• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nomor Halaman

1. Format Uji Mutu Hedonik Pasta Daging Kambing ... 38 2. Hasil Analisis Proksimat Pasta Daging Kambing ... 39 3. Analisis Ragam Kadar Air Pasta ... 39 4. Analisis Ragam Kadar Abu Pasta ... 39 5. Analisis Ragam Kadar Lemak Pasta ... 39 6. Analisis Ragam Kadar Protein Pasta ... 40 7. Analisis Ragam Kadar Karbohidrat Pasta ... 40 8. Analisis Ragam Uji Warna Pasta ... 40

9. Analisis Ragam Uji Aroma Pasta ... 40 10.Analisis Ragam Uji Kilap Minyak Pasta ... 41

11.Analisis Ragam Uji Daya Oles Pasta ... 41 12.Uji Lanjut LSMEANS terhadap Warna Pasta ... 41 13.Gambar Pasta Leaching dan Non-leaching ... 42

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kekurangan protein merupakan permasalahan umum di negara berkembang. Oleh karena itu konsumsi pangan sumber protein harus ditingkatkan, baik pangan hewani ataupun nabati. Daging merupakan salah satu hasil ternak yang memiliki nilai gizi tinggi, dengan nilai biologis, kelengkapan asam aminonya maupun nilai cernanya. Di Indonesia, ternak sumber penghasil daging yang telah dibudidayakan diantaranya adalah sapi, domba, babi dan kambing. Kambing merupakan sumber perotein hewani yang tidak kalah kandungan gizinya jika dibandingkan dengan daging sapi, domba ataupun babi.

Kambing (Capra sp) merupakan hewan ruminansia kecil penghasil daging yang telah dibudidayakan di Indonesia. Kambing mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, karena sudah teruji kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan prolifikasi yang cukup tinggi. Populasi kambing tahun 1999-2003 lebih menyebar di seluruh propinsi di Indonesia dibandingkan dengan sapi, kerbau ataupun domba. Namun penggunaan daging kambing sebagai bahan baku olahan hasil ternak masih sangat terbatas. Terbukti masih jarang pangan olahan daging yang berasal dari daging kambing, seperti sosis, bakso, nugget dan lain-lain. Hal ini dikarenakan bau prengus dari daging kambing yang tajam yang kurang disukai oleh beberapa kalangan masyarakat. Bau prengus

tersebut berasal dari komponen protein yang larut dalam air dan konsentrasi lipid yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ternak lainya. Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mengurangi bau prengus daging kambing adalah dengan cara

leaching (pencucian) dengan air dingin.

Leaching (pencucian) merupakan metode yang sudah umum digunakan untuk membersihkan daging ikan dalam teknologi pembuatan surimi, dengan tujuan untuk memisahkan lemak, darah, pigmen, garam-garam anorganik, protein dan enzim yang larut air serta bahan kontaminan (Peranginangin et al., 1999). Manfaat dari leaching

adalah meningkatkan konsentrasi aktomiosin yang berguna sebagai bahan emulsifier, yang dibutuhkan pada produk emulsi. Adopsi teknik pencucian pada daging kambing, diharapkan mampu meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap konsumsi daging tersebut.

2 Permasalahan yang timbul pada proses leaching adalah terjadinya penurunan kandungan protein daging hingga 25%. Alternatif metode leaching perlu dikembangkan untuk mengurangi pelepasan kandungan gizi yang besar akibat pencucian tersebut. Salah satu metode yang bisa diterapkan adalah dengan mengurangi luasan daging yang dileaching melalui teknik kominusi untuk mendapatkan ukuran daging kominusi yang lebih besar.

Daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Kerusakan tersebut bisa disebabkan oleh faktor lingkungan (kontaminan) atau kandungan zat yang terkandung dalam daging itu sendiri. Pengolahan daging diperlukan dengan tujuan untuk memperpanjang daya simpan daging. Selain itu pengolahan daging juga ditujukan untuk memperbaiki sifat organoleptik dan menambah variasi bentuk olahan daging.

Salah satu produk olahan daging yang dapat dikembangkan adalah pasta daging. Pasta daging merupakan produk pangan yang berbentuk emulsi yang bersifat plastis, yaitu memiliki sifat dapat dioleskan. Bahan utama pasta daging adalah daging dan lemak.

Tujuan

Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh metode kominusi dan frekuensi leaching yang berbeda terhadap sifat kimia (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat) dan organoleptik pasta daging kambing.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai produk pasta daging kambing, sebagai salah satu diversifikasi produk olahan daging, sehingga konsumsi daging kambing meningkat.

Hipotesis

1. Perlakuan leaching (pencucian) terhadap daging lumat menyebabkan penurunan kandungan gizi (protein) yang besar.

2. Adanya perlakuan kominusi daging dengan ukuran partikel daging yang lebih besar mampu mengurangi penurunan kadar gizi daging leaching.

3 TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Muchtadi dan Sugiyono (1992) menyatakan, daging merupakan urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan telinga, yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong. Daging terdiri dari tiga komponen utama yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue) dan jaringan ikat (connective tissue).

Menurut Soeparno (1994) daging dalam hal kandungan gizinya dapat berbeda-beda dipengaruhi oleh jenis kelamin, pakan, umur, jenis ternak serta letak dan fungsi bagian daging tersebut di dalam tubuh. Daging sebagai sumber protein hewani, mempunyai nilai hayati (biological value) yang tinggi yaitu, mengandung 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5% zat-zat non protein, mineral dan bahan lainnya 2,5% (Forest et al., 1975). Komposisi kimia daging lebih spesifik pada berbagai hewan ternak, diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Daging

Macam daging

Komposisi Sapi *Kambing Domba Babi Air (%) 66,0 70,3 66,3 42,0 Protein (%) 18,8 16,6 17,1 11,9 Lemak (%) 14,0 9,2 14,8 45,0 Ca (mg/gram) 11,0 11,0 10,0 7,0 Fe (mg/gram) 170,0 1 19,0 117,0 P (mg/gram) 2,8 124 2,6 1,8 Vit. A (SI) 30,0 - - - Vit B1 (mg/gram) 0,1 0,09 0,2 0,6

Sumber : Muchtadi dan Sugiyono (1992), *Dep Kes RI (1981)

Daging terbagi atas tipe daging merah dan daging putih, tergantung histologi dan biokimianya. Daging merah yaitu daging yang memiliki proporsi besar, serat yang sempit, kaya mioglobin, mitokondria, enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot yang tinggi dan kandungan glikogen yang rendah. Daging putih yaitu daging yang memiliki serat yang lebih besar dan lebar, mengandung sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot

4 singkat dan cepat dengan frekuensi yang lebih sering serta kandungan glikogen yang tinggi (Lawrie, 1991).

Daging Kambing

Bukti-bukti purbakala menunjukkan bahwa kambing merupakan hewan domestikasi tertua yang telah bersosialisasi dengan manusia lebih dari 10.000 tahun. Kambing adalah hewan ruminansia yang bertanduk melengkung, termasuk ke dalam mamlia ordo Artiodactyla, subordo Ruminansia, famili Bovidae dan genus Capra (Sumoprastowo, 1980). Berdasarkan ukuran tubuhnya, kambing dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu kambing besar (lebih dari 65 cm), kecil (51-65 cm) dan sangat kecil (kurang dari 50 cm) (Devendra dan Burns, 1983). Menurut Buckle et al. (1985), jenis kambing ditujukan dari segi ekonominya terdiri dari kambing Kacang, Merica, Etawah, Bali, dan hasil persilangan Etawah.

Penentuan umur kambing ditentukan dari kondisi giginya. Gigi seri kambing berubah menjadi gigi dewasa dengan bentuk lebih besar, lebih kuat dan warnanya kekuningan (Sarwono, 1993). Umur pergantian gigi seri kambing diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Umur Pergantian Gigi Seri Kambing

Umur Gigi Seri yang Berganti

Kurang dari 1 tahun Belum ada

1-1,5 tahun Gigi seri dalam (I1) 1,5-2 tahun Gigi seri tengah dalam (I2) 2,5- 3 tahun Gigi seri tengah luar (I3)

3-4 tahun Gigi seri luar (I4) atau semua gigi susu telah berganti Lebih dari 4 tahun Penentu umur berdasarkan gigi geligi

Umur 4-6 bulan kambing sudah mencapai dewasa kelamin, tetapi untuk menjaga agar produktivitas betina tetap tinggi maka perkawinan sebaiknya dilakukan ketika kambing mendekati dewasa tubuh untuk menghindari kebuntingan pada masa pertumbuhan (Devendra, 1988). Menurut Sarwono (1993), umur kawin pertama kambing betina adalah 15 bulan, sedangkan kambing jantan dikawinkan setelah mencapai 12 bulan. Hasil penelitian Sukendar et al. (2005) menyatakan bahwa selang beranak kambing adalah 10,20 ± 1,13 bulan. Selang beranak tersebut masih

5 kurang baik, karena kambing dalam dua tahun dapat beranak tiga kali. Ditambahkan pula, hasil penelitian yang dilakukannya di Hegarmanah, Sukabumi, terhadap 47 kasus kelahiran kambing diperoleh 29,78% kelahiran tunggal, 61,70% kelahiran kembar dua, serta 4,26% kelahiran kembar tiga dan kembar empat.

Menurut Palupi (1986), Departemen Perindustrian dan Perdagangan menggolongkan daging kambing dan domba menjadi dua kelas berdasarkan standar perdagangan:

1. Golongan (kelas) I yang meliputi bagian has dan paha belakang.

2. Golongan (kelas) II meliputi daging lainya yang tidak termasuk golongan I. Naude dan Hofmeyr (1981) menyatakan, berdasarkan hasil tes panel di Sudan daging domba lebih empuk dibandingkan daging kambing. Bau spesifik daging berasal dari jaringan lemak, tanpa lemak atau keduanya. Lemak subkutan adalah sumber utamanya. Komponen-komponen yang dominan dalam pembentukan bau daging domba adalah hasil oksidasi lemak, cabang rantai asam lemak, penol, komponen dasar dan sulfur (Young dan Braggins, 1998).

Ciri daging kambing (Capra sp) yang mencolok adalah baunya yang tajam (sangat prengus), sehingga di beberapa tempat daging kambing kurang disukai. Ditambahkan pula bahwa senyawa prekursor yang bertanggung jawab terhadap jenis sheepy flavor adalah senyawa yang larut air yang terdapat dalam jaringan adipose (Patterson, 1974).

Sumber bau dari cabang asam lemak adalah methyloktanoat, dan 4-methyloctanoanoic. Kedua asam lemak tersebut ditentukan oleh konsentrasi tertentu dalam lemak domba yang digambarkan oleh panelis sangat mutton (Young dan Braggins, 1998). Konsentrasi asam lemak pada berbagai jenis ternak diperlihatkan pada Tabel 3.

6 Tabel 3. Konsentrasi Asam Lemak dari Beberapa Jenis Ternak

Domba Sapi

Asam lemak Bucky

Ram Ewe Lamb Veal Beef

Kuda Babi

4-methyloctanoic 26 18 10 0.7 - - - -

4-Ethyloctanoic 13 12 15 7 - - - -

4-Methyloctanoanoic - 38 - - 8 3 37 -

Sumber : Ha dan Lindstay (1990)

Bau kambing yang tajam ini sering digunakan untuk membedakan daging kambing dan domba. Bau yang terdapat pada kambing dipengaruhi oleh umur, bangsa, makanan serta komposisi kimia dari daging tersebut (Devendra, 1988). Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap konsumen daging kambing di Amerika Serikat, diketahui bahwa flavor ternak kambing yang lebih tua mempunyai tingkat penerimaan yang lebih rendah (Caporaso et al., 1977).

Protein Otot

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat ini juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno, 1997). Sementara itu dengan keberadaan komponen ini dalam daging menjadikan daging sebagai salah satu produk sumber penyedia protein yang sering digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (Price dan Schweigert, 1971).

Unit struktural dari jaringan otot rangka adalah sel yang sangat khusus dikenal sebagai muscle fiber, miofibril atau muscle cell. Membran yang menyelubungi muscle fiber disebut sarkolemma yang terdiri atas protein dan lipid. Sitoplasma dari muscle fiber disebut sarkoplasma. Sarkoplasma mengandung air sebanyak 75-80 %, lipid, glikogen, ribosom, sejumlah protein, senyawa nitrogen non protein, dan sejumlah unsur anorganik (Aberle et al., 2001).

Menurut Wilson et al. (1981), adanya protein daging dapat menjadi zat pengemulsi alamiah karena mempunyai sisi rantai asam amino yang bersifat lipolitik dan hidrofilik serta fleksibel dalam mengubah konformasinya dibawah kondisi tertentu. Selain itu stabilitas dispersi yang terbentuk ditentukan oleh elastisitas, sifat ionik dan tegangan-tegangan osmotik yang ditimbulkan oleh molekul protein.

7 Protein otot secara umum dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan karakteristik kelarutannya, yaitu sarkoplasmik, myofibrilar, dan stromal atau protein jaringan ikat (Nakai dan Modler, 2000). Ditambahkan protein sarkoplasmik larut dalam air atau larutan garam lemah, protein miofibrilar larut dalam larutan ion kuat seperti pada penggunaan konsentrasi garam pada pengolahan daging (lebih dari 1,5% NaCL), sedangkan stromal protein tidak larut dalam larutan garam tetapi dapat larut dengan perlakuan asam alkali. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan protein adalah pH, kekuatan ionik, efek pemanasan, dan kondisi dari pengolahan (Zayas, 1997).

Protein larut dalam garam lebih efisien sebagai emulsifier dari pada protein larut air, karena protein larut garam mempunyai luas permukaan 50 kali lebih besar untuk mengelilingi partikel-partikel dibanding protein larut air (Muchtadi dan Budiatman, 1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan dispersi daging adalah jenis protein yang terdapat dalam campuran dispersi, konsentrasi protein, temperatur emulsifikasi, laju penambahan lemak dan kecepatan pencampuran, pH, tipe lemak, dan peralatan emulsifikasi (Muchtadi dan Budiatman, 1991).

Secara umum kandungan protein otot rangka terdiri dari sarkoplasma 30%, myofibril 55%, dan stromal 15%. Kandungan terbanyak dari protein sarkoplasma adalah enzim Gliseraldehid Fosfat Dehidrogenase sebanyak 22% dan terkecil Catepsin (1%). Kandungan terbesar protein miofibrilar adalah myosin sebanyak 43% dan terkecil desmin (1%). Sedangkan kandungan protein stromal terbesar adalah kolagen (60%) dan terkecil retikulin (1%). Klasifikasi protein jaringan otot rangka secara terperinci diperlihatkan pada Tabel 4.

8 Tabel 4. Klasifikasi dan Komposisi Protein Jaringan Otot Rangka

Protein Berat molekul Lokasi Persentase Sarkoplasma Gliseraldehid fosfat dehidrogenase Aldolase Enolase Kreatin kinase Laktal dehidrogenase Pyruvat kinase Phosporilase Myoglobin Calpain Catepsin Protein ekstraseluler Protein membrane 143.840 157.228 82.000 85.962 146.112 231.696 169.298 17.705 110.000 Sarkoplasma Sarkoplasma Sarkoplasma Sarkoplasma Sarkoplasma Sarkoplasma Sarkoplasma Sarkoplasma Lisosom Sel otot luar

Bermacam membran 30,0 22,0 11,0 9,0 9,0 7,0 5,5 4,5 1,0 1,0 0,1 8,0 21,0 Miofibrilar Myosin Actin Tropomyosin Troponin M-protein C-protein Actinin Titin Nebulin Desmin 500.000 42.000 37.000 74.000 165.000 140.000 95.000 1.000.000 650.000 550.000

Band A filament tebal Band I filament tipis Filamen tipis Filamen tipis Filamen tebal Filamen tebal Z disk Filamen sitoskeletal Filamen sitoskeletal Z disk 55,0 43,0 22,0 5,0 5,0 2,0 2,0 2,0 10,0 5,0 1,0 Stromal Kolagen Elastin Retikulin Substansi dasar 300.000 70.000 140-250.000 Jaringan ikat Ligamentum, tendon Jaringan ikat Jaringan ikat 15,0 60,0 4,0 1,0 35,0 Sumber : Xiong (2000)

9 Flavor

Flavor merupakan gabungan dari berbagai karakteristik bahan di dalam mulut yang dirasakan oleh indera pembau, indera perasa dan reseptor umum serta reseptor taktil di dalam mulut dan diinterpretasikan di dalam otak (IFT, 1989). Flavor daging secara alami merupakan flavor yang terbentuk melalui sistem prekursor dengan adanya panas (Tyrell, 1990). Penelitian awal mengenai prekursor flavor daging, Hornstein et al. (1960) menemukan bahwa prekursor flavor daging terdapat pada ekstrak daging mentah dan berupa komponen-komponen yang larut air. Prekursor daging tersebut memiliki berat molekul yang rendah yaitu kurang dari 200.

Selama proses pemanasan terjadi beberapa reaksi fisika dan kimia yang sangat kompleks dari prekursor-prekursor nonvolatil pada jaringan lemak maupun jaringan tanpa lemak daging. Komponen-komponen yang dihasilkan saling berinteraksi lebih lanjut dalam berbagai reaksi sekunder dan tertier yang menghasilkan komponen-komponen volatil pembentuk flavor daging (Mottram, 1991). Wasserman et al. (1965) menyatakan, pembentukan flavor daging disebabkan oleh reaksi Maillard antara asam amino dan gula. Peranan asam amino dalam pembentukan flavor daging selain dalam reaksi Maillard juga sebagai sumber sulfur. Asam amino bersulfur dapat menghasilkan hidrogen sulfida maupun senyawa-senyawa volatil bersulfur lainya yang berkontribusi terhadap flavor daging (Pippen, 1967). Ditambahkan pula, peranan lemak sangat penting terhadap pembentukan flavor daging lainya, yaitu reaksi antara komponen-komponen lemak atau degradasi lemak dengan komponen dari jaringan tanpa lemak. Hasil-hasil degradasi diperkirakan berinteraksi dengan komponen hasil reaksi Maillard.

Menurut Wasserman et al. (1965), terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi flavor daging. Faktor-faktor tersebut diantaranya spesies hewan dan jenis organ atau jaringan tubuh hewan.

Flavor daging dari beberapa spesies terdiri atas komponen-komponen volatil yang berbeda secara kualitatif. Berbagai kelas komponen volatil pembentuk flavor daging dari berbagai spesies dapat dilihat pada Tabel 5.

10 Tabel 5. Jumlah Berbagai Jenis Komponen Volatil dari Berbagai Kelas

Mamalia yang Terdapat pada Flavor Daging Olahan.

Babi Komponen Sapi

Non Kuring Kuring

Kambing Ayam

Hidrokarbon Alkohol dan Fenol Aldehid

Keton

Asam Karboksilat Ester

Lakton

Furan dan Firan Pirol dan Piridin Pirazin

Komponen Nitrogen lain

Oksazol dan Oksazolin Komponen Sulfur non Heterosiklik

Tiofen

Tiazol dan Tiazolin Komponen Sulfur Heterosiklik lainnya Komponen lain 193 82 65 76 24 59 38 47 39 51 28 13 72 35 29 13 16 37 25 41 31 30 33 12 28 16 44 9 1 17 15 17 1 4 39 64 38 32 29 21 8 16 12 22 22 3 20 4 6 4 7 43 20 39 20 51 11 14 5 19 16 2 4 7 2 13 4 1 84 53 83 53 22 16 24 16 24 22 7 5 17 7 18 6 11 Total 880 361 347 271 468 Mottram (1991) Kominusi

Kominusi adalah proses mengurangi ukuran partikel untuk penyatuan daging mentah menjadi produk akhir. Metode yang digunakan untuk menghasilkan ukuran partikel memberikan pengaruh terhadap tekstur, penampilan dan penerimaan produk (Lawrie, 1991). Metode dan derajat kominusi ditentukan oleh penggunaan alat dan jaringan ikat dari bahan mentah. Daging mengandung jaringan ikat yang tinggi, maka perlu dikurangi menjadi ukuran partikel yang lebih baik guna penerimaan yang seragam. Pengurangan ukuran partikel dapat dilakukan dengan sectioning, flaking,

11

grinding atau chopping. Perbedaan metode kominusi menyebabkan tekstur yang berbeda yang akan dijadikan produk akhir.

Sectioning. Sectioning adalah pemisahan semua sistem otot dengan cara mengiris antara otot dengan pisau. Sectioning biasanya digunakan secara luas pada industri ham untuk memproduksi sectioned dan formed ham. Cara ini digunakan untuk jaringan ikat yang kuat, seperti pada serratus ventralis.

Flaking. Flaking adalah proses mengurangi ukuran partikel dengan menggunakan Urschel Comitrol atau alat sejenis. Daging yang akan digunakan harus dibekukan pada suhu (24-26oF) terlebih dahulu untuk memastikan keseragaman ukuran partikel. Suhu lean dan fraksi lemak menjadi titik kritis untuk menghasilkan ekstrak protein yang diinginkan guna mengikat lemak pada produk akhir.

Grinding. Grinding dilakukan dengan cara melewatkan daging ke grinder plate dan daging akan terpotong oleh pisau grinder. Grinder plate menggunakan variasi ukuran yang beragam dari 1/16 inch sampai tiga inch. Grinding merupakan kominusi langkah awal dalam pembuatan sosis dan produk pengolahan yang sejenis.

Chopping. Chopping dilakukan pada mangkuk chopper. Mesin ini terdapat kubah vakum, dan beberapa model memiliki kemampuan untuk memotong dan memasak. Mangkuk chopper yang besar berputar juga berfungsi untuk mencampurkan adonan.

Keuntungan dari kominusi adalah meningkatkan keseragaman ukuran partikel dan penyebaran bahan serta peningkatan keempukan (Aberle et al., 2001). Selama proses kominusi harus diperhatikan suhu bahan, karena suhu yang tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein yang dapat mengurangi kestabilan dari adonan daging.

Leaching

Leaching atau pencucian umumnya dilakukan pada pembuatan surimi, yaitu produk antara pengolahan ikan. Tujuan leaching adalah pemisahan daging dari bahan yang larut dalam air, sebagian lemak dan darah (pigmen), protein dan kontaminan (Peranginangin et al., 1999). Ditambahkan oleh Suzuki (1981), tujuan proses leaching adalah menghilangkan water-soluble protein yang mengganggu pembentukan gel. Salt-soluble protein memegang peranan penting pada

12 pembentukan gel, karena terjadinya agregasi antara aktin dan myosin pada saat diekstrak.

Menurut Suzuki (1981), pada prinsipnya ada empat tahap proses pencucian dalam pembuatan surimi, yaitu pencucian, penggilingan, pengemasan dan pembekuan. Ikan yang telah dicuci disiangi dan dibuat fillet dimasukkan ke dalam mesin penggiling untuk mendapatkan daging yang lembut dan homogen (Amano, 1962). Fillet ikan ditekan ke dalam lubang dan diberi tekanan dengan tangan agar menuju lempengan yang berlubang. Hal ini mengakibatkan daging lembut akan tertekan ke dalam lubang (Suzuki, 1981). Ditambahkan oleh Tanikawa (1985), pelumatan daging dapat pula dilakukan dengan menggunakan dua buah pisau yang besar di atas meja, sehingga jaringan ikat menjadi hancur.

Pencucianbiasanya dilakukan berkali-kali dengan menggunakan air dingin (5-10°C) sebanyak 2-4 kali volume daging (Peranginangin et al., 1999). Hancuran daging yang diperoleh dimasukkan ke dalam bak perendaman yang telah diisi air, es, dan garam 0,2-0,3 %. Selama pencucian dilakukan pengadukan secara periodik 2-3 kali (Anonymous, 1987). Suzuki (1981) menyatakan pencucian dengan air akran (suhu kamar) akan merusak tekstur dan mempercepat degradasi lemak, sedangkan pencucian dengan air laut dapat meningkatkan kehilangan protein (Grantham, 1981). Penggunaan larutan garam 0,01-0,3 % pada pencucian terakhir akan memudahkan pengurangan kadar air pada saat pemerasan (Suzuki, 1981). Setelah pencucian sisa air pada daging dibuang dengan cara dipress atau disentrifuse sehingga kandungan air berkisar antara 80-82 %. Pengepresan dilakukan dengan menggunakan mesin “screw press” atau dengan “hydraulic press” sehingga diperoleh daging press (Anonymous, 1987). Menurut Mitchell (1986), kualitas surimi yang baik adalah yang putih, bersih, tinggi kekuatan gelnya dan lain-lain.

Sistem Emulsi

Protein otot secara umum dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan karakteristik kelarutannya, yaitu sarkoplasmik, myofibrilar dan stromal atau protein jaringan ikat. Dinyatakan pula bahwa protein sarkoplasmik larut dalam air atau larutan garam lemah (kurang dari 0,15%), protein miofibrilar larut dalam larutan ion kuat seperti pada penggunaan konsentrasi garam pada pengolahan daging (lebih dari 0,3% NaCL), sedangkan stromal protein tidak larut dalam larutan garam tetapi dapat

13 larut dengan perlakuan asam alkali (Aberle et al., 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan protein adalah pH, kekuatan ionik, efek pemanasan, dan kondisi dari pengolahan (Zayas, 1997).

Menurut Wilson et al. (1981), adanya protein daging dapat menjadi zat pengemulsi alamiah karena mempunyai sisi rantai asam amino yang bersifat lipolitik dan hidrofilik serta fleksibel dalam mengubah konformasinya dibawah kondisi tertentu. Stabilitas dispersi yang terbentuk ditentukan oleh elastisitas, sifat ionik dan tegangan-tegangan osmotik yang ditimbulkan oleh molekul protein.

Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri dari suatu dispersi dua cairan atau senyawa (molekul) yang tidak dapat bercampur (antagonistik), antara satu senyawa dengan senyawa lainnya (Winarno, 1997). Pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama yakni ; 1) bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir yang biasanya terdiri dari lemak, 2) bagian yang disebut dengan media pendispersi yang dikenal pula dengan continous phase, biasanya terdiri dari air, dan 3) adalah emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir lemak tadi tetap tersuspensi di dalam air (Winarno, 1997).

Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau menyelimuti semua permukaan partikel yang terdispersi. Emulsi distabilkan oleh berbagai senyawa terutama makromolekul seperti protein, pati dan lain-lain. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, jumlah dan tipe protein yang larut dan viskositas emulsi (Forrest et al., 1975).

Stabilitas emulsi yang maksimum diperoleh dengan pencacahan dan pelumatan pada temperatur 3-11 °C. Temperatur diatas 22°C dapat menyebabkan pecahnya emulsi atau pemisahan antara lemak dan air (Kramlich, 1971).

Pasta

Pasta adalah produk emulsi yang bersifat plastis, yaitu makanan yang dapat dioleskan (Rimbawan, 1976). Terdapat dua bentuk pasta, yaitu berbentuk koloid encer seperti cream, dan berbentuk kental dan hampir padat seperti liver pasta (Sherman, 1969). Ada dua jenis makanan yang penting yaitu sistem emulsi yang bersifat elastis dan yang bersifat plastis. Emulsi makanan yang bersifat elastis adalah makanan yang mempunyai tekstur kenyal, contohnya sosis, bakso dan meat loaf.

14 Emulsi makanan yang bersifat plastis adalah jenis makanan yang dapat dioleskan contohnya mentega, pasta ikan dan “liver pasta”, dan umumnya dimakan bersama-sama roti.

Peraturan mengenai fish and meat spreadable di Inggris menyatakan bahwa pasta ikan adalah suatu produk yang dapat dioleskan dan ditujukan untuk konsumsi

Dokumen terkait