• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lampiran 1. Analisis statistika hubungan antara komposisi dengan kerapatan ... 29 Lampiran 2. Analisis statistika hubungan antara komposisi dengan kadar air ... 30 Lampiran 3. Analisis statistika hubungan antara komposisi dengan pengembangan tebal ... 31 Lampiran 4. Analisis statistika hubungan antara komposisi dengan modulus patah ... 32 Lampiran 5. Analisis statistika hubungan antara komposisi dengan modulus elastisitas ... 33 Lampiran 6. Analisis statistika hubungan antara komposisi dengan keteguhan rekat internal ... 34 Lampiran 7. Analisis statistika hubungan antara komposisi dengan kalor jenis ... 35 Lampiran 8. Analisis statistika hubungan antara komposisi dengan konduktivitas ... 36 Lampiran 9. Grafik kerapatan terhadap komposisi cangkang kemiri sunan ... 37 Lampiran 10. Grafik kadar air terhadap komposisi cangkang kemiri sunan ... 38

1

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Eksploitasi hutan secara besar-besaran biasanya dilakukan untuk memenuhi bahan baku furniture maupun produk lain yang berbahan dasar kayu. Pesatnya perkembangan teknologi telah membuat produk kayu dapat dibuat dengan tidak menggunakan kayu utuh sebagai bahan dasarnya. Teknologi ini disebut dengan teknologi kayu komposit.

Dewasa ini permintaan konsumen akan produk-produk kayu komposit semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya furniture rumah tangga yang dahulu menggunakan kayu berubah menjadi berbahan kayu komposit. Selain digunakan untuk furnitur produk kayu, kayu komposit juga digunakan untuk keperluan kerangka bangunan.

Produk kayu komposit sangat beraneka ragam seperti papan serat berkerapatan tinggi (hardboard), papan insulasi (insulation board), papan partikel (particle board), kayu lapis (plywood), dan termasuk didalamnya Medium Density Fiberboard (MDF).

Meningkatnya permintaan produk kayu komposit tentunya akan meningkatkan tingkat kebutuhan bahan baku. Untuk memenuhi pasokan bahan baku maka digunakan alternatif lain untuk dijadikan bahan baku, diantaranya limbah serutan kayu dan cangkang kemiri sunan (Aleurites Trisperma Blanco). Serutan kayu merupakan limbah hasil pengolahan kayu. Limbah ini dapat diperoleh dari pengrajin kayu atau furniture. Limbah serutan biasanya hanya dibakar begitu saja. Bahan lain yang digunakan adalah limbah cangkang kemiri sunan. Cangkang kemiri sunan dapat diperoleh dari pengolahan minyak biodiesel. Saat ini cangkang kemiri sunan belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan limbah ini diharapkan dapat menjadi bahan baku pembuatan papan partikel.

B.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji pengaruh komposisi cangkang kemiri sunan dengan limbah serutan kayu (kayu kamper) sebagai bahan baku papan partikel.

2.

Menentukan sifat fisik (dimensi, kadar air, kerapatan dan pengembangan tebal), mekanik (keteguhan lentur kering dan keteguhan rekat internal), dan termal (konduktivitas, nilai kalor spesifik dan difusivitas panas).

3. Menentukan komposisi antara serutan kayu dan cangkang kemiri sunan untuk memperbaiki sifat fisik, mekanik, dan thermal papan partikel.

2

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kemiri Sunan (Aleurites Trisperma Blanco)

Kemiri Sunan (Aleurites trisperma Blanco) adalah salah satu tanaman penghasil minyak nabati berpotensi sebagai bahan bakar nabati (Ferry, 2009). Menurut sejarah, tanaman ini berasal dari Filipina, akan tetapi tanaman ini telah tumbuh secara alami di daerah Jawa Barat dengan suhu yang optimal sekitar 18-26 oC dengan pH 5.4 – 7.1. Kemiri sunan dapat ditemukan pada ketinggian hingga 1000 m di atas permukaan laut, berbentuk pohon dengan kanopi yang lebar dan memiliki perakaran dalam sehingga sangat baik sebagai tanaman konservasi untuk mencegah erosi. Kemiri sunan yang memiliki daun hingga puluhan ribu helai per pohon dapat mengikat karbondioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen dalam jumlah besar. Luas lahan kritis di

Indonesia saat ini mencapai 59.2 juta hektar. Jika lahan hutan dan lahan tidak produktif ditanami kemiri sunan maka pohon-pohonnya akan berjumlah lebih dari 10 miliar batang. Jika keadaan itu terealisasi maka Indonesia akan menjadi penyuplai oksigen terbesar di dunia (Natakarma,2009).

Selain sebagai solusi untuk rehabilitasi lahan kritis, kemiri sunan juga dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Saat ini kemiri sunan sedang dikembangkan oleh pemerintah daerah Sumedang bekerjasama dengan Tim Pengembangan Agribisnis, PONPES Sunan Drajat. Menurut Hendra Natakarma selaku ketua tim pengembangan Agribisnis Ponpes Sunan Drajat, tanaman ini dapat menghasilkan 300-500 kg biji kering per pohon per tahun dengan kadar minyak 50-56 %. Suatu potensi yang sangat menjanjikan. Dengan kadar minyak dan potensi produksi seperti ini berarti dalam satu hektar dengan populasi 100 pohon dapat menghasilkan 50 ton biji kering, setara dengan 15-25 ton minyak, lebih tinggi dibanding potensi produksi yang dihasilkan Kelapa Sawit (Yuniati, 2009).

Potensi terbesar dari kemiri sunan terdapat pada buah yang terdiri dari biji dan cangkang. Pada biji terdapat inti dan kulit. Inti itulah yang dapat diproses menjadi minyak untuk sumber energi alternatif pengganti solar atau biodiesel. Hasil dari perahan adalah minyak berupa cairan bening berwarna kuning dan bungkil. Komposisi minyak antara lain terdiri dari asam palmitic sebanyak 10 %, asam stearic 9 %, asam oleic 12 %, dan asam linoleic 19 %. Minyak kemiri sunan hasil perahan kemudian diproses lebih lanjut menjadi biodiesel. Fungsi lain minyak tersebut adalah sebagai bahan baku pernis, cat, sabun, minyak kain, resin, kulit sintetis, pelumas, kampas rem, dan campuran pada pembersih atau pengilap (Natarkama,2009).

3

(a) (b)

Gambar 1. (a) Buah kemiri sunan (b) Biji kemiri sunan dibandingkan dengan biji Jarak Pagar

Menurut Natakarma (2009) sisa dari ekstraksi berupa bungkil dapat diolah lebih lanjut menjadi biogas. Sebanyak tiga kilogram (kg) bungkil dapat menghasilkan energi setara dengan seliter minyak tanah. Jika rata-rata kebutuhan biogas setiap rumah sebanyak 1-1.5 liter minyak tanah per hari maka dibutuhkan 6-9 kg bungkil per hari atau 2-3 ton bungkil per tahun (setara dengan 6 ton biji kering pertahun).

Pada Gambar 1.(b) dapat dilihat biji di atas mistar adalah biji yang masih tertutupi oleh cangkang sedangkan yang terdapat dibawah mistar adalah biji yang telah dikupas bagian cangkangnya. Jika pengolahan biodiesel menggunakan biji beserta cangkangnya, minyak biodiesel yang dihasilkan akan berwarna keruh. Oleh karena itu biasanya yang diolah adalah biji yang terlebih dulu dikupas cangkangnya.

Pengupasan cangkang dari biji dapat menggunakan alat pengupas biji kemiri dapur, karena ukuran dan sifatnya yang hampir mirip, bahkan cangkang kemiri dapur lebih keras dari kemiri sunan. Akibat yang ditanggung oleh pengerjaan ini yaitu adanya limbah berupa cangkang kemiri sunan yang tidak termanfaatkan. Limbah inilah yang dalam kegiatan ini akan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan papan partikel.

B. Serutan Kayu Kamper (Dryobalanops aromatica)

Menurut Hargreen dan Bowyer (1989) kayu adalah suatu karbohidrat yang tersusun atas karbon, hidrogen dan oksigen. Komposisi bahan kayu berdasarkan persen berat kering yaitu karbon 49%, hidrogen 6%, oksigen 44%, sedikit nitrogen dan abu 0,1%. Kayu biasanya diolah terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengolahan kayu akan menghasilkan limbah pengolahan kayu. Limbah pengolahan kayu adalah kayu yang tersisa akibat proses pengolahan yang bentuknya dapat berupa serbuk gergaji (sawdust), sebetan (slabs), potongan (trim) dan shaving.

Serutan kayu bisa didapatkan dari limbah pengrajin kayu furniture yang ada. Serutan kayu ini dianggap sampah oleh para pengrajin kayu. Para pengrajin ini biasanya membuang atau membakar serutan kayu tersebut. Ketersediaan serutan kayu dapat mencapai 5,8 ton perhari pada sentra mebel tradisional Jakarta timur pada tahun 1996 (Martosudirjo,1996). Dewasa ini bahkan sebuah perusahaan yang terletak di daerah Tanggerang, Banten bernama CV. Karya Serutan

4

Perkasa dapat menyediakan 20 ton perhari (Anonim, 2011). Hal ini menunjukan bahwa ketersediaan serutan kayu melimpah.

Kayu kamper adalah salah satu jenis kayu yang ada di Indonesia yang sering digunakan sebagai bahan bangunan, furniture dan lainnya. Komposisi kimia pada kayu kamper sebagai salah satu jenis kayu yang ada di Indonesia yaitu kandungan selusosa 60%, lignin 26,9%, pentosan 15,7%, kadar silika 0,6% (Martawijaya, 1981).

Kayu Kamper termasuk ke dalam famili Dipterocarpaceae. Dipterocarpaceae adalah satu-satunya suku tumbuhan yang mendominasi hutan tropis dataran rendah primer, baik ditinjau dari segi jumlah maupun dari segi volume kayunya. Suku kayu ini merupakan sumber penghasil kayu yang paling berharga baik untuk keperluan konstruksi berat maupun untuk konstruksi ringan (Tantra, 1976). Kayu kamper memiliki ciri-ciri umum antara lain, warna kayu merah, merah- coklat, atau merah-kelabu, mempunyai tekstur agak kasar dan merata, arah serat lurus atau terpadu, permukaan terasa licin jika diraba, permukaan mengkilap dan berbau kamper jika masih segar, namun bau ini akan hilang jika kayu dikeringkan (Martawijaya et al, 1981).

Sifat-sifat umum kayu Kamper adalah mempunyai permukaan yang lurus atau terpadu dengan kekerasan dan kembang kusut sedang, tahan terhadap retak radial, pengerjaan agak sukar, bagian gubalnya mudah diawetkan, dapat tahan beberapa tahun asal terhindar dari serangan rayap dan air garam atau tanah. (Samingan, 1982 ).

C. Papan Partikel

Papan partikel merupakan salah satu jenis produk komposit/panel kayu yang terbuat dari partikel-partikel kayu atau bahan-bahan berlignoselulosa lainnya, yang diikat dengan perekat sintetis atau bahan pengikat lain kemudian dikempa panas (Maloney, 1977). Papan partikel juga dapat diartikan sebagai sebuah produk panel yang terbuat dari partikel yang direkatkan menjadi satu (Tsoumis,1991). Sebagai salah satu produk komposit, papan partikel mempunyai kelemahan stabilitas dimensi yang rendah. Pengembangan tebal papan partikel sekitar 10-25% dari kondisi kering ke basah melebihi pengembangan kayu utuhnya serta pengembangan liniernya sampai 0.35%. Pengembangan panjang dan tebal pada papan partikel ini sangat besar pengaruhnya pada pemakaian terutama bila digunakan sebagai bahan bangunan (Haygreen dan Bowyer, 1966).

Partikelnya merupakan serpihan kayu kecil atau bahan lain yang berlignin-selulosa. Perkembangan industry papan partikel sangat cepat. Cepatnya pertumbuhan industri papan partikel disebabkan oleh 1) bahan baku yang berlimpah yang merupakan limbah kayu 2) ketersediaan resin yang dapat diproduksi secara massal 3) produk dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Papan partikel diproduksi dengan ketebalan 0.2-4cm (sekitar 0.1-1.5 in) dengan kerapatan sekitar 0.5-0.8 g/cm3 (Tsoumis, 1991).

Bahan baku dari pembuatan papan partikel adalah kayu, perekat, dan bahan tambahan lainnya. Bahan tambahan seperti wax berguna untuk mengurangi sifat higroskopis, fungisida, insectisida dan bahan racun api. Bahan perekat yang biasa digunakan adalah resin sintetik.

Sintetik resin pertama adalah phenol formaldehid yang pada awalnya (1929) berbentuk lembaran tipis (Tegofilm) dan kemudian berbentuk cair pada tahun 1935. Urea formaldehid muncul pada tahun 1931, melamin formaldehid di akhir dekade yang sama dan resolsinol

5

formaldehid pada tahun 1943. Pada penelitian ini adalah jenis perekat terbaru yaitu Diethyl Methane Diisosianat (MDI) (Tsoumis, 1991).

D. Proses Pembuatan Papan Partikel

a. Pengeringan bahan (Drying)

Kadar air partikel adalah salah satu faktor penting dalam pembuatan papan partikel. Kadar air awal bahan yang tinggi tentunya akan meningkatkan biaya pengeringan. Kadar air bahan setelah pengeringan biasanya diusahakan sekitar 3-6% tergantung jenis dan jumlah resin. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan terbentuk kantung uap selama pengempaan panas. Pengeringan dilakukan dengan cara meletakan bahan pada udara panas. Tingkat atau derajat pengeringan tergantung pada suhu dan waktu pengeringan (Moslemi, 1974).

b. Pencampuran partikel dan perekat

Ada dua perekat yang biasa digunakan, yaitu urea-formaldehide untuk papan partikel yang digunakan untuk interior dan phenol-formaldehide untuk keperluan papan partikel struktural. Perekat biasanya dicampur dengan air sebelum digunakan. Pada umumnya pencampuran diaplikasikan dengan 35-60% air. Banyaknya perekat yang dicampur sekitar 6-7% atau 6-7 g perekat dicampur dengan 100 g bahan kering. Perekat dengan kadar yang lebih tinggi (8-10%) digunakan pada permukaan lapisan papan untuk papan tiga lapis atau lima lapis. Lilin juga sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam larutan dengan kadar 50% padatan dalam proporsi dari 0.75-1% untuk mengurangi sifat higroskopis dan juga meningkatkan stabilitas dimensi. Bahan perekat biasanya ditambahkan atau dicampurkan dengan cara disemprot (Kelly,1977).

c. Pengempaan (Pressing)

Pengempaan diaplikasikan dengan menggunakan pengempaan panas. Suhu saat pengempaan panas adalah sekitar 160-220 oC untuk phenolic resin dan 140-200 oC untuk urea formaldehid (Maloney, 1977)

Gambar 2. Diagram tekanan-waktu untuk produksi papan partikel Sumber: Tsoumis, 1991 Time P re ss u r

e

6

Menurut Maloney (1977) dan Moslemi (1974) pada fase awal tekanan bernilai 0 sampai plat pengempa bersentuhan dengan bahan. Kemudian tekanan meningkat sampai tingkat yang diinginkan dan tetap konstan sampai waktu tertentu. Setelah itu, tekanan dikurangi sebesar 0.1-0.2 N/mm2 (15-30 psi) untuk memberikan kesempatan uap air keluar dari papan dan melepaskan tekanan uap pada bahan. Selanjutnnya proses berlangsung dalam waktu singkat yang bertujuan untuk mencegah memuainya papan sampai selesainya polimerisasi perekat. Setelah itu proses pengempaan selesai. Pada umumnya waktu pengempaan berkisar 10-12 menit untuk papan setebal 2 cm dengan korespondensi 0.5-0.6 menit/mm ketebalan.

*Sumber: FAO

Gambar 3. Diagram alir proses produksi papan partikel

E. Mutu Papan Partikel

Mutu papan partikel meliputi cacat, ukuran, sifat fisik, sifat mekanis, dan sifat termal. Dalam standar papan partikel yang dikeluarkan oleh beberapa negara masih mungkin terjadi perbedaan dalam hal kriteria, cara pengujian, dan persyaratannya. Walaupun demikian, secara garis besarnya sama.

1. Sifat Fisik

• Kerapatan

Kerapatan menyatakan hubungan antara berat dan isi (volume) papan partikel. Kerapatan papan partikel ditetapkan dengan cara yang sama pada semua standar, tetapi persyaratannya tidak selalu sama. Menurut Standar Indonesia Tahun 1983 persyaratannya 0.50-0.70 g/cm3, sedangkan menurut Standar Indonesia Tahun 1996 persyaratannya 0.50-0.90 g/cm3, dan menurut Standar Nasional Indonesia Tahun 2006 persyaratannya 0.40-0.90 g/cm3. Ada standar papan partikel yang mengelompokkan menurut kerapatannya, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

Kerapatan benda atau massa jenis merupakan perbandingan massa dengan volume, berdasarkan definisi tersebut maka rumus kerapatan adalah :

=

[1]

Satuan SI untuk kerapatan adalah kg/m3 atau g/cm3. Sebagai contoh kerapatan air murni sebesar 1000 kg/m3 atau 1g/cm3. Menurut Mohsenin (1980) ada tiga macam massa jenis, yaitu :

Pengempaan

Dokumen terkait