• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGOVENAN YANG BERBEDA SELAMA PENYIMPANAN

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Form Uji Ranking dan Mutu Hedonik ... 57 2. Form Uji Hedonik ... 58 3. Rumus Uji Perbandingan Berganda ... 59 4. Rumus Uji Banding Rataan Ranking ... 59 5. Hasil Uji Friedman pada Penelitian Pendahuluan ... 59 6. Hasil Uji Perbandingan Berganda (Penelitian Pendahuluan) ... 61 7. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Putih Telur H0 ... 61 8. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Putih Telur H15 ... 61 9. Hasil Sidik Ragam Nilai pH Putih Telur H30 ... 61 10.Hasil Sidik Ragam Nilai aw Putih Telur H0 ... 61 11.Hasil Sidik Ragam Nilai aw Putih Telur H15 ... 61 12.Hasil Sidik Ragam Nilai aw Putih Telur H30 ... 61 13.Hasil Sidik Ragam Kadar Air Putih Telur H0 ... 61 14.Uji Tukey Kadar Air Putih Telur H0 ... 62 15.Hasil Sidik Ragam Kadar Air Putih Telur H15 ... 62 16.Hasil Sidik Ragam Kadar Air Putih Telur H30 ... 62 17.Hasil Sidik Ragam Kadar Abu Putih Telur H0 ... 62 18.Hasil Sidik Ragam Kadar Abu Putih Telur H15 ... 62 19.Hasil Sidik Ragam Kadar Abu Putih Telur H30 ... 62 20.Hasil Sidik Ragam TPC Telur Asin H0 ... 62 21.Uji Tukey TPC Telur Asin H0 ... 63 22.Hasil Sidik Ragam TPC Telur Asin H15 ... 63 23.Hasil Sidik Ragam TPC Telur Asin H30 ... 63 24.Hasil Uji Non Parametrik Friedman untuk Ranking Hedonik ... 63 25.Hasil Uji Perbandingan Berganda untuk Ranking Hedonik ... 64 26.Hasil Uji Kruskal Wallis untuk Mutu Hedonik ... 64 27.Hasil Uji Banding Rataan Ranking untuk Mutu Hedonik ... 65 28.Hasil Uji Kruskal Wallis untuk Nilai Hedonik ... 65 29.Hasil Uji Banding Rataan Ranking untuk Nilai Hedonik ... 66

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Telur merupakan produk ternak unggas yang sering dikonsumsi masyarakat karena harganya murah, kandungan gizinya tinggi, mudah diperoleh, dan dimanfaatkan baik bagian putih telur, kuning telur maupun gabungan keduanya. Jenis telur yang umum digunakan oleh masyarakat untuk membuat telur asin adalah telur itik karena pori-pori kerabang telurnya besar sehingga garam NaCl lebih mudah berpenetrasi ke dalam telur dan kandungan lemaknya tinggi sehingga lebih mudah terbentuk tekstur masir dan berminyak pada kuning telur. Tekstur masir dan berminyak merupakan ciri khas dari telur asin dan menjadi daya tarik bagi konsumen.

Cara sederhana dalam membuat telur asin yaitu dengan merendam telur ke dalam larutan garam. Telur yang diasinkan dengan metode tersebut biasanya mengalami pemasakan terlebih dahulu sebelum dijual ke konsumen. Metode pemasakan yang sering digunakan oleh produsen telur asin adalah perebusan, namun permasalahan yang sering dijumpai adalah daya simpan dari telur asin yang hanya direbus tidak dapat bertahan selama satu bulan dalam suhu ruang, atau jika telur asin tersebut masih bertahan selama satu bulan, hal ini lebih disebabkan oleh semakin lamanya waktu pengasinan yang dilakukan, akibatnya rasa putih telur menjadi sangat asin, sehingga dapat mengurangi citarasa telur asin tersebut karena konsumen tidak menyukai rasa putih telur yang terlampau asin.

Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengem- bangkan metode pemasakan baru, salah satunya adalah kombinasi antara perebusan dan pengovenan. Metode tersebut dipilih karena pengovenan secara umum mampu menurunkan kadar air bahan pangan, sehingga dapat memperbaiki kualitas simpannya. Perubahan yang terjadi akibat pengovenan tidak hanya terdapat pada kadar air, namun juga pada parameter lain seperti organoleptik dan mikrobiologi, oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk lebih mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada telur asin yang dioven khususnya perubahan pada karakteristik kimia, mikrobiologi, dan organoleptiknya selama penyimpanan, karena informasi mengenai hal tersebut masih sedikit ditemukan. Melalui proses pengovenan,

2 diharapkan telur asin yang dihasilkan memiliki aroma dan citarasa yang khas serta kualitasnya dapat dipertahankan selama satu bulan dalam suhu ruang.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk mempelajari pengaruh lama pengovenan terhadap perubahan karakteristik kimia, mikrobiologi, dan organoleptik telur asin selama penyimpanan di suhu ruang, serta memperoleh perlakuan yang terbaik ditinjau dari segi kimia, mikrobiologi, dan organoleptik.

3 TINJAUAN PUSTAKA

Telur

Telur merupakan salah satu produk unggas yang mengandung protein cukup tinggi sebesar 12%. Telur terutama kaya akan asam amino esensial seperti lisin, triptofan, dan khususnya metionin yang merupakan asam-asam amino esensial terbatas (Yuwanta, 2010). Komposisi asam amino yang lengkap dengan proporsi yang seimbang tersebut menyebabkan protein telur digunakan secara luas sebagai standar dan bilangan nisbah efisiensi protein (NEP) serta dianggap memiliki nilai biologi 100 (Man, 1999).

Pengelompokkan telur berdasarkan bobot minimum yang dijelaskan dalam United States Departement of Agriculture (2000) yakni jumbo (70 gram/butir), besar sekali (63 gram/butir), besar (56 gram/butir), sedang (49 gram/butir), kecil (42 gram/butir), dan kecil sekali (35 gram/butir). Kaewmanee (2010) menyebutkan bah- wa sebutir telur itik tersusun atas 10,87% kerabang, 54,73% putih telur, dan 33,94% kuning telur dengan bentuk struktur telur yang berlapis-lapis (Gambar 1).

Keterangan: (1) Germinal disc (blastoderm), (2) membran yolk, (3) latebra, (4) lapisan yolk terang, (5) lapisan yolk gelap, (6) kalaza, (7) lapisan encer albumen, (8) lapisan kental albumen, (9) pori-pori, (10) kantung udara, (11) membran kerabang, (12) membran dalam telur, (13) permukaan kerabang yang bergabung dengan lapisan mamilari, (14) kutikula, (15) lapisan bunga karang

Gambar 1. Struktur Telur Sumber: Belitz dan Grosch (2009)

4 Kerabang Telur

Kerabang telur terdiri atas bagian luar yang ditutupi oleh gelatin (kutikula), garam inorganik, beberapa materi organik dan sedikit air. Rata-rata komposisi protein pada membran kerabang telur ayam sebesar 70%. Bagian kutikula pada kerabang telur diduga mengandung beberapa protein berupa musin (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kerabang telur menurut Belitz dan Grosch (2009) terdiri atas kristal kalsium karbonat yang tertanam dalam matriks organik dan kompleks protein- mukopolisakarida dengan perbandingan 50:1, juga sejumlah kecil magnesium karbonat dan fosfat. Suguro et al. (2000) menyebutkan bahwa kandungan kalsium pada kerabang telur sebesar 37,7%. Struktur kerabang telur berdasarkan Belitz dan Grosch (2009) terbagi menjadi empat bagian yakni kutikula, lapisan bersepon (bunga karang), lapisan mamilari, dan pori-pori.

Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan bahwa ukuran pori-pori besar dan kecil pada permukaan kerabang telur itik masing-masing yaitu 0,036 x 0,031 mm dan 0,014 x 0,012 mm, sedangkan pada permukaan kerabang telur ayam ukuran pori- pori besar dan kecilnya masing-masing yaitu 0,029 x 0,022 mm dan 0,011 x 0,009 mm. Jumlah pori di seluruh bagian kerabang telur bervariasi antara 100-200 pori/cm2, bagian tumpul dari telur memiliki jumlah pori yang lebih banyak serta tebal kerabang yang lebih tipis daripada bagian yang lain. Fungsi pori kerabang telur adalah sebagai tempat pertukaran gas-gas dari dalam dan luar kerabang sehingga membantu respirasi embrio di dalam telur.

Putih Telur (Albumen)

Romanoff dan Romanoff (1963) menyebutkan, bahwa putih telur terdiri atas putih telur encer bagian luar (23,2%) dengan kadar air sebesar 88,8%, putih telur kental (57,3%) dengan kadar air sebesar 87,6%, putih telur encer bagian dalam (16,8%) dengan kadar air sebesar 86,4%, dan khalazaferous (2,7%) dengan kadar air sebesar 84,3%. Bahan penyusun utama dari putih telur adalah air. Kadar air akan mengalami penurunan dari lapisan luar menuju lapisan dalam putih telur.

Putih telur (albumen) selain menjadi sumber protein pada telur (9,7%-10,8%) juga mengandung fraksi gula (0,4%-0,9%), garam mineral (0,5%-0,6%), lemak (0,03%), dan abu (0,5%-0,6%) serta memiliki berat kering sekitar 10,6%-12,1% (Yuwanta, 2010). Protein pada putih telur terdiri atas ovalbumin (54%), konalbumin

5 atau ovotransferin (12%), ovomukoid (11%), ovomusin (3,5%), lisosom atau G1 globulin (3,4%), G2 globulin (4%), G3 globulin (4%), ovoflavoprotein (0,8%), ovoglikoprotein (1,0%), ovomakroglobulin (0,5%), ovoinhibitor (1,5%), sistatin (0,05%), dan avidin (0,05%) (Stadelman dan Cotterill, 1995).

Kuning Telur (Yolk)

Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air dengan berat kering sebesar 50% yang terdiri atas 65% lipid, 31% protein, dan 4% karbohidrat, vitamin, dan mineral (Belitz dan Grosch, 2009). Susunan kuning telur dari bagian dalam hingga luar menurut Yuwanta (2010) yakni latebra, kuning telur berwarna putih (white yolk) dan berwarna kuning (yellow yolk) yang tersusun secara konsentris berselang seling, serta membran vitelin. Huopalahti et al. (2007) menyebutkan bagian-bagian dari kuning telur berdasarkan bahan kering yaitu terdiri atas 19%-23% granula dan 77%- 81% plasma. Bagian granula terdiri atas 70% high density lipoprotein (HDL), 16% fosvitin, dan 12% low density lipoprotein (LDL), sedangkan bagian plasma terdiri atas LDL sebanyak 85% dan livetin sebanyak 15%.

Bagian granula memiliki ukuran yang seragam dengan diameter 1,0-1,3 µm, sedangkan bagian plasma berupa yolk droplet memiliki ukuran yang bervariasi antara 20-40 µm. Jenis protein yang terdapat pada granula kuning telur yaitu lipovitelin (disusun oleh HDL) dan fosvitin, sedangkan yang terdapat dalam plasma yaitu lipovitelenin (disusun oleh LDL) dan livetin (Belitz dan Grosch, 2009).

Lemak kuning telur menurut Yuwanta (2010) tersusun atas komplek lemak- protein dalam bentuk LDL dan lipovitelin dalam bentuk ikatan bebas. Lemak telur terdiri atas 65% trigliserida, 28,3% fosfolipid, dan 5,2% kolesterol. Stadelman dan Cotterill (1995) menyebutkan bahwa kuning telur merupakan sumber utama karbonil jenuh maupun tak jenuh.

Substansi Aroma

Stadelman dan Cotterill (1995) menyatakan, bahwa telur yang disimpan dapat menyerap flavor dari bahan-bahan makanan di sekitarnya. Telur segar menurut Romanoff dan Romanoff (1963) dapat dibedakan dari telur yang basi ketika digabungkan dengan bahan lain. Bau amis dari telur berhubungan dengan pakan yang diberikan pada unggas. Ward et al. (2009) menjelaskan, ayam petelur yang

6 diberi pakan dengan kanola akan menghasilkan telur yang berbau amis. Timbulnya bau amis disebabkan oleh terakumulasinya trimetilamin pada kuning telur. Trimetilamin (TMA) terbentuk dari degradasi kolin oleh senyawa mikroba.

Aroma utama yang ditemukan pada putih dan kuning telur yang dimasak adalah sulfur akibat dari penguapan gas H2S (Stadelman dan Cotterill, 1995). Karakteristik aroma dari telur yang dimasak lebih lanjut dijelaskan oleh Warren et al. (1995) yaitu terdapat 32 senyawa volatil yang dapat diidentifikasi dari telur yang dimasak selama 30 menit pada suhu 100 oC melalui analisis volatil extraction. Senyawa volatil tersebut dibagi menjadi 8 kelas yang terdiri atas 10 aldehid, 2 keton, 5 alkohol, 2 alkana, 1 furan, 1 pirazin, 6 senyawa aromatik, dan 6 asam lemak. Di antara senyawa-senyawa tersebut, pirazin merupakan senyawa yang berkontribusi dalam flavor makanan yang dipanggang.

Pengawetan dan Pemasakan Telur

Pengawetan menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) tidak dapat menaikkan mutu suatu bahan pangan. Pengawetan bertujuan untuk memperlama waktu terjadinya penurunan mutu bahan pangan tersebut.

Prinsip pengawetan telur utuh adalah untuk mencegah terjadinya penguapan air dan terlepasnya CO2 dari dalam telur serta mencegah masuknya mikroba dari luar melalui pori-pori kerabang. Umumnya pengawetan yang dilakukan pada telur dapat dilakukan dalam bentuk pengawetan telur segar dan telur olahan. Pengawetan dalam bentuk telur segar yakni dengan menutup pori-pori kerabang telur. Pengawetan ini dapat dilakukan antara lain dengan pelapisan telur menggunakan minyak, pelapisan dengan bahan kimia (kalsium karbonat, sodium silikat, vaselin, dan parafin), perendaman dalam larutan kapur dan ekstrak nabati. Pengawetan telur segar juga dapat dilakukan dengan menyimpannya dalam lemari es. Pengawetan dalam bentuk telur olahan yakni dengan menambah bahan-bahan yang mampu untuk mengawetkan makanan seperti garam, gula, dan asam (Syariefdan Halid, 1993).

Pengasinan

Prinsip pengasinan menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) adalah (1) memecahkan (plasmolisis) membran sel mikroba, (2) garam mempunyai sifat higroskopis sehingga akan menarik air keluar jaringan yang menyebabkan aw akan

7 menjadi rendah, (3) garam yang berbentuk larutan dapat mengurangi oksigen terlarut, dan (4) ion Cl dari garam bersifat racun bagi mikroorganisme. Gaman dan Sherrington (1992) menjelaskan bahwa klorin digunakan sebagai desinfektan yang mampu membunuh bakteri dengan reaksi sebagai berikut:

Cl2 + H2O HCl + HOCl. Asam hipoklorat (HOCl) yang terbentuk akan membunuh bakteri dengan cara oksidasi dan kemudian berubah menjadi asam klorida.

Pengasinan menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi berat putih telur namun menurunkan proporsi kuning telur. Kadar air baik putih maupun kuning telur menurun secara bertahap seiring meningkatnya kandungan garam dan abu serta lamanya waktu pengasinan (Kaewmanee, 2010).

Pemberian garam menurut Belitz dan Grosch (2009) menimbulkan pengaruh pada kelarutan protein. Pemberian yang terlampau sedikit (konsentrasi rendah) akan meningkatkan kelarutan protein (efek salting in) dengan menekan interaksi protein- protein elektrostatik, sedangkan pemberian garam yang terlampau banyak (konsentrasi tinggi) akan menurunkan kelarutan protein (efek salting out) sebagai hasil dari kecenderungan hidrasi ion garam. Stadelman dan Cotterill (1995) juga menyebutkan bahwa penambahan garam akan meningkatkan koagulasi, beberapa garam menurunkan sejumlah ikatan air pada putih telur.

Pengasinan dengan metode pembalutan cenderung lebih banyak menghasilkan eksudasi minyak pada kuning telur daripada dengan metode perendaman. Kekerasan dan keadhesifan kuning telur juga ditemukan lebih tinggi pada pengasinan metode pembalutan, sedangkan metode perendaman ditemukan lebih tinggi di dalam kemampuan retak, daya elastisitas, kelengketan dan daya kunyah. Kadar air putih telur dari metode perendaman sedikit lebih rendah daripada metode pembalutan, kemungkinan besar hal ini dipengaruhi oleh migrasi air dari putih telur menuju air garam jenuh yang diperantarai dengan proses osmosis (Kaewmanee, 2010).

Pengasinan tidak hanya mempengaruhi karakteristik fisik, kimia maupun organoleptik dari telur asin, namun juga mempengaruhi nilai gizinya. Nilai gizi dari telur itik asin berbeda dengan telur itik segar (Tabel 1).

8 Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Itik Segar dan Telur Itik Asin (Tiap 100 Gram

Bahan) Bahan Pangan Air

(g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Ca (mg) Vit. A (SI) Kalori (Kal) Telur itik 70,8 13,1 14,3 0,8 56 1.230 189

Telur itik asin 66,5 13,6 13,6 1,4 120 841 195

Sumber: Poedjiadi dan Supriyanti (2005)

Proses Termal

Proses termal (pemanasan) menurut Estiasih dan Ahmadi (2011) dapat menyebabkan perubahan pada karakteristik fisik, kimia maupun nutrisi produk pangan. Perubahan yang terjadi bergantung pada intensitas maupun metode pemanasan, bahan baku, serta perlakuan sebelum pemanasan. Perubahan sifat organoleptik juga dapat terjadi pada proses termal. Perubahan tersebut merupakan akumulasi dari berbagai perubahan yang terjadi selama proses seperti denaturasi protein dan restrukturisasi lemak yang menyebabkan perubahan tekstur dan cita rasa produk. Harris dan Karmas (1989) menyebutkan, bahwa pengolahan dapat menyebabkan penyusutan mineral maksimal 3% pada bahan pangan.

Perebusan. Winarno (2008) menyebutkan, perebusan merupakan cara memasak makanan dalam cairan yang sedang mendidih (100 oC). Bahan pangan yang dimasak menggunakan air akan meningkat daya kelarutannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (1999) menunjukkan bahwa lama perebusan yang efektif digunakan untuk tujuan pengawetan adalah selama 15 menit karena menghasilkan penurunan kadar air dan nilai pH yang paling rendah sehingga proses kebusukan dapat diperlambat. Lama perebusan 15 menit menyebabkan protein putih telur yang terdenaturasi lebih sedikit dibandingkan telur yang direbus selama 30 menit. Selain itu penetrasi air rebusan akan lebih rendah bila telur direbus selama 15 menit. Banyaknya protein yang terdenaturasi mampu meningkatkan kadar air dalam putih telur, sehingga menyebabkan proses pembusukan yang ditimbulkan oleh bakteri dan proses kimia lebih dipercepat.

Romanoff dan Romanoff (1963) menambahkan, bahwa perebusan menyebabkan kehilangan berat pada telur sebesar 0,03–0,1 gram. Persentase lemak, nitrogen, fosfor, dan air pada telur yang direbus hampir sama dengan telur segar. Putih telur yang mengalami perebusan selama 20 menit dengan suhu 100 oC memi-

9 liki daya simpan selama 1,5–3 hari. Keretakan kerabang telur yang terjadi pada proses perebusan menurut Brown (2000) dapat dikurangi dengan cold start method yakni memasukkan telur ke panci perebusan yang berisi air dingin lalu dipanaskan.

Pengovenan. Pengovenan adalah proses termal yang menggunakan udara panas. Udara panas tersebut dipindahkan ke bahan makanan melalui tiga cara yakni radiasi, konveksi, dan konduksi (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Hasil penelitian Trilaksami et al. (2004) mengenai pengaruh suhu dan lama pengovenan terhadap karakteristik cumi-cumi kertas menunjukkan bahwa suhu mempengaruhi kecerahan produk, semakin tinggi suhu pengovenan menyebabkan semakin rendah nilai kecerahan produk.

Hasil penelitian Ayuza (2011) mengenai pengaruh level suhu pengovenan terhadap kadar protein, kadar air, total koloni bakteri, umur simpan, dan nilai organoleptik telur asin menunjukkan bahwa telur asin yang paling baik adalah telur asin yang dioven selama 6 jam pada suhu 90 oC. Perlakuan telur asin tersebut menghasilkan kadar protein 13,47%, kadar air 54,77%, total koloni bakteri 9,22 x 104 CFU/g dengan umur simpan selama 36,20 hari.

Winarno et al. (1980) menyebutkan jika pemasakan dengan menggunakan udara panas seperti pengovenan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi, maka hal ini dapat mengakibatkan terjadinya “case hardening” yaitu suatu bagian luar (permukaan) dari bahan sudah kering sedangkan bagian sebelah dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi sehingga bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras, serta akan menghambat penguapan selanjutnya dari air yang terdapat di bagian dalam bahan tersebut. Terjadinya “case hardening” dapat menyebabkan mikroba yang ada di bagian dalam bahan yang masih basah dapat berkembang biak sehingga menimbulkan kebusukan, dan membutuhkan waktu yang lebih lama jika bahan akan direhidrasi. Cara mencegah “case hardening” misalnya dengan membuat suhu pengovenan tidak terlalu tinggi.

Perubahan yang terjadi akibat pengovenan adalah pengembangan volume, pembentukan kulit (crust), inaktivasi mikroba dan enzim, koagulasi protein, dan gelatinisasi sebagian pati. Perubahan tersebut disertai dengan pembentukan senyawa- senyawa cita rasa dari gula yang mengalami karamelisasi, membentuk pirodekstrin dan melanoidin, serta pembentukan aroma dari senyawa-senyawa aromatik yang

10 terdiri atas aldehid, keton, berbagai ester, asam, dan alkohol (Estiasih dan Ahmadi, 2011).

Perubahan yang Terjadi selama Pemasakan Denaturasi Protein

Denaturasi merupakan proses yang mengubah struktur molekul tanpa memutuskan ikatan peptida dari protein. Denaturasi dapat disebabkan oleh panas, pH, garam, dan efek permukaan (Man, 1999). Pengertian lain dari denaturasi yang dinyatakan Winarno (2008) yakni modifikasi pada struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Struktur primer merupakan susunan asam amino dalam protein yang berbentuk linier. Struktur sekunder merupakan struktur protein yang berbentuk tiga dimensi dengan susunan cabang rantai polipeptida yang saling berdekatan. Struktur tersier merupakan susunan protein yang terdiri atas struktur sekunder yang berbeda bentuknya, sedangkan struktur kuartener merupakan struktur protein yang melibatkan beberapa polipeptida.

Denaturasi secara umum bersifat reversible ketika rantai peptida distabilkan dalam keadaan yang tidak terikat oleh agen denaturasi. Denaturasi yang bersifat irreversible terjadi ketika rantai peptida yang tidak terikat distabilkan oleh interaksinya dengan rantai lain (contohnya protein telur selama perebusan) (Belitz dan Grosch, 2009).

Reaksi Maillard

Muchtadi (1989) menyebutkan bahwa reaksi antara protein dengan gula pereduksi (reaksi Maillard) merupakan sumber utama kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi Maillard terjadi dalam dua tahap reaksi yakni reaksi awal dan reaksi lanjutan. Reaksi awal ditandai dengan terjadinya kondensasi antara grup karbonil gula pereduksi dan grup amino bebas dari asam amino atau protein. Produk kondensasi tersebut akan berubah menjadi basa Schiff karena kehilangan molekul air dan akhirnya terjadi siklisasi oleh penyusunan kembali Amadori membentuk senyawa 1-amino-1-deoksi-2-ketosa. Senyawa Amadori yang terbentuk merupakan bentuk utama lisin terikat dalam makanan yang masih belum

11 mengubah warna makanan tersebut walaupun secara biologis lisin dalam makanan sudah tidak tersedia.

Reaksi Maillard lanjutan dapat terjadi melalui tiga jalur, dua diantaranya dimulai dengan produk amadori, sedangkan yang ketiga dari degradasi Strecker. Reaksi ini akan berakhir dengan pembentukan pigmen berwarna coklat yang disebut melanoidin (Gambar 2). Protein yang telah mengalami reaksi Maillard daya cernanya menurun. Penurunan nilai gizi protein tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) lisin dan sistin rusak akibat bereaksi dengan karbonil atau dikarbonil dan aldehid; (2) penurunan availabilitas semua asam amino termasuk leusin (leusin biasanya stabil), karena terbentuknya ikatan silang antar asam-asam amino melalui produk reaksi Maillard; (3) penurunan daya cerna protein karena tercegahnya penetrasi enzim ke dalam substrat (protein) atau karena tertutupinya sisi protein yang dapat diserang enzim dari ikatan silang tersebut (Muchtadi, 1989).

Man (1999) menambahkan, bahwa reaksi Maillard (pencoklatan nonen- zimatis) adalah salah satu faktor yang memicu terjadinya kebusukan dalam makanan. Reaksi ini bergantung pada aktivitas air dan mencapai tingkat maksimum pada aw 0,6 hingga 0,7. Pencoklatan nonenzimatis dipengaruhi oleh kadar air produk. Umumnya laju pencoklatan pada aktivitas air < 0,4 berlangsung lambat karena air pelarut tidak mencukupi, dan jika aktivitas air dinaikkan melebihi 0,4 maka laju pencoklatan meningkat sampai maksimum pada aktivitas air 0,65. Aktivitas air yang lebih tinggi menyebabkan laju pencoklatan turun karena pereaksi menjadi encer dan air juga merupakan produk reaksi pencoklatan (Harris dan Karmas, 1989).

12 Gambar 2. Reaksi Pembentukan Melanoidin

Sumber: Man (1999)

Penurunan dan Perubahan Mutu selama Penyimpanan

Kerusakan pada bahan pangan dicirikan oleh adanya penyimpangan yang melewati batas yang dapat diterima secara normal oleh pancaindera atau parameter lain yang biasa digunakan (Damayanthi dan Mudjajanto, 1995). Penurunan mutu bahan pangan meliputi penurunan nilai gizi, penyimpangan warna, perubahan rasa dan bau, adanya pembusukan, dan modifikasi komposisi kimia (Syarief dan Halid, 1993). Indikator kerusakan telur asin menurut Khasanah et al. (2010) terdapat pada parameter aroma.

13 Perubahan Fisik

Perubahan fisik yang terjadi selama penyimpanan telur utuh diantaranya yaitu berkurangnya berat terutama disebabkan oleh hilangnya air dari putih telur, juga CO2, NH3, N2, dan H2S; pertambahan ukuran ruang udara; penurunan berat jenis; bercak-bercak pada permukaan kulit telur karena penyebaran air yang tidak merata; penurunan jumlah putih telur kental karena serat glikoprotein ovomusin pecah; penambahan ukuran kuning telur karena perpindahan air dari putih telur ke kuning telur sebagai akibat perbedaan tekanan osmosis; perubahan cita rasa; serta kenaikan pH terutama dalam putih telur yang meningkat dari sekitar pH 7 hingga 10 atau 11 sebagai akibat hilangya CO2 (Buckle, 2007).

Penguapan air secara terus menerus melalui kerabang menyebabkan penurunan berat jenis dengan koefisien penurunan harian sekitar 0,0017 g/cm3 (Belitz dan Grosch, 2009). Laju susut air menurut Harris dan Karmas (1989) bergantung pada luas permukaan produk maupun keadaan lingkungannya.

Stadelman dan Cotterill (1995) menyebutkan, kelembaban tidak mempengaruhi kualitas putih dan kuning telur namun berpengaruh besar pada hilangnya bobot telur selama penyimpanan. Kelembaban relatif yang dianjurkan untuk menyimpan telur adalah 75%-80%.

Perubahan Kimia

Nilai pH. Nilai pH merupakan ukuran keasaman atau alkalinitas suatu larutan (Gaman dan Sherrington, 1992). Albumen pada telur segar mengandung bikarbonat dan CO2. Terdapat hubungan antara konsentrasi CO2 bebas dengan pH. Hilangnya CO2 menyebabkan meningkatnya nilai pH pada albumen, nilai pH bergantung pada tekanan parsial dari CO2. Perubahan tekanan CO2 berpengaruh kecil pada pH kuning telur (Stadelman dan Cotterill, 1995). Nilai pH putih telur segar sekitar 7,6-7,9 dan meningkat menjadi 9,7 selama penyimpanan (Belitz dan Grosch, 2009).

Buckle et al. (2007) menyatakan bahwa beberapa mikroorganisme khususnya khamir dan kapang mampu memecah asam yang secara alamiah terdapat dalam bahan pangan. Akibatnya terjadi perubahan pH yang memungkinkan tumbuhnya

Dokumen terkait