• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Sekuen parsial gen 16S rRNA 6 isolat pemacu pertumbuhan tanaman 44 2 Hasil analisis sekuen parsial gen 16S rRNA menggunakan program

BLAST-N ... 46 3 Komposisi media tumbuh (dalam liter) ... 47 4 Bahan – bahan untuk karakterisasi fisiologi secara parsial genus

Latar Belakang Masalah

Pertambahan jumlah penduduk yang sangat pesat menyebabkan kebutuhan pangan juga meningkat. Berbagai langkah dilakukan masyarakat dan pemerintah untuk menjaga tetap tersedianya pangan dunia. Langkah-langkah yang diambil hingga menjelang abad 20 antara lain dengan intensifikasi melalui penggunaan pupuk sintetis, pestisida dan bibit unggul. Langkah-langkah tersebut ternyata memberikan efek samping pencemaran lingkungan. Hal ini mendorong berkembangnya bioteknologi dengan menggunakan mikroorganisme sebagai agens untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman sekaligus sebagai agens pengendali hayati terhadap patogen.

Salah satu kelompok organisme yang sering mengganggu tanaman kedelai adalah cendawan, dua diantaranya adalah Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii. Keduanya merupakan jenis cendawan yang sering menyerang perakaran tanaman kedelai dan menyebabkan penyakit busuk akar. Hal ini memerlukan penanganan lanjut yang lebih efektif.

Rizosfer tanaman telah diketahui di dalamnya terdapat mikroorganisme yang bersimbiosis dengan akar. Rizosfer atau daerah sekitar perakaran tanaman relatif kaya akan nutrisi yang berkaitan dengan keadaan di akar yaitu berupa hilangnya 5 – 21 % hasil fotosintesis tanaman yang dilepaskan sebagai eksudat akar (Marscher 1995). Sebagai akibatnya, keberadaan nutrisi pada akar ini mendukung populasi mikrob aktif berkembang dan mampu memproduksi senyawa yang mungkin menguntungkan, netral atau merugikan bagi tanaman di atasnya. Adanya mikroorganisme tersebut dapat memberikan efek positif maupun negatif bagi perakaran tanaman. Berbagai jenis mikroorganisme seperti bakteri telah diketahui dapat dimanfaatkan sebagai agens hayati untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang dikenal luas dengan istilah Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) atau Rizobakteria Pemacu Pertumbuhan Tanaman. Bakteri ini secara aktif mengkolonisasi rizosfer dan permukaan akar serta memberikan pengaruh positif untuk pemacuan pertumbuhan tanaman melalui penyediaan nutrisi dan hormon bagi tanaman, serta dapat bersifat antagonistik terhadap bakteri dan fungi patogen (Kloepper et al. 1999; Gray &

Smith 2005). Adanya PGPR dapat memberikan keuntungan melalui berbagai mekanisme antara lain produksi metabolit sekunder seperti antibiotik, kitinase, 1,3 - β-glukanase, sianida, substansi hormon, sebagai agens pengendali biologi melalui kompetisi, induksi sistem pertahanan terhadap patogen, produksi siderofor, pelarut fosfat, dan fiksasi N2. (Glick 1995; Husen 2003). Bakteri rizosfer yang telah diketahui dapat menghasilkan auksin antara lain Pseudomonas

sp., Azospirillum sp., Azotobacter sp., Bacillus sp., Lactobacillus sp.,

Paenibacillus polymyxa, Enterobacter sp., Serratia marcescens, Klebsiella sp.,

Algaligenes faecalis, dan sianobacteria (Torres-Rubio et al. 2000).

Adapun bakteri yang menjadi topik dalam kajian penelitian ini adalah bakteri kelompok Bacillus sp. merupakan salah satu kelompok bakteri yang dapat diisolasi dari tanah dengan karakter Gram positif, berbentuk batang dan mempunyai kemampuan membentuk endospora pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan sehingga dapat toleran pada kondisi lingkungan kritis. Compant et al. (2005) melaporkan bahwa Bacillus sp. mempunyai banyak potensi yaitu mampu memproduksi IAA, melarutkan fosfat, mensekresi siderofor dan berperan sebagai agens biokontrol dengan menginduksi sistem kekebalan tanaman serta menghasilkan antibiotik.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sangat banyak jenis mikrob khususnya bakteri di tanah termasuk Bacillus sp. dapat dimanfaatkan sebagai PGPR sekaligus dapat berperan untuk mengendalikan penyakit pada tanaman. Pada genus Bacillus kemampuan biokontrolnya didukung oleh kemampuannya membentuk spora yang dapat bertahan dan tetap dapat melepaskan metabolit aktifnya pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan sehingga memungkinkan untuk membuat formulasi produk yang stabil (Kloepper et al.

1999).

Adanya bakteri yang diisolasi dari tanah perakaran kedelai yang berpotensi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan pengendali hayati patogen akar tanaman kedelai diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai alternatif galur inokulan yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai. Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi potensi Bacillus sp. sebagai pemacu

pertumbuhan tanaman dan pengendali pertumbuhan fungi patogen akar. Selanjutnya dilakukan identifikasi molekulernya untuk menentukan galur inokulannya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan menapis rizobakteria Bacillus sp. asal rizosfer tanaman kedelai secara in vitro yang dapat berperan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman dan pengendali fungi patogen penyebab penyakit akar tanaman kedelai serta identifikasi molekulernya.

Bacillus sp.

Bacillus sp. merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang yang mempunyai kemampuan membentuk endospora pada kondisi yang kurang menguntungkan. Bakteri ini dapat ditemukan dan dapat diisolasi dari tanah. Bentuk endospora merupakan nilai lebih bagi bakteri yang sangat terkait secara ekologi di dalam tanah. Kemampuannya membentuk endospora menyebabkan bakteri ini relatif lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan dan kritis misalnya radiasi, panas, asam, desinfektan, kekeringan, nutrisi yang terbatas dan dapat dorman dalam jangka waktu yang lama hingga bertahun-tahun. Struktur spora tidak akan terjadi jika sel sedang berada pada fase pembelahan secara eksponensial tetapi akan dibentuk terutama pada kondisi nutrisi esensial misalnya karbon dan nitrogen terbatas. Pada Bacillus subtilis

sporulasi terjadi sekitar 8 jam dengan melibatkan hingga 200 gen (Madigan et al.

2000). Selain itu Bacillus sp. mempunyai sifat katalase positif sehingga mampu menguraikan peroksida toksik menjadi air dan oksigen. Bacillus sp. termasuk kelompok PGPR yang memiliki banyak potensi karena mampu memproduksi IAA, melarutkan fosfat, memsekresi siderofor dan berperan sebagai agens biokontrol dengan menginduksi sistem kekebalan tanaman serta menghasilkan antibiotik (Compant et al. 2005).

Karakter Bacillus sp. sebagai PGPR

Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) pertama kali didefinisikan oleh Kloepper dan Schroth (1978) untuk mendeskripsikan bakteri tanah yang berkumpul di akar setelah benih ditanam. PGPR dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan berbagai mekanisme antara lain fiksasi nitrogen, produksi siderofor, sebagai pengkelat besi dan sintesis fitohormon. Bakteri tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan meningkatkan sistem perakaran tanaman. Menurut Enebak et al. 1998 (diacu dalam Mello et al. 2004) PGPR dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui satu mekanisme atau lebih termasuk meningkatkan fiksasi nitrogen, produksi auksin, giberelin,

sitokinin, etilen, melarutkan fosfat dan oksidasi sulfur, meningkatkan ketersediaan nitrat, produksi antibiotik ekstraseluler, enzim litik, asam hidrosianik, meningkatkan permiabilitas akar dan kompetisi dalam nutrisi. Kemampuan rizobakteria dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman sangat bergantung pada karakter yang merupakan ciri khas dan spesifik gen yang dimilikinya (Nelson 2004).

Mikroorganisme mampu menghasilkan hormon tumbuhan seperti auksin, sitokinin dan giberelin (Leveau & Lindow 2005). Asam indol asetat atau Indol acetic acid (IAA) merupakan hormon auksin pertama pada tumbuhan yang mengendalikan berbagai proses fisiologi penting meliputi pembelahan dan perkembangan sel, diferensiasi jaringan serta respons terhadap cahaya dan gravitasi (Salisbury & Ross 1992). Tumbuhan mungkin saja tidak mampu mencukupi kebutuhan auksin untuk pertumbuhannya secara optimal sehingga diperlukan tambahan hormon pemacu pertumbuhan dari luar. Menurut Patten dan Glick (2002) respons tanaman terhadap IAA yang dihasilkan mikrob berbeda-beda bergantung pada spesies tanaman dan konsentrasi IAA yang dihasilkan.

Menurut Leveau dan Lindow (2005) hormon IAA atau yang dikenal sebagai auksin merupakan hormon pemacu pertumbuhan dan mengontrol berbagai proses fisiologi seperti pembelahan sel, diferensiasi jaringan dan respons terhadap cahaya dan gravitasi. Bakteri penghasil IAA mempunyai kemampuan membantu berbagai proses tersebut dengan memasukkan IAA ke dalam pool auksin tanaman. Akar merupakan organ tanaman yang paling sensitif terhadap fluktuasi kadar IAA dan responsnya pada peningkatan jumlah IAA eksogenous meluas dari pemanjangan akar primer, pembentukan akar lateral dan akar liar, sampai penghentian pertumbuhan.

Biosintesis IAA oleh mikrob ditingkatkan oleh prekursor fisiologi tertentu yaitu L-Tryptophan (Husen 2003). Protein –TRAP (AT) yang diproduksi oleh

trpA pada Bacillus subtilis dapat mengikat dan menghambat aktifitas triptofan protein yang berikatan lemah antara Trp-RNA (TRAP). Pada Bacillus subtilis

diperlukan ekspresi dari tujuh gen untuk berlangsungnya biosintesis L-triptofan dari asam korismat termasuk prekursor asam amino amoniak. Enam dari tujuh gen terorganisasi sebagai operan triptofan, suboperan dalam superoperon aromatik.

Gen triptofan yang ketujuh trpG (pabA) terletak pada operan folat dan menghasilkan polipeptida yang berperan dalam biosintesis triptofan dan folat (Wen & Charles 2005).

Manulis et al. (1998) mengemukakan bahwa beberapa lintasan sintesis IAA pada bakteri yang melibatkan senyawa intermediat indole-3-pyruvate (IpyA) yaitu indole-3-acetamide (IAM), tryptamine (TAM) dan indole-3-acetonitrile (IAN). Jalur utama yang ada pada bakteri yaitu lintasan IAM dan IPyA. Bakteri yang memproduksi IAA menstimulasi pertumbuhan sistem perakaran inang.

Sel tumbuhan memproduksi IAA dari L-tripthofan melalui intermediet IAM, lintasannya melalui enzim triptofan 2-monooksenase yang mengkatalisis konversi triptofan menjadi IAM dan enzim indoleacetamid hidrolase yang mengkatalisis konversi IAM menjadi IAA (Mazzola & White 1993). Tien et al.

(1979) mengamati bahwa produksi IAA meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi triptofan dari 1 – 100 ug / ml. Konsentrasi IAA juga meningkat seiring dengan umur kultur sampai bakteri mencapai fase stasioner. Pengocokan lebih disukai untuk memproduksi IAA, terutama pada yang mengandung nitrogen sedangkan fitohormon lainnya juga terdeteksi pada media kultur yaitu giberelin dan senyawa serupa sitokinin.

Produksi IAA tidak berfungsi nyata sebagai hormon dalam sel bakteri, dimungkinkan terdapat dalam sel bakteri karena hormon tersebut berperan penting dalam interaksi antara bakteri dan tanaman. Pada penelitian yang dilakukan Patten dan Glick (2002) diperoleh bahwa bakteri yang memproduksi IAA menstimulasi pertumbuhan sistem perakaran inang. Keuntungan dari asosiasi tanaman dengan bakteri adalah mensuplai sebanyak produk metabolit fiksasi karbon oleh tumbuhan yang telah hilang ke rhizosfer sebagai eksudat (Martens et al. 1994, diacu dalam Patten & Glick 2002).

Reaksi awal pengubahan triptofan menjadi indol-3-piruvat dikatalisis oleh aminotransferase aromatik, dimana empat enzim berhasil diidentifikasi pada

Azospirillum lipoferum. Enzim-enzim yang ditemukan ini spesifik terhadap berbagai asam amino aromatik dan tidak hanya pada triptofan, sehingga deteksi pada protein-protein ini kurang membuktikan bahwa IAA disintesis melalui indole-3-piruvat pada Azospirillum.

Triptofan

Indole-acetamide typtamine Indole-3-pyruvic acid

Indole-3-acetic acid (IAA) Indole-3-acetic acid

Indole-3-acetaldehyde

Inndole-3-acetic acid

Gambar 1 Diagram alir lintasan biosintesis IAA pada Bakteri (Hartman et al. 1983; Brandl et al. 1996; Manulis et al. 1980). Gen-gen iaaM, iaaH dan ipdC masing-masing menyandikan tryptohan-2-monooygenase, indole-3-acetamide hydrolase dan indole-pyruvat decarboxylase.

iaaM

iaaH

ipdC

Fosfat merupakan salah satu unsur hara yang sangat diperlukan oleh tanaman. Di dalam tanah hanya sebagian kecil saja fosfat yang dapat diserap oleh tanaman karena masih terikat dengan kation logam misalnya Fe, Ca dan Al. Adanya kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat berpotensi untuk meningkatkan penyerapan unsur fosfat ke dalam tanaman apabila tersedia cukup endapan fosfat dalam tanah. Bakteri pelarut fosfat dapat menyediakan fosfat terikat menjadi fosfat yang dapat terlarut sehingga dapat diserap oleh tanaman. Mekanisme utama pelarutan fosfat pada bakteri dengan memisahkan kation dari senyawa asam menggunakan asam organik yang disintesisnya (Altomare et al.

1999). Bakteri pelarut fosfat melepaskan ikatan ion fosfat anorganik yang sukar larut dengan mensekresikan sejumlah asam organik. Beberapa bakteri yang dilaporkan mempunyai aktifitas fitase (enzim kelompok fosfomonoesterase) yang mampu menghidrolisis polifosfat organik tak larut (fitat) menjadi rangkaian ester fosfat dengan bobot molekul yang rendah dari myo-inositol dan fosfat yang penting untuk prokariot dan eukariot. Bakteri yang mempunyai kemampuan melarutkan fosfat antara lain Bacillus amyloliquefaciens, B. subtilis, Klebsiella terrigena, Pseudomonas spp. dan Enterobacter sp. (Idriss et al. 2002).

Siderofor merupakan molekul atau ligan pengkelat besi (Fe3+ ) yang diproduksi oleh bakteri terutama pada tanah netral dan alkalin yang banyak diteliti saat ini. Siderofor disekresikan oleh mikroorganisme dan tanaman dari famili Gramineae sebagai respons terhadap defisiensi unsur besi (Crowley 2001, diacu dalam Nawangsih 2006). Jenis agen pengkelat besi, siderofor, yang dihasilkan oleh mikroorganisme antara lain berupa hydroxamate dan enterobactin (pada E. coli). Hidroxamate mengikat besi ferric (Fe3+) yang direduksi dan dilepaskan ke dalam sel bakteri sebagai besi ferro (Fe2+) (Madigan 2003). Menurut Nawangsih (2006) hasil deteksi pada beberapa galur Pseudomonas fluorescens, Bacillus subtilis, dan B. cereus positif menghasilkan senyawa siderofor. Adanya siderofor pada bakteri ini mendukung kemampuan bakteri sebagai PGPR karena dapat bertindak dalam kompetisi dengan mikroorganisme patogen dalam menggunakan Fe3+ yang konsentrasinya sangat terbatas dalam tanah. Namun pengambilan Fe3+ oleh mikroorganisme ini tidak mempengaruhi kebutuhan tanaman akan besi yang sangat sedikit dibandingkan dengan mikroorganisme

Kemampuan Bacillus sp. sebagai pengendali penyakit tanaman antara lain karena kemampuannya memproduksi antibiotik yang diekskresikan saat kultur memasuki fase stasioner (Madigan et al. 2000) dan produksi metabolit sekunder misalnya enzim kitinase, mycobacilin, basitrasin dan zwittermicin. Menurut Benhamou et al. (1996) bakteri endofit Bacillus pumilus strain SE34 dapat digunakan untuk menginduksi ketahanan secara sistemik pada buncis (Pisum sativum). Bakteri ini dapat merangsang penebalan dinding sel terutama pada jaringan korteks dengan produksi kitin sehingga patogen tidak dapat melakukan penetrasi. Patogen hanya terdistribusi pada jaringan epidermis dan tidak dapat menyebar ke jaringan korteks. Bacillus subtilis diketahui menunjukkan aktifitas antagonis terhadap bakteri dan fungi fitopatogen. Sedangkan Bacillus cereus

diketahui dapat mereduksi pertumbuhan miselia Sclerotium rolfsii., Fusarium oxysporum, Pythium aphanidermatum, Helminthosporium maydis dan Rhizoctonia solani dengan zona inhibisi 35.3% - 53.3 % (Muhammad & Amusa 2003).

Kemampuan Bacillus sebagai biokontrol juga dapat terjadi melalui mekanisme resistensi terinduksi oleh B. subtilis pada tanaman yang diserang cendawan A. niger (Sailaja et al. 1997).

Fungi Patogen Akar Kedelai

Penyakit-penyakit pada tumbuhan baik pada bagian akar, batang, daun dan bunga ataupun biji sebagian besar disebabkan oleh fungi. Fungi masuk ke dalam jaringan tanaman melalui struktur terbuka yang alami pada jaringan tanaman misalnya stomata lentisel, dan hidatoda atau melalui jaringan tanaman yang terluka. Beberapa fungi mengkolonisasi tanaman kedelai dan benih secara asimtom. Beberapa fungi yang dikenal menyerang akar tanaman kedelai antara lain Rhizoctonia solani penyebab penyakit busuk akar dan rebah kecambah (damping off) serta Sclerotium rolfsii penyebab penyakit busuk akar dan batang (Hartman et al. 2001) dan damping off pada benih (Agrios 2004). Kedua fungi ini menyebabkan penyakit yang cukup serius baik pada akar, batang dan bagian-bagian tanaman lainnya.

Rhizoctonia solani merupakan fungi saprofit yang dapat bertahan walau tidak berada pada tanaman inang. R. solani memiliki sel multinukleat yang hifanya berwarna coklat dan mampu membentuk sklerotia berwarna coklat hingga hitam. Fungi ini menginfeksi pada saat penanaman benih dan menginfasi hipokotil selanjutnya menyebabkan damping off atau jika tidak akan menyebabkan busuk akar. Semua Rhizoctonia terdapat sebagai miselium steril dan kadang-kadang sebagai sklerotia kecil tanpa diferensiasi jaringan internal (Agrios 2004). Penggunaan Bacillus megaterium diketahui dapat menurunkan tingkat penyakit yang disebabkan fungi ini (Hartman et al. 2001).

Tanaman kedelai sangat rentan terhadap serangan S. rolfsii yang menyerang tanaman sejak pembenihan. S. rolfsii memiliki hifa hialin berseptat, tidak memproduksi spora aseksual, dan mampu membentuk struktur pertahanan berupa sklerotia sperikel. Massa miselium yang menyerang jaringan memproduksi sekret berupa asam oksalat, pektinolitik, selulolitik dan enzim-enzim yang dapat membunuh dan mengurai jaringan tanaman sebelum penetrasi (Agrios 2004).

Gen 16S rRNA

RNA di dalam sel dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok RNA yang berhubungan dengan ekspresi gen yaitu mRNA, tRNA dan kelompok rRNA yang tidak berhubungan dengan ekspresi gen. Ribosomal RNA merupakan salah satu makromolekul yang menarik karena molekul ini bersifat stabil, terdapat sekitar 83% dari keseluruhan RNA dalam sel dan merupakan kerangka ribosom yang sangat berperan dalam mekanisme translasi. Semua rRNA identik secara fungsional yakni terlibat dalam produksi protein, walaupun demikian sekuen-sekuen di bagian tertentu terus berevolusi dan mengalami perubahan pada level struktur primer sambil mempertahankan struktur sekunder dan tersier yang homolog (Gutell et al. 1994).

Kemampuannya mewakili semua informasi filogenetik dan kepraktisannya menyebabkan sekuen 16S rRNA lebih sesuai digunakan untuk identifikasi bakteri daripada menggunakan 5S rRNA atau 23S rRNA. Menurut Bottger (1996) aplikasi molekuler untuk menganalisis keragaman mikrob melalui analisis gen 16S rRNA sesuai untuk mengidentifikasi mikroorganisme karena gen ini terdapat pada semua organisme prokariot. Molekul 16S rRNA memiliki daerah-daerah berbeda berupa sekuen yang konservatif dan sekuen lain yang sangat variatif. Terdapat lebih dari 4000 entri (sekuen yang terdaftar ) yang ada pada database 16S rRNA yang mencakup sekitar 1800 species yang terus bertambah jumlahnya. Strategi yang sering digunakan untuk melihat keragaman mikrob meliputi tahap-tahap isolasi DNA dari komunitas alami, amplifikasi gen 16S rRNA menggunakan PCR, penapisan klon-klon untuk variabilitas genetik, pemilihan klon unik untuk disekuen dan menentukan hubungan filogeniknya (Marchesi et al. 1998). Gen 16S rRNA bersifat relatif stabil dalam sel bakteri daripada rRNA yang biasanya didegradasi dan hanya terdapat pada fase-fase tertentu saja.

Isolasi dan Karakterisasi Fisiologi secara Parsial Bacillus sp.

Isolasi dilakukan dengan cara mengambil 0.5 gram sampel tanah yang diperoleh dari rizosfer kedelai asal Cirebon dimasukkan ke dalam 4.5 ml akuades steril yang sudah terlarut NaCl 0.85% di dalamnya. Sampel divortek dan dipanaskan pada suhu 80 oC selama 10 menit, selanjutnya dilakukan pengenceran secara berseri hingga pengenceran 10-6. Sebanyak 100 µl suspensi ditumbuhkan dalam media Nutrient Agar (NA) dengan metode cawan sebar dengan komposisi 8 g NB, 15 g agar-agar bacto dalam 1 liter akuades. Cawan selanjutnya diinkubasi selama 24 jam. Koloni yang tumbuh dimurnikan dengan menggunakan media yang sama. Selanjutnya koloni tunggal diamati karakter morfologinya dan digoreskan pada media agar miring NA sebagai biakan stok.

Karakterisasi fisiologi isolat untuk menapis isolat meliputi perwarnaan gram, pewarnaan endospora dan uji katalase mengikuti prosedur Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Buchanan & Gibbon 1974) untuk menentukan isolat tersebut termasuk ke dalam kelompok Bacillus sp. Pewarnaan Gram menggunakan pereaksi ungu kristal, iodium, etanol 95% dan safranin sebagai pewarna tandingan. Pewarnaan endospora menggunakan pereaksi malakit hijau dan safranin. Pengamatan meliputi bentuk sel dan warna sel menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 1000 kali. Uji katalase dilakukan dengan menggunakan pereaksi hidrogen peroksida 3%.

Uji Karakteristik Bacillus sp. sebagai PGPR

Uji Produksi Indole Acetic Acid (IAA). Produksi IAA dilakukan dengan menggunakan metode standar sesuai metode yang dilakukan oleh Dey et al. (2004). Satu lup penuh isolat Bacillus sp. yang dikulturkan pada 10 ml media

Nutrient Broth (NB) yang ditambahkan L-triptofan 0.2 mM diinkubasikan dan dikocok dengan kecepatan 150 rpm pada suhu ruang selama 24 jam dalam ruang gelap. IAA yang diproduksi oleh Bacillus diuji dengan metode kolorimetri dengan menggunakan reagen Salkowski (Patten & Glick 2002) yang mengandung 150 ml H2SO4 pekat, 250 ml Aquades, 7.5 ml FeCl3.6 H2O 0.5 M. Sebanyak 3 ml kultur

dari tiap perlakuan dimasukkan ke dalam 2 tabung ependorf kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit. Sebanyak 2 ml filtrat yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril dan ditambahkan 2 ml reagen Salkowski (perbandingan filtrat: reagen = 1:1). Suspensi kemudian diinkubasikan selama 60 menit pada suhu ruang di dalam ruang gelap. Selanjutnya dilakukan pengukuran serapan IAAnya dengan menggunakan spektrofotometer (Spectronic 20) pada panjang gelombang 510 nm.

Uji Pelarutan Fosfat. Uji ini dilakukan dengan menggunakan metode standar yaitu menggunakan media Pikovskaya (Subba Rao & Shinha 1962; Subba Rao 1999), dengan komposisi glukosa 10 g, Ca3HPO4 5 g, (NH4)2SO4 0.5 g, KCL 0.2 g, MgSO4.7H2O 0.1 g, ekstrak khamir 0.5 g, MnSO4 25 mgdanFeSO4 25 mg, serta agar-agar Bacto 20 g dalam 1l akuades. Suspensi isolat bakteri berumur 24 jam ditumbuhkan pada media Phikovkaya yang mengandung trikalsium fosfat (Ca3PO4) dengan metode sebar, zona bening yang dihasilkan di sekitar koloni setelah diinkubasi selama 3 hari menunjukkan adanya aktivitas bakteri dalam melarutkan fosfat.

Uji Produksi Siderofor. Produksi siderofor oleh isolat Bacillus sp. diuji menggunakan media Chrome Azurol Sulfonat (CAS) agar dengan modifikasi larutan garam (Husen 2003). Larutan 1 (larutan indikator Fe-CAS) mengandung 10 ml (1mM FeCl3.6H2O didalam 10 mM HCL), 50 ml larutan CAS (1.21 mg ml

-1

), dan 40 ml larutan hexadecyl-trimetylammonium bromide (HDTMA) (1.82 mg ml-1). Larutan 2 merupakan larutan buffer, disiapkan dengan melarutkan 30.24 g PIPES (peperazine-N,N’-bis[2-ethanesulfonic acid]) kedalam 750 ml larutan garam (3 gr KH2PO4, 5 g NaCl, 10 g NH4Cl, 20 mM MgSO4, 1 mM CaCl2). Akuades ditambahkan untuk mencapai volume larutan 800 ml sebelum diukur pH nya hingga 6.8 dengan 50% KOH, kemudian 20 g agar-agar bacto ditambahkan sebelum diautoklaf. Larutan 3 mengandung 2 g glukosa, 2 g manitol dan mikro elemen ( 493 mg MgSO4.7H2O, 11 mg CaCl2, 1.17 mg MnSO4.H2O, 1.4 mg H3BO3, 0.04 mg CuSO4.5H2O, 1.2 mg ZnSO4.7H2O dan 1.0 mg NaMoO4.2H2O) didalam 70 ml akuades. Larutan 4 berupa 30 ml 10% (w/v) cassamino acid yang difilter dengan membran milipor 0.45 µm. Media ini dibuat dengan mencampurkan larutan 2 dan 4 pada suhu 50 οC setelah sterilisasi, kemudian

ditambahkan larutan 3 dan larutan 1 secara perlahan-lahan dan dilakukan homogenisasi dengan menggunakan stirer. Isolat yang telah diremajakan terlebih dahulu, diuji menggunakan metode replika dengan cara ditotol atau digores pada media agar CAS dengan dua ulangan. Isolat yang mampu memproduksi siderofor akan menghasilkan zona berwarna oranye disekitar koloni setelah diinkubasi semalam.

Uji Hipersensitivitas. Isolat berumur 24 jam dikulturkan pada media NB cair dan dikocok dengan kecepatan 150 rpm selama 24 jam pada suhu ruang. Isolat tersebut disuntikkan menggunakan syringe sebanyak 1 ml (diperkirakan >

106 CFU/ml) pada area intervena ruas daun tembakau (Lelliot & Stead 1987) dengan masing-masing isolat 3 ulangan. Kontrol perlakuan pada uji ini menggunakan E. coli dan akuades sebagai kontrol negatif serta Ralstonia solanacearum sebagai kontrol positif. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam hingga 48 jam untuk mengetahui perubahan warna dan kondisi daun tembakau setelah disuntikkan dengan isolat. Adanya bercak nekrosis kecoklatan dan kekeringan pada jaringan daun menunjukkan adanya reaksi hipersensitif positif.

Dokumen terkait