• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman Lampiran 1. Prosedur penentuan proksimat kadar abu, air dan serat ... 31 Lampiran 2. Prosedur penentuan proksimat pati, protein, lemak dan atsiri ... 32 Lampiran 3. Data rendemen maserasi ... 34 Lampiran 4. Data rendemen remaserasi ... 35 Lampiran 5. Data rendemen perkolasi ... 36 Lampiran 6. Data rendemen reperkolasi ... 37 Lampiran 7. Hasil analisis pengaruh perlakuan tehadap respon ... 38 Lampiran 8. Data penentuan kurva standar kurkumin ... 41 Lampiran 9. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin standar ... 42 Lampiran 10. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin maserasi ... 44 Lampiran 11. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin remaserasi ... 47 Lampiran 12. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin perkolasi ... 50 Lampiran 13. Hasil analisis kromatogram HPLC kurkumin reperkolasi ... 53 Lampiran 14. Data kadar kurkumin ... 56 Lampiran 15. Hasil perhitungan analisis kurkuminoid dengan SPSS 16 ... 57

I. PENDAHULUAN

1.

LATAR BELAKANG

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis temu-temuan yang termasuk dalam marga Zingiberaceae. Masyarakat mengenal temulawak sebagai ramuan obat tradisional. Bagian tanaman temulawak yang banyak dimanfaatkan adalah bagian rimpang. Rimpang temulawak mengandung senyawa felandren, kamfer, turmenol, tolilmetilkarbinol, xanthorrizol, kurkumin, pati dan resin (Aliadi et.al, 1996). Zat warna kuning kurkumin pada temulawak bekerja sebagai kolekinetik, sedangkan minyak atsirinya (felandren, kamfer, turmenol, tolilmetilkarbinol dan xanthorrizol) berfungsi sebagai pencegah gangguan fungsi empedu yang biasa dikenal dengan istilah koleretik (Departemen Kesehatan RI, 1989).

Dewasa ini produksi temulawak tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan ekspor tanaman obat ke luar negeri. Produk temulawak yang diekspor umumnya berupa temulawak segar dan temulawak kering. Aktivitas ekspor temulawak yang menitikberatkan pada temulawak segar dan temulawak kering berakibat pada sering ditolaknya ekspor temulawak Indonesia oleh negara importir. Negara importir menilai bahwa pengiriman temulawak segar dan temulawak kering berdampak signifikan terhadap penurunan mutu temulawak, sehingga temulawak ekspor akan memiliki mutu yang rendah.

Faktor penyebab terjadinya penurunan mutu temulawak yaitu pengeriputan, perkecambahan, dan pencemaran mikroba akibat kurangnya perhatian terhadap kondisi sanitasi pada saat pengeringan dan pengepakan. Selain itu, umumnya temulawak yang di ekspor dalam bentuk segar mengalami perubahan bau (off flavor). Hal ini dikarenakan temulawak mengandung enzim-enzim, terutama enzim lipase, yang dapat merubah lemak menjadi asam lemak bebas penyebab ketengikan.

Penurunan mutu temulawak dapat dihindari dengan cara melakukan ekstraksi sehingga dihasilkan oleoresin temulawak. Di samping menghindari penurunan mutu, produksi ekstrak temulawak juga dapat memberikan keuntungan dalam hal pembiayaan dikarenakan minimnya kebutuhan biaya produksi. Alasan inilah yang mendorong para pelaku industri untuk meningkatkan pendapatan perusahaan mereka melalui produksi ekstrak temulawak.

Ekstrak temulawak dapat diperoleh melalui ekstraksi sederhana, ekstraksi khusus dan perendaman rajangan atau bubuk temulawak ke dalam air panas. Ekstraksi melalui perendaman dinilai kurang efektif, mengingat bahwa kurkumin yang terkandung dalam temulawak memiliki sifat tidak larut dalam air. Dengan demikian ekstraksi kurkumin tidak dapat terjadi secara optimal dan mengalami kerusakan akibat tingginya suhu air. Jika dibandingkan dengan metode perendaman, metode ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus merupakan perlakuan yang lebih baik

Ekstraksi sederhana terdiri dari maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi dan dialokasi, sedangkan ekstraksi khusus terdiri dari sokletasi, arus balik dan ultrasonik. Dalam skala industri ekstraksi sederhana dinilai lebih efektif dibandingkan dengan ekstraksi khusus karena proses yang dilakukan lebih sederhana dan tidak membutuhkan peralatan berteknologi tinggi. Oleh karena itu biaya produksi akan cenderung lebih murah sehingga harga jual produk dapat ditetapkan pada tingkatan harga yang lebih terjangkau oleh masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut maka pemilihan metode ekstraksi merupakan keputusan penting dalam aktivitas manajemen produksi. Melalui berbagai pertimbangan terhadap efisiensi biaya dan optimalisasi produksi, maka pada penelitian ini akan dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap ekstraksi kurkumin dengan menggunakan empat jenis metode sederhana meliputi maserasi, remaserasi, perkolasi dan reperkolasi.

2.

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis jenis metode sederhana yang terbaik yang dapat mengoptimalkan hasil dalam skala industri berdasarkan rendemen dan kadar oleoresin dalam ekstrak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan bagi para pelaku industri untuk memilih proses ekstraksi yang akan digunakan dalam industri tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

BOTANI TEMULAWAK

Berdasarkan klasifikasinya temulawak merupakan tanaman yang termasuk dalam: Kingdom : Plantae Divisi : Spermathophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledone Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb.

Temulawak merupakan terna berbatang semu dengan tinggi kurang lebih dua meter dan berwarna hijau atau coklat gelap. Temulawak memiliki akar rimpang berwarna hijau gelap yang terbentuk sempurna dengan percabangan yang kuat. Batang temulawak memiliki dua hingga sembilan lembar daun berwarna hijau atau coklat keungunan yang berbentuk memanjang. Ciri lain dari temulawak adalah perbungaan lateral, tangkai ramping, sisik berbentuk garis dan berbulu halus, bentuk bulir bulat memanjang dan memiliki daun pelindung yang banyak, serta mahkota bunga berbentuk tabung berwarna putih atau kekuningan.

Di wilayah Jawa, temulawak dapat ditemukan di pekarangan rumah, tegalan, serta dapat juga tumbuh liar di hutan jati. Temulawak dapat ditanam pada tanah berat berstruktur liat, tetapi untuk memperoleh hasil yang baik maka temulawak perlu ditanam pada tanah yang subur dan baik tata perairannya, yakni dengan curah hujan antara 1500 - 4000 mm per tahun (Depkes RI, 1993). Sudarman dan Harsono (1980) menyatakan bahwa temulawak dapat tumbuh hingga ketinggian 1800 m diatas permukaan laut. Temulawak juga dapat tumbuh pada tanah berkapur, tanah ringan berpasir atau tanah liat.

Temulawak merupakan tumbuhan asli Indonesia yang berasal dari Pulau Jawa dan kemudian menyebar ke wilayah Indonesia lainnya. Mengacu pada Supriadi (2001), temulawak turut pula dikenal dengan beberapa nama daerah, seperti tetemulawak (Sumatera), kunyitetumbu (Aceh) koneng gede

(Jawa Barat) dan temu lobak (Madura).

Dokumen terkait