• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman Lampiran 1. Tabel kadar air selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa

sistem kendali ... 49 Lampiran 2. Data suhu sampel selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa sistem

kendali ... 50 Lampiran 3. Data RH inlet dan outlet selama proses pengeringan jagung pipilan tanpa

sistem kendali ... 53 Lampiran 4. Data Daya, Tegangan, Arus dan Cos θ selama proses pengeringan jagung

pipilan tanpa sistem kendali ... 56 Lampiran 5. Tabel pengukuran suhu, kelembaban dan kadar air kesetimbangan yang

sensor selama proses pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali ... 58 Lampiran 6. Tabel pengukuran kecepatan dan laju angin selama prose pengeringan

jagung pipilan dengan sistem kendali ... 60 Lampiran 7. Tabel pengukuran suhu tumpukan selama proses pengeringan jagung

Pipilan dengan sistem kendali. ... 62 Lampiran 8. Tabel pengukuran kelembaban relatif (RH) dan kelembaban mutlak (H)

Selama proses pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali. ... 64 Lampiran 9. Tabel penurunan kadar air basis basah dan basis kering selama

Pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali. ... 66 Lampiran 10. Tabel konsumsi energi listrik tahap 1 dan tahap 2 selama proses

pengeringan jagungpipilan dengan sistem kendali. ... 67 Lampiran 11. Program pembacaan Sensor SHT11, SHT75, LCD dan strategi

pengendalian ... 68 Lampiran 12. Program zero crossing dan penyalaan lampu untuk pengambilan data

   

1

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Jagung merupakan salah satu tanaman pangan terpenting. Selain sebagai bahan makanan, jagung juga digunakan sebagai bahan pakan ternak, bahan baku tepung dan bahan baku industri. Oleh karena itu, pengembangan jagung sebagai komoditas perdagangan dan industri menyebabkan pentingnya aspek pra-penggolahan pada tahap pascapanen menuju pengolahan industry, salah satunya yaitu aspek pengeringan.

Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air dari suatu bahan dimana terjadi proses penggeluaran air menuju kadar air kesetimbangan. Hal tersebut bertujuan untuk memperlambat laju kerusakan produk dari serangan jamur, enzim dan aktivitas serangga (Handerson dan Perry, 1976). Pada pangeringan artificial kebutuhan energi termal untuk pengeringan sangat tinggi, kira- kira 90% - 95% dari total kebutuhan energi (Manalu, 1999; Nelwan, 1997). Berdasarkan hal tersebut, pengeringan yang memanfaatkan udara lingkungan merupakan salah satu alternatif penghematan konsumsi energi termal untuk pengeringan.

Indonesia merupakan negara tropis dimana kondisi udara lingkungan pada umumnya memiliki kelembaban relatif (RH) yang tinggi, akan tetapi pada siang hari suhu dapat lebih tinggi dari 30oC dengan kelembaban lebih rendah dari 70%. Udara dengan kondisi demikian cukup potensial untuk digunakan sebagai media pengeringan biji-bijian, mengingat kadar air kesetimbangan jagung pada kondisi tersebut dapat mencapai kurang dari 14%. Akan tetapi, karena kondisinya berfluktuasi tidak semua udara berpotensi untuk digunakan sebagai media pengeringan. Selain itu pada pengeringan buatan dengan tipe tumpukan (batch), biji-bijian dikeringkan dengan cara ditumpuk dalam suatu wadah dengan pertimbangan kapasitas yang lebih besar dan kemudahan dalam pengoperasian. Pada kondisi tersebut menyebabkan terjadinya variasi kadar air antara lokasi. Widodo dan Hendriadi (2004) mengatakan pengeringan bahan pertanian dengan pengeringan tipe bak datar menghasilkan kadar air akhir yang kurang seragam pada lapisan bawah, tengah dan atas. Perbedaan kadar air pengeringan antara lapisan bawah dan atas sebesar 4-6% untuk pengeringan bak datar juga disebutkan oleh Thahir et al. (1993) dalam Thahir (2000).

Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem kendali otomatis yang dapat mengendalikan pengaliran udara pada waktu yang tepat yaitu ketika suhu udara lingkungan relatif tinggi dan RH rendah (udara lingkungan yang potensial). Penelitian terdahulu oleh Hendarto (2008) mengenai studi implementasi sistem kendali on-off pada In Store Dryer (ISD) untuk komoditas jagung, pengeringan jagung pipilan dilakukan dengan menggunakan udara lingkungan yang potensial. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil yang menyatakan bahwa pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan sistem kendali on-off menunjukkan bahwa pengeringan jagung dari kadar air 18%-15%bk membutuhkan waktu 33 jam dan konsumsi energi selama proses pengeringan sebesar 175 MJ atau 1.59 MJ/kg air yang diuapkan. Sedangkan tanpa sistem kendali pengeringan dilakukan dalam waktu 68 jam dengan konsumsi energi selama proses pengeringan sebesar 360 MJ atau 1.45 MJ/kg air yang diuapkan. Namun dalam penelitian tersebut pendugaan perhitungan kadar air bahan kurang tepat. Hal tersebut dikarenakan pada penelitian tersebut hanya menggunakan sistem pengendali on-off dengan dua sensor yang dipasang pada tumpukan jagung lapisan atas dan pada lingkungan disekitar pengering.

   

2 Berdasarkan hasil penelitian tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan sehingga proses pengeringan berlangsung lebih efektif dengan konsumsi energi selama proses pengeringan lebih rendah. Dengan mempertimbangkan beda kadar air pada lapisan atas dan bawah terhadap potensinya pada udara lingkungan, strategi pengendalian pada penelitian ini diprogram sedemikian rupa sehingga blower tidak selalu berputar maksimal selama proses pengeringan.

Penelitian lanjutan yang dilakukan adalah pengeringan tipe tumpukan dengan penambahan sensor yang dipasang pada tumpukan jagung lapisan bawah, lapisan atas dan pada lingkungan disekitar pengeringan. Dengan adanya sistem kendali ini diharapkan proses pengeringan yang dilakukan lebih terkendali (efektif) dan konsumsi energi yang digunakan lebih rendah.

B.

TUJUAN PENELITIAN

1. Merancang strategi pengendalian pada sistem pengering dengan udara lingkungan untuk jagung pipilan berbasis beda kadar air pada tumpukan dengan potensinya pada udara lingkungan.

2. Merancang perangkat keras dan perangkat lunak sistem kendali untuk keperluan strategi pengendalian.

   

3

II.TINJAUAN PUSTAKA

A.

JAGUNG (Zea Mays L)

Jagung (Gambar 1) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia misalnya di Madura dan Nusa Tenggara juga menggunakan jagung sebagai makanan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga berfungsi sebagai pakan ternak, bahan baku tepung, dan bahan baku industri. Adapun klasifikasi ilmiah tanaman jagung adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Division : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub division : Angiospermae (berbiji tertutup) Classis : Monocotyledone (berkeping satu) Ordo : Gramincaea (rumput-rumputan) Familia : Graminaceae

Genus : Zae

Spesies : Zea Mays L. Gambar 1. Jagung (Zea Mays L) Dari tahun 2000, produksi jagung setiap tahunnya cenderung meningkat. Berdasarkan situs BPS (2010), peningkatan data produksi jagung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data produksi jagung

Tahun Luas panen (Ha) Produksi (ton)

2000 3.500.318 9.676.899 2001 3.285.866 9.347.192 2002 3.126.833 9.654.105 2003 3.358.511 10.886.442 2004 3.356.914 11.225.243 2005 3.625.987 12.523.894 2006 3.345.805 11.609.463 2007 3.630.324 13.287.527 2008 4.001.724 16.317.252 2009 4.160.659 17.629.748 2010 4.143.246 18.364.430 Sumber : BPS (Tahun 2010)

Dalam industri pangan maupun pakan, jagung yang digunakan dalam bentuk yang telah dikeringkan. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air hingga mencapai kadar air kesetimbangan sehingga mencegah tumbuhnya mikriorganisme pembusuk. Kadar air jagung yang siap dipipil berada pada kisaran 30% - 17%. Sedangkan kadar air pada kisaran 17% - 12% sudah dapat dikonsumsi atau disimpan (Suwadi dan Suarni 2001).

   

4 Standar mutu yang digunakan sebagai acuan utama dalam pengeringan jagung adalah SNI 01- 4438-1998. Tabel 2 merupakan persyaratan mutu standar jagung sebagai bahan baku pakan yang harus dipenuhi berdasarkan SNI 01-4438-1998.

Tabel 2 Persyaratan mutu standar jagung sebagai bahan baku pakan berdasarkan SNI 01-4438-1998.

No Komposisi Syarat Mutu Satuan 1 Kadar air (maksimum) 14 %

2 Kadar protein kasar (minimum) 7.5 % 3 Kadar serat kasar (maksimum) 3.0 % 4 Kadar abu (maksimum) 2.0 % 5 Kadar lemak (minimum) 3.0 % 6 Mikotoksin

a. Aflaktosin (maksimum) 5.0 Ppb b. Okratoksin (maksimum) 5.0 Ppb 7 Butir pecah (maksimum) 5.0 % 8 Warna lain (maksimum) 5.0 % 9 Benda asing (maksimum) 2.0 %

B.

PENGERINGAN

B.1 Teori Pengeringan

Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air dari suatu bahan dimana terjadi proses penggeluaran air menuju kadar air kesetimbangan. Proses pengeringan bertujuan untuk memperlambat laju kerusakan produk dari serangan jamur, enzim dan aktivitas serangga (Handerson dan Perry, 1976). Umumnya media pengering yang digunakan adalah udara. Udara ini berfungsi antara lain untuk membawa panas masuk dalam sistem, untuk menguapkan, dan kemudian membawa uap air keluar dari sistem. Proses pengeluaran air di permukaan bahan dapat terjadi secara alamiah akibat adanya perbedaan tekanan uap antara bahan dan udara lingkungan di sekitar bahan. Meskipun proses pengeringan terjadi pada tekanan atmosfir, proses pengeringan ini dapat dipercepat dengan memodifikasi kondisi udara lingkungan yaitu dengan pencampuran udara kering dan uap air. Pengkondisian udara laingkungan ini dapat dilakukan dengan pemanasan (heating), pendinginan (cooling), pelembaban (humidifying), penghilangan kelembaban (dehumidifying), dan pencampuran udara berdasarkan karakteristik fisik yang ditunjukkan dalam diagram psikometri (Goswami, 1986).

Menurut Henderson dan Perry (1976), proses pengeringan terdiri dari dua periode yaitu periode pengeringan dengan laju tetap/konstan dan periode dengan laju menurun. Periode pengeringan dengan laju tetap merupakan periode perpindahan massa air yang berasal dari permukaan bahan. Proses ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan uap air antara permukaan bahan dengan udara pengering. Proses ini akan terus berlangsung sampai air bebas pada permukaan telah hilang. Sedangkan pengeringan dengan laju menurun akan berlangsung setelah pengeringan laju konstan selesai. Kadar air diantara kedua periode tersebut disebut dengan kadar air kritis. Pengeringan dengan laju menurun akan berhenti hingga tercapai kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan merupakan kadar air terendah yang dapat dicapai pada suhu dan kelembaban tertentu.

   

5 Selama pengeringan berlangsung terjadi penurunan suhu bola kering disertai dengan kenaikan kelembaban mutlak (H), kelembaban relatif (RH), tekanan uap dan suhu pengembunan. Sedangkan suhu bola basah dan entalpi tetap. Ilustrasi aktivitas pengeringan dapat dilihat pada kurva psikrometrik chart pada Gambar 2.

Keterangan:

(1) – (2) = Proses pemanasan udara (1) – (3) = Proses pengeringan Tud = Suhu udara Tp = Suhu pengeringan

Gambar 2. Kurva psikrometrik chart untuk pengeringan

Proses pengeringan dipengaruhi oleh kecepatan aliran udara, suhu pengeringan dan RH pengeringan. Semakin cepat aliran udara pengering maka semakin cepat pula uap air terbawa sehingga tidak terjadi penjenuhan dipermukaan bahan. Suhu pengeringan juga sangat berpengaruh terhadap laju penguapan bahan dan lama pengeringan. Selain itu, suhu pengeringan harus disesuaikan dengan karakteristik bahan yang dikeringkan sebab suhu yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas bahan yang dikeringkan. Selain kecepatan aliran dan suhu, RH udara pengering juga berpengaruh terhadap pemindahan uap air dari dalam bahan ke permukaan dan menentukan kemampuan permukaan bahan untuk menampung uap air. Besarnya kelembaban relatif (RH) berbanding terbalik dengan kemampuan udara menyerap uap air sehingga semakin rendah RH maka semakin tinggi kemampuan udara dalam menyerap uap air dan laju pengeringan semakin cepat (Ramelan, 1996).

RH Suhu pengembunan Volume spesifik (m3/kg uk) Entalpi (kJ/kguk) h1 h2 3 1 2   Tud Tp Kelembaban mutla k (kg air /kg uk )

   

6

B.2 Metode Pengeringan

Metode pengeringan merupakan suatu cara yang diterapkan/digunakan dalam proses pengeringan. Metode Pengeringan dapat dikategorikan dengan cara yang berbeda. Secara umum, metode pengeringan terdiri dari dua metode yaitu pengeringan manual/alami (natural drying) dan pengeringan buatan/mekanis (artificial drying) Pada pengeringan natural/alami panas pengeringan dipengaruhi oleh udara sekitar atau matahari. Pengeringan natural/alami ini bisa dilakukan dengan cara penjemuran. Pengeringan dengan sistem ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain tergantung pada cuaca, sulit dikontrol, memerlukan tempat penjemuran yang luas dan terbuka, mudah terkontaminasi dan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan pengeringan artificial (pengeringan buatan) dilakukan dengan menggunakan panas tambahan. Keuntungannya antara lain yaitu tidak tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas dan kondisi pengeringan dapat dikontrol (widodo dan hendriadi, 2004). Menurut brooker et al. (1982) metode pengeringan mekanis berdasarkan mode operasi dalam proses pengeringan pada umumnya terdiri dari dua yaitu:

¾ Pengeringan Kontinyu (Continuous Drying)

Pengeringan kontinyu (continous drying) adalah pengeringan terus menerus, bahan yang dikeringkan bergerak melalui ruang pengering dan mengalami kontak dengan udara pemanas secara paralel atau berlawanan. Pada saat yang bersamaan, produk yang kering akan keluar pada bagian outlet prngering dan produk yang akan dikeringkan akan masuk melalui inlet alat pengering. Pada pengeringan ini, terjadi pemerataan kadar air produk yang dikeringkan.

¾ Pengeringan Tumpukan (Batch Drying)

Pada Pengeringan tipe tumpukan (batch drying), bahan yang akan dikeringkan dalam keadaan diam. Bahan ditempatkan pada bak pengering dan udara dialiran pada bagian bawah tumpukan yang dihembuskan melewati biji/produk yang dikeringkan. Pengeringan tipe tumpukan memiliki sistem yang sederhana dan dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan setelah pengeringan selesai. Namun kekurangan pada pengeringan sistem ini akan terjadi variasi kadar air tumpukan biji-bijian mulai dari lapisan bawah (dimana udara pengering masuk) hingga lapisan paling atas (Brooker et.al, 1982)

Berdasarkan pergerakan biji yang dikeringkan, secara umum metode pengering mekanis terdiri dari dua yaitu:

¾ Pengeringan Static Bed

Pada pengeringan static bed, produk yang dikeringkan tidak mengalami pergerakan atau dalam keadaan diam. Pengeringan static bed atau yang biasa disebut pengeringan tipe tumpuk, contohnya pengeringan tipe bak. Adapun sistem pengeringan tipe bak yaitu udara pengering bergerak dari bawah ke atas melalui butir-butir produk yang ditumpuk dan melepaskan sebagian panasnya untuk menghasilkan penguapan. Pada pengeringan tipe ini, udara pengering semakin ke atas akan semakin turun suhunya. Penurunan suhu tersebut harus diatur sedemikian rupa agar pada saat mencapai lapisan atas masih terdapat energi panas sehingga penguapan dapat berlangsung terus dengan cara mengatur tebal tumpukan. Pada pengeringan tipe bak, terjadi variasi kadar air tumpukan biji-bijian mulai dari lapisan bawah (dimana udara pengering masuk) hingga lapisan paling atas (Brooker et.al, 1982).

   

7

¾ Pengeringan Resirkulasi

Pengeringan resirkulasi merupakan pengeringan yang menggunakan prinsip sirkulasi dimana pengeringan ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan pada proses pengeringan yang bertujuan untuk penyeragaman kadar air pada produk yang dikeringkan dan dapat mempercepat efektifitas dan efisiensi pengeringan. Contoh pengeringan resirkulasi adalah: 1. Pengeringan Tipe “Cross-Flow”

Sistem pengeringan “cross-flow” dikategorikan dengan arah reltif dari biji-bijian dan perpindahan udara melalui pengering. Pada pegeringan ini udara pengering mengalir melalui pengering secara horizontal, tegak lurus dengan arah aliran biji-bijian yang jatuh bebas.

2. Pengeringan Tipe “Mix-Flow”

Pengeringan tipe “mix-flow” merupakan model pengeringan yang berdasarkan aliran udara yang digunakan dengan aliran produk yang akan dikeringkan. Pengeringan model ini diperkenalkan berdasarkan dua dimensi dasar yaitu berdasarkan aliran udara dan jagung disekitar inlet dan outlet saluran aliran. Pada pengeringan ini, digunakan menggunakan beberapa blok untuk pengaliran udara yang searah, berlawanan dan tegak lurus dengan aliran biji/produk.

3. Pengeringan Tipe Rotari Tumpukan

Pengeringan Tipe Rotari Tumpukan meliputi wadah pengering yang terdiri dari dua buah drum silindris berpori sehingga memiliki dua ruangan yaitu bagian dalam dan bagian luar. Produk yang akan dikeringkan akan diletakkan pada rauangan bagian luar yaitu berada diantara dua dinding drum. Ruang drum bagian dalam dihubungkan dengan kipas sentrifugal menggunakan ducting yang berfungsi untuk memasukkan udara pengering. Di dalam ducting dipasang elemen pemanas yang berfungsi untuk memanaskan udara yang masuk.

Prinsip kerja dari pengeringan tipe rotari tumpukan ini adalah udara yang telah dipanaskan dialirkan melalui ducting ke tumpukan jagung pipilan dalam drum silindris sedemikian rupa sehingga aliran udara mengalir ke radial ketika melalui tumpukan. Drum silindris tersebut dapat diputar untuk menciptakan efek pengadukan biji dengan menggunakan motor listrik melali gear box yang memutar poros dari silinder

.

Berdasarkan sumber energi yang digunakan, metode pengeringan mekanis yang umum digunakan adalah sebagai berikut:

¾ Pengeringan dengan Energi Surya

1. Pengeringan Rumah Kaca (Greenhouse)

Pengering efek rumah kaca adalah alat pengering berenergi surya yang memanfaatkan efek rumah kaca yang terjadi karena adanya penutup transparan pada dinding bangunan serta plat absorber sebagai pengumpul panas untuk menaikkan suhu udara ruang pengering. Lapisan transparan memungkinkan radiasi gelombang pendek dari matahari masuk ke dalam dan mengenai elemen-elemen bangunan. Hal ini menyebabkan radiasi gelombang pendek yang terpantul berubah menjadi gelombang panjang dan terperangkap dalam bangunan karena tidak dapat menembus penutup transparan sehingga menyebabkan suhu menjadi tinggi. Proses inilah yang dinamakan efek rumah kaca. (Kamaruddin et al., 1996).

2. Pengeringan Iradiasi Surya (Solar Drying)

Solar drying merupakan modifikasi dari sun drying yang menggunakan kolektor sinar matahari yang didesain khusus dengan ventilasi untuk keluarnya uap air. Energi matahari

   

8 dikumpulkan menggunakan pengumpul energi yang berupa piringan tipis (flat plate) yang biasanya terbuat dari plastik transparan. Solar drying disebut juga iradiasi surya. Suhu pada pengeringan jenis ini umumnya 20 sampai 30°C lebih tinggi dari pada di tempat terbuka (open sun drying) dengan waktu pengeringan yang lebih singkat. Sistem solar drying juga digunakan pada pengeringan bijian, selain menggunakan sistem batch drying dan continous flow drying. 3. Pengering dengan Sumber Energi Konvesional

Pada pengering buatan udara yang mengitari produk dibuat dengan menggunakkan kipas atau blower. Panas diperlukan untuk menaikkan suhu udara pengering. Penambahan panas pada udara pengering bertujuan untuk menaikan kapasitas udara yang membawa uap dan untuk memanaskan produk menjadi lebih tinggi (Hall, 1963 dalam Sulikah 2007). Panas yang digunakan pada proses pengeringan buatan berasal dari berbagai sumber energi panas yang ada, tergantung dari ketersediaan sumber energi yang ada disekitar proses pengeringan yang sedang berlangsung. Kebanyakan sumber energi yang digunakan adalah bahan bakar minyak (BBM) dan listrik.

4. Pengeringan Dengan Menggunakan Udara Lingkungan

Selain menggunakan matahari, pengeringan juga dapat dilakukan dengan menggunakan udara lingkungan. Pengeringan dengan sistem ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pemanasan udara (menggunakan heater) sehingga udara yang masuk akan dipanaskan terlebih dahulu lalu di hembuskan pada produk. Selain dengan pemberian panas tambahan. pada prinsipnya pengendalian suhu pada pengering dapat melalui pengaturan aliran udara. Saat jumlah udara per satuan waktu dari luar sistem (lingkungan) yang masuk ditingkatkan, suhu dalam sistem pengering akan menurun. Sebaliknya ketika jumlah aliran udara yang masuk dikurangi maka suhu udara di dalam ruang akan meningkat. Disamping itu, debit udara pada pengeringan tumpukan juga memberikan perbedaan penurunan kadar air.

Pada penelitian ini, pengeringan yang akan digunakan adalah pengeringan jagung pipilan tipe tumpukan yang memanfaatkan udara lingkungan yang potensial yaitu saat suhu tinggi dan kelembaban rendah untuk media pengering. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalkan kebutuhan energi termal yang sangat tinggi untuk pengeringan. Namun karena kondisi lingkungan yang berfluktuasi sehingga tidak semua udara berpotensi untuk media pengeringan maka diperlukan suatu sistem kendali yang dapat mengontrol kondisi udara yang potensial tersebut.

B.3 Sistem Pengeringan yang Memanfaatkan Udara Lingkungan yang

Potensial dengan Sistem Kontrol

Penggunaan kontrol otomatis untuk mengatur laju aliran udara telah memberikan penghematan energi yang cukup signifikan pada saat pengeringan. Pada saat kadar air masih lebih tinggi dari kadar air keseimbangan, aliran udara dijalankan, sedangkan ketika lebih rendah aliran udara dihentikan. Namun pengendalian harus diatur sedemikian rupa, sehingga penghematan energi dan keseragaman kadar air tetap terjaga. Jika pengeringan dilakukan menggunakan kipas yang tidak dapat dikendalikan, kerugian energi untuk pengaliran udara akan dialami. Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian laju aliran udara mengunakan kontrol otomatis, agar hal tersebut dapat diminimalkan.

Penelitian mengenai pengeringan dengan menggunakan sistem kontrol telah banyak dilakukan sebelumnya. Hendarto (2008) melakukan pengeringan jagung pipilan pada In-Store

   

9 Drying (ISD) dengan teknik kontrol on-off pada blower udara penghembus udara keluar bin. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil yang menyatakan bahwa pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan sistem kendali on-off menunjukkan bahwa pengeringan jagung dari kadar air 18%- 15%bk membutuhkan waktu 33 jam dan konsumsi energi selama proses pengeringan sebesar 175 MJ atau 1.59 MJ/kg air yang diuapkan. Sedangkan tanpa sistem kendali pengeringan dilakukan dalam waktu 68 jam dengan konsumsi energi selama proses pengeringan sebesar 360 MJ atau 1.45 MJ/kg air yang diuapkan. Namun dalam penelitian tersebut pendugaan perhitungan kadar air bahan kurang tepat. Hal tersebut dikarenakan pada penelitian tersebut hanya menggunakan sistem pengendali on-off dengan dua sensor yang dipasang pada tumpukan jagung lapisan atas dan pada lingkungan disekitar pengering.

C.

KADAR AIR

Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan basis basah (wet basis) atau berdasarkan basis kering (dry basis). Kadar air basis basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air basis kering dapat lebih dari 100 persen. ( Syarif dan Halid, 1993).

Perubahan kadar air bahan selama proses pengeringan dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

% ……… (1)

M WW x %... (2)

Keterangan:

m = Kadar air basis basah (%b.b) M = Kadar air basis kering (%b.k) Wm = Massa air (kg)

Wd = Massa bahan kering (kg)

Persamaan Konversi nilai kadar air basis basah menjadi nilai kadar air basis kering adalah sebagai berikut:

………... (3)

Dokumen terkait