• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengendalian pada Pengeringan Jagung Pipilan yang Memanfaatkan Udara lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pengendalian pada Pengeringan Jagung Pipilan yang Memanfaatkan Udara lingkungan"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

CONTROL STRATEGY ON CORN DRYING THAT UTILIZED

AMBIENT AIR

Lovren Devter and Leopold O. Nelwan

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java. Indonesia,

Phone +62 852 8867 3631, e-mail: Lovren_Devter@yahoo.com

ABSTRACT

In artificial drying, consumption of thermal energy is about 90%-95% of requirement total energy (Manalu, 1999; Nelwan, 1997). Ambient air drying is a drying method that use unheated air, thus its thermal energy consumption is very low.

Indonesia is a tropical country that ambient air condition generally has high relative humidity, however the mean temperature is more than 30oC and the relative humidity is lower than 70%. This condition is potential to dry the corn up to it’s equilibrium moisture content (Me) i.e. 14%. Because of the fluctuative condition, the ambient air doesn’t have potential ability to dry at all. In deep bed dryer, there are various moistures in layers. Therefore, control system based on differences of moisture content in corn layers is needed to flow the potential ambient air -high of air temperature and low relative humidity- and to control the velocity of ambient air flow. The control system consists of detector of temperature and RH by SHT11 and SHT75 sensor, LCD, power supply and zero crossing circuits. The controlling system program was written ‘C language’, and written by Uc51 software 3.48 version, and also has function as compiler to convert ‘C language’’ to file.hex. The controlling strategy compare equilibrium moisture content in layer with the ambient as a hint of round of blower. If ambient Me < Me of the lower layer, the blower flows the maximum flow rate (0.455 m2/s). Contraryly, if Me >Me of the upper layer, the blower won’t flows . And if Me of the lower layer < ambient Me < Me of the upper layer, the blower flows the ambient air with five different levels of flow rate ( 0.398m2/s, 0.347 m2/s, 0.272 m2/s, 0.169 m2/s ,and 0.136 m2/s ) based on the comparation of the third Me.

The experiment without control system showed that when the ambient temperature is about 25.7oC - 36oC and average ambient RH is about 55.25% - 97.65%, can dry the corn from average moisture content 20.48% b.k to 16.08% bk in 46.5 hours and consumed electrical energy as much as 4.288 MJ/kg of water evaporated. But, In the experiment with control system with average ambient temperature is about 27.9oC – 40.6oC, and average ambient RH is about 39.47% - 93.43%, the drying process start from average moisture content 20.89% b.k to 16.20% b.k due 10.517 hours and consume electric energy as much as 1.553 MJ/kg of water evaporated. Control Strategy Program worked properly and consumed less electrical energy and drying time process than the experiment without control system.

(2)

   

1

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Jagung merupakan salah satu tanaman pangan terpenting. Selain sebagai bahan makanan, jagung juga digunakan sebagai bahan pakan ternak, bahan baku tepung dan bahan baku industri. Oleh karena itu, pengembangan jagung sebagai komoditas perdagangan dan industri menyebabkan pentingnya aspek pra-penggolahan pada tahap pascapanen menuju pengolahan industry, salah satunya yaitu aspek pengeringan.

Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air dari suatu bahan dimana terjadi proses penggeluaran air menuju kadar air kesetimbangan. Hal tersebut bertujuan untuk memperlambat laju kerusakan produk dari serangan jamur, enzim dan aktivitas serangga (Handerson dan Perry, 1976). Pada pangeringan artificial kebutuhan energi termal untuk pengeringan sangat tinggi, kira-kira 90% - 95% dari total kebutuhan energi (Manalu, 1999; Nelwan, 1997). Berdasarkan hal tersebut, pengeringan yang memanfaatkan udara lingkungan merupakan salah satu alternatif penghematan konsumsi energi termal untuk pengeringan.

Indonesia merupakan negara tropis dimana kondisi udara lingkungan pada umumnya memiliki kelembaban relatif (RH) yang tinggi, akan tetapi pada siang hari suhu dapat lebih tinggi dari 30oC dengan kelembaban lebih rendah dari 70%. Udara dengan kondisi demikian cukup potensial untuk digunakan sebagai media pengeringan biji-bijian, mengingat kadar air kesetimbangan jagung pada kondisi tersebut dapat mencapai kurang dari 14%. Akan tetapi, karena kondisinya berfluktuasi tidak semua udara berpotensi untuk digunakan sebagai media pengeringan. Selain itu pada pengeringan buatan dengan tipe tumpukan (batch), biji-bijian dikeringkan dengan cara ditumpuk dalam suatu wadah dengan pertimbangan kapasitas yang lebih besar dan kemudahan dalam pengoperasian. Pada kondisi tersebut menyebabkan terjadinya variasi kadar air antara lokasi. Widodo dan Hendriadi (2004) mengatakan pengeringan bahan pertanian dengan pengeringan tipe bak datar menghasilkan kadar air akhir yang kurang seragam pada lapisan bawah, tengah dan atas. Perbedaan kadar air pengeringan antara lapisan bawah dan atas sebesar 4-6% untuk pengeringan bak datar juga disebutkan oleh Thahir et al. (1993) dalam Thahir (2000).

(3)

   

2 Berdasarkan hasil penelitian tersebut perlu dilakukan penelitian lanjutan sehingga proses pengeringan berlangsung lebih efektif dengan konsumsi energi selama proses pengeringan lebih rendah. Dengan mempertimbangkan beda kadar air pada lapisan atas dan bawah terhadap potensinya pada udara lingkungan, strategi pengendalian pada penelitian ini diprogram sedemikian rupa sehingga blower tidak selalu berputar maksimal selama proses pengeringan.

Penelitian lanjutan yang dilakukan adalah pengeringan tipe tumpukan dengan penambahan sensor yang dipasang pada tumpukan jagung lapisan bawah, lapisan atas dan pada lingkungan disekitar pengeringan. Dengan adanya sistem kendali ini diharapkan proses pengeringan yang dilakukan lebih terkendali (efektif) dan konsumsi energi yang digunakan lebih rendah.

B.

TUJUAN PENELITIAN

1. Merancang strategi pengendalian pada sistem pengering dengan udara lingkungan untuk jagung pipilan berbasis beda kadar air pada tumpukan dengan potensinya pada udara lingkungan.

(4)

   

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

JAGUNG (

Zea Mays L

)

Jagung (Gambar 1) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia misalnya di Madura dan Nusa Tenggara juga menggunakan jagung sebagai makanan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga berfungsi sebagai pakan ternak, bahan baku tepung, dan bahan baku industri. Adapun klasifikasi ilmiah tanaman jagung adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Division : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub division : Angiospermae (berbiji tertutup) Classis : Monocotyledone (berkeping satu) Ordo : Gramincaea (rumput-rumputan) Familia : Graminaceae

Genus : Zae

Spesies : Zea Mays L. Gambar 1. Jagung (Zea Mays L)

Dari tahun 2000, produksi jagung setiap tahunnya cenderung meningkat. Berdasarkan situs BPS (2010), peningkatan data produksi jagung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data produksi jagung

Tahun Luas panen (Ha) Produksi (ton)

2000 3.500.318 9.676.899 2001 3.285.866 9.347.192 2002 3.126.833 9.654.105 2003 3.358.511 10.886.442 2004 3.356.914 11.225.243 2005 3.625.987 12.523.894 2006 3.345.805 11.609.463 2007 3.630.324 13.287.527 2008 4.001.724 16.317.252 2009 4.160.659 17.629.748 2010 4.143.246 18.364.430

Sumber : BPS (Tahun 2010)

(5)

   

4 Standar mutu yang digunakan sebagai acuan utama dalam pengeringan jagung adalah SNI 01-4438-1998. Tabel 2 merupakan persyaratan mutu standar jagung sebagai bahan baku pakan yang harus dipenuhi berdasarkan SNI 01-4438-1998.

Tabel 2 Persyaratan mutu standar jagung sebagai bahan baku pakan berdasarkan SNI 01-4438-1998.

No Komposisi Syarat Mutu Satuan 1 Kadar air (maksimum) 14 %

2 Kadar protein kasar (minimum) 7.5 % 3 Kadar serat kasar (maksimum) 3.0 % 4 Kadar abu (maksimum) 2.0 % 5 Kadar lemak (minimum) 3.0 % 6 Mikotoksin

a. Aflaktosin (maksimum) 5.0 Ppb b. Okratoksin (maksimum) 5.0 Ppb 7 Butir pecah (maksimum) 5.0 % 8 Warna lain (maksimum) 5.0 % 9 Benda asing (maksimum) 2.0 %

B.

PENGERINGAN

B.1 Teori

Pengeringan

Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air dari suatu bahan dimana terjadi proses penggeluaran air menuju kadar air kesetimbangan. Proses pengeringan bertujuan untuk memperlambat laju kerusakan produk dari serangan jamur, enzim dan aktivitas serangga (Handerson dan Perry, 1976). Umumnya media pengering yang digunakan adalah udara. Udara ini berfungsi antara lain untuk membawa panas masuk dalam sistem, untuk menguapkan, dan kemudian membawa uap air keluar dari sistem. Proses pengeluaran air di permukaan bahan dapat terjadi secara alamiah akibat adanya perbedaan tekanan uap antara bahan dan udara lingkungan di sekitar bahan. Meskipun proses pengeringan terjadi pada tekanan atmosfir, proses pengeringan ini dapat dipercepat dengan memodifikasi kondisi udara lingkungan yaitu dengan pencampuran udara kering dan uap air. Pengkondisian udara laingkungan ini dapat dilakukan dengan pemanasan (heating), pendinginan (cooling), pelembaban (humidifying), penghilangan kelembaban (dehumidifying), dan pencampuran udara berdasarkan karakteristik fisik yang ditunjukkan dalam diagram psikometri (Goswami, 1986).

(6)

   

5 Selama pengeringan berlangsung terjadi penurunan suhu bola kering disertai dengan kenaikan kelembaban mutlak (H), kelembaban relatif (RH), tekanan uap dan suhu pengembunan. Sedangkan suhu bola basah dan entalpi tetap. Ilustrasi aktivitas pengeringan dapat dilihat pada kurva psikrometrik chart pada Gambar 2.

Keterangan:

(1) – (2) = Proses pemanasan udara (1) – (3) = Proses pengeringan Tud = Suhu udara Tp = Suhu pengeringan

Gambar 2. Kurva psikrometrik chart untuk pengeringan

Proses pengeringan dipengaruhi oleh kecepatan aliran udara, suhu pengeringan dan RH pengeringan. Semakin cepat aliran udara pengering maka semakin cepat pula uap air terbawa sehingga tidak terjadi penjenuhan dipermukaan bahan. Suhu pengeringan juga sangat berpengaruh terhadap laju penguapan bahan dan lama pengeringan. Selain itu, suhu pengeringan harus disesuaikan dengan karakteristik bahan yang dikeringkan sebab suhu yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas bahan yang dikeringkan. Selain kecepatan aliran dan suhu, RH udara pengering juga berpengaruh terhadap pemindahan uap air dari dalam bahan ke permukaan dan menentukan kemampuan permukaan bahan untuk menampung uap air. Besarnya kelembaban relatif (RH) berbanding terbalik dengan kemampuan udara menyerap uap air sehingga semakin rendah RH maka semakin tinggi kemampuan udara dalam menyerap uap air dan laju pengeringan semakin cepat (Ramelan, 1996).

RH Suhu pengembunan

Volume spesifik (m3/kg

uk) Entalpi

(kJ/kguk) h1

h2

3

1 2

 

Tud Tp

Kelembaban mutla

k

(kg

air

/kg

uk

(7)

   

6

B.2 Metode

Pengeringan

Metode pengeringan merupakan suatu cara yang diterapkan/digunakan dalam proses pengeringan. Metode Pengeringan dapat dikategorikan dengan cara yang berbeda. Secara umum, metode pengeringan terdiri dari dua metode yaitu pengeringan manual/alami (natural drying) dan pengeringan buatan/mekanis (artificial drying) Pada pengeringan natural/alami panas pengeringan dipengaruhi oleh udara sekitar atau matahari. Pengeringan natural/alami ini bisa dilakukan dengan cara penjemuran. Pengeringan dengan sistem ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain tergantung pada cuaca, sulit dikontrol, memerlukan tempat penjemuran yang luas dan terbuka, mudah terkontaminasi dan memerlukan waktu yang lama. Sedangkan pengeringan artificial (pengeringan buatan) dilakukan dengan menggunakan panas tambahan. Keuntungannya antara lain yaitu tidak tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas dan kondisi pengeringan dapat dikontrol (widodo dan hendriadi, 2004). Menurut brooker et al. (1982) metode pengeringan mekanis berdasarkan mode operasi dalam proses pengeringan pada umumnya terdiri dari dua yaitu:

¾ Pengeringan Kontinyu (Continuous Drying)

Pengeringan kontinyu (continous drying) adalah pengeringan terus menerus, bahan yang dikeringkan bergerak melalui ruang pengering dan mengalami kontak dengan udara pemanas secara paralel atau berlawanan. Pada saat yang bersamaan, produk yang kering akan keluar pada bagian outlet prngering dan produk yang akan dikeringkan akan masuk melalui inlet alat pengering. Pada pengeringan ini, terjadi pemerataan kadar air produk yang dikeringkan.

¾ Pengeringan Tumpukan (Batch Drying)

Pada Pengeringan tipe tumpukan (batch drying), bahan yang akan dikeringkan dalam keadaan diam. Bahan ditempatkan pada bak pengering dan udara dialiran pada bagian bawah tumpukan yang dihembuskan melewati biji/produk yang dikeringkan. Pengeringan tipe tumpukan memiliki sistem yang sederhana dan dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan setelah pengeringan selesai. Namun kekurangan pada pengeringan sistem ini akan terjadi variasi kadar air tumpukan biji-bijian mulai dari lapisan bawah (dimana udara pengering masuk) hingga lapisan paling atas (Brooker et.al, 1982)

Berdasarkan pergerakan biji yang dikeringkan, secara umum metode pengering mekanis terdiri dari dua yaitu:

¾ Pengeringan Static Bed

(8)

   

7

¾ Pengeringan Resirkulasi

Pengeringan resirkulasi merupakan pengeringan yang menggunakan prinsip sirkulasi dimana pengeringan ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan pada proses pengeringan yang bertujuan untuk penyeragaman kadar air pada produk yang dikeringkan dan dapat mempercepat efektifitas dan efisiensi pengeringan. Contoh pengeringan resirkulasi adalah: 1. Pengeringan Tipe “Cross-Flow”

Sistem pengeringan “cross-flow” dikategorikan dengan arah reltif dari biji-bijian dan perpindahan udara melalui pengering. Pada pegeringan ini udara pengering mengalir melalui pengering secara horizontal, tegak lurus dengan arah aliran biji-bijian yang jatuh bebas.

2. Pengeringan Tipe “Mix-Flow”

Pengeringan tipe “mix-flow” merupakan model pengeringan yang berdasarkan aliran udara yang digunakan dengan aliran produk yang akan dikeringkan. Pengeringan model ini diperkenalkan berdasarkan dua dimensi dasar yaitu berdasarkan aliran udara dan jagung disekitar inlet dan outlet saluran aliran. Pada pengeringan ini, digunakan menggunakan beberapa blok untuk pengaliran udara yang searah, berlawanan dan tegak lurus dengan aliran biji/produk.

3. Pengeringan Tipe Rotari Tumpukan

Pengeringan Tipe Rotari Tumpukan meliputi wadah pengering yang terdiri dari dua buah drum silindris berpori sehingga memiliki dua ruangan yaitu bagian dalam dan bagian luar. Produk yang akan dikeringkan akan diletakkan pada rauangan bagian luar yaitu berada diantara dua dinding drum. Ruang drum bagian dalam dihubungkan dengan kipas sentrifugal menggunakan ducting yang berfungsi untuk memasukkan udara pengering. Di dalam ducting dipasang elemen pemanas yang berfungsi untuk memanaskan udara yang masuk.

Prinsip kerja dari pengeringan tipe rotari tumpukan ini adalah udara yang telah dipanaskan dialirkan melalui ducting ke tumpukan jagung pipilan dalam drum silindris sedemikian rupa sehingga aliran udara mengalir ke radial ketika melalui tumpukan. Drum silindris tersebut dapat diputar untuk menciptakan efek pengadukan biji dengan menggunakan motor listrik melali gear box yang memutar poros dari silinder

.

Berdasarkan sumber energi yang digunakan, metode pengeringan mekanis yang umum digunakan adalah sebagai berikut:

¾ Pengeringan dengan Energi Surya

1. Pengeringan Rumah Kaca (Greenhouse)

Pengering efek rumah kaca adalah alat pengering berenergi surya yang memanfaatkan efek rumah kaca yang terjadi karena adanya penutup transparan pada dinding bangunan serta plat absorber sebagai pengumpul panas untuk menaikkan suhu udara ruang pengering. Lapisan transparan memungkinkan radiasi gelombang pendek dari matahari masuk ke dalam dan mengenai elemen-elemen bangunan. Hal ini menyebabkan radiasi gelombang pendek yang terpantul berubah menjadi gelombang panjang dan terperangkap dalam bangunan karena tidak dapat menembus penutup transparan sehingga menyebabkan suhu menjadi tinggi. Proses inilah yang dinamakan efek rumah kaca. (Kamaruddin et al., 1996).

2. Pengeringan Iradiasi Surya (Solar Drying)

(9)

   

8 dikumpulkan menggunakan pengumpul energi yang berupa piringan tipis (flat plate) yang biasanya terbuat dari plastik transparan. Solar drying disebut juga iradiasi surya. Suhu pada pengeringan jenis ini umumnya 20 sampai 30°C lebih tinggi dari pada di tempat terbuka (open sun drying) dengan waktu pengeringan yang lebih singkat. Sistem solar drying juga digunakan pada pengeringan bijian, selain menggunakan sistem batch drying dan continous flow drying. 3. Pengering dengan Sumber Energi Konvesional

Pada pengering buatan udara yang mengitari produk dibuat dengan menggunakkan kipas atau blower. Panas diperlukan untuk menaikkan suhu udara pengering. Penambahan panas pada udara pengering bertujuan untuk menaikan kapasitas udara yang membawa uap dan untuk memanaskan produk menjadi lebih tinggi (Hall, 1963 dalam Sulikah 2007). Panas yang digunakan pada proses pengeringan buatan berasal dari berbagai sumber energi panas yang ada, tergantung dari ketersediaan sumber energi yang ada disekitar proses pengeringan yang sedang berlangsung. Kebanyakan sumber energi yang digunakan adalah bahan bakar minyak (BBM) dan listrik.

4. Pengeringan Dengan Menggunakan Udara Lingkungan

Selain menggunakan matahari, pengeringan juga dapat dilakukan dengan menggunakan udara lingkungan. Pengeringan dengan sistem ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pemanasan udara (menggunakan heater) sehingga udara yang masuk akan dipanaskan terlebih dahulu lalu di hembuskan pada produk. Selain dengan pemberian panas tambahan. pada prinsipnya pengendalian suhu pada pengering dapat melalui pengaturan aliran udara. Saat jumlah udara per satuan waktu dari luar sistem (lingkungan) yang masuk ditingkatkan, suhu dalam sistem pengering akan menurun. Sebaliknya ketika jumlah aliran udara yang masuk dikurangi maka suhu udara di dalam ruang akan meningkat. Disamping itu, debit udara pada pengeringan tumpukan juga memberikan perbedaan penurunan kadar air.

Pada penelitian ini, pengeringan yang akan digunakan adalah pengeringan jagung pipilan tipe tumpukan yang memanfaatkan udara lingkungan yang potensial yaitu saat suhu tinggi dan kelembaban rendah untuk media pengering. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalkan kebutuhan energi termal yang sangat tinggi untuk pengeringan. Namun karena kondisi lingkungan yang berfluktuasi sehingga tidak semua udara berpotensi untuk media pengeringan maka diperlukan suatu sistem kendali yang dapat mengontrol kondisi udara yang potensial tersebut.

B.3 Sistem Pengeringan yang Memanfaatkan Udara Lingkungan yang

Potensial dengan Sistem Kontrol

Penggunaan kontrol otomatis untuk mengatur laju aliran udara telah memberikan penghematan energi yang cukup signifikan pada saat pengeringan. Pada saat kadar air masih lebih tinggi dari kadar air keseimbangan, aliran udara dijalankan, sedangkan ketika lebih rendah aliran udara dihentikan. Namun pengendalian harus diatur sedemikian rupa, sehingga penghematan energi dan keseragaman kadar air tetap terjaga. Jika pengeringan dilakukan menggunakan kipas yang tidak dapat dikendalikan, kerugian energi untuk pengaliran udara akan dialami. Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian laju aliran udara mengunakan kontrol otomatis, agar hal tersebut dapat diminimalkan.

(10)

   

9 Drying (ISD) dengan teknik kontrol on-off pada blower udara penghembus udara keluar bin. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil yang menyatakan bahwa pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan sistem kendali on-off menunjukkan bahwa pengeringan jagung dari kadar air 18%-15%bk membutuhkan waktu 33 jam dan konsumsi energi selama proses pengeringan sebesar 175 MJ atau 1.59 MJ/kg air yang diuapkan. Sedangkan tanpa sistem kendali pengeringan dilakukan dalam waktu 68 jam dengan konsumsi energi selama proses pengeringan sebesar 360 MJ atau 1.45 MJ/kg air yang diuapkan. Namun dalam penelitian tersebut pendugaan perhitungan kadar air bahan kurang tepat. Hal tersebut dikarenakan pada penelitian tersebut hanya menggunakan sistem pengendali on-off dengan dua sensor yang dipasang pada tumpukan jagung lapisan atas dan pada lingkungan disekitar pengering.

C.

KADAR AIR

Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan basis basah (wet basis) atau berdasarkan basis kering (dry basis). Kadar air basis basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air basis kering dapat lebih dari 100 persen. ( Syarif dan Halid, 1993).

Perubahan kadar air bahan selama proses pengeringan dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

% ……… (1)

M WW x %... (2)

Keterangan:

m = Kadar air basis basah (%b.b) M = Kadar air basis kering (%b.k) Wm = Massa air (kg)

Wd = Massa bahan kering (kg)

Persamaan Konversi nilai kadar air basis basah menjadi nilai kadar air basis kering adalah sebagai berikut:

………... (3)

Kadar Air Kesetimbangan

(11)

   

10 proses pengeringan pada kondisi suhu dan kelembaban nisbi udara pengering tertentu. Kadar air kesetimbangan didefinisikan sebagai kadar air suatu bahan setelah bahan itu diletakkan disuatu lingkungan udara tertentu dalam waktu yang tidak terhingga lamanya. Kadar air kesetimbangan tergantung terhadap suhu dan kelembaban udara lingkungan serta jenis bahan itu sendiri. Hal tersebut merupakan suatu faktor yang menentukan sampai seberapa jauh suatu bahan dapat dikeringkan pada kondisi lingkungan tertentu (aktivitas air tertentu) dan dapat digunakan sebagai tolak ukur pencegahan kemampuan berkembangnya mikroorganisme yang menyebabkan terjadinya kerusakan atau pembusukan bahan pada saat penyimpanan.

Menurut Hall (1957) didalam Hendarto (2008), beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kadar air keseimbangan adalah kecepatan udara pengering, suhu udara , kelembaban relatif udara, dan kematangan bahan. Kadar air keseimbangan dibedakan menjadi dua yaitu kadar air keseimbangan dinamis dan kadar air keseimbangan statis. Kadar air keseimbangan statis didapat dari sistem dengan bahan dan udara pengering dalam keadaan diam. Sedangkan, kadar air keseimbangan dinamis diperoleh dari sistem dengan bahan dan atau udara pengering dalam keadaan bergerak.

Untuk menentukan nilai kadar air keseimbangan digunakan persamaan EMC Henderson (Thompson, 1967) dalam Brooker et al. (1992) di dalam Hendarto (2008).

……… (4)

Keterangan:

Me = Kadar air keseimbangan (%d.b.) Pv/Pvs = Kelembaban udara (%)

T = Suhu udara (oC) Untuk jagung pipilan:

K = 8.6541 x 10-5

C = 49.810

N = 1.8634

D.

LAJU PENGERINGAN

Laju pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan tiap satuan waktu atau penurunan kadar air bahan dalam satuan waktu. Penurunan kadar air produk selama proses pengeringan dinyatakan dengan

∆ ………. (5)

Keterangan:

dW/dt = laju pengeringan (%b.k/jam) wt = kadar air pada waktu t (%b.k)

wt+Δt = kadar air pada waktu t + Δt (%b.k)

(12)

   

11

E.

SENSOR SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF

™

SHT10

SHT10 merupakan sebuah chip/sensor digital yang dapat mengukur suhu dan kelembaban relatif dengan biaya yang terjangkau (lebih rendah dari harga sensor SHT yang lainnya). Adapun spesifikasi SHT10 adalah sebagai berikut:

¾ Konsumsi energi : 80uW

¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH

¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F)

¾ Output : digital

¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:

Gambar 3(a). Akurasi maksimal RH SHT10 Gambar 3(b). Akurasi maksimal suhu SHT10

™

SHT11

SHT11 merupakan sensor suhu dan kelembaban relatif . Sensor ini dapat digunakan sebagai alat pengindra suhu dan kelembaban dalam aplikasi pengendali suhu dan kelembaban ruangan maupun aplikasi pemantau suhu dan kelembaban relatif ruangan. Adapun spesifikasi SHT11 adalah sebagai berikut:

¾ Konsumsi energi : 80uW

¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH

¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F)

¾ Output : digital dan telah terkalibrasi

¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:

(13)

   

12

™

SHT15

SHT15 adalah sebuah chip/sensor digital yang dapat mengukur suhu dan kelembaban relatif khusus untuk memperoleh kualitas pengukuran yang baik dan presisi. Sensor ini telah teruji kualitas dan keakurasiannya. Adapun spesifikasi SHT15 adalah sebagai berikut:

Konsumsi energi : 80uW

¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH

¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F)

¾ Output : digital

¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:

Gambar 5(a). Akurasi maksimal RH SHT15 Gambar 5(b). Akurasi maksimal suhu SHT15

™

SHT21

SHT21 merupakan salah stu sensor untuk mengukur suhu dan kelembaban relatif. Adapun spesifikasi SHT21 adalah sebagai berikut:

¾ Output : I2C digital

¾ Konsumsi energi : 3.2uW

¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH

¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F)

¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:

(14)

   

13

™

SHT25

SHT25 adalah sensor suhu dan kelembaban model terbaru yang diproduksi sensirion. Adapun spesifikasi SHT25 adalah sebagai berikut:

¾ Output : I2C digital

¾ Konsumsi energi : 3.2uW

¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH

¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F)

¾ Akurasi maksimal batas untuk RH dan suhu:

Gambar 7(a). Akurasi maksimal RH SHT25 Gambar 7(b). Akurasi maksimal suhu SHT25

™

SHT71

SHT71 adalah sensor suhu dan kelembaban yang menggabungkan akurasi yang layak dengan harga yang kompetitif. Kalibrasi internal memungkinkan untuk penggantian sederhana dan sepenuhnya telah terkalibrasi dan menyediakan output digital. Adapun spesifikasi SHT71 adalah sebagai berikut:

¾ Konsumsi energi : 80uW

¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH

¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F)

¾ Output : digital

¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:

(15)

   

14

™

SHT75

SHT75 adalah sensor digital yang dapat mengukur suhu dan kelembaban dengan kualitas yang baik dan presisi. SHT75 sepenuhnya telah terkalibrasi dan menyediakan output digital. Adapun spesifikasi SHT75 adalah sebagai berikut:

¾ Konsumsi energi : 80uW

¾ RH Jarak operasi : 0 - 100% RH

¾ T Jarak operasi : -40 - 125 ° C (-40 - 257 ° F)

¾ Output : digital dan telah terkalirasi

¾ Akurasi maksimal batas RH dan suhu:

Gambar 9(a). Akurasi maksimal RH SHT75 Gambar 9(b). Akurasi maksimal suhu SHT75

Tabel 3. Jenis-jenis sensor suhu dan kelembaban dengan tingkat keakurasiannya.

Sensor Suhu dan Kelembaban

Max, RH Tolerance

MAX, T Tolerance

Sensor Output

SHT10 ±4.5%RH ±0.5OC Digital

SHT11 ±3%RH ±0.4OC Digital

SHT15 ±2%RH ±0.3OC Digital

SHT21 ±3%RH ±0.4OC I2C

SHT25 ±2%RH ±0.3OC I2C

SHT71 ±3%RH ±0.4OC Digital

SHT75 ±1.8%RH ±0.3OC Digital

Pada penelitian ini, sensor yang akan digunakan adalah sensor SHT11 dan SHT 75 karena memiliki tingkat keakurasian yang tinggi.

F.

KONVERSI NILAI OUTPUT SHT11 DAN SHT75

Untuk mengetahui nilai RH maka nilai output sensor harus dikonversi terlebih dahulu dengan menggunakan persamaan berikut:

(16)

   

15 Keterangan:

C1 = -4

C2 = 0.0405

C3 = -2.8 x 10-6

SORH = Keluaran sensor untuk RH (dalam desimal)

Dalam pengkonversian nilai output sensor ke nilai RH diperlukan koefisien konversi yang terdiri atas C1, C2, dan C3, Sedangkan SORH yang digunakan adalah 12 bit seperti terdapat pada

Tabel 3 dibawah.

Tabel 4. Nilai koefisien konversi RH, (Sensirion. Crop. 2008)

SORH C1 C2 C3

12 bit -4 0.0405 -2.8 * 10-6

8 bit -4 0.648 -7.2 * 10-4

Untuk mengkonversi nilai suhu hasil keluaran dari pembacaan sensor SHT11 dan SHT75 digunakan persamaan sebagai berikut:

Suhu = d1 + d2SOT ………. (7)

Keterangan: d1 = -40oC

d2 = 0.01 oC

SOT = Keluaran sensor untuk suhu (dalam desimal)

Untuk mengubah nilai output sensor ke nilai suhu digunakan koefisien konversi yang terdiri atas d1 dan d2. Nilai dari koefisien konversi d1 dan d2 dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai SOT yang digunakan adalah 12 bit dengan tegangan catu sebesar 5Volt seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Koefisien konversi suhu berdasarkan SOT, (Sensirion. Crop. 2008)

SOT d1(oC) d2 (oF)

14 bit 0.01 0.018

12 bit 0.04 0.072

Tabel 6. Koefisien konversi temperature berdasarkan VDD, (Sensirion. Crop. 2008) VDD d1(oC) d2(oF)

5V -40.00 -40.00

4V -39.75 -39.50

3.5V -39.66 -39.35

3V -39.60 -39.28

(17)

   

16

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Lab. TET, Lab. Egrotronika dan Lab. Surya Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB, Bogor. Waktu penelitian dimulai pada bulan April 2011 sampai dengan Oktober 2011.

B.

ALAT DAN BAHAN

ALAT

Adapun peralatan yang digunakan dalam pengeringan jagung pipilan tipe tumpukan ini adalah sebagai berikut:

¾ Satu unik alat pengering tipe Deep Bed Dyer (diameter x tinggi = 19.5 cm x 100cm)

¾ Blower 1 phase dengan daya 90Watt dan laju udara 410m3/jam

¾ Satu unik rangkaian sistem kendali strategi pengendalian kipas

¾ Hybrid Rekorder Yokogawa

¾ Termokopel tipe CC (Copper Costanta)

¾ Digital Grain Moisture Meter model TD-3

¾ Timbangan digital EK-1200 A

¾ Watt Meter DW-6091

¾ Anemometer Kanomax tipe 6011

BAHAN

Bahan yang digunakan dalam penelitian mengenai pengeringan jagung pipilan ini adalah jagung pipilan varietas hybrida dengan kadar air rata-rata 23%b.b dengan beban sebanyak ± 22.5kg yang diperoleh dari BALITRO dan kelompok tani di desa iwul kecamatan parung, Bogor.

C.

PROSEDUR PENELITIAN

(18)

   

17 Gambar 10. Prosedur Penelitian

D.

DESAIN ALAT PENGERING

Pada penelitian ini alat pengering yang digunakan adalah pengering tipe tumpukan yang berbentuk silinder dengan kapasitas penampungan sebesar ± 22.5 kg jagung pipilan. Adapun bagian – bagian dari alat pengering tipe tumpukan ini adalah sebagai berikut:

¾ Bak penampung

Bak penampung berfungsi untuk menampung jagung yang akan dikeringkan. Bak penampung yang akan didesain mengunakan pipa paralon yang berbentuk silinder dengan diameter x tinggi yaitu 19.5cm x 100cm dan ketebalan dinding 4mm. Bagian bawah bak penampung dipasang kawat kasa sebagai dasar bak penampung dengan kerengangan kasa lebih kecil dibandingkan dengan biji jagung sehinga jagung tidak jatuh. Dinding bak penampung diinsulasi dengan glasswool sebagai insolator agar tidak terjadi pemanasan oleh radiasi matahari sehingga dapat mempengaruhi kondisi suhu di dalam dalam bak penampung saat proses pengeringan berlangsung. Pada dinding bak penampung ini dibuat lima lubang dengan jarak 18 cm antar lubang dan berfungsi sebagai lubang pengukuran suhu dengan diameter 4 mm dan tiga lubang yang berfungsi sebagai lubang pengambilan sampel kadar air

Pengujian alat pengering Mulai

Merancang alat pengering jagung pipilan

Merancang perangkat keras kendali Suhu dan kelembaban relatif (RH)

Merancang perangkat lunak sistem kendali

Pengujian sistem kendali pada alat pengering

Bekerja dengan baik?

Pengambilan data pengeringan jagung pipilan menggunakan sistem kendali

Selesai

T

Y

Bekerja dengan baik?

T

Pengambilan data pengeringan jagung pipilan

(19)

   

18 yang terletak pada bagian bawah, tengah dan atas dinding dengan diameter ± 1 cm seperti terlihat pada Gambar 11.

¾ Penyangga/Dudukan

Penyangga/Dudukan berfungsi sebagai penyangga/dudukan alat pengering sehingga alat pengering dapat berdiri kokoh. Penyangga/dudukan ini akan didesain menggunakan tiga kaki yang terbuat dari besi tulangan dengan diameter 1.5cm dengan tinggi 70cm.

¾ Blower

Blower berfungsi untuk mengambil udara dari lingkungan yang kemudian mengalirkan udara tersebut ke tumpukan jagung pipilan yang akan dikeringkan. Spesifikasi blower yang digunakan adalah sebagai berikut:

Blower = 1 phase laju udara = 410 m3/jam RPM = 2800

Daya = 90 Watt Tegagan =220Volt

0.2m

Karton (0.5m)

Lubang pengukuran suhu Lubang pengambilan sampel Kadar air

Bak penampung

(1m)

Insulasi (glasswool) Penyambung pipa paralon

Gambar 11. Desain alat pengering tipe tumpukan (batch)

E.

DESAIN SISTEM KENDALI

Sistem kendali yang akan didisain berfungsi sebagai pengontrolan putaran kipas selama proses pengeringan berdasarkan kondisi suhu dan RH yang dideteksi sensor. Adapun bagian-bagian dari sistem kendali adalah sebagai berikut:

¾ Mikrokontroler DT51 Petrafuz ver.3.3

(20)

   

19

¾ Rangkaian LCD

Nilai suhu dan RH sebenarnya yang telah diolah dalam mikrokontroler akan ditampilkan dalam LCD untuk proses pengambilan data nilai suhu dan RH yang dideteksi sensor selama proses pengeringan. Rangkaian LCD terhubung dengan mikrokontroler DT51 Petrafuz ver. 3.3 pada port LCD.

¾ Rangkaian Catu daya dan Power supplay

Catu daya yang akan digunakan adalaha trafo CT 2A yang kemudian dihubungkan pada rangkaian power supplay untuk mensupplay tegangan yang dibutuhkan untuk rangkaian lain.

¾ Rangkaian pengaturan kecepatan putar kipas (zero crossing).

Rangkaian pengaturan kecepatan putar kipas AC terdiri dari IC LM339, BTA41, IC MOC 3021 yang berfungi untuk medeteksi zero crossing (kondisi dimana terjadi perubahan dari ‘1’ ke ‘0’ atau sebaliknya pada gelombang pulsa), pembangkit gelombang segiempat dan waktu delay.

¾ Mikrokontroler DT-51 Low cost micro sistem ver. 2.2

Mikrokontroler ini bertugas untuk mendeteksi terjadinya zero crossing dimana tegangannya ditahan dengan nilai ‘0’ atau ‘1’ selama waktu tertentu tergantung keluaran yang diinginkan.

¾ Sensor

Pada sistem kendali untuk pengeringan jagung pipilan ini, digunakan dua sensor yang memiliki keakurasian yang tinggi dalam pembacaan suhu dan kelembaban yaitu Sensor SHT11 dan SHT75.

F.

STRATEGI PENGENDALIAN

Strategi pengendalian pada proses pengeringan jagung pipilan dengan tipe tumpukan dilakukan dengan cara mengatur tingkat kecepatan putar kipas berdasarkan perbandingan nilai Me lingkungan dengan Me di dalam tumpukan pada lapisan bawah dan diatas tumpukan paling atas. Terdapat tujuh tingkatan kecepatan putar kipas yaitu kecepatan maksimal, kecepatan tingkat 1, kecepatan tingkat 2, kecepatan tingkat 3, kecepatan tingkat 4, kecepatan tingkat 5 dan tidak berputar (mati). Jika Me lingkungan < Me tumpukan jagung lapisan bawah maka kipas akan berputar maksimal, sebaliknya jika Me lingkungan > Me tumpukan jagung lapisan atas maka kipas tidak akan berputar. Sedangkan jika Me tumpukan jagung lapisan bawah < Me lingkungan < Me tumpukan jagung lapisan atas maka kipas akan berputar pada tingkat kecepatan 1 sampai kecepatan 5 sesuai dengan hasil perbandingan dari ketiga Me tersebut (terlihat pada Gambar 12). Nilai kadar air keseimbangan diperoleh dari persamaan (4) dimana nilai suhu dan kelembaban relatif yang digunakan diperoleh dari pembacaan oleh sensor SHT11 dan SHT75.

(21)

   

20 Gambar 12. Strategi pengendalian

Mulai

0.6 M M

M M .8

TLingk,RHLingk,TAtas,RHAtas

TBawah,RHBawah

Hitung MAmbien,MBawah,MAtas

Mambien>Matas

Mambien<Mbawah

0.8 M M

M M

0.4 M M

M M .6

0.2 M M

M M .4

0  M M

M M .

Kadar air ≤ 14%

Kipas On (V1)

Kipas On (V5)

Kipas On (V4)

Kipas On (V3)

Kipas On (V2)

Kipas On (max)

Kipas Off

Sistem pengendalian diteruskan

Kipas Off

Selesai

Y

Y

Y

Y

Y

Y

Y

Y T

T T T T T T

T

Y

(22)

   

21

G.

METODE PENGAMBILAN DATA

Pada penelitian ini, jagung pipilan yang ingin dikeringkan dicurah ke dalam bak pengering (diameter x tinggi yaitu 19.5 cm x 100 cm) dengan beban ±22.5kg. Adapun data yang diukur selama proses pengeringan meliputi:

1. Suhu Udara

Titik pengukuran suhu udara meliputi suhu lingkungan dan suhu tumpukan jagung pipilan seperti terlihat pada Gambar 13. Pengukuran suhu udara dilakukan dengan termokopel tipe CC setiap 30 menit.

2. Kelembaban Relatif (RH) Udara

Pada penelitian ini terdapat dua titik pengukuran RH yaitu RH lingkungan dan RH tumpukan jagung paling atas seperti terlihat pada Gambar 13. Pengukuran RH dilakukan dengan menggunakan termokopel bola basah dan termokopel bola kering tipe CC setiap 30 menit.

3. Daya, Tegangan dan Arus Listrik

Pengukuran daya, tegangan dan arus yang digunakan untuk memutar kipas selama proses pengeringan diukur dengan menggunakan Watt meter. Waktu pengukuran daya, tegangan dan arus dilakukan setiap 30menit hingga pengeringan selesai.

4. Kecepatan aliran udara

Terdapat dua titik pengukuran kecepatan aliran udara yaitu pada aliran udara masuk (inlet) dan pada aliran udara setelah melewati tumpukan jagung lapisan atas seperti terlihat pada Gambar 13. Adapun pengukuran kecepatan aliran udara tersebut dilakukan dengan menggunakan anemometer setiap 30menit.

5. Kadar air bahan

Terdapat tiga titik pengukuran kadar air bahan yaitu bagian bawah, tengah dan atas (Gambar 13). Pengukuran kadar air bahan dilakukan dengan menggunakan Grain Moisture Meter dengan interval waktu 1.5 jam hingga kadar air akhir mencapai 12-14%b.b.

Gambar 13. Letak titik-titik pengukuran data

Titik pengambilan sample kadar air Titik

pengukuran suhu tumpukan

Titik pengukuran kecepatan angin setelah melewati tumpukan (outlet)

Titik pengukuran kecepatan angin yang

masuk (intlet) Udara masuk

Titik pengukuran termokopel bola basah dan bola kering Titik pengukuran

termokopel bola basah dan bola kering

Titik pengukuran SHT11

Titik pengukuran SHT75

(23)

   

22

H.

PENGOLAHAN DATA

1. Kadar Air Jagung

Kadar air jagung selama proses pengeringan dihitung dengan menggunakan persamaan (1) dan (2).

2. Kadar air keseimbangan

Nilai kadar air keseimbangan dihitung dengan menggunakan persamaan (4) 3. Kelembaban Mutlak

.

……… (8) keterangan:

H = Kelembaban mutlak (g uap/ kg u.k) Pv = Tekanan uap

Patm = Tekanan atmosfir 4. Laju pengeringan

Laju pengeringan dapat dihitung menggunakan persamaan (5)

5. Energi listrik Q = P x t Keterangan :

Q = Energi listrik untuk mengerakan kipas (mJ) P = Daya listrik (Watt)

t = Waktu pengeringan 6. Konsumsi energi spesifik

KES = ………. (9)

Keterangan :

(24)

   

23

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

ALAT PENGERING JAGUNG PIPILAN

 

Penelitian mengenai pegeringan jagung pipilan telah banyak dilakukan dengan berbagai metode dan berbagai alat pengering. Pada penelitian ini, alat pengering yang digunakan adalah pengering tipe tumpukan (Batch Dryer) dimana udara lingkungan digunakan sebagai media pengering. Gambar 14 merupakan alat pengering jagung pipilan yang telah didisain.

 

Gambar 14. Alat pengering tipe tumpukan (Batch Dryer) Adapun bagian-bagian dari alat pengering tipe tumpukan ini terdiri dari: a) Bak penampung

Bak penampung yang telah dirancang terbuat dari pipa paralon dengan diameter 19.5 cm dengan tinggi 100 cm dan kapasitas 22.5 kg. Bagian dasar tabung di tutup/tempel dengan mengunakan kasa yang kerengangannya lebih kecil daripada biji jagung pipilan yang akan dikeringkan. Dinding luar bak penampung diinsulasi menggunakan glasswool dan kemudian ditutup dengan menggunakan alumunium foil sehingga panas dari luar tidak mempengaruhi panas di dalam bak penampung. Pada dinding bak penampung terdapat tiga lubang pengambilan sampel kadar air yaitu bagian bawah, tengah dan atas dengan diameter 1cm dengan jarak antar lubang 36 cm dan lima lubang pengukuran suhu dengan diameter 4 mm dengan jarak antar lubang adalah 18 cm.

b) Blower

Blower berfungsi sebagai penghisap (pengambil) udara lingkungan dan kemudian menghembuskan/mengalirkan udara tersebut ke tumpukan jagung. Untuk meyalurkan udara lingkungan tersebut ke bak penampung (tumpukan jagung) digunakan penyambung pipa Alat kontrol kipas

dan pembacaan sensor

Tabung penampung

Lubang inlet

Lubang pengukuran kecepatan udara

masuk Penghubung antara

bak penampung dengan kipas Lubang

pengukuran kecepatan udara

keluar

Kipas Penyangga/

(25)

   

24 paralon berdiameter 10.16 cm ke 20.32 cm sebagai penghubung antara kipas dan bak penampung. Adapun spesifikasi blower yang digunakan adalah sebagai berikut:

¾Blower = 1 phase

¾laju udara = 410 m3/jam

¾RPM = 2800

¾Daya = 90 Watt

¾Tegagan = 220Volt c) Penyangga/Dudukan

Penyangga/ dudukan pada alat pengeringan ini terbuat dari besi beton tulangan dengan diameter 1.5 cm. Penyangga terdiri dari tiga buah kaki dengan tinggi 70 cm seperti terlihat pada Gambar 14.

d) Lubang Pengukuran kecepatan angin

Pada alat pengering jagung pipilan ini terdapat dua lubang pengukuran kecepatan angin yaitu pada lubang inlet (masuknya udara) dan pada outlet (lubang tumpukan jagung paling atas/ setelah melewati tumpukan paling atas) yang dirancang dengan menggunakan karton seperti terlihat pada Gambar 14.

B.

SISTEM KENDALI

B.1 Perangkat Keras Sistem Kendali (Hardware)

Sistem kendali untuk strategi pengendalian didisain meliputi rangkaian catu daya, rangkaian pengaturan kecepatan putar blower (zero crossing), rangkaian pembacaan sensor SHT11, SHT75 dan rangkaian LCD. Sistem kendali di desain pada dua buah papan akrilik. Untuk rangkaian catu daya, rangkaian LCD dan rangkaian pembacaan sensor di desain pada papan akrilik yang berukuran 50 cm x 50 cm dengan menggunakan 2 buah trafo CT 2A sebagai sumber catu daya untuk rangkaian-rangkaian tersebut. Sedangkan untuk rangkaian zero crossing yang terdiri dari mikrokontroler low cost micro system ver. 2.2, IC LM 339, IC MOC 3021 dan BTA 41 di desain pada papan akrilik berukuran 18 cm x 20 cm dengan menggunakan 1 buah trafo CT 2A sebagai sumber catu daya. Gambar 15 merupakan rangkaian sistem kendali untuk pembacaan sensor. LCD, catu daya dan Gambar 16 merupakan rangkaian zero crossing.

Gambar 15. Rangkaian pembacaan sensor, LCD dan catu daya

(26)

   

25 Sistem kendali ini menggunakan dua buah mikrokontroler yaitu mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3 dan mikrokontroler low cost micro system ver. 2.2. Mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3 bertugas untuk mendeteksi nilai suhu dan kelembaban sensor SHT11 dan SHT75, mengkonversi nilai output suhu dan kelembaban yang dideteksi sensor menjadi nilai suhu dan kelembaban yang sebenarnya dengan persamaan (6) dan (7), menampilkan nilai tersebut pada LCD, serta bertugas menggolah data suhu dan RH yang dideteksi sensor menjadi nilai kadar air kesetimbangan (Me) dengan menggunakan persamaan EMC Henderson. Nilai Me inilah yang digunakan sebagai acuan strategi pengendalian (untuk pengaturan lebar pulsa (tegangan) atau tingkat kecepatan kipas). Sedangkan mikrokontroler DT-51 low cost micro system ver. 2.2 bertugas untuk menerima nilai tegangan (sinyal biner ‘0’ atau ‘1’) yang dikirim oleh mikrokontroler DT51 petrafuzz ver 3.3. Gambar 17 merupakan modul mikrokontroler DT-51 Low Cost Micro System ver 2.2 dan Gambar 18 merupakan mikrokontroler DT51 Petrafuzz ver 3.3.

Gambar 17. Modul mikrokontroler DT-51 Low Cost Micro System ver 2.2

Gambar 18. Modul mikrokontroler Petrafuzz ver 3.3

B.2 Modul SHT11 dan SHT75

(27)

   

26 Gambar 19. Module SHT11

Gambar 20. Modul SHT75

Gambar 21. Jalur penghubung antara SHT75 dengan port pada mikrokontroler SCK

DATA Pin Data

Pin SCK

Pin Ground

(28)

   

27

B.3 Modul

LCD

Pada sistem kendali ini, modul LCD terhubung dengan port tersendiri yaitu port LCD (P1) pada DT51 petrafuzz ver 3.3 sehingga mempermudah pemasangan (Gambar 20). Pemasangan dilakukan menggunakan kabel pelangi 16 pin yang ujungnya dipasang konektor untuk dihubungkan ke LCD dan ujung lainnya dipasang ke port LCD pada DT51 petrafuzz ver 3.3 dengan menggunakan IDC. Jenis LCD yang digunakan adalah LMB162AFC yang memiliki 16 karakter dan 2 baris dengan spesifik seperti dijelaskan pada Tabel 7 di bawah ini.

Gambar 22. Rangkaian LCD yang terhubung dengan port pada Mikrokontroler Tabel 7 Spesifikasi pinpada LCD tipe LMB162AFC

No. Pin Simbol Detail

1 GND Ground

2 VCC Supply Voltage +5V

3 Vo Contrast Adjustment

4 RS 0→Control input, 1→Data input 5 R/W Read/Write

6 E Enable

7 to 14 D0 to D7 Data

15 VB1 Backlight +5V

16 VB0 Backlight Ground

B.4

Zero Crossing

(Pengendali Kecepatan Blower)

Driver blower merupakan rangkaian yang terdiri atas pembanding tegangan (voltage comporator), triac optoisolator, dan mikrokontroler. Rangkaian pembanding menggunakan IC LM 339, BTA dan MOC 3021.

(29)

   

28 Gambar 23. Trafo dan Catu daya

Selanjutnya jalur mikrokontroler terhubung dengan rangkaian driver blower (zero crossing) yang berperan penting sebagai switching ON-OFF dan lima tingkat kecepatan putar blower lainnya pada sistem kontrol ini. Pemilihan komponen disesuaikan dengan rancangan switching yang diinginkan, dalam hal ini switching listrik AC dan beban yang akan di switching (actuator) berupa motor listrik AC 1 dengan daya 90W sehingga sesuai dan kemampuan beroperasi. Gambar 24 merupakan blower yang digunakan pada penelitian ini.

Gambar 24. Blower

(30)

   

[image:30.595.332.519.84.244.2]

29 Gambar 25. Rangkaian zero crossing Gambar 26. Rangkaian IC LM339

C.

PERANGKAT LUNAK SISTEM KENDALI (SOFTWARE)

Pengaktifan beberapa modul seperti sensor SHT11, SHT75, LCD dan zero crossing dilakukan dengan menyusun perintah dalam bahasa C yang ditulis dalam software Uc51 versi 3.48 sekaligus berfungsi sebagai kompiler yang akan mengkonversi bahasa C ke dalam file berekstensikan .hex.

Penulisan program yang pertama adalah pembacaan LCD 16 x 2 yang telah dihubungkan pada mikrokontroler DT51 Petrafuz pada port LCD. Downloader DT51 merupakan software yang berfungsi untuk mendownload program yang berekstensikan .hex ke dalam modul DT51 Petrafuz. Kabel yang digunakan untuk koneksi antara downloader dengan modul mikrokontroler DT51 Petrafuz adalah kabel serial to USB. Penulisan program yang kedua adalah program pembacaan SHT11 dan SHT75. Setiap 2 detik nilai pembacaan sensor yang telah berbentuk digital akan dikirim dan ditampilkan dalam LCD. Selain itu, nilai suhu dan kelembaban yang dideteksi sensor akan diproses lagi sehingga menghasilkan nilai kadar air kesetimbangan yang kemudian dikirim ke mikrokontroler DT-51 low cost micro system melalui jalur interrupt sebagai pengendali zero crossing. Penulisan program berikutnya adalah program pengaturan putaran blower (zero crossing), bahasa program yang telah dikonversi ke dalam file berekstensikan .hex kemudian didownload ke dalam mikrokontroler DT-51 low cost micro system menggunakan AT89_USB_ISP_Software dan kabel yang digunakan untuk koneksi antara downloader dengan modul mikrokontroler DT-51 low cost micro system adalah DT-HiQ AT 89 USB ISP. Pemograman dirancang untuk mengaktifkan Timer pada mikrokontroler dan mengatur waktu kerja Timer tersebut untuk digunakan sebagai kontrol. Timer yang digunakan merupakan pencacah biner. Pengaturan kerja memerlukan register khusus yang tersimpan dalam FR (Function Register). Missal Timer0 diakses melalui register TL0 (Timer0 low byte) dan register TH0 (Timer0 High Byte)

Perhitungan: Asumsi 65535-TH0TL0 =100 T= {65535-(TH0TL0)}x1µs

TH0TL0 = 65535-100 = 65435 TH0TL0 = 65435/256 = 255 sisa 155 Jadi TH0 = 255

(31)

   

30 Diasumsikan 65535 – TH0TL0 adalah 100 maka nilai maksimal Timer yang digunakan 100µs. Nilai TH0 diisi maksimum 255 dan sisanya (65535-65280) dibagi dengan 256 sehingga didapat TL0 yaitu 9 dengan sisa 11 dimana sisa 11 bernilai B dalam biner sehingga nilai TL0 = 9B.

Ada enam tingkat kecepatan putar kipas dan pada kondisi kipas tidak berputar (off) yang digunakan dalam penelitian ini dimana nilai timer yang menjadi acuan untuk tingkat kecepatan tersebut. Adapun enam tingkat laju aliran udara yang diperoleh dari pengukuran pada alat pengering dengan menggunakan beban 22.5 kg yaitu Timer0 untuk nyala kipas maksimal (0.455 m3/s), Timer30 (kecepatan 5 = 0.398 m3/s), Timer35 (kecepatan 4 = 0.347 m3/s), Timer40 (kecepatan 3 = 0.272 m3/s), Timer45 (kecepatan 2 = 0.169 m3/s), Timer50 (kecepatan 1 = 0.136 m3/s). sedangkan Timer66 untuk kipas tidak berputar (mati).

D.

STRATEGI PENGENDALIAN

Strategi pengendalian pada sistem kendali ini terdiri dari pembacaan suhu dan kelembaban yang dideteksi sensor kemudian nilai tersebut diolah dengan persamaan EMC Henderson sehingga menghasilkan nilai kadar air kesetimbangan (Me). Nilai Me inilah yang menjadi acuan untuk pengaturan lebar pulsa (tingkat kecepatan putar kipas). Gambar 27 skema strategi pengendalian.

[image:31.595.108.511.362.730.2]

Gambar 27. Skema strategi pengendalian

Nilai Suhu dan RH Penghubung SHT75

Penghubung SHT11 Penghubung SHT75

Mikrokontroler DT51Petrafuz

Diolah menggunakan persamaan 1

Dihubungkan Mengalirkan

udara ke tumpukan

jagung 1. M1 > M3 ÆKipas Nyala max (Timer0)

2. M3>M2 ÆKipas Tidak nyala (Timer66)

3.

.

Æ

Timer

50

4.

.

.4

Æ

Timer

45

5.

.4

.6

Æ

Timer

40

6.

.6

.8

Æ

Timer

35

7.

.8

Æ

Timer

30

Me1, Me2 dan Me3

Dikirim ke Port 1

Mikrokontroler DT51 Low Cost

IC LM339 Pengaturan

(32)

   

31

E.

UJI KINERJA ALAT PENGERINGAN TANPA SISTEM KENDALI

Pada penelitian ini, sebelum dilakukan pengeringan dengan sistem kendali, terlebih dahulu dilakukan pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali sebagai pembanding untuk pengeringan dengan sistem kendali. Pada pengeringan tanpa menggunakan sistem kendali ini dilakukan satu kali dimana udara lingkungan dialirkan secara kontinyu (terus-menerus) menggunakan blower 1phase dengan kecepatan angin 2.34 m/s meskipun RH lingkungan lebih tinggi dibanding RH di dalam pengering hingga mencapai kadar air jagung yang diinginkan yaitu ±14 % b.b.

E.1 Perubahan Suhu dan RH

Pada pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali diperoleh suhu rata-rata tumpukan jagung pipilan selama proses pengeringan sekitar 29.96oC, dimana suhu terendah selama proses pengeringan adalah 26.5oC dan suhu tertinggi adalah 36.9 oC. Selama proses pengeringan suhu lingkungan cenderung fluktuatif dikarenakan cuaca yang berfluktuasi. Suhu lingkungan rata-rata selama proses pengeringan adalah 29.7 oC, dimana suhu tertinggi yang tercatat adalah 36oC dan suhu terendah adalah 25.7oC. Selama proses pengering berlangsung dapat dikatakan secara umum bahwa kondisi cuaca cerah pada hari pertama dan ketiga, sedangkan pada hari kedua cuaca mendung dan hujan. Gambar 28 memperlihatkan grafik fluktuasi suhu lingkungan dengan suhu pengering terhadap bertambahnya waktu selama pengeringan.

Gambar 28. Perubahan suhu lingkungan dan suhu pengering terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali

Berdasarkan grafik, pada jam ke-0 samapai pada jam ke-4.5 (pukul 18:51 wib), jam ke-18 (pukul 08:21 wib) hingga jam 25.5 (pukul 15:51) dan jam 44 (pukul 10:21) sampai jam ke-46.5 (pukul 15:21) suhu lingkungan potensial untuk pengeringan. Sedangkan pada jam yang lain suhu lingkungan lebih rendah dibandingkan suhu tumpukan rata-rata di dalam pengering sehingga tidak potensial untuk mengeringkan jagung pipilan. Pada jam 27 (pukul 17:21) hingga jam ke-40 (pukul 06:21) terlihat suhu lingkungan mengalami penurunan yang drastis. Hal tersebut

24 26 28 30 32 34 36 38

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Suhu (

oC)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib

(33)

   

32 dikarenakan pada saat itu terjadi hujan. Berdasarkan data suhu hasil pengujian pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali, dapat disimpulkan bahwa sistem kendali pada pengeringan sangat penting, sehingga pengeringan hanya berlangsung ketika suhu lingkungan pontensial sebagai media pengeringan sehingga pada kondisi suhu yang tidak potensial, sistem kendali dapat meminimalkan konsumsi energi kipas dan mencegah terjadinya kenaikan kadar air karena kipas tidak mengalirkan udara (off).

[image:33.595.110.511.215.497.2]

Berdasarkan metoda pengambilan data, terdapat lima titik pengukuran suhu tumpukan seperti terlihat pada Gambar 13 diatas. Gambar 29 menunjukkan perubahan suhu terhadap waktu pada lima tingkatan tumpukan jagung pipilan.

Gambar 29. Grafik perubahan suhu terhadap waktu pada lima tingkatan selama proses pengeringan tanpa sistem kendali

Berdasarkan grafik diatas, dari jam ke-0 (pukul 14:21wib) hingga jam ke-3.5 (pukul 17:51wib) suhu tumpukan pada setiap tingkatan pada tumpukan jagung mengalami peningkatan. Namun, pada jam ke-4 (pukul 18:21wib) hingga jam ke-16 (07:51wib) suhu cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan pengukuran dilakukan pada malam hari dimana suhu lingkungan pada malam hari lebih rendah dibandingkan suhu pada siang hari sehingga udara yang dialirkan pada tumpukan jagung mengakibatkan suhu tumpukan pada setiap tingkatan mengalami penurunan. Pada jam berikutnya yaitu pada jam ke-16.5 (pukul 06:51wib) suhu kembali mengalami peningkatan sampai suhu rata-rata mencapai 33.68 oC. Peningkatan suhu terjadi hingga pada jam ke-27 (pukul 17:21wib). Pada jam berikutnya, suhu menurun drastis hingga mencapai suhu 29.96 oC dan terus menurun secara perlahan hingga suhu 28.42 oC. Penurunan suhu terjadi hingga pada jam ke-40 jam (pukul 06:21wib). Suhu kembali mulai naik kembali pada jam ke-41 (pukul 07:21wib) hingga mencapai 34.2 oC sampai pada jam ke-46.5 (pukul 12:51wib) dan pengeringan berhenti karena kadar air rata-rata telah mencapai 13.93%b.b.

Berdasarkan grafik di atas, suhu 1 lebih tinggi dibandingkan dengan suhu yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan titik pengukuran suhu 1 terletak paling dekat dengan inlet (udara lingkungan

25 27 29 31 33 35 37 39

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Suhu t

um

pukan

(

oC)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib

(34)

   

[image:34.595.110.512.183.424.2]

33 yang masuk ke dalam tumpukan pengering), sehingga suhu 1 relatif mendekati suhu lingkungan. Suhu 5 relatif lebih rendah dibandingkan suhu yang lainnya, hal tersebut dikarenakan letak pengukuran suhu 5 berada paling jauh dari inlet dibandingkan suhu yang lainnya. Seperti terlihat pada grafik, dengan semakin jauh titik pengukuran suhu terhadap inlet maka suhu pada tingkatan itu cenderung lebih rendah. Gambar 30 menunjukkan fluktuasi RH terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali.

Gambar 30. Hubungan antara RH terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali. Besarnya RH berbanding terbalik dengan kemampuan udara menyerap uap air sehingga semakin rendah RH maka semakin tinggi kemampuan udara dalam menyerap uap air dan laju pengeringan semakin cepat. Selama proses pengeringan, RH lingkungan pada siang hari jauh lebih tinggi dibandingkan dengan RH tumpukan jagung lapisan atas. Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa terjadi perbedaan yang sangat drastis antara RH lingkungan dan RH tumpukan jagung lapisan atas pada jam ke-0 (pukul 14:21wib) hingga jam ke-3.5 (pukul 17:51wib). Pada grafik terlihat pada jam ke-27 (pukul 17:21) wib hingga jam ke-40.5 (pukul 06:51wib) terjadi kenaikan RH lingkungan secara drastis sementara RH tumpukan jagung lapisan atas berubah namun tidak terlalu signifikan. Kenaikan RH lingkungan tersebut hingga mencapai RH 98% dikarenakan terjadi hujan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem kendali untuk proses pengeringan sangat penting agar pengeringan dapat berlangsung lebih baik dan efektif yaitu ketika RH lingkungan sangat potensial untuk pengeringan. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa RH lingkungan tertinggi tercatat 97.65%, terendah 55.25% dengan rata-rata selama pengeringan sebesar 82.12%. sedangkan RH tertinggi tumpukan jagung lapisan atas adalah 91.67%, RH terendah adalah 72.64% dengan RH rata-rata selama pengeringan sebesar 85.76%. Adapun selisih rata-rata RH lingkungan dan RH tumpukan jagung lapisan atas adalah 3.64%.

Kelembaban mutlak merupakan salah satu acuan dalam proses pengeringan. Ketika kelembaban mutlak lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan kelembaban mutlak tumpukan lapisan atas maka maka akan terjadi proses pengeringan sehingga laju pengeringan akan semakin cepat dan sebaliknya, jika kelembaban mutlak lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kelembaban mutlak tumpukan lapisan atas maka terjadi proses pembasahan sehingga terjadi

40 50 60 70 80 90 100 110

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Kelem

b

ab

an

Relatif

(%)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib

(35)

   

[image:35.595.116.513.132.396.2]

34 peningkatan kadar air. Gambar 31 memperlihatkan hubungan antara kelembaban mutlak terhadap waktu.

Gambar 31. Hubungan antara kelembaban mutlak terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali.

Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa pada awal proses pengeringan hingga pada jam ke-40 kelembaban mutlak lingkungan cenderung lebih rendah daripada kelembaban mutlak tumpukan jagung lapisan atas sehingga pada kondisi ini terjadi proses pengeringan. Namun pada saat tertentu yaitu jam ke-7 (pukul 21:21wib), jam ke-22 (pukul 12:21wib) hingga jam ke-24 (pukul 14:21wib) dan diatas jam ke-40 (pukul 06:51wib) kelembaban mutlak lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban mutlak jagung lapisan atas. Pada kondisi ini terjadi proses pembasahan sehingga terjadi peningkatan kadar air jagung.

E2. Perubahan

Kadar

Air

Pada pengeringan jagung pipilan tanpa sistem kendali, jagung pipilan yang digunakan adalah jagung varietas hybrida yang diperoleh dari balai BALITRO di daerah Cimanggu dengan kadar air jagung rata-rata adalah 20.48% b.k dengan beban 22.5kg. Berdasarkan hasil pengujian dengan sistem kendali pada alat pengering tipe batch dengan suhu lingkungan rata-rata 36oC, dan RH lingkungan rata-rata 72.64% mampu menurunkan kadar air hingga kadar air akhir rata-rata 16.08%b.k yaitu terjadi penurunan kadar air sebesar 4.40% dengan waktu 46.5 jam. Gambar 32 menunjukkan perubahan kadar air rata-rata dan kadar air pada lapisan bawah, tengah dan atas terhadap waktu pengering.

0.018 0.019 0.02 0.021 0.022 0.023 0.024 0.025

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Kelem

b

ab

an

Mu

tlak

(g uap/

kg

u.k)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 14:21 wib - 12:51 wib

(36)

   

[image:36.595.96.513.54.530.2]

35 Gambar 32. Hubungan antara kadar air rata-rata lapisan terhadap waktu selama proses pengeringan

tanpa sistem kendali

Berdasarkan metode pengambilan data yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat tiga titik pengukuran kadar air yaitu lapisan bawah, tengah dan atas tumpukan jagung pipilan. Berdasarkan grafik terlihat bahwa terjadi perbedaan penurunan kadar air disetiap lapisan. Lapisan bawah telah mencapai kadar air 12.7%b.b setelah pengeringan sekitar 24 jam, tetapi kadar air lapisan tengah dan atas hanya mencapai 15.9%b.b dan 16.1%b.b. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan ketinggian sehingga besar kecepatan aliran udara pada lapisan bawah, tengah dan atas yang berbeda. Menurut Ramelan (1996), suhu dan kelembaban relatif merupakan salah satu faktor yang menentukan proses pengeringan. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses pengeringan.

Berdasarkan hasil pengujian ini dapat diketahui bahwa pengeringan akan berlangsung lama dan penurunan kadar air yang tidak seragam pada setiap lapisan. Dengan pengujian ini diketahui nilai kadar akhir pada lapisan bawah sebesar 12.7%b.b, lapisan tengah 14%b.b, dan lapisan atas sebesar 15.1%b.b.

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa dengan bertambahnya waktu maka kadar air jagung akan menurun. Pada waktu 27 jam (pukul 17:21 wib) terjadi kenaikan kadar air, hal tersebut dikarenakan terjadi hujan deras sehingga suhu udara lingkungan menurun diikuti RH yang meningkat. Dengan keadaan tersebut menyebabkan udara yang dihembuskan ke tumpukan jagung memiliki Me yang tinggi sehingga kadar air jagung pipilan meningkat.

10 12 14 16 18 20 22 24 26

0 10 20 30 40 50 60

Kadar air

lapisan

(%b.k)

Waktu pengeringan (jam) Mulai 14:21 wib-12:51 wib

[image:36.595.116.513.81.307.2]
(37)

   

36

F.

UJI KINERJA ALAT PENGERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN

SISTEM KENDALI

F.1 Perubahan Suhu dan RH

Berdasarkan hasil pengujian pengeringan dengan menggunakan sistem kendali pada alat pengering diperoleh nilai suhu lingkungan dan suhu tumpukan jagung berfluktuasi selama pengeringan berlangsung. Nilai suhu lingkungan tertinggi yang tercatat selama proses pengeringan adalah 40.6oC, suhu terendah adalah 27.9oC sehingga suhu lingkungan rata-rata adalah 33oC. Sedangkan suhu rata-rata tumpukan di dalam pengering adalah 31.5oC dimana suhu tertinggi yang tercatat adalah 39.6oC dan suhu terendah adalah 27.1oC. Gambar 33 akan memperlihatkan fluktuasi suhu lingkungan dan suhu tumpukan rata-rata di dalam pengering selama proses pengeringan berlangsung. Selama pengeringan berlangsung dapat dikatakan bahwa kondisi cuaca cerah dan terkadang mendung.

Gambar 33. Fluktuasi suhu terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali Pengeringan jagung pipilan dengan sistem kendali dimulai pada pukul 09:29 wib. Berdasarkan grafik terlihat bahwa pada awal proses pengeringan suhu lingkungan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tumpukan rata-rata di dalam pengering. Pada kondisi ini udara lingkungan sangat potensial untuk digunakan sebagai media pengeringan. Namun pada jam ke-7.5 (pukul 16:59wib) suhu lingkungan lebih rendah dibandingkan suhu tumpukan rata-rata didalam pengeringan sampai pada jam ke-22 (pukul 07:21wib) sehingga pada kondisi ini udara lingkungan tidak potensial untuk media pengeringan. Pada jam berikutnya suhu lingkungan mulai kembali naik dan lebih tinggi dibandingkan suhu tumpukan hingga pada jam ke-27 (12:29). Gambar 34 menunjukkan perubahan suhu tumpukan di lima tingkatan terhadap waktu.

26 28 30 32 34 36 38 40 42

0 5 10 15 20 25 30

Suhu (

oC)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib

(38)

   

[image:38.595.94.510.45.819.2]

37 Gambar 34. Perubahan suhu tumpukan terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem

kendali

Suhu 1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut menunjukkan suhu tumpukan jagung mulai dari tumpukan terbawah sampai yang teratas. Berdasarkan grafik terlihat bahwa suhu 1 lebih tinggi dibandingkan dengan suhu yang lainnya, sedangkan suhu 4 dan 5 lebih rendah dibandingkan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan udara lingkungan yang masuk akan mengenai tumpukan terbawah lebih dulu lalu mengalir ke bagian atas sehingga suhu 1 cenderung sama dengan suhu udara lingkungan yang masuk. Selama proses pengeringan suhu yang tertinggi pada suhu 1 adalah 39.6oC dan suhu terendah adalah 30oC. Sedangkan pada suhu 5 (tumpukan teratas), suhu tertinggi adalah 33.4oC dan suhu terendah 27.5oC. Perubahan RH terhadap waktu dapat dilihat pada Gambar 35.

Gambar 35. Hubungan antara RH terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali

25 27 29 31 33 35 37 39 41

0 5 10 15 20 25 30

Suhu (

oC)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib

Suhu 1 Suhu 2 Suhu 3 Suhu 4 Suhu 5

35 45 55 65 75 85 95 105

0 5 10 15 20 25 30

Kelem

b

ab

an

relatif

(%)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib

[image:38.595.113.513.82.323.2]
(39)

   

38 Berdasarkan pengujian, diperoleh data yang menunjukkan bahwa RH lingkungan tertinggi yang tercatat adalah 93.43%, RH terendah adalah 39.47% sehingga RH lingkungan rata-rata adalah 69.71%. Sedangkan RH rata-rata setelah melewati tumpukan jagung lapisan atas 84.48% dimana RH tertinggi yang tercatat adalah 97.77% dan RH terendah adalah 60.53%.

Berdasarkan grafik terlihat bahwa pada jam ke-0.5 (pukul 09:59 wib) hingga pada jam ke-7 (pukul 16:51 wib) dan pada jam ke-22.5 (pukul 07:59 wib) hingga pada jam ke-31.5 (pukul 16:59wib) RH lingkungan jauh lebih rendah dibandingkan RH tumpukan lapisan atas. Pada kondisi tersebut udara lingkungan sangat potensial sebagai media pengering. Namun sebaliknya jika RH lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan RH tumpukan jagung lapisan atas maka pada kondisi tersebut udara lingkungan tidak potensial sehingga kipas tidak berputar (mati). Terlihat pada grafik bahwa pada jam ke-7.5 (pukul 16:59 wib) hingga jam ke-8.5 (pukul 17:59 wib), jam ke-9.5 (pukul 18:59 wib) hingga jam ke-13 (pukul 22:29 wib) dan pada jam ke-14 (pukul 23:29 wib) hingga jam ke-21.5 (pukul 06:59 wib) RH lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan RH tumpukan lapisan atas. Gambar 36 menunjukkan hubungan antara kelembaban mutlak terhadap waktu.

Gambar 36. Hubungan kelembaban mutlak terhadap waktu selama proses pengeringan dengan sistem kendali

Berdasarkan grafik terlihat bahwa selama proses pengeringan berlangsung cenderung terjadi pengeringan. Hal tersebut terjadi dikarenakan kelembaban mutlak pada lingkungan relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelembaban pada tumpukan jagung lapisan atas. Namun pada jam ke-17 (pukul 02:59 wib) hingga pda jam ke-22.5 (pukul 07:59 wib) terjadi fluktuasi pembasahan dan pengeringan. Hal tersebut dikarena kelembaban mutlak pada lingkungan lebih tinggi dibandingkan kelembaban mutlak pada tumpukan jagung lapisan atas.

0.017 0.018 0.019 0.02 0.021 0.022 0.023 0.024 0.025 0.026

0 5 10 15 20 25 30

Kelem

b

ab

an

m

u

tlak

( g

uap/

kg u.k)

Waktu pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib

(40)

   

39

F.2 Hubungan

Kadar

Air

Kesetimbangan Terhadap Putaran Kipas

Berdasarkan nilai suhu dan RH yang dideteksi oleh sensor saat proses pengeringan berlangsung, dengan menggunakan persamaan EMC Henderson (Thompson, 1967) diperoleh nilai Me pada lingkungan, tumpukan pada lapisan bawah dan tumpukan pada lapisan atas jagung pipilan yang dikeringkan. Kemudian nilai Me tersebutlah yang dijadikan perbandingan untuk penentuan tingkat kecepatan putar kipas (strategi pengendalian kipas) seperti yang telah dijelaskan pada Gambar 5 diatas. Gambar 37 memperlihatkan fluktuasi nilai kadar air kesetimbangan terhadap waktu dan terhadap kecepatan putar kipas. Jika kondisi kipas dalam kondisi berputar maksimal (2.24m/s) maka akan bernilai 1 pada grafik, sedangkan jika kipas dalam keadaan tidak berputar (mati) maka akan bernilai 0. Jika kipas berputar pada kecepatan angin 1.96 m/s akan bernilai 0.5, kecepatan angin 1.71 m/s bernilai 0.4, kecepatan angin 1.34 m/s bernilai 0.3, kecepatan angin 0.83 m/s bernilai 0.2 dan kecepatan angin 0.67 m/s akan bernilai 0.1.

Gambar 37. Hubungan antara kadar air kesetimbangan terhadap waktu dan putaran kipas selama proses pengeringan dengan sistem kendali

Berdasarkan grafik terlihat bahwa bahwa kadar air kesetimbangan berubah dengan bertambahnya waktu. Pada awal proses pengeringan terlihat Me lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan Me pada tumpukan lapisan bawah maupun lapisan atas jagung yaitu pada jam ke-0 sampai pada jam ke-6. Pada kondisi tersebut terlihat bahwa kipas menyala maksimal (1). Sedangkan pada jam selanjutnya Me lingkungan terlihat sama dengan kadar air kesetimbangan tumpukan lapisan bawah yaitu pada jam ke- 6 sampai pada jam ke-8. Pada kondisi tersebut kipas berputar pada range 0.1, 0.5 dan maksimal (1). Hal tersebut terjadi karena terkadang Me lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan Me tumpukan pada lapisan atas tetapi lebih tinggi dari Me tumpukan pada lapisan bawah. Namun pada jam selanjutnya hingga jam ke-22 (pukul 07:29 wib) terlihat bahwa Me lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan Me pada tumpukan lapisan bawah dan lapisan atas jagung yang dikeringkan. Pada kondisi ini kipas lebih cenderung

-0.1 0.2 0.5 0.8 1.1 1.4 1.7 2 2.3 2.6 2.9 3.2 3.5 3.8 4.1 4.4 4.7 5 5.3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25

0 5 10 15 20 25 30

Put aran Ki pas Kadar ai r keset im bangan (%)

Waktu Pengeringan (jam) Waktu 09:29 wib - 12:29 wib

Me Tumpukan Bawah Me Tumpukan Atas

(41)

   

40 tidak menyala. Tetapi pada jam ke 12.5 dan jam ke-21 kipas berputar pada range 0.5. Pada jam berikutnya hingga pada jam ke-27 (pukul 12:29 wib) Me lingkungan lebih rendah daripada Me pada tumpukan lapisan atas dan Me pada tumpukan lapisan bawah jagung sehingga pada kondisi tersebut kipas berputar pada kecepatan maksimal (1) dan pada range 0.1-0.5. Hal ini membuktikan bahwa strategi pengedalian telah bekerja sesuai dengan yang diharapkan.

Laju aliran udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi lamanya proses pengeringan. Semakin cepat laju aliran udara maka proses pengeringan akan lebih cepat dan sebaliknya. Pada pengujian dengan menggunakan sistem kendali ini, titik pengukuran kecepatan angin ada dua titik yaitu pada lubang masuknya udara lingkungan dan pada lubang setelah melewati tumpukan jagung paling atas. Berdasarkan data yang diperoleh laju aliran udara setelah melewati tumpukan jagung paling atas sangat rendah dibandingkan dengan laju udara masuk. Hal tersebut disebabkan terdapat cela-cela disekitar penghubung antara kipas dan penyambung pipa paralon. Selain itu, udara juga keluar pada lubang-lubang pengambilan sampel kadar air. Namun

Gambar

Gambar 25. Rangkaian zero crossing
Gambar 27. Skema strategi pengendalian
Gambar 29. Grafik perubahan suhu terhadap waktu pada lima tingkatan selama proses pengeringan
Gambar 30. Hubungan antara RH terhadap waktu selama proses pengeringan tanpa sistem kendali
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari data yang dihasilkan photodiode ini selanjutnya diolah menggunakan filter dengan frekuensi cut-off yang sesuai dan pengkondisian rangkaian sinyal yang tepat, maka

Dalam perkembangannya sektor wisata di Kota Bandung setiap tahunnya mengalami fluktuasi dari tahun 2012 sampai pada tahun 2015, hal tersebut terlihat dari Tabel 1.3 bahwa jumlah

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti

menyelesaikan suatu tugas atau soal dengan diaktifkan dan dibimbing oleh dosenlguru yang bersangkutan. Latihan terbimbing bertujuan supaya mahalsiswa dapat melatih diri

penelitian ini, tidak terdapat hubungan bermakna Dengan demikian, studi ini memperlihatkan antara ekspresi Hath1 dengan tipe karsinoma, apakah peranan faktor transkripsi gen

Tesis ini berisi tentang kelongsoran lereng, mekanisme dan penanggulangannya pada timbunan tanah clay shale di ruas jalan tol yang vital di Indonesia yaitu jalan

Tujuan belajar dapat diperoleh dari banyak faktor baik faktor internal (kecerdasan, motivasi- minat dan lain-lain) juga dipengaruhi oleh faktor eksternal (kurikulum, metode

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, guru harus bijaksana dalam menentukan suatu model yang sesuai yang dapat menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif agar proses