedang” tidak kasar namun tidak begitu lembut. Sedangkan berdasarkan

kelembaban SSU8 memiliki kelembaban yang cukup tinggi (lembab) berbeda dengan

silase lainnya yang memiliki kelembaban sedang atau cukup lembab.

Keberadaan jamur pada silase ditentukan persentasenya berdasarkan bobot

sampel yang terdapat jamur dan dibandingkan dengan bobot keseluruhan.

Keberadaan jamur hanya terdapat pada silase ransum komplit. Keberadaan jamur

pada permukaan silo silase ransum komplit ini sebesar 1,16%. Persentase jamur yang

didapatkan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Lendrawati

(2008), dimana pada penelitian tersebut terdapat jamur pada permukaan silo silase

(22)

22 ransum komplit perlakuan diperkirakan karena adanya sejumlah oksigen yang masuk

selama proses fermentasi. Sandi et al. (2010) menyatakan tumbuhnya jamur dalam

proses fermentasi disebabkan BK awal bahan yang tinggi (>40%), mengakibatkan

pemadatan kurang sempurna sehingga terdapat oksigen dalam silo. Sehingga peluang

untuk pertumbuhan jamur lebih tinggi.

"

-Hasil pengamatan karakteristik fermentatif silase diperlihatkan pada Tabel 3.

Ada beberapa parameter yang diamati antara lain: pH, kandungan bahan kering,

perombakan BK, VFA (Volatile Fatty Acid), kandungan protein kasar, perombakan

protein, NH3, WSC, WSC yang terpakai, HCN, dan Nilai Fleigh.

) ,

Berdasarkan hasil fermentasi lima minggu didapatkan hasil pH silase 4,53

untuk silase ransum komplit, pH SSU7 sebesar 4,21, SSU8 sebesar 4,29, dan SSU9

memiliki pH 4,54, terlihat pada Gambar 2.

pH silase yang dihasilkan dapat dikategorikan baik dan baik sekali. Wilkins

(1988) menyatakan bahwa kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kategori,

yaitu baik sekali (pH 3,2-4,2), baik (pH 4,2-4,5), sedang (pH 4,5-4,8), dan buruk (pH

>4,8). Sehingga secara karakteristik fisik pH silase dapat dikatakan baik sekali untuk silase singkong utuh berumur panen 7 dan 8 bulan namun silase ransum komplit dan

silase singkong utuh umur panen 9 bulan dikatakan baik.

Berdasarkan sidik ragam, umur tanaman mempengaruhi nilai pH silase.

Kualitas silase singkong utuh dengan umur panen 7 dan 8 bulan memiliki kualitas 4,53b

4,21a

4,29a 4,54b

3.80 4.00 4.20 4.40 4.60 4.80

SRK SSU7 SSU8 SSU9

pH

Perlakuan

(23)

23 yang lebih baik dari silase ransum komplit, sedangkan silase singkong utuh umur 9

bulan memiliki kualitas yang sama dengan silase ransum komplit berdasarkan nilai

pH. Kung dan Nylon (2001) menyatakan bahwa pH silase berhubungan dengan

produksi asam pada proses ensilase, pH yang rendah mencerminkan produksi asam

laktat yang tinggi. Nilai pH SSU9 dan SRK yang lebih tinggi dari SSU7 dan SSU8

kemungkinan disebabkan berbedanya kandungan Water Soluble Carbohydrate

(WSC) awal bahan. WSC awal bahan SSU9 dan SRK yang lebih rendah dari SSU7

dan SSU8 menunjukkan bahwa ketersediaan gula untuk aktivitas mikroba lebih

sedikit sehingga produksi asam yang dihasilkan sedikit, hal ini yang menyebabkan

penurunan pH SSU9 dan SRK lambat.

Water Soluble Carbohydrate (WSC) merupakan substrat primer bakteri penghasil asam laktat untuk menurunkan pH pada silase. Jika kandungan WSC yang

rendah pada bahan, maka ensilase tidak akan berjalan baik karena produksi asam laktat atau asam organik akan terganggu (Jones et al., 2004). Terbentuknya asam

laktat pada proses silase ini mempercepat penurunan pH. WSC tanaman umumnya

dipengaruhi oleh spesies, fase pertumbuhan, budidaya, iklim, umur, dan waktu panen

tanaman (Downing et al., 2008).

Kadar WSC yang dihasilkan silase singkong utuh pada masing-masing

perlakuan terlihat pada Gambar 3, yaitu SRK sebesar 13,27%, SSU7 sebesar 6,30%,

SSU8 sebesar 12,29%, dan SSU9 sebesar 5,44%. Berdasarkan uji sidik ragam,

terdapat perbedaan yang signifikan (P<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa beda

umur tanaman dalam pembuatan silase mempengaruhi kandungan total gula terlarut

silase. Adanya perbedaan kandungan WSC antar perlakuan menunjukkan adanya

perbedaan kandungan WSC awal bahan dan aktivitas mikroba dalam penggunaan

WSC. Pada SRK kandungan WSC silase tersisa paling banyak. Hal tersebut

menunjukkan bahwa aktivitas mikroba dalam memfermentasi gula bahan rendah.

Begitu juga dengan perlakuan SSU8. Lain halnya dengan SSU7 dan SSU9 memiliki

WSC silase yang rendah. Jika dibandingkan dengan kondisi WSC awal bahan, maka

dapat dihitung persentase unit WSC yang dirombak pada saat ensilase.

Adanya perubahan kadar WSC setelah ensilase menunjukkan adanya

penggunaan gula sebagai sumber energi oleh bakteri selama proses ensilase dalam

(24)

24 bahan dengan WSC silase bernilai persentase 0,61% pada SRK, SSU7 12,52%,

SSU8 4,08%, dan SSU9 6,12%. Penurunan tertinggi terdapat pada SSU7 dan

terendah pada SRK. Hal ini disebabkan tingginya aktivitas bakteri pada SSU7 dan

rendahnya aktivitas bakteri pada SRK. Terlihat pada nilai pH silase yaitu pH SRK

sebesar 4,53 dan SSU7 memiliki pH terendah sebesar 4,21.

Gambar 3. Kadar WSC Silase dan Penggunaan WSC Silase. Tidak adanya error bar pada kandungan WSC terpakai dikarenakan hanya memiliki satu ulangan.

( * !"

Berdasarkan Tabel 5, umur tanaman yang berbeda berpengaruh nyata pada

besarnya nilai bahan kering (BK) yang dihasilkan (P<0,05). Nilai BK yang diperoleh

pada perlakuan SRK sebesar 43,30%, SSU7 sebesar 26,31%, SSU8 sebesar 32,56%,

dan SSU9 sebesar 32,70%. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kadar bahan

kering antar perlakuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kandungan BK awal bahan.

Berdasarkan sidik ragam perombakan BK tidak dipengaruhi oleh perlakuan,

rata-rata perombakan BK cukup rendah <11%. Persentase perombakan tersebut

masih dalam batas wajar, menurut Sumarsih dan Waluyo (2002) kehilangan BK yang

baik selama ensilase yaitu sebesar <16,1%.

Volatile fatty acid (VFA) atau asam-asam lemak terbang merupakan hasil proses fermentasi bahan organik meliputi asam laktat, asetat, butirat, sitrat, oksalat,

malat, dan propionat yang dilakukan oleh mikroorganisme baik pada proses ensilase

(Safarina, 2009). Banyaknya VFA pada silase menggambarkan perombakan bahan

organik (Orskov dan Ryle, 1990). Berdasarkan uji sidik ragam umur panen singkong

(25)

25 berbagai umur panen yaitu sebesar 58,02 mM pada SSU7, 17,06 mM pada SSU8,

51,19 mM pada SSU9, dan 15,36 mM pada SRK.

Tabel 5. Kandungan BK, Perombakan BK dan VFA Silase

Perlakuan BK (%) Perombakan BK (%) VFA (mM)

SRK 43,30 ± 2,34a 10,88 ± 3,48 5,36 ± 5,12b

SSU 7 26,31 ± 0,46c 9,75 ± 2,01 58,02 ± 11,82a

SSU 8 32,56 ± 0,31b 10,96 ± 1,18 17,06 ± 5,91b

SSU 9 32,70 ± 1,07b 9,32 ± 2,68 51,19 ± 10,24a

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05). SRK: silase ransum komplit, SSU7: silase singkong utuh umur 7 bulan, SSU8: silase singkong utuh umur 8 bulan, dan SSU9: silase singkong utuh umur 9 bulan.

Tingginya kandungan VFA pada SSU7 dan SSU9 disebabkan lebih

banyaknya pembentukan asam hasil fermentasi sekunder dibandingkan pembentukan

asam laktat yang merupakan hasil fermentasi primer. Menurut Chamberlain dan

Wilkinson (1996), VFA yang terdiri atas asam asetat, asam propionat, asam butirat

atau asam lainnya merupakan refleksi dari fermentasi yang tidak efisien yaitu

terjadinya fermentasi sekunder, karena kondisi tersebut asam laktat yang dikonversi

menjadi asam butirat, kemudian asam amino didegradasi menjadi amonia, serta

produksi asam asetat dari rantai karbon asam amino. Hal ini yang menyebabkan

selain VFA juga diproduksi amonia dari hasil proses ensilase.

( / *

Kadar protein setelah ensilase menunjukkan nilai yang berbeda antar

perlakuan, dimana SSU8 dan SSU9 lebih rendah dari SSU7 dan SRK terlihat pada

Tabel 6. Perbedaan tersebut sebagian disebabkan oleh kandungan PK awal bahan.

Kehilangan bahan kering yang lebih besar dari kehilangan protein selama ensilase

juga dapat menjadi penyebab permasalahan tersebut. Adanya nilai protein kasar

silase yang rendah disebabkan aktivitas mikroba untuk mendegradasi protein yang

tinggi, jika dibandingkan dengan mikroba pendegradsai VFA, terlihat pada Tabel 6.

Pada silase singkong utuh dengan adanya peningkatan umur tanaman

menunjukkan adanya penurunan kadar protein kasar baik setelah dan sebelum

ensilase. Syarifuddin (2008) menyatakan bahwa semakin tua tanaman kandungan

(26)

26 gizinya, makin tua umur tanaman pada saat pemotongan, makin berkurang kadar

proteinnya.

Kandungan protein kasar menurun seiring dengan meningkatnya umur

disebabkan oleh semakin tua tanaman proporsi daun dari pada batang semakin kecil,

sehingga rasio antara daun dan batang semakin menurun (Minson, 1990), sesuai

dengan kandungan protein kasar pada silase perlakuan. Kandungan protein daun

lebih tinggi dari pada kandungan protein batang (Syamsuddin, 1997). Hasil

penelitian Ravindran (1991) menunjukkan bahwa daun singkong mempunyai

kandungan protein yang tinggi yaitu berkisar antara 16,7%-39,9% bahan kering dan

hampir 85% dari fraksi protein kasar merupakan protein murni.

Protein dipecah menjadi amonia, asam amino, amida, dan air. Produksi cairan

atau effluent akan membawa zat-zat gizi yang terlarut di dalamnya mengandung gula,

senyawa nitrogen terlarut, mineral, dan asam organik (Reksohadiprodjo, 1988). Nitrogen yang terkandung dalam silase sebagian besar akan menguap dan terlarut,

sehingga kandungan protein kasar setelah ensilase lebih rendah dibanding sebelum

ensilase.

Konsentrasi NH3 silase menunjukkan banyaknya nilai protein kasar bahan yang dirombak. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kandungan NH3 perlakuan SRK dan SSU8 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan SSU7 dan SSU9. Namun jika

dibandingkan dengan kandungan PK awal bahan maka persentase perombakan pada

perlakuan SSU8 lebih besar dari SSU7, SSU9, dan SRK.

Pembentukan amonia pada proses ensilase disebabkan adanya pengaruh

aktivitas mikroba dan pH selama proses ensilase. Chamberlain dan Wilkoinson

(1996) menyatakan bahwa apabila asam yang dihasilkan selama ensilase tidak cukup

untuk menurunkan pH hingga <4,5, maka akan terjadi fermentasi sekunder.

Adesogan et al. (2004) menambahkan bahwa bakteri Clostridia mempunyai peranan

yang paling dominan terhadap terjadinya fermentasi sekunder dan selama fermentasi

ini asam laktat dikonversi menjadi asam butirat, atau degradasi protein, peptide dan

asam amino menjadi amina dan amonia. Terlihat pada Gambar 2, pH SRK dan SSU9

>4,5 yang memungkinkan adanya pembentukan amonia lebih tinggi dibandingkan

(27)

27 Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan

dengan kenaikan kadar NH3. Protein pakan pada proses ensilase akan dipecah menjadi peptida dan asam amino kemudian diurai menjadi amonia. Pada Tabel 6,

terlihat bahwa perombakan protein menjadi amonia pada silase perlakuan yaitu

<14,3%. Perlakuan SSU8 lebih tinggi perombakan proteinnya dibandingkan SSU7,

SSU9, dan SRK namun masih berada dalam kisaran normal. Sumarsih dan Waluyo

(2002) menjelaskan bahwa kehilangan bahan nitrogen selama ensilase hijauan yang

normal yaitu 15,2%. Hal tersebut juga didukung oleh data amonia yang cukup rendah

terutama SSU7 dan SSU9 yaitu <2,5 mM, sedangkan SRK dan SSU8 yang berkisar

4,3 mM.

Tabel 6. Kandungan PK, Perombakan PK dan NH3

Perlakuan PK (%) Perombakan PK (%) NH3 (mM)

SRK 20,53 ± 5,24a 3,94 ± 1,05a 4,30 ± 0,21a

SSU 7 7,36 ± 0,42b 8,54 ± 1,93c 2,22 ± 0,39b

SSU 8 6,91 ± 0,80b 14,21 ± 2,44d 4,23 ± 0,30a

SSU 9 5,99 ± 0,77b 7,31 ± 0,89b 2,08 ± 0,45b

Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (P<0,05). SRK: silase ransum komplit, SSU7: silase singkong utuh umur 7 bulan, SSU8: silase singkong utuh umur 8 bulan, dan SSU9: silase singkong utuh umur 9 bulan.

Berdasarkan pengukuran sianida setelah fermentasi pada silase singkong utuh dengan berbagai umur panen didapatkan hasil bahwa silase ransum komplit memiliki

kandungan asam sianida terendah dari silase lainnya. SSU9 memiliki kandungan

asam sianida sebesar 272,45 ppm, silase SSU8 memiliki kadar sianida 453,67 ppm

dan silase SSU7 merupakan silase yang memiliki kandungan asam sianida tertinggi

yaitu sebesar 553,24 ppm.

Berdasarkan sidik ragam, umur tanaman yang berbeda mempengaruhi

kandungan asam sianida silase. Adanya perbedaan asam sianida silase ini

dipengaruhi kandungan asam sianida awal bahan. Semakin tinggi umur tanaman

menunjukkan kadungan HCN yang semakin rendah. Meskipun ensilase mampu

menurunkan kadar HCN >60% dan sesuai dengan pernyataan Ngo Van Man dan

(28)

28 SSU7 melebihi ambang batas yaitu >500 ppm (Sandi et al., 2010), sehingga tidak

dapat langsung diberikan ke ternak, perlu diangin-anginkan terlebih dahulu.

Yuningsih (1999) menyatakan bahwa kandungan sianida pada singkong dapat

berkurang sekitar 40% dengan diangin-anginkan.

Pada Gambar 4, pengaruh umur panen singkong terhadap kadar sianida silase

terlihat bahwa semakin muda tanaman singkong maka kandungan sianida semakin

tinggi. Adanya perbedaan kadar sianida pada masing-masing umur silase

dikarenakan adanya perbedaan persentase bagian-bagian dari tanaman singkong itu

sendiri. Setiap bagian singkong memiliki kandungan sianida yang berbeda. Kadar

HCN daun ketela pohon selalu lebih tinggi dibandingkan umbinya. Kandungan HCN

antara 30-150 mg/ kg umbi segar. Konsentrasi HCN pada kulit pada kulit umbi 5-10

kali lebih besar dari daging umbinya dan bila dikeringkan dengan mengupas kulitnya

sangat membantu mengurangi kadar HCN (Amalia, 2010). Amalia (2010) menyatakan bahwa pembuatan silase merupakan cara yang efektif untuk menurunkan

kadar HCN pada daun ubi kayu, yaitu dapat menurunkan kadar HCN dari 302 mg/ kg

BK silase daun ubi kayu menjadi 189 mg/ kg BK silase daun ubi kayu.

Gambar 4. Kandungan Sianida Silase Singkong Utuh dan Ransum Komplit. Tidak adanya error bar pada kandungan asam sianida sebelum ensilase dikarenakan hanya memiliki satu ulangan.

Kandungan sianida silase sebelum fermentasi menunjukkan nilai yang lebih

tinggi dibandingkan sianida setelah fermentasi. Adanya penurunan kadar sianida

pada silase ini terjadi karena adanya aktivitas enzim β-glukosidase yang dihasilkan

oleh bakteri asam laktat terutama L. mesenteroides (Sandi et al., 2010). Selain itu,

(29)

penurunan sianida, karena perlakuan silase daun si penyimpanan selama

karena sianida dalam bentuk sianogen dalam strukt hi dan Akomas, 2006).

ianida pada masing-masing perlakuan silase singk dan 70,10%. Sedangkan berdasarkan penelitia ianida setelah ensilase adalah 86,79%–96,50%. N

elaporkan bahwa terjadi penurunan sianida sam aun singkong yang dilayukan terlebih dahulu d ma 56 hari. Hasil penelitian Achi dan Ak

a umbi singkong fermentasi yang sebelumnya apat menurunkan kandungan sianida 85,5% i singkong yang difermentasi secara tradisiona 79,7%. Tinggi rendahnya penurunan kandungan ungan karbohidrat mudah larut dari suatu bahan. Se larut, maka semakin banyak bakteri memanfa mlah dan jenis bakteri yang dihasilkan juga relatif b

in yang menentukan kualitas silase yaitu nilai flei deks karakteristik fermentasi silase berdasarkan ni ., 2009). Menurut Indikut et al. (2009), silase y i jika nilai fleigh berada pada nilai (>85). Sem Gambar 5) bahkan melebihi angka 100, namun ni juga ditemukan oleh Indikut et al., (2009). Tinggin

ginya BK silase dan rendahnya nilai pH silase yan

Silase Singkong Utuh dan Ransum Komplit

(30)

30 Karakteristik utilitas silase meliputi penilaian parameter kecernaan (KCBK

dan KCBO) dan fermentabilitas rumen (nilai VFA dan NH3 cairan rumen) secara in vitro yang diperlihatkan pada Tabel 7.

0 ' ' &

Kecernaan zat-zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan

kualitas suatu bahan pakan. Kecernaan pakan biasanya dinyatakan berdasarkan BK

dan sebagai suatu koefisien atau persentase (%). Phipps (1985) menyatakan bahwa

umumnya kecernaan bahan organik pada silase hijauan berkisar 72%. Sedangkan

nilai KCBK silase ransum komplit dan hijauan berkisar 61%-72% (Hutabarat, 2009).

Tabel 7. Hasil Pengamatan Karakteristik Utilitas Silase

Peubah SRK SSU 7 SSU 8 SSU 9

KCBK (%) 67,54 ± 2,87b 70,25 ± 1,31b 77,10 ± 4,32a 7,43 ± 0,35a

KCBO (%) 62,91 ± 10,25c 70,47 ± 2,14b 77,79 ± 4,77a 77,96 ± 0,25a

VFA silase (mM) 106,55 ± 9,64c 111,88 ± 1,11b 123,21 ± 6,65a 93,21 ± 10,86d NH3 silase (mM) 9,96 ± 0,86 8,96 ± 1,21 9,44 ± 0,83 8,30 ± 1,83 Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan

(P<0,05). SRK: silase ransum komplit, SSU7: silase singkong utuh umur 7 bulan, SSU8: silase singkong utuh umur 8 bulan, dan SSU9: silase singkong utuh umur 9 bulan.

Berdasarkan kecernaan bahan kering silase singkong utuh, semakin tua umur

tanaman maka kecernaan bahan kering cenderung semakin tinggi. Begitu juga

dengan kecernaan bahan organik silase. Persentase nilai kecernaan bahan kering

SSU7 adalah 70,25%, SSU8 sebesar 77,10%, SSU9 sebesar 77,43%, dan SRK yaitu

67,54%. Sedangkan nilai kecernaan bahan organik SSU7 yaitu 70,47%, SSU8

77,79%, SSU9 sebesar 77,96%, dan silase ransum komplit 62,91%.

Berdasarkan sidik ragam, KCBK dan KCBO pada SSU8 dan SSU9 memiliki nilai kecernaan tertinggi, sedangkan SRK memiliki kecernaan bahan kering terendah.

Kecernaan bahan organik yang rendah pada SSU7 dibandingkan dengan silase

lainnya disebabkan bagian fermentabel singkong sudah digunakan oleh bakteri asam

laktat pada proses ensilase dalam membentuk asam laktat. Hal tersebut diperlihatkan

oleh pH silase SRK yang lebih rendah dibandingkan dengan silase SSU8 dan SSU9.

(31)

31 umur tanaman. Dimana pada tanaman yang lebih tua terjadi peningkatan proporsi

umbi dan penurunan proporsi serat (batang dan daun).

!" #

Nilai VFA yang tinggi diduga akan meningkatkan nilai KCBO. VFA yang

dihasilkan oleh perlakuan silase singkong utuh berbagai umur dan silase ransum

komplit berturut-turut sebesar 111,88 mM pada SSU7, pada SSU8 sebesar 123,21

mM, pada SSU9 93,21 mM, dan sebesar 106,55 mM pada SRK.

Menurut Saun dan Heinrichs (2008), konsentrasi VFA cairan rumen yang

mendukung pertumbuhan mikroba lebih besar dari 60 mM, hal ini tergantung sumber

energi dalam ransum. Berdasarkan sidik ragam beda umur panen tanaman singkong

berpengaruh terhadap nilai VFA. Perlakuan SSU8 memiliki nilai VFA tertinggi dari

perlakuan silase lainnya. Konsentrasi VFA yang dihasilkan silase perlakuan masih

dalam kisaran optimum kadar VFA rumen yaitu 80-124 mM, sehingga silase

perlakuan dapat dikatakan pakan yang cukup fermentabel untuk menyediakan VFA

bagi mikroba rumen.

Peningkatan jumlah VFA menunjukan mudah atau tidaknya pakan tersebut

difermentasi oleh rumen. Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan

sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Produksi VFA total

menunjukkan jumlah pakan terutama karbohidrat yang difermentasikan oleh mikroba

rumen. Sakinah (2005) menjelaskan bahwa penurunan VFA diduga berhubungan

dengan peningkatan kecernaan zat makanan, pada kondisi penurunan ini VFA

digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein dan digunakan

pula untuk pertumbuhan selnya.

/#

Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak berpengaruh terhadap nilai NH3 rumen. Amonia rumen yang dihasilkan perlakuan masih dalam kisaran optimum

yaitu 8,30-9,96 mM. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas silase perlakuan bernilai

cukup fermentabel untuk menghasilkan NH3.

Konsentrasi amonia cairan rumen yang optimal untuk aktifitas mikroba

rumen adalah 3,57-15 mM (Satter dan Slyter, 1974). Produksi amonia yang kurang

(32)

32 (Satter dan Slyter, 1974). Konsentrasi amonia cairan rumen yang optimal untuk

(33)

33

$ %

)

Berdasarkan karakteristik fisik dan utilitas, silase singkong utuh memiliki

kualitas yang hampir sama dengan silase ransum komplit, terlihat dari nilai

kecernaan dan nilai fleigh yang tinggi. Berdasarkan karakteristik fermentatif silase

singkong utuh umur 7 bulan memiliki kualitas yang lebih baik dari perlakuan silase

lainnya. Berdasarkan kandungan protein kasar, silase yang dihasilkan dari singkong

utuh berbagai umur yaitu 7, 8, dan 9 belum dapat digunakan sebagai ransum tunggal

karena rendahnya kandungan protein yang dihasilkan namun dapat dijadikan sebagai

sumber karbohidrat.

Pengujian penggunaan silase singkong utuh pada ternak dengan taraf

penggunaan yang berbeda dan adanya pengolahan sebelum ensilase untuk

menurunkan kadar sianida serta penambahan bahan pakan lain untuk mengatasi

kandungan nutrien yang kurang mencukupi kebutuhan ternak. Adanya perlakuan

taraf penggunaan proporsi bagian tanaman singkong dan penambahan bahan pakan

atau supplemen agar mendapatkan kualitas nutrien yang lebih baik. Diperlukan pula

analisis ekonomi untuk menilai perbandingan silase singkong utuh dengan silase

ransum komplit sehingga diharapkan akan semakin mendukung peningkatan

(34)

UJI KUALITAS SILASE SINGKONG DENGAN BEDA UMUR PANEN SECAR

UPAYA PENINGKATAN PEMANFAATAN

DEPARTEMEN

FAKULTAS PETE

INSTITUT PERTANIAN BO

UJI KUALITAS SILASE SINGKONG UTUH (Manihot esculenta

BEDA UMUR PANEN SECARAIN VITROSEBAGAI

PENINGKATAN PEMANFAATAN PAKAN LO

SKRIPSI DEWI AYU LESTARI

EN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

sculenta)

SEBAGAI AATAN PAKAN LOKAL

(35)

UJI KUALITAS SILASE SINGKONG DENGAN BEDA UMUR PANEN SECAR

UPAYA PENINGKATAN PEMANFAATAN

DEPARTEMEN

FAKULTAS PETE

INSTITUT PERTANIAN BO

UJI KUALITAS SILASE SINGKONG UTUH (Manihot esculenta

BEDA UMUR PANEN SECARAIN VITROSEBAGAI

PENINGKATAN PEMANFAATAN PAKAN LO

SKRIPSI DEWI AYU LESTARI

EN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

sculenta)

SEBAGAI AATAN PAKAN LOKAL

(36)

RINGKASAN

DEWI AYU LESTARI. D24080067. 2012. Uji Kualitas Silase Singkong Utuh

(Manihot esculenta) dengan Beda Umur Panen secara In Vitro sebagai Upaya

Peningkatan Pemanfaatan Pakan Lokal. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Despal, S.Pt., M.Sc.Agr.

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.

Indonesia merupakan negara dengan kondisi yang potensial untuk sektor pertanian dan memiliki sumber bahan pakan yang belum dioptimalkan, terlihat dengan tingginya angka impor bahan pakan yaitu 1,5 juta ton hanya untuk jagung (Neraca, 2012). Salah satu tanaman yang berpotensi untuk dijadikan bahan pangan maupun pakan yang banyak diproduksi di Indonesia yaitu singkong. Singkong merupakan tanaman yang setiap bagiannya memiliki kandungan nutrien, namun kandungan nutrien tersebut bervariasi tergantung umur tanaman. Maka dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk menentukan umur tanaman singkong yang efektif dalam menghasilkan kualitas silase terbaik.

Penelitian ini membandingkan kualitas silase singkong utuh berbagai umur panen dengan silase ransum komplit. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap untuk karakteristik fermentatif dan rancangan acak kelompok untuk karakteristik utilitas dengan 4 perlakuan (silase ransum komplit (SRK), silase singkong utuh umur 7 bulan (SSU7), silase singkong utuh umur 8 bulan (SSU8), dan silase singkong utuh umur 9 bulan (SSU9)) dan 3 ulangan, diikuti dengan uji lanjut ortogonal jika terdapat beda nyata. Masing-masing ulangan perlakuan dibuat sebanyak dua kg dan diensilase selama lima minggu. Hasil silase dievaluasi berdasarkan karakteristik fisik (warna, aroma, tekstur, kelembaban, dan keberadaan jamur), karakteristik fermentatif selama ensilase untuk menghasilkan silase (pH, BK, perombakan BK, PK, perombakan protein, N-NH3, VFA, WSC, dan kehilangan BK),

penurunan asam sianida, dan katakteristik utilitas atau penggunaan silase tersebut pada ternak yang diukur dari fermentabilitas dalam rumen (NH3 dan VFA) dan

kecernaan (BK dan BO) dalam saluran pencernaan secara in vitro.

Berdasarkan karakteristik fisik dan utilitas, silase singkong utuh memiliki kualitas yang hampir sama dengan silase ransum komplit, terlihat dari nilai fleigh

(NF) dan kecernaan (KCBK SSU7 sebesar 70,25%, SSU8 77,10% SSU9 77,43% dan KCBO SSU7 sebesar 70,47%, SSU8 77,79%, dan SSU9 77,96%) yang tinggi. Berdasarkan karakteristik fermentatif silase singkong utuh umur 7 bulan memiliki kualitas yang lebih baik dari perlakuan silase lainnya. Berdasarkan kandungan protein kasar, silase yang dihasilkan dari singkong utuh berbagai umur yaitu 7, 8, dan 9 (SSU7 7,36%, SSU8 6,91%, dan SSU9 5,99%) belum dapat digunakan sebagai ransum tunggal karena rendahnya kandungan protein yang dihasilkan namun dapat dijadikan sebagai sumber karbohidrat.

(37)

ABSTRACT

Whole Cassava Crop Silage (Manihot esculenta) Quality Evaluation with Age of Harvesting Differences by In Vitroto Improve Local Feed Utilization

D. A. Lestari., Despal, I. G. Permana

A study to evaluate whole cassava crop silage quality at several age of harvesting compared to total mixed ration have been done. Two kg of well mixed sample of whole crop cassava at 7 month (SSU7), 8 month (SSU8), 9 month (SSU9) of harvesting and sample of total mixed ration (SRK) were ensiled for 5 weeks anaerobically in 35 cm x 50 cm polyvinyl bags silo. Comparison of the silages qualities were based on physical (color, smell, humidity, texture and presence of moulds), fermentative (pH, DM, VFA, DM losses, CP, N-NH3, degradation of CP,

WSC, HCN, and fleigh number) and utilities (in vitro rumen fermentability and digestibilities) characteristics. The treatments were completely randomized and each treatment was repeated thrice. Physical, fermentative and utilities characteristics of whole cassava crop silage made from cassava crops harvested at 7, 8, and 9 months of age were comparable to the total mixed ration silage or even better. The best whole crop cassava silage quality was produced from SSU8 (better physical characteristics, higher fleigh number, and digestibilities). However, because of nutritional contents of whole cassava crop were changed with age, therefore the silage utilization should consider animal requirement and its level of inclusion.

(38)

UJI KUALITAS SILASE SINGKONG UTUH (Manihot esculenta)

DENGAN BEDA UMUR PANEN SECARA IN VITROSEBAGAI

UPAYA PENINGKATAN PEMANFAATAN PAKAN LOKAL

DEWI AYU LESTARI

D24080067

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(39)

Judul : Uji Kualitas Silase Singkong Utuh (Manihot esculenta) dengan Beda Umur Panen secara In Vitro sebagai Upaya Peningkatan Pemanfaatan Pakan Lokal

Nama : Dewi Ayu Lestari NIM : D24080067

Menyetujui:

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Despal, S.Pt., M.Sc.Agr.) (Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP. 19701217 199601 2 001 NIP. 19670506 199103 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen, Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP. 19670506 199103 1 001

(40)

Penulis bernama Dewi hingga 2008. Penulis diterima jalur USMI dan diterima

Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun Selama masa kuliah,

bernama Dewi Ayu Lestari, dilahirkan 1990 di Cianjur. Penulis adalah Sekolah Dasar Negeri 1 Ciawi-Bogor

2002.

lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2002 hingga Bogor. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Ciawi-Bogor pada tahun

diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Nutrisi dan

kan, Institut Pertanian Bogor tahun 2009.

kuliah, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi n Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak) 2009-2010, Anggota Paduan Suara Fakultas Peternakan Paskibraka Indonesia (PPI) Kabupaten Bogor periode

(41)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyusun skripsi dengan

judul “Uji Kualitas Silase Singkong Utuh (Manihot esculenta) dengan Beda Umur Panen secara In Vitro sebagai Upaya Peningkatan Pemanfaatan Pakan Lokal”.

Skripsi ini bertujuan untuk mengoptimalkan bahan pakan lokal yaitu singkong dengan mendapatkan umur panen pohon singkong yang paling efektif dalam menghasilkan kualitas silase dan kandungan nutrisi terbaik yang dibutuhkan oleh ternak, khususnya sapi perah.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat tantangan dan

hambatan, akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak dapat teratasi. Penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyusunan makalah ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan dari program Sarjana

Peternakan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik

dari bentuk penyusunan maupun materinya, namun penulis berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2012

(42)

DAFTAR ISI

Halaman RINGKASAN... i ABSTRACT... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii LEMBAR PENGESAHAN ... iv RIWAYAT HIDUP ... v KATA PENGANTAR ... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Singkong... 3 Asam Sianida... 4 Peranan Waktu Panen... 5 Silase ... 5 Kualitas Silase ... 6 Amonia ... 7

Volatile Fatty Acid(VFA)... 8 MATERI DAN METODE... 9 Lokasi dan Waktu... 9 Materi ... 9 Prosedur... 9 Kondisi Lahan, Lingkungan, dan Penanaman Pohon

Singkong Utuh... 9 Teknik Pemanenan Singkong... 9 Persiapan Pengolahan Pohon Singkong dan Pembuatan Silase

(43)

Pengukuran pH Silase ... 12 Pengukuran Bahan Kering (BK) Silase... 12 Pengukuran Volatile Fatty Acid(VFA) Silase ... 12 Kehilangan Bahan Kering (BK) Setelah Ensilase... 13 Pengukuran Protein Kasar (PK) Silase... 13 Pengukuran Amonia (NH3) Silase ... 13

Kehilangan Protein Kasar (PK) ... 14 Pengukuran Water Soluble Carbohydrate(WSC)

Silase ... 14 Pengukuran Kadar Asam Sianida (HCN) Silase ... 14 Perhitungan NilaiFleigh... 15 Karakteristik Utilitas ... 15 Pengukuran NH3dan VFA Rumen ... 15

Pengukuran KCBK dan KCBO... 15 Rancangan dan Analisis Data ... 16 Perlakuan ... 16 Rancangan Percobaan ... 16 Peubah ... 17 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18 Kandungan Awal Bahan... 18 Karakteristik Fisik Silase ... 19 Karakteristik Fermentatif Silase... 22 Nilai pH dan WSC Silase ... 22 BK, Perombakan BK Silase, dan VFA ... 24 Protein Kasar, Kadar NH3, dan Perombakan Protein... 25

Asam Sianida... 27 Nilai Fleigh(NF)... 29 Karakteristik Utilitas Silase... 30 Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ... 30

Volatile Fatty Acid(VFA)... 31 Amonia (NH3) ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN ... 33 Kesimpulan... 33 Saran... 33 UCAPAN TERIMA KASIH ... 34 DAFTAR PUSTAKA ... 35 LAMPIRAN... 36

(44)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Kandungan Unsur-unsur Nutrien dalam Singkong ... 3 2. Kriteria Kualitas Silase... 7 3. Kondisi Awal Bahan ... 18 4. Karakteristik Fisik Silase Singkong Utuh dan Silase Ransum

Komplit... 20 5. Kandungan BK, Perombakan BK, dan VFA Silase ... 25 6. Kandungan PK, Perombakan PK, dan NH3Silase ... 27

(45)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Silase Singkong dengan Umur Panen Berbeda ... 20 2. Nilai pH Silase Singkong Utuh dan Ransum Komplit ... 22 3. Kadar WSC Silase dan Penggunaan WSC Silase ... 24 4. Kandungan Sianida Silase Singkong Utuh dan Ransum

(46)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Hasil Sidik Ragam BK Silase ... 41 2. Hasil Sidik Ragam Karakteristik Fisik pH Silase ... 41 3. Hasil Sidik Ragam Perombakan BK Silase... 41 4. Hasil Sidik Ragam Kandungan Sianida Silase ... 41 5. Hasil Sidik Ragam PK Silase... 42 6. Hasil Sidik Ragam Perombakan Protein Silase ... 42 7. Hasil Sidik Ragam WSC Silase ... 42 8. Hasil Sidik Ragam VFA Silase... 42 9. Hasil Sidik Ragam NH3Silase... 43

10. Hasil Sidik Ragam Nilai Fleigh... 43 11. Hasil Sidik Ragam KCBKIn Vitro... 43 12. Hasil Sidik Ragam KCBOIn Vitro... 44 13. Hasil Sidik Ragam NH3 In Vitro... 44

Gambar

Gambar 1.  Silase Singkong dengan Umur Panen Berbeda
Gambar 1.  Silase Singkong dengan Umur Panen Berbeda
Tabel 12. Hasil Sidik Ragam KCBO In Vitro
Tabel 12. Hasil Sidik Ragam KCBO In Vitro

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Witri Rahmi, yang menyimpul kan bahwa “penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation mampu

Beberapa dokumen laporan harus disiapkan untuk memenuhi keperluan unit-unit kerja dalam organisasi. Karakteristik sistem pengolahan transaksi, meliputi: 1) Volume data yang

Las expresiones muy duras que nuestro texto usa contra la vida que se lleva en la corte real y su contraposición con las despensas vacías, representan no solo una

penggunaan mulsa sampai 35 hst meng- hasilkan hasil yang lebih tinggi diban- dingkan dengan perlakuan tanpa mulsa pada pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, luas

Komunikasi yang baik sangat penting dalam mengambil setiap keputusan, guna mencapai suatu keberhasilan. Komunikasi juga membutuhkan strategi yang merupakan

• Sebelum memperkirakan durasi aktivitas, Kita harus memiliki ide yang baik dari jumlah dan jenis sumber daya yang akan ditugaskan untuk setiap kegiatan; sumber daya

Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: &#34;Barang siapa dengan sengaja menguasai secara

Ayat 5 Maka sekarang kedua anakmu (...yang, ngomong-ngomong, bagi siapa saja yang mementingkan kemurnian ras... ke-2 anak itu adalah setengah orang Mesir. Bisakah