• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chapter II Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Terhadap Paradigma Asuhan Kefarmasian ( Care) Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Chapter II Persepsi Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Terhadap Paradigma Asuhan Kefarmasian ( Care) Tahun 2014"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Persepsi

Pada dasarnya persepsi merupakan suatu proses yang terjadi di dalam pengamatan seseorang terhadap objek. Persepsi terhadap satu objek yang ada disekitar manusia pada dasarnya berbeda dengan lainnya karena sebagai makhluk individu setiap manusia memiliki pandangan yang berbeda sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pemahamannya. Semakin tinggi pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap suatu objek yang dipersepsikan maka semakin baik bentuk persepsi orang tersebut terhadap objek begitu pula sebaliknya (Lubis, 2008).

(2)

8

Dalam pengertian psikologi, persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan. Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran. Artinya, persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerimaan, yaitu alat indera. Pada umumnya, stimulus tersebut diteruskan oleh saraf otak sebagai pusat susunan saraf dan proses itu selanjutnya disebut sebagai proses stimulus. Jadi, persepsi dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dengan kata lain, persepsi merupakan proses memberikan makna pada stimuli yang ditangkap oleh inderawi. Dalam hal ini, stimulus mengenai inderawi individu itu kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderakannya itu (Kulsum, 2014).

Menurut Bimo (2014) dalam Niti (2013), persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut dengan proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi. Karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut

(3)

9

individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain. Persepsi itu bersifat individual.

Menurut Engel (1995) dalam Trimurthy (2008), persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan impresi sensorisnya supaya dapat memberikan arti kepada lingkungan sekitarnya. Secara skematis proses persepsi dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1 Proses persepsi 2.2 Pendidikan Tinggi Farmasi

Pendidikan tinggi adalah kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian (Menteri Pendidikan, RI., 2000).

Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi. Pada dasarnya, masing-masing pendidikan tinggi farmasi dapat menyusun kurikulumnya sendiri berdasarkan pedoman kurikulum inti yang ada. Program Studi Sarjana Fakultas Farmasi mensyaratkan 144 – 146 SKS termasuk skripsi/tugas akhir dan dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan selambat-lambatnya 12 (dua belas) semester yang harus ditempuh oleh setiap

Stimulus lingkungan

Perhatian dan seleksi

Pengorganisasian Penafsiran

(4)

10

mahasiswa untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi (Menteri Pendidikan, RI., 2000).

2.3 Apoteker

Apoteker adalah tenaga ahli yang mempunyai kewenangan dibidang kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama pendidikan tinggi kefarmasian. Sifat kewenangan yang berlandaskan ilmu pengetahuan ini memberinya otoritas dalam berbagai aspek obat atau proses kefarmasian yang tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan lainnya. Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang dikelompokkan profesi, telah diakui secara universal lingkup pekerjaannya meliputi semua aspek tentang obat, mulai penyediaan bahan baku obat dalam arti luas, membuat sediaan jadinya sampai dengan pelayanan kepada pemakai obat atau pasien (Rosdiana, 2011). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Menkes, RI., 2014).

Apoteker juga termasuk dalam kategori tenaga kesehatan, yakni sarjana farmasi yang lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Dalam melakukan pembangunan kesehatan tidak bisa dilepaskan peran apoteker, sebab apotekerlah yang dianggap mampu melakukan pengendalian, pengadaan, pengaturan, dan pengawasan terhadap obat-obatan (Iskandar, 1998).

(5)

11

membantu pasien dalam memilih obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter, mengambil langkah untuk menyesuaikan pengobatan pasien (jika diperlukan), dan menjawab pertanyaan pasien tentang obat-obatan yang mereka gunakan (Thoe, 2013).

2.4 Sejarah Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

Menurut Aslam (2003), profesi kefarmasian telah mengalami perubahan, khususnya dalam kurun waktu kira-kira 40 tahun terakhir, yaitu sejak tahun 1960-an. Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian di Inggris, khususnya dalam abad ke-20, dapat dibagi dalam 4 tahap:

1. Tahap tradisional (sebelum 1960-an)

Dalam periode tradisional ini, fungsi farmasis yaitu menyediakan, membuat, dan mendistribusikan produk yang berkhasiat obat. Kegiatan ini melibatkan seni dan ilmu pembuatan bahan obat dari sumber alam atau sintetik menjadi sediaan atau produk yang sesuai untuk dipakai dalam mencegah, mendiagnosa atau mengobati penyakit.

Periode ini mulai goyah ketika pembuatan sediaan obat secara bertahap mulai dikerjakan oleh industri farmasi. Industri farmasi di dunia mulai tumbuh pada sekitar tahun 1940-an. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat dari instalasi farmasi ke industri, maka fungsi dan tugas apoteker berubah. Dengan demikian peranan profesi kefarmasian terlihat makin menyempit dan mengecil.

2. Tahap transisional

(6)

12

beberapa perintis dan sifatnya masih individual. Yang paling menonjol adalah kehadiran farmasis di ruang rawat rumah sakit, meskipun masukan mereka masih terbatas. Banyak apoteker mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru dan mencoba menerapkannya. Akan tetapi tampaknya, perkembangannya masih cukup lambat.

3. Tahap masa kini (farmasi klinis)

Farmasi klinis lahir tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Inggris dalam periode transisi. Istilah farmasi klinis digunakan untuk mendeskripsikan praktek kefarmasian berorientasi pelayanan kepada pasien lebih dari orientasi kepada produk. Merupakan suatu disiplin yang terkait dengan penerapan pengetahuan dan keahlian farmasi dalam membantu memaksimalkan efek obat dan meminimalkan toksisitas bagi pasien secara individual.

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (Menkes, RI., 2014).

(7)

13

Praktek farmasi berpusat pasien ini memerlukan suatu keterampilan yang tidak konvensional yang di ajarkan di fakultas farmasi. Istilah farmasi klinis dapat digunakan untuk mendeskripsikan seorang apoteker yang pekerjaan utamanya berinteraksi dengan tenaga kesehatan profesional lainnya (khususnya dokter dan perawat), mewawancara dan menilai kesesuaian kondisi kesehatan pasien terhadap pengobatannya, membuat rekomendasi terapeutik yang spesifik, memonitor tanggapan pasien terhadap terapi obat, menjaga keselamatan pasien (khususnya terhadap pengaruh efek obat yang tak dikehendaki), mengkonsultasi pasien, dan menyediakan informasi obat (Aslam, 2003).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan farmasi klinis mampu mengidentifikasi masalah penting yang terkait obat serta menurunkan kejadian, menyempurnakan pendidikan pasien serta kepatuhan, memperbaiki peresepan, menyempurnakan hasil klinis, meningkatkan efektivitas biaya, dan mempersingkat masa tinggal di rumah sakit (Aslam, 2003).

4. Tahap masa depan (abad ke-21) asuhan kefarmasian

(8)

14

Aslam (2003), secara skematis menggambarkan proses asuhan kefarmasian sebagai berikut:

Gambar 2.2 Proses asuhan kefarmasian 2.5 Perkembangan Bidang Kefarmasian

Menurut Sukandar (2012) dalam Wahyudi (2014), berbagai tuntutan yang ada di masyarakat menjadi tantangan untuk pengembangan dunia kefarmasian. Untuk mengakomodasi semua tuntutan tersebut diperlukan sistem pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhan tenaga farmasi dengan bekal ilmu pengetahuan keprofesian yang mutakhir.

Penentuan Hubungan Terapeutik - Pencatatan hasil

terapi yang sebenarnya,

- Evaluasi kemajuan untuk memenuhi

- Pemecahan masalah terapi obat,

- Pencapaian sasaran terapi,

- Pencegahan masalah terapi obat.

(9)

15

Adapun tuntutan yang ada di masyarakat yang menjadi tantangan untuk pengembangan dunia kefarmasian yaitu:

a. Pharmaceutical care yaitu obat sampai ke tangan pasien dalam keadaan

baik,efektif dan aman disertai informasi yang jelas sehingga penggunaannya tepat dan mencapai kesembuhan;

b. Timbulnya penyakit baru dan perubahan pola penyakit yang memerlukan pencarian obat baru atau obat yang lebih unggul ditinjau dari efektivitas dan keamanannya;

c. Meningkatnya penyalahgunaan obat dan ketergantungan pada psikotropika merupakan tuntutan untuk dapat mengawasi penggunaan obat tersebut, mencari/mensintesis obat yang lebih aman dan mampu memberikan informasi tentang bahaya penyalahgunaan obat;

d. Apoteker sebagai partner dokter memacu farmasis untuk menguasai lebih mendalam ilmu farmakologi klinis dan farmakoterapi serta ilmu farmasi sosial dan komunikasi;

e. Apoteker sebagai penanggung jawab pengadaan obat di apotek, rumah sakit, pedagang besar farmasi, puskesmas dll, harus menguasai farmakoekonomi dan manajemen farmasi;

f. Tuntutan Apoteker untuk dapat berperan dalam perkembangan industri farmasi, perkembangan drug delivery system, pengembangancara produksi dan metode kontrol kualitas;

(10)

16

perkembangan farmasi veteriner, perkembangan medical devices (alat kesehatan, pereaksi diagnostik).

2.6 Aplikasi Asuhan Kefarmasian

Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk didalamnya mendapatkan makanan, pakaian, perumahan, dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lain yang diperlukan. Dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah diantaranya menyediakan saranasarana pelayanan kesehatan salah satunya adalah apotek (Atmini, 2011). Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (Presiden, RI., 2009).

Tenaga kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya asuhan kefarmasian. Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu mengatur pekerjaan kefarmasian dalam suatu peraturan pemerintah (Presiden, RI., 2009).

(11)

17

salah satu sub-sistem dalam sistem pelayanan kesehatan, bertujuan untuk mengusahakan pelayanan kesehatan yang luas bagi setiap warga negara agar mendapatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, dan merupakan salah satu perwujudan dalam usaha untuk mencapai keadilan sosial (Kusumawida, 2009).

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Menkes, RI., 2014).

Menurut Pudjaningsih (2006), obat merupakan barang yang penting di rumah sakit karena obat dapat meningkatkan derajat kesehatan, meninggikan kepercayaan dan keterlibatan penuh dengan pelayanan kesehatan serta merupakan komoditas khusus yang mahal. Obat mempunyai dua sisi yang berbeda seperti mata uang, disatu sisi obat memberkahi tetapi disisi lain obat membebani dan mempunyai efek samping.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi asuhan kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) (Winanto, 2013).

(12)

18

Usaha peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan oleh apoteker di apotek dengan mengaplikasikan konsep asuhan kefarmasian (pharmaceutical care). Pelaksanaan asuhan kefarmasian di Swedia sudah meliputi kegiatan untuk

menganalisis Drug Related problems (DRPs) serta proses penyelesaian masalah tersebut. Di Indonesia, konsep ini meliputi tanggung jawab apoteker terhadap outcome dari penggunaan obat pada pasien, misalnya dengan melakukan skrining

resep, pemberian informasi obat yang lengkap, monitoring penggunaan obat dan kegiatan lain.Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Setiawan, 2010).

Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian yang tidak

diharapkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap outcomes pasien. Drug Related Problems yang terjadi meliputi indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi,

dosis salah (dosis subterapi atau dosis lebih), interaksi obat, pemilihan obat yang salah, reaksi obat yang merugikan, dan ketidakpatuhan pasien (Cipolle, 2012).

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal (Menkes, RI., 2014).

(13)

19

mengharuskan adanya perubahan paradigma pelayanan dari paradigma lama yang berorientasi pada produk obat, menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (Bertawati, 2013).

Tujuan asuhan kefarmasian ialah agar diperoleh pelayanan obat yang paripurna sehingga obat dapat tepat pasien, tepat dosis, tepat cara pemakaian, tepat kombinasi, tepat waktu dan tepat harga serta pasien mendapat pelayanan penyuluhan yang dianggap perlu oleh apoteker yang pada akhirnya didapat pengobatan pasien yang efektif, efisien, aman, rasional, bermutu dan terjangkau (Harianto, 2005).

Gambar

Gambar 2.2 Proses asuhan kefarmasian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan paparan di atas bahwa diduga adanya pengaruh antara kemampuan menulis cerpen terhadap variabel-variabel yang lain seperti penggunaan media pembelajaran dan

Dari survei awal penelitian melalui wawancara yang dilakukan pada Januari 2015 di SMP Swasta Kualuh kepada 15 orang siswi remaja putri menunjukkan bahwa 4 orang

strategi misi secara teratur  Mempratekkan rencana strategis  Mengembangkan sukarelawan untuk jangka panjang  Mengetahui bagaimana cara mengatur alat-alat

Ini terlihat dari hasil kuantitatif 7 kategorisasi Pedoman Peliputan Teror, dari 54 berita yang dikaji dalam kategori: Promosi dan legitimasi terhadap tindakan

Gambar 2a dan 2b. gmnampora Gunung Prau Desa Pranten Kecamatan Bawang, G4 = N. gymnampora Petung Kriono Pekalongan, Dieng lereng utara).. gymnampora Petung

Follow up study on maternal death (Population Census 2010).. • Pregnancy related death

Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) telah dihasilkan modul evaluasi pembelajaran dapat memberikan pemahaman terhadap materi evaluasi pembelajaran yang

Berdasarkan 20 kuisioner yang telah disebarkan dapat diambil kesimpulan pula bahwa : Menu yang disediakan pada sistem sudah mewakili informasi yang dibutuhkan, aplikasi mudah