• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nomor Halaman 1. Analisis Ragam Jumlah Anak Sepelahiran ... 48

2. Analisis Ragam Bobot Lahir Anak Mencit ... 48 3. Analisis Ragam Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertumbuhan Anak Mencit Umur 3 Hari ... 48 4. Analisis Ragam Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertumbuhan Anak Mencit Umur

6 Hari ... 48

5. Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertumbuhan Anak Mencit Umur 9 Hari ... 49 6. Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertumbuhan Anak Mencit Umur 12 Hari ... 49

7. Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertumbuhan Anak Mencit Umur 15 Hari ... 50 8. Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertumbuhan Anak Mencit Umur 18 Hari ... 50 9. Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertambahan Bobot Badan

Anak Mencit Umur 1-3 Hari ... 51 10.Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Mencit Umur 3-6 Hari ... 51 11.Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Mencit Umur 6-9 Hari ... 51 12.Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Mencit Umur 9-12 Hari ... 52 13.Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Mencit Umur 12-15 Hari ... 52

14.Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Mencit Umur 15-18 Hari ... 52 15.Analisis Ragam dan Uji Tukey Perlakuan (Kontrol, Penambahan 2,5 dan 5,0% Kemangi Segar) terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Mencit Umur 18-21 Hari ... 53 16.Analisis Ragam dan Uji Tukey Bobot Sapih Anak Mencit ... 53 17.Analisis Ragam Jumlah Anak Mencit yang Berhasil Disapih ... 53 18. Analisis Ragam Mortalitas Anak Mencit sampai Umur Sapih ... 54

19.Korelasi Antara Jumlah Anak Sepelahiran, Bobot Lahir, Pertambahan Bobot Badan, Bobot Sapih, Jumlah Anak Sapih, dan Mortalitas Anak sampai Umur Sapih ... 54 20. Analisis Ragam Pakan Penelitian ... 54

1 PENDAHULUAN

Latar belakang

Dewasa ini perkembangan teknologi dan pendidikan cukup pesat, seiring dengan hal itu tuntutan kebutuhan hidup masyarakat pun meningkat. Fenomena ini terjadi pada berbagai sektor pembangunan termasuk sub sektor peternakan.

Upaya untuk memenuhi dan mengantisipasi kebutuhan konsumen perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan produksi dibidang peternakan. Dalam perkembangannya, keuntungan sebuah peternakan ditentukan oleh keterpaduan langkah perbaikan mutu genetik dan pakan yang berkualitas baik dan seimbang serta tata laksana yang baik dan tergantung juga pada produktivitas yang dihasilkan. Produktivitas ternak tidak lepas dari sifat–sifat reproduksi seperti jumlah anak sepelahiran, bobot lahir anak, pertumbuhan dan pertambahan anak, bobot sapih, jimlah anak sapih dan mortalitas. Sifat-sifat reproduksi dapat dijadikan sebagai indikator tingkat produktivitas ternak.

Salah satu syarat untuk pengembangan peternakan adalah tersedianya hewan percobaan konvensional yang sehat. Salah satu alternatif yang dapat mengatasi hal ini adalah dengan menggunakan mencit sebagai hewan model. Mencit liar atau rumah merupakan hewan semarga dengan mencit laboratorium. Hewan ini tersebar di seluruh dunia dan mudah ditemukan, dapat hidup di daerah yang cukup luas, mulai dari iklim dingin, sedang maupun panas dan dapat hidup terus menerus dalam kandang.

Mencit dijadikan hewan model karena murah harganya, cepat berbiak, mempunyai interval generasi yang pendek, jumlah anak sepelahiran yang tinggi, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik yang cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologis yang dapat mewakili mamalia besar lainnya. Hal-hal tersebut menjadikan mencit sebagai hewan model yang praktis untuk penelitian sifat-sifat reproduksi.

Akhir–akhir ini para peneliti dari negara maju mulai mengarahkan perhatiannya pada tumbuhan obat yang merupakan sumber daya alami yang tidak pernah habis dan terus dikembangkan. Tanaman-tanaman tersebut sering dijadikan sebagai pakan tambahan untuk melengkapi komponen zat pakan ternak. Dengan

2 pemberian pakan tambahan diharapkan mampu memperbaiki perfarma sifat-sifat reproduksi ternak. Salah satunya adalah kemangi. Kemangi merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai obat tradisional yang dipercaya memiliki kemampuan untuk menyuburkan dan mencegah kemandulan pada wanita karena kemangi mengandung senyawa kimia yang mampu merangsang sekresi hormon-hormon reproduksi seperti estrogen dan progesteron.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh penambahan kemangi (Ocimum basilicum) segar dalam pakan induk terhadap sifat-sifat reproduksi mencit (Mus musculus) betina yang meliputi jumlah anak sepelahiran, bobot lahir, pertumbuhan dan pertambahan bobot badan, bobot sapih, jumlah anak sapih dan mortalitas.

Manfaat

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi gambaran penggunaan kemangi sebagai sumber fitoestrogen untuk memperbaiki sifat-sifat reproduksi mencit sebagai hewan model. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai patokan dalam penelitian pemanfaatan bahan pakan sumber fitoestrogen dikemudian hari.

3 TINJAUAN PUSTAKA

Mencit (Mus musculus)

Mencit (Mus musculus) merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan model untuk percobaan laboratorium dengan kisaran 40-80%. Hewan ini termasuk filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Rodentia, famili Muridae, genus

Mus dan spesies Mus musculus (Arrington, 1972). Hal ini disebabkan hewan ini memiliki jumlah anak sepelahiran yang banyak, sifat produksi dan reproduksi yang menyerupai mammalia besar.

Mencit hidup pada daerah yang cukup luas penyebarannya, mulai dari iklim dingin, sedang maupun panas dan dapat hidup terus menerus dalam kandang atau secara bebas sebagai hewan liar (Malole dan Pramono, 1989). Hewan ini termasuk hewan monogastrik yaitu memiliki lambung sederhana (Arrington, 1972).

Mencit merupakan hewan poliestrus, yaitu hewan yang mengalami estrus lebih dari dua kali dalam satu tahun. Seekor mencit betina akan mengalami estrus setiap 4-5 hari sekali. Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa mencit memiliki lima pasang kelenjar susu, yaitu tiga pasang dibagian dada dan dua pasang dibagian inguinal. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) berpendapat bahwa mencit memakan segala jenis makanan (omnivora), selain itu mencit adalah hewan nocturnal yang aktivitas pemeliharaannya lebih banyak terjadi dimalam dan sore hari, seperti aktivitas makan dan minum (Inglis, 1980).

Penggunaan mencit sebagai hewan percobaan sangat praktis untuk penelitian genetika kuantitatif, karena mudah berkembang biak dan mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk mempelajari seleksi terhadap sifat-sifat kuantitatif seperti jumlah anak per kelahiran dan bobot badan yang merupakan suatu sifat produksi ternak yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Berikut ini beberapa sifat biologis mencit ( Tabel 1).

4 Tabel 1. Sifat Biologis Mencit

Kriteria (Satuan) Keterangan Lama hidup (tahun)

Lama produksi ekonomis (bulan) Bobot badan dewasa :

Jantan (g) Betina (g) Umur dewasa (hari) Umur jantan dan betina dikawinkan (minggu) Siklus estrus (birahi) (hari) Lama estrus (jam) Perkawinan

Fertilisasi

Lama bunting (hari) Jumlah anak (ekor) Bobot lahir (g) Umur disapih (hari) Bobot sapih (g)

Suhu (rektal) (oC) Aktivitas

Kecepatan tumbuh (g/hari) Komposisi Air Susu (%): Air

Lemak Protein Gula

Puting susu (pasang) Plasenta Perkawinan kelompok 1-3 dapat 4 9,0 20,0-40,0 18,0-35,0 35,0 8,0 4,0-5,0 12,0-14,0

pada waktu estrus 2 jam sesudah kawin 19,0-21,0 rata-rata 6 dapat 15 0,5-1,0 21,0 18,0-20,0 35,0-39,0 (rata-rata 37,4) nokturnal (malam) 1,0 75,0 10,0-12,0 10,0 3,0 5,0 diskoidal hemokorial

4 betina dengan 1 jantan

5 Menurut Arrington (1972) alasan digunakannya hewan laboratorium sebagai objek penelitian dalam bidang peternakan diantaranya karena biaya yang dibutuhkan tidak begitu mahal, efisien dalam waktu, kemampuan reproduksi yang tinggi pada waktu singkat dan sifat genetik dapat dibuat seseragam mungkin dalam waktu yang lebih pendek dibandingkan ternak yang lebih besar serta memiliki sifat produksi dan reproduksi yang dapat mewakili ternak mammalia yang lebih besar.

Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa penyakit yang terdapat pada mencit terutama penyakit reproduksi. Penyebab infertilitas ditimbulkan oleh stimulasi estrogen, kesalahan pengaturan cahaya, mencit terlalu muda dan terlalu tua sewaktu dikawinkan, kepadatan, terlalu bising, defisiensi nutrisi dan silang dalam. Kematian anak muncul pada beberapa kondisi misalnya ukuran kandang yang terlalu luas sehingga anak mencit kedinginan, hanya sedikit sekali anak yang dilahirkan, anak mencit luka atau abnormal dan infeksi virus.

Pakan dan Minum Mencit Konsumsi

Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum dalam jangka waktu tertentu (Parakkasi, 1999) dan pakan yang dikonsumsi pada berbagai umur tidak tetap, sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi (Amrullah, 2003). Tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi, semakin tinggi energi pakan akan menurunkan konsumsi (Mujiasih, 2001). Pakan yang tinggi kandungan energinya harus diimbangi dengan protein, vitamin dan mineral yang cukup agar ternak tidak mengalami defisiensi protein, vitamin dan mineral (Wahju, 1997).

Wahju (1997) berpendapat bahwa kelebihan energi dalam pakan terjadi apabila perbandingan energi dan protein serta vitamin dan mineral melebihi dari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal, produksi dan aktivitas ternak. Kelebihan energi dalam pakan menyebabkan konsumsi pakan rendah sehingga menurunkan konsumsi protein yang diperlukan untuk pertumbuhan optimal atau produksi. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi pakan 3-5 g setiap hari. Mencit bunting atau menyusui memerlukan

6 pakan yang lebih banyak. Pakan yang sering digunakan adalah pakan ayam dengan kandungan protein 20-25%, lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar 5% dan abu 4-5%.

Air adalah salah satu zat makanan anorganik yang penting bagi ternak dan kebutuhan ternak terhadap air cukup tinggi, karena fungsinya sebagai medium untuk aktivitas metabolis. Sel-sel berisi cairan liofilik, yang dapat menyerap dan membebaskan air selama proses metabolisme (Tillman et al., 1989). Air minum yang diperlukan oleh mencit berkisar 4-8 ml/ekor/hari. Tingkat konsumsi makanan dan air minum bervariasi menurut suhu kandang, kelembaban, kualitas makanan, kesehatan dan kadar air dalam makanan (Malole dan Pramono, 1989).

Konversi Pakan

Rasyaf (1999) menyatakan bahwa konversi ransum adalah perbandingan jumlah konsumsi pada periode tertentu dengan produksi yang dicapai pada periode tersebut. Tujuan utama pemberian pakan adalah untuk menghasilkan pertumbuhan yang paling cepat dengan jumlah pakan yang paling sedikit serta hasil akhir yang memuaskan (Blakely dan David, 1991).

Nort dan Bell (1990) menyatakan bahwa konversi pakan adalah jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit pertambahan bobot badan, semakin besar dan tua ternak maka nilai konversi tidak efisien dalam penggunaan ransum. Anggorodi (1979) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi konversi pakan adalah temperatur, kualitas pakan, kualitas air, pengafkiran, penyakit, manajemen pemeliharaan dan juga faktor pemberian pakan.

Menurut Wahju (1997) konversi pakan mempunyai derajat yang tinggi untuk memproduksi daging dan telur bila menggunakan bahan makanan yang bergizi tinggi. Nilai konversi pakan suatu ternak yang rendah menunjukkan bahwa ternak tersebut unggul dalam mengubah zat makanan menjadi daging atau otot. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna untuk meningkatkan efisiensi dari konversi pakan adalah suhu, laju perjalanan pakan melalui alat pencenaan, bentuk fisik pakan, komposisi pakan dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat nutrisi lainnya.

7 Sifat–sifat Reproduksi Mencit

Jumlah Anak Sepelahiran

Jumlah anak sepelahiran adalah jumlah total anak yang hidup maupun yang mati pada waktu dilahirkan. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa jumlah anak sepelahiran berkisar antara 6-15 ekor per kelahiran. Besarnya jumlah anak sepelahiran dipengaruhi oleh bangsa ternak, umur induk, musim kelahiran, makanan, silang dalam dan kondisi lingkungan. Faktor-faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi jumlah anak sepelahiran antara lain kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan pada induk, musim kawin, jumlah sel telur yang dihasilkan serta tingkat kematian embrio yang sangat berpengaruh terhadap jumlah anak sepelahiran (Toelihere, 1979). Jumlah anak sepelahiran mencit berkisar 8-11 ekor (Inglis, 1980).

Falconer (1981) menyatakan bahwa induk yang berasal dari jumlah anak sepelahiran yang banyak mempunyai bobot badan rendah pada umur enam minggu dan menghasilkan jumlah anak yang lebih sedikit dari pada jumlah kelahiran induknya. Pengaruh silang dalam dapat menurunkan jumlah sel telur yang dihasilkan oleh ternak betina dan meningkatkan laju kematian awal embrio. Warwick et al. (1983) menyatakan bahwa jumlah sel telur yang dihasilkan dan tingkat awal pertumbuhan embrio sangat erat hubungannya dengan jumlah anak yang dilahirkan dalam sekali kelahiran.

Bobot Lahir

Toelihere (1979) menyatakan bahwa bobot lahir yaitu bobot badan suatu individu pada saat dilahirkan. Pakan yang diberikan selama kebuntingan akan menentukan bobot lahir anak dan akan menentukan kondisi fisik anak yang dilahirkan. Kondisi pakan selama kebuntingan yang kurang baik dapat menyebabkan anak yang dilahirkan menjadi lemah dan bobot lahirnya rendah. Bobot lahir ternak ditentukan oleh pertumbuhan fetus sebelum lahir atau pertumbuhan selama di dalam kandungan induknya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pertumbuhan sebelum lahir dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya mutu genetik ternak, umur serta bobot badan induk yang melahirkan, pakan induk selama kebuntingan, suhu lingkungan selama kebutingan.

8 Anggorodi (1979) menyatakan bahwa pertumbuhan prenatal adalah pertumbuhan yang berlangsung antara waktu sel telur dibuahi sampai dengan kelahiran anak. Rerata pertumbuhan fetus tergantung pada pasokan makanan dan kemampuan fetus menggunakan pakan. Perbedaan ukuran fetus pada spesies, bangsa dan strain yang berbeda mengacu pada perbedaan rerata pembelahan sel yang ditentukan secara genetik. Jadi terdapat hubungan yang erat antara pasokan makanan pada fetus (faktor ingkungan), rerata pembelahan sel (faktor genetik) dan karenanya rerata pertumbuhan. Faktor lingkungan termasuk ukuran, nutrisi induk, jumlah anak sepelahiran, ukuran plasenta dan tekanan iklim (Hafez, 1993). Malnutrisi pada induk juga menyebabkan kurang terpenuhinya nutrisi fetus sehingga dapat mengurangi bobot lahir serta viabilitas anak (McDonalds et al., 1995).

Menurut Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa suhu yang optimal untuk memelihara mencit berkisar antara 21-29 oC dengan kelembaban udara 30-70%. Suhu lingkungan mempengaruhi bobot lahir ternak karena secara langsung mempengaruhi konsumsi ransum. Pada kondisi suhu yang tinggi dapat menyebabkan penurunan nafsu makan, sehingga memungkinkan terjadinya defisiensi zat pakan yang diperlukan oleh fetus. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan bobot lahir rendah. Bila suhu rendah, nafsu makan seekor ternak akan meningkat, sehingga memungkinkan terjadinya defisiensi zat pakan pada fetus kecil, sehingga bobot lahir dapat lebih tinggi.

Anak yang dilahirkan dari induk yang besar serta umur tidak terlalu tua, pada umumnya akan menghasilkan anak dengan bobot lahir yang tinggi (Toelihere, 1979). Bobot lahir anak mencit umumnya berkisar antara 0,5-1,5 g/ekor (Malole dan Pramono, 1989), pendapat lain menyatakan bahwa bobot lahir berkisar 1,0-1,5 g/ekor (Arrington, 1972; Fox et al., 1984). Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa bobot lahir anak mencit berkisar antara 0,5–1,0 g/ekor. Tinggi rendahnya bobot lahir akan mempengaruhi performa anak.

Pertumbuhan Prasapih Anak Mencit

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pertambahan berat jaringan dan organ-organ adalah akibat proses hiperplasia yaitu pertambahan jumlah sel dan hipertrofi yaitu pertambahan besar sel-sel dari jaringan atau organ-organ tersebut. Beberapa saat setelah konsepsi, pertumbuhan umumnya adalah proses hiperplasia sel-sel, pada

9 periode kebuntingan yang lanjut dan pada waktu baru lahir, kedua proses berjalan bersama-sama. Akhirnya pada suatu saat sesudah lahir pertumbuhannya disebabkan oleh proses hipertrofi pada beberapa jaringan (urat daging dan saraf).

Menurut Anggorodi (1979), kekurangan zat makanan memperlambat puncak pertumbuhan urat dan daging serta menghambat laju penimbunan lemak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa secara normal, induk akan mengalami proses pertambahan bobot badan selama periode kebuntingan yang gunanya untuk mencapai berat dewasa, sehingga cadangan untuk laktasi dan lebih jauh lagi untuk kawin kembali.

Pertumbuhan dari lahir sampai sapih sebagian besar dipengaruhi oleh jumlah susu yang dihasilkan induk dan kesehatan individu itu sendiri (Campbell, 1985). Nutrisi untuk induk mencit selama kebuntingan dan laktasi merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang pertumbuhan, perkembangan, daya hidup dan tingkah laku anak–anak yang akan dihasilkannya. Nutrisi yang baik akan dapat mencukupi kebutuhan baik induk maupun anak mencit saat berada dalam uterus maupun saat menyusu (Chow dan Rider, 1973). Pertambahan bobot badan anak mencit sampai disapih adalah 0,45-0,52 g/ekor/hari (Malole dan Pramono, 1989) atau 0,43-0,50 g/ekor/hari (Arrington, 1972).

Bobot Sapih

Bobot sapih adalah bobot badan ternak pada saat dipisahkan dari induknya. Sapih yaitu tahap pertumbuhan saat suatu hewan tidak lagi bergantung pada air susu induknya dan mulai mengkonsumsi makanan padat dan air (Inglis, 1980).

Faktor–faktor yang mempengaruhi bobot sapih adalah pengaruh silang dalam, jenis kelamin, umur induk, keadaan pada waktu lahir, kemampuan induk menyusui anaknya, kuantitas dan kualitas pakan. Penyapihan hendaknya dilakukan saat umur sapih, karena apabila dilakukan lebih dini maka pertumbuhan anak akan terhambat. Mencit yang disapih saat umur 14-16 hari tidak akan tumbuh sebaik mencit yang tetap bersama induknya sampai berumur 20-21 hari (Inglis, 1980). Bobot sapih anak mencit berkisar antara 10-12 g/ekor (Arrington, 1972; Malole dan Pramono 1989). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bobot sapih mencit berkisar antara 18-20 g dan anak mencit dapat disapih pada umur 21 hari.

10 Jumlah Anak Sapih

Faktor yang menentukan jumlah anak sapih adalah umur induk, pemberian pakan, kondisi induk pada waktu dikawinkan, sistem perkawinan, pejantan yang digunakan dan kematian dalam kandang ternak (Smith danMangkoewidjojo, 1988). Menurut Malole dan Pramono (1989), sistem perkawinan monogami dan poligami pada mencit berbeda pengaruhnya terhadap jumlah anak waktu sapih. Jumlah anak yang disapih akan meningkat bila program pembiakan dilakukan dengan sistem perkawinan poligami atau harem. Sistem monogami adalah seekor jantan dicampur dengan seekor betina, sedangkan sistem poligami dilakukan bila seekor jantan dicampur dengan 2-6 ekor betina.

Mortalitas

Tingkat mortalitas merupakan salah satu pedoman yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan induk mengasuh anak, bahkan secara umum dianggap sebagai indikator berhasil tidaknya suatu usaha peternakan. Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitas antara lain jumlah anak sepelahiran, kondisi induk setelah melahirkan, kondisi lingkungan dan sistem perkawinan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Kemangi (Ocimum basilicum) Taksonomi dan Botani

Kemangi dikenal luas di berbagai negara sehingga memiliki banyak nama. Di Indonesia kemangi mempunyai nama yang berbeda untuk setiap daerah seperti surawung atau solanis (Sunda); selasih, telasi, solasi, kemangi (Jawa, Madura, Sumatera); amping atau kukuru (Sulawesi); kemangi (umum Indonesia) (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991; Sutarno dan Atmowidjojo, 2001; Mulyani dan Gunawan, 2004a). Kemangi (Ocimum basilicum) dimasukkan dalam divisi

Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Labiatae, genus Ocimum, spesies

Ocimum basilicum (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

Kemangi merupakan tanaman semak semusim dan berkayu. Daun tunggal berhadapan, berbulu, tepi bergerigi dan mengeluarkan bau aromatis khas kemangi. Bunga majemuk bentuk malai, kelopak warna hijau, mahkota dan benang sari berwarna putih (Gunawan, 2004). Pendapat lain menyatakan bahwa kemangi adalah pokok renek herba yang beraroma dan tumbuh bercabang–cabang. Daun beraroma

11 dan tersusun dalam pasangannya bertentangan kepada pasangan yang di atas atau di bawah. Daun berwarna hijau ke hijau tua. Daun berbentuk bujur telur, tepi daun bergerigi dan ujung daun runcing. Batang segi empat, bercabang–cabang dan berbulu. Bunga terdapat diujung batang. Bunga jenis hermaprodit, panjang 5-7 mm dan berbau wangi (Mahkotadewa. com, 2005).

Kemangi merupakan tanaman setahun yang tumbuhnya tegak dengan cabang yang banyak. Tanaman ini berbentuk perdu, dengan tinggi 0,3 hingga 1,0 m. Daun– daunnya sederhana, berwarna hijau dan berbau harum. Bagian tangkai daun mempunyai panjang 2,5 cm, luas daun berbentuk elips dengan ukuran 2,5-5,0x1,0-2,5 cm (Tindall, 1983). Batang bersegi empat, tebal 6 mm, banyak cabang, sedikit berambut-rambut kasar pada waktu muda, hijau terang ungu pekat, bagian dasar batang kadang-kadang berkayu. Daun tunggal, letak berhadapan, bertangkai yang panjangnya 0,5-2 cm, helai daun bulat telur sampai memanjang, ujung runcing, pangkal agak meruncing, permukaan daun berambut halus dengan bintil-bintil kelenjar, tulang daun menyirip, tepi bergerigi, panjang 3,5-7,5 cm; lebar 1,5-2,5 dan warna hijau tua. Bunga berwarna putih atau lembayung, tersusun dalam tandan yang panjangnya 5-30 cm dan keluar diujung percabangan (Hembing etal., 1994; Sutarno dan Atmowidjojo, 2001).

Asal dan Persebaran

Kemangi berasal dari Asia Barat dan tersebar secara alami ke Amerika, Afrika dan Asia. Tanaman ini sudah dibudidayakan di Mesir 3000 tahun yang lalu serta cara penanamannya dikenal dari Timur Tengah sampai Yunani, Italia dan Eropa. Pembudidayaan di Inggris dimulai pada abad ke-16, di Amerika Utara pada abad ke-1 (Sutarno dan Atmowidjojo, 2001).

Kemangi tidak menuntut syarat tumbuh yang rumit, sehingga dapat ditanam diberbagai daerah, khususnya yang bertanah asam (Nazaruddin, 1999). Kemangi tumbuh di tepi-tepi jalan, ladang dan sawah-sawah kering, dalam hutan jati dan disemaikan di kebun-kebun. Tanaman ini dapat ditemukan di seluruh Pulau Jawa pada ketinggian 450-1.100 m di atas permukaan laut (Heyne, 1987). Kemangi tahan terhadap cuaca panas dan dingin. Jika ditanam di daerah dingin daunnya lebih lebar dan lebih hijau, sedangkan di daerah panas daunnya kecil, tipis dan berwarna lebih pucat (Nazaruddin, 1999). Populasi kemangi menyebar luas diseluruh belahan dunia

12 beriklim tropis, seperti di benua Eropa, daerah Mediteranian, Asia Pasifik, Amerika Selatan dan Utara, Timur Tengah dan Australia (Sinarharapan, 2002).

Kemangi dapat beradaptasi terhadap kondisi yang sangat menguntungkan untuk menghasilkan sayuran. Di Filipina, penyebaran kemangi sangat luas mencakup daerah berpenduduk dari Batan sampai Mindanao, dari dataran rendah, sampai ketinggian 1.000 m dan sering tumbuh secara spontan pada padang terbuka. Di Jawa, tanaman ini tumbuh secara alami sampai ketinggian 450 m dan dibudidayakan sampai ketinggian 1.100 m. Tanaman ini dapat tumbuh subur baik di alam bebas maupun dalam ruangan atau dalam pot. Kemangi rentan terhadap kondisi sangat dingin dan oleh karena itu ditumbuhkan sebagai tanaman semusim di daerah beriklim

Dokumen terkait