• Tidak ada hasil yang ditemukan

NIDA NURDIAN

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data Responden Petani Garam 58

2 Data Hasil Panen Petani Responden 61

3 Analisis Biaya Tetap Responden 63

4 Analisis Biaya Variabel Responden 72

5 Surat Kontrak Kemitraan Antara Petani dan Koperasi 75

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Garam merupakan salah satu komoditi strategis dan penting, karena digunakan sebagai bahan baku industri dan bahan pangan yang dibutuhkan oleh hampir semua masyarakat. Pada sektor industri, garam digunakan diberbagai keperluan seperti industri tekstil, minyak, keramik, farmasi dan kertas, industri klor alkali, industri pengolahan logam, industri sabun, industri karet. Garam sebagai bahan pangan merupakan bahan pelengkap dan salah satu sumber gizi yang tidak dapat digantikan oleh produk lainnya.

Secara geografis, Indonesia memiliki potensi alam yang mendukung dalam pemenuhan kebutuhan garam nasional. Indonesia termasuk negara maritim dengan luas lautan sebesar 70 persen (5.8 juta km2) dari total luas wilayahnya. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sepanjang 95 181 km dan memiliki lahan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan tambak garam seluas 34 000 hektar (Balitbang KP, 2011) dan saat ini baru sebesar 20 000 hektar yang dimanfaatkan.

Gambar 1 Grafik perkembangan produksi dan kebutuhan garam nasional tahun 2001- 2011

Sumber : Kementerian Perindustrian (2012)

Gambar 1 menunjukkan bahwa produksi garam yang dihasilkan oleh Indonesia masih sangat rendah dalam memenuhi kebutuhan garam nasional. Kebutuhan garam dari tahun ke tahun semakin meningkat sebesar 6 persen pertahun seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan industri di Indonesia (Kurniawan dan Azizi, 2012). Kebutuhan garam nasional selama ini dipenuhi melalui produksi dalam negeri dan impor. Saat ini, kebutuhan Indonesia akan garam mencapai 3.2 juta ton, sementara produksi garam yang dihasilkan baru mencapai 1.4 juta ton pada tahun 2011. Produksi garam berasal dari garam rakyat dan PT Garam (Persero), namun sebagian besar produksi berasal dari garam rakyat. Jumlah produksi garam pada rentang tahun 2001-2009 berkisar di

0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 3,500,000 4,000,000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (d a la m t o n ) tahun produksi kebutuhan

angka 1 juta, kecuali untuk tahun 2010 produksi garam Indonesia menurun drastis hanya 30 000 ton, hal ini diakibatkan oleh cuaca yang sangat ekstrim.

Industri garam merupakan industri yang strategis dan terus berkembang, sehingga permintaan baik jenis dan penggunaan garam terus meningkat. Pada perkembangannya, terdapat permasalahan mendasar dalam kegiatan usaha garam antara lain adalah 1) sumberdaya manusia dan kelembagaan, 2) infrastruktur dan fasilitas produksi yang digunakan, 3) masalah permodalan, 4) regulasi perdagangan, 5) sistem tataniaga yang didominasi oleh pedagang pengumpul, dengan pasar yang mengarah kepada pasar monopsoni dan 6) produksi garam dengan tehnologi yang masih sederhana sehingga mempengaruhi kualitas garam yang dihasilkan (KKP, 2012).

Faktor lain yang mempengaruhi garam, baik dari segi kualitas maupun kuantitas adalah lahan garam yang dikelola oleh petani secara umum tidak lebih dari 1 ha, lahan garam yang dikelola tidak berada dalam satu hamparan, produksi yang dilakukan masih secara sederhana dan konvensional yaitu menggunakan metode kristalisasi total, singkatnya waktu pungutan garam yang rata-rata 5-7 hari, dan infrastruktur yang belum memadai. Saat ini, produksi garam Indonesia baru memenuhi kebutuhan garam konsumsi. Sedangkan garam industri, Indonesia masih bergantung kepada impor. Sebagian besar kandungan NaCl garam Indonesia masih dibawah 94 persen, untuk garam industri dibutuhkan kandungan NaCl minimal sebesar 98 persen. Oleh karena itu, mengapa Indonesia masih melakukan impor garam dan kurang berkembangnya industri garam rakyat. Berikut jumlah kebutuhan impor garam tersaji dalam Gambar 2.

Gambar 2 Kebutuhan Impor Garam Berdasarkan Jenisnya Tahun 2008-2012

Sumber : Kementerian Perindustrian (2013)

Salah satu sentra penghasil garam di Indonesia adalah Kabupaten Sumenep. Kabupaten Sumenep merupakan tempat awal dimulainya industri garam rakyat di Indonesia. PT Garam (Persero) menjadi simbol kejayaan dan pabrik garam briket pertama di Indonesia yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda. Lahan pegaraman yang dimiliki terbagi atas dua kepemilikan, yaitu lahan yang dimiliki oleh PT Garam (Persero) seluas ± 3 400 ha dan lahan petani garam rakyat dengan luas areal ± 2 068 ha. Daerah penghasil garam terbesar di Kabupaten Sumenep berada di Kecamatan Kalianget, Gapura, Pragaan dan Saronggi, serta sebagian

- 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2008 2009 2010 2011 2012 Im po r ( to n) tahun

kecil di Kecamatan Bluto. Jumlah produksi garam Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Jumlah produksi garam di wilayah Pulau Madura

Sumber : KKP, 2012

Dalam mata rantai usaha garam di Kabupaten Sumenep, penggarap merupakan pihak yang paling kecil memperoleh keuntungan sedangkan pedagang pengumpul memiliki peran penting dalam pemasaran. Penetapan harga ditentukan secara sepihak oleh pedagang pengumpul, kesepakatan yang terjalin antara petani garam dengan pedagang pengumpul dapat dikatakan belum ideal karena masih terdapat pihak yang merasa dirugikan dan adanya pihak yang mendapatkan keuntungan dimana mereka tidak berkontribusi dalam biaya (free rider). Hal ini mengindikasikan adanya ketidaksetaraan dalam hubungan kerjasama. Menurut Yustika (2010), ketidaksetaraan antar pelaku dalam wujud posisi tawar memerlukan mekanisme dan desain aturan main (kelembagaan) yang bertujuan untuk membangun kesetaraan antar pelakunya, baik daya tawar maupun kelengkapan infomasi. Kelembagaan (aturan main) yang dimaksud dalam hal ini adalah kelembagaan dalam wujud pola kemitraan.

Vermulen dan Cotula (2011) mengemukan kemitraan yang ideal adalah kemitraan yang dapat menciptakan kesetaraan dalam pengambilan keputusan, pembagian risiko dan distribusi keuntungan yang proposional. Untuk itu, perlu dirumuskan pola kemitraan yang keberlanjutan dalam usaha garam rakyat. Pola kemitraan dibangun agar dapat menciptakan manfaat ekonomi bagi pelaku usaha garam rakyat sehingga dapat terwujudnya bentuk kerjasama baru yang lebih efisien dan berkeadilan. Sebagai strategi bisnis maka kemitraan dapat dijadikan sebagai suatu inovasi salah satu mekanisme yang mungkin dapat meningkatkan penghidupan/kesejahteraan petani garam kecil di daerah pesisir.

Perumusan Masalah

Masalah mendasar bagi sebagian besar petani garam di Kabupaten Sumenep adalah produksi dan kualitas garam yang masih rendah. Tentu saja hal ini mempengaruhi posisi petani dalam penetapan kualitas dan harga garam itu sendiri (Suherman et al, 2011). Lemahnya posisi petani garam dalam hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain adalah keterbatasan tehnologi yang digunakan, metode yang diterapkan, akses permodalan dan informasi pasar yang masih sangat minim. Berdasarkan Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Kabupaten Luas lahan (ha) Produksi (ton)

2007 2008 2009 2011 PT.Garam 5 190 200 000 216 000 300 000 - Bangkalan 115.89 4 000 - - 3 515 Sampang 4 200 189 000 180 000 230 000 321 441.20 Pamekasan 891.96 64 000 88 000 99 000 65 238.78 Sumenep 2 086 99 000 94 000 105 750 154 275

Negeri Tentang Penetapan Harga Penjualan Garam bahwa telah ditetapkan harga dasar garam disesuaikan dengan kualitasnya. Berikut daftar harga garam berdasarkan kualitas tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2Harga garam berdasarkan kualitas

No Kualitas Kriteria Harga (Rp/kg)

1 KP 1 Kadar NaCl minimal 94.7 %, putih bening

dan bersih serta ukuran minimal 4 mm ≥ 750

2 KP 2 Kadar NaCl antara 85 % dan 94.7 %,

warna putih dan butiran mininal 3 mm ≥ 550

Sumber : Kementrian Perdagangan, 2011

Harga garam ditingkat petani tidak sesuai dengan harga garam yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk kualitas 1 (KP 1) dengan harga berkisar Rp450/kg-Rp550/kg, Kualitas 2 (KP 2) dengan harga Rp300/kg-Rp400/kg dan untuk kualitas 3 (KP 3) dibawah Rp300/kg. Tekanan harga yang lebih kuat terjadi pada saat panen raya telah tiba dan pada umumnya harga ditentukan oleh pedagang pengumpul yang mengikuti mekanisme pasar. Posisi petani yang hanya sebagai produsen menjadikan pedagang pengumpul sangat mendominasi dalam saluran pemasaran garam. Hubungan antara petani dan pedagang pengumpul tidak hanya sebatas dalam pemasaran saja, melainkan dalam permodalan juga. Pedagang pengumpul menyediakan modal awal usaha dan kebutuhan sehari-hari petani garam, oleh karenanya petani memiliki keterikatan dengan pedagang pengumpul. Konsekuensi dari peminjaman tersebut mengharuskan petani menjual hasil produksinya kepada para pedagang pengumpul (tengkulak) dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh pengumpul (Suherman et al, 2011).

Usaha garam merupakan usaha turun temurun, namun selama ini petani garam tidak memiliki akses pemasaran secara langsung kepada perusahaan pengolah, padahal garam yang diproduksi merupakan garam curah yang tidak dapat digunakan secara langsung melainkan harus adanya pengolahan terlebih dahulu. Tentu saja hal ini sebenarnya menjadi peluang bagi petani garam untuk bekerjasama secara langsung dengan perusahaan pengolah. Bekerjasama dengan pedagang pengumpul, memberikan keuntungan bagi perusahaan yaitu perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi pengangkutan dan pedagang pengumpul mampu menyediakan garam dalam jumlah besar dengan berbagai kualitas. Untuk itu, petani sangat bergantung pada pedagang pengumpul, ketergantungan ini mengakibatkan petani garam tidak memiliki posisi tawar yang baik. Ketidaksetaraan yang terjadi antar pelaku ekonomi dalam bentuk posisi daya tawar maupun informasi memberikan dampak satu pihak diuntungkan dan ada pihak lain yang dirugikan. Dengan sistem yang berlaku selama ini, pedagang pengumpul adalah pihak yang banyak menikmati keuntungan/manfaat lebih.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tawar petani adalah dengan membangun kelembagaan kemitraan (Vermulen dan Cotula, 2011), kelembagaan kemitraan dapat menunjukkan harga yang relatif stabil, pengumpulan dan pengangkutan hasil yang efisien, mendorong petani untuk menghasilkan produk yang berkualitas, memberikan kemudahan kepada petani untuk mendapat fasilitas kredit, serta menjamin kontinuitas pasokan bagi pihak mitra. Konsep kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua

pihak dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan, membesarkan dan saling memberikan keuntungan untuk kedua belah pihak. Sistem ini dapat dilihat juga sebagai suatu terobosan untuk mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat adanya kegagalan pasar dan/atau kegagalan pemerintah dalam menyediakan sarana (input) yang diperlukan (misalnya kredit, asuransi, informasi, prasarana dan faktor-faktor produksi lainnya) dan lembaga-lembaga pemasaran. Sehingga dapat memberikan insentif yang lebih baik dan adil untuk kedua belah pihak.

Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas maka permasalahan yang akan dianalisis adalah :

1. Sejauhmana pola kerjasama yang telah dilakukan oleh petani garam.

2. Pola kemitraan yang sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga dapat membentuk sebuah lembaga kemitraan yang meningkatkan posisi tawar dan kesejahteraan petani garam rakyat.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis pola kerjasama yang telah dilakukan oleh petani garam dengan beberapa pihak terkait.

2. Merumuskan dan memberikan rekomendasi pola kemitraan yang sesuai guna meningkatkan posisi tawar dan kesejahteraan petani garam di Kabupaten Sumenep.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil kajian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan dan instansi terkait baik Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Sumenep maupun pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk penyempurnaan pelaksanaan fasilitasi kemitraan usaha garam rakyat

2. Sebagai bahan masukan bagi pelaku usaha garam dalam mencari alternatif pola kemitraan yang sesuai dan berkelanjutan

3. Bagi Penulis, untuk melatih kemampuan menganalisis permasalahan usaha garam rakyat khususnya kemitraan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi adalah :

1. Petani garam yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah petani garam yang merupakan petani pemilik sekaligus penggarap, petani penggarap, petani penyewa lahan.

2. Pola kemitraan yang akan dibangun adalah antara petani garam dengan beberapa pihak, yaitu PT Garam (Persero), Koperasi dan pedagang pengumpul.

3. Pemilihan Pola kemitraan didasarkan pada analisis pendapatan usahatani, analisis biaya transaksi dan analisis B/C ratio. Analisis pendapatan usahatani dalam hal ini hanya menghitung pendapatan yang akan diterima oleh petani. Analisis biaya transaksi untuk menghitung berapa biaya yang dikeluarkan agar sebuah kerjasama dapat dijalankan dan bersifat efisien, sedangkan analisis B/C ratio untuk mengetahui bentuk usaha tersebut memberikan manfaat/tidak dan layak/tidak layak.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Usaha Garam Rakyat

Usaha garam rakyat adalah suatu usaha dalam memproduksi garam yang pengelolaannya dilakukan oleh rakyat/masyarakat. Pelaku usaha garam rakyat terdiri dari petani garam rakyat yang memproduksi garam krosok, dalam pengolahannya dilakukan oleh industri/perusahaan untuk mengolah garam krosok menjadi garam halus dan briket, para pelaku pemasaran pada umumnya berlokasi di sekitar pusat tambak garam rakyat. Dalam mata rantai usaha garam rakyat, petani merupakan pihak yang memperoleh insentif paling rendah dibandingkan pihak lainnya yang terlibat.

Beberapa tahun kebelakang, isu garam mulai mencuat ke permukaan publik seiring hadirnya garam impor. Kemunculan garam impor memberikan dampak yang sangat besar, baik bagi pemerintahan maupun para pelaku industri garam terutama para petani. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan komoditas garam pun mulai banyak dilakukan, terutama yang mengacu pada garam rakyat. Hal ini dilakukan dalam rangka peningkatan industri garam nasional, sehingga angka impor garam dapat ditekan semaksimal mungkin, guna meningkatkan industri garam konsumsi dan dapat menciptakan garam industri.

Kajian Sukesi (2011), menyebutkan bahwa bila dilihat secara kacamata sosial ekonomi bahwa masyarakat pesisir dapat dikatakan sangat tertinggal bila dibandingkan dengan masyarakat lainnya, dengan demikian dapat dipahami bahwa daerah pesisir merupakan pusat kemiskinan. Petani garam merupakan salah satu dari masyarakat pesisir yang selama ini dinilai kurang mendapat perhatian melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat penanggulangan kemiskinan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan qualitative research, yaitu memberikan deskripsi/gambaran secara jelas mengenai kondisi perilaku sosial, dan ekonomi masyarakat petani garam terhadap hasil usahanya dengan menggunakan analisis SWOT. Berdasarkan temuan di lapangan, bahwa permasalahan yang dihadapi oleh petani garam di Pasuruan adalah permasalahan di bidang pemasaran dan permodalan.

Selain masalah pemasaran dan permodalan, para petani garam pun menghadapi masalah mengenai kualitas produksi garam yang dihasilkan. Kualitas garam yang dihasilkan belum mencapai kualitas baik, masih dinilai termasuk kualitas 2 atau KP 2, hal ini disebabkan masih rendahnya tehnologi yang digunakan oleh petani garam. Selain faktor produksi, yang diharapkan oleh petani garam adalah hadirnya penyuluh sebagai pendamping para petani garam.

Permodalan yang masih mereka butuhkan tidak dapat dipenuhi, hal ini dikarenakan lemahnya peranan lembaga koperasi yang merupakan salah satu lembaga yang diharapkan oleh petani garam agar dapat menyediakan fasilitas peminjaman modal usaha. Terbatasnya akses permodalan menjadikan usaha garam rakyat sulit berkembang. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Suherman (2011) dan Rochwulaningsih (2008), Lembaga Pembiayaan melihat usaha garam memiliki risiko yang tinggi karena keberhasilan produksi sangat tergantung oleh faktor cuaca. Hal ini menyebabkan sebagian besar petani garam menggunakan jasa tengkulak dalam membantu permasalahan modal yang dipergunakan dalam kegiatan produksi. Belum optimalnya kelembagaan koperasi sebagai kelembagaan permodalan yang mampu menunjang peningkatan usaha garam di Kota Pasuruan, permodalan diperoleh oleh petani dengan meminjam ke petani yang lebih sukses, hal ini tidak terlepas dari pola budaya yang terbentuk.

Selain itu, kelemahan lainnya adalah terletak pada aspek pemasaran. Petani garam tidak memiliki saluran pemasaran yang baik untuk mendistribusikan hasil produksinya. Kondisi pemasaran tersebut dirasa kurang menguntungkan bagi petani garam, peranan tengkulak cukup dominan dalam proses pemasaran hasil garam. Sebanyak 100 persen petani menyatakan harus menggunakan jasa tengkulak dalam memasarkan hasil garam di Kota Pasuruan. Masalah saluran pemasaran ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Suherman et al (2011) mengenai Analisis Pemasaran Garam Rakyat di desa Kertasada, Kecamatan Kalianget-Sumenep. Kajian ini melakukan analisis kualitatif dan analisis marjin pemasaran. Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa dalam saluran pemasarannya, petani garam dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu (1) kelompok petani garam dengan tengkulak, dalam kelompok ini petani garam menjual semua hasilnya kepada satu tengkulak karena adanya keterikatan dalam peminjaman modal usaha; (2) petani garam dengan asosiasi/organisasi APGAT (Asosiasi Petani Garam Rakyat), fungsi APGAT ini hanya sebagai memberi informasi harga dari para tengkulak, memberikan arahan dan saran dalam transaksi dengan tengkulak. Hal ini menunjukkan lemahnya peranan lembaga koperasi, yang seharusnya dapat memberikan banyak manfaat akan keberadaan untuk petani garam, seperti penyediaan fasilitas kredit modal, kemudahan dalam pemasaran dan sebagainya; (3) kelompok petani garam yang tidak terikat kepada siapapun, mereka bebas menjual namun tetap saja tidak memberikan nilai yang lebih dalam menjual hasil garamnya.

Terdapat beberapa perusahaan pengolah yang bersedia untuk menampung hasil garam rakyat, yaitu PT Budiono dan PT Garindo. Sayangnya, kedua pabrik ini hanya akan menampung hasil garam melalui tengkulak, terutama tengkulak yang sudah memiliki Usaha Dagang (UD). Hal ini sangat merugikan petani garam karena yang menikmati keuntungan dari jalur ini adalah tengkulak. Sedangkan PT Garam (Persero) tidak menerima hasil garam rakyat, dikarenakan kualitas yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Kesimpulan yang diperoleh dari kajian ini adalah bahwa saluran distribusi garam di desa Kertasada hanya satu yaitu Petani-Tengkulak-Pabrik-Agen-Pengecer-Konsumen. Saluaran pemasaran ini merupakan saluran pemasaran yang mayoritas ada dalam pemasaran garam rakyat, saluran pemasaran yang cukup panjang akan sangat berpengaruh terhadap insentif yang diterima oleh petani garam dan dinilai tidak efesien. Dari analisis marjin pemasaran yang dilakukan, bagian yang terima oleh petani garam hanya

sebesar 11 persen dalam arti harga yang diterima oleh petani garam sebesar Rp220 000/ton, sedangkan harga di tingkat konsumen sebesar Rp2 000 000/ton, sementara marjin terbesar diperoleh tengkulak dan pabrik. Hal ini sangat tidak menguntungkan bagi petani garam.

Kelembagaan Kemitraan

Menurut Hermanto (2007), terdapat beberapa bentuk kelembagaan yang dibutuhkan oleh petani antara lain: (1) kelembagaan keuangan mikro (micro- finance) untuk mengatasi kelangkaan modal usaha dan kebutuhan konsumsi, (2) kelembagaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), (3) kelembagaan Klinik Agribisnis, dan (4) kelembagaan Kemitraan Bermediasi. Saptana et al (2009) menyatakan bahwa kelembagaan kemitraaan yang memiliki keunggulan adalah contract farming, dimana diketahui bahwa kelembagaan ini memiliki dampak positif terhadap produktivitas dan pendapatan petani. Contract farming memiliki keunggulan seperti mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, memudahkan petani untuk memperoleh fasilitas kredit, serta adanya jaminan kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra, efisiensi pengumpulan dan pengangkutan hasil, serta penetapan harga yang relatif stabil.

Berbagai bentuk contract farming (kemitraan) telah dilakukan oleh pemerintah Thailand dalam rangka memproduksi dan mempromosikan produk pertanian yang dihasilkan oleh petani. Selama tiga dekade terakhir, Thailand mengalami kemajuan luar biasa dalam menjalankan kemitraan dengan petani. Dalam pelaksanaannya, tidak semua bentuk contract farming melibatkan pemerintah, justru sektor swasta yang lebih banyak berperan. Namun bukan berarti, tidak ada peran pemeritah. Pemerintah tetap berperan dalam pemberian penyuluhan dan bimbingan untuk para petani. Pengalaman Thailand mengungkapkan bahwa pertanian kontrak telah menjadi sarana yang sukses untuk pemasaran oleh petani miskin. Hal tersebut memiliki potensi guna pengembangan kapasitas petani dalam produksi dan pemasaran, dari kontrak untuk membuka pasar. Contract farming melalui kepastian harga sangat membantu dalam risiko pendapatan. Pertanian kontrak tampaknya menjadi sebuah kendaraan yang menjanjikan untuk pengembangan agroindustri. Desain pengaturan dalam kontrak perlu memperhitungkan lingkungan sosial dan ekonomi lokal. Untuk mendapatkan kendaraan bergerak cepat dan lancar, memerlukan upaya lembaga lokal dalam memfasilitasi, membimbing dan memantau pengaturan untuk keadilan semua pihak yang terlibat (Songsak dan Aree, 2005).

Dalam usaha garam rakyat, kelembagaan yang ada selama ini sebagian besar berdasarkan hubungan principle-agent yaitu suatu hubungan kontrak kerja yang disepakati oleh dua belah pihak, dimana pemilik lahan sebagai principle yang sepakat memberikan insentif kepada agent dalam hal ini adalah penggarap. Agent sepakat melakukan tindakan atas nama kepentingan principle. Insentif berupa bagi hasil berdasarkan kesepatakan antara pemilik lahan dan penggarap. Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Manadiyanto dan Pranowo (2007), yang mengidentifikasi kerjasama sistem bagi hasil yang dilakukan petani garam di Kabupaten Sumenep, dimana lahan tambak yang lama diusahakan menggunakan sistem bagi hasil 3 bagian yaitu pemilik memperoleh 2 bagian dan

penggarap 1 bagian dari hasil bersih, sedangkan untuk lahan yang masih baru diusahakan, pemilik mendapatkan 1 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih. Pelaksanaan sistem bagi hasil seperti ini dilakukan tanpa tertulis dan hanya didasarkan kepada kesepakatan bersama sehingga tidak adanya aturan yang jelas.

Manfaat Kemitraan

Munculnya kemitraan disebabkan oleh adanya ketidaksempurnaan pasar. Kesulitan dalam akses kredit, mendapatkan informasi pasar, informasi tehnologi baru, kemudahan akan kebutuhan input dan aspek pasar untuk produk yang akan dipasarkan. Sehingga ketidaksempurnaan pasar ini mengakibatkan petani khususnya petani kecil harus mengeluarkan banyak biaya dalam mengatasinya dan dapat menimbulkan permasalahan di sektor lainnya. Oleh karenanya, salah satu cara yang dimungkinkan dapat mengatasi hal tersebut, yang dapat meminimumkan biaya-biaya transaksi yang tinggi dan menjadi satu kemungkinan yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani adalah contract farming (pertanian kontrak) yang lebih sering dikenal dengan kemitraan.

Isu-isu dalam kemitraan telah sering dikemukan dalam berbagai bidang, khususnya bidang pertanian. Permasalahan di bidang pertanian, seperti aspek harga, aspek pemasaran dan berbagai risiko di bidang pertani menyebabkan insentif yang diperoleh oleh petani masih rendah. Kemitraan dinilai menjadi salah satu solusi dalam permasalahan yang dihadapi oleh petani dan dapat memberikan beberapa manfaat lebih. Contract Farming atau yang lebih dikenal dengan kemitraan menurut Kartasasmita dalam Indrayani (2008) adalah hubungan kerjasama antara badan usaha yang sinergis bersifat sukarela dan dilandasi oleh prinsip saling membutuhkan, memperkuat, menghidupi dan saling

Dokumen terkait