• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman

1. Lembar Pedoman Pengumpulan Data ... 99 2. Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur Tahun 2007 Jenis

Usaha Rumah Makan/Restoran ... 110 3. Peta Sebaran Potensi RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 111 4. Kuesioner Penelitian ... 112 5. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman ... 121 6. Foto Dokumentasi Profil RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 130

Perkembangan pembangunan sektor transportasi, telekomunikasi dan pariwisata semakin pesat sejak digulirkan sejak era 1980-an, telah mampu mengatasi masalah ekonomi dan sosial di negara-negara ASEAN. Ketiga sektor tersebut merupakan bagian dari strategi pembangunan ekonomi berkelanjutan, searah dengan pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas utama di negara-negara berkembang. Maka diperkirakan akan menjadi sektor andalan agar Asia mampu berkompetisi di dalam era globalisasi.

Pariwisata menjadi salah satu industri terbesar di dunia yang prospektif dan kompetitif. Industri ini mampu menjadi sumber devisa di berbagai negara, Singapura, Malaysia, Hongkong, Thailand, Jepang, Hawaii, dan lainnya. Bahkan di Kepulauan Karibia, Bahama, dan Fiji menjadikan pariwisata sebagai penyumbang terbesar dalam penciptaan pendapatan masyarakat dan Negara. Perkembangan industri pariwisata cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini, menurut catatan World Tourism Organization (WTO), pada tahun 2002 tercatat 700 juta orang melakukan perjalanan wisata internasional, dan pada tahun 2005 tercatat lebih dari 850 juta. Dari angka tersebut lebih dari 25 persen tersebar di kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Di Asia Tenggara, Indonesia masih jauh tertinggal dari Thailand, Singapura, dan Malaysia dalam merebut kunjungan wisata internasional. Indonesia juga belum mampu menjadikan pariwisata sebagai primadona dalam menghasilkan devisa bagi negara ini. Jika tidak segera berbenah, mungkin kita hanya akan menjadi penonton dalam persaingan global yang semakin ketat.

Pembangunan pariwisata di Indonesia mengaplikasikan tiga paradigma utama, yaitu: (1) meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan

kesempatan berusaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (2) mewujudkan keadilan sosial, melestarikan serta memperkokoh jatidiri,

kemandirian bangsa, memperkaya kepribadian, mempertahankan nilai-nilai

agama, serta berfungsi sebagai media menciptakan ketertiban dunia. (3) memperhatikan kelestarian lingkungan dan berkesinambungan.

2

Dalam rangka pemantapan citra dan daya saing pariwisata Indonesia, pada tahun 2008 ini Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (DEPBUDPAR) kembali mencanangkan

sarana pariwisata jenis hotel dan restoran sangat memberikan kontribusi dalam partisipasi pembangunan di wilayah DKI Jakarta.

Kota Jakarta Timur dalam program pengembangannya, dipersiapkan sebagai kota wisata belanja dengan menggali berbagai hal yang dapat dijadikan potensi obyek wisata, meningkatkan jumlah dan jenis atraksi wisata, mempermudah birokrasi perizinan usaha dan industri penunjang pariwisata, serta meningkatkan SDM. Dampak strategi tersebut sektor pariwisata pada tahun 2005 pemerintah kota Jakarta Timur berhasil mendapatkan penerimaan masing-masing dari pajak hotel sebesar Rp. 7.109.812.177, pajak restoran Rp. 19.536.992.658 dan pajak hiburan Rp. 5.470.979.345. Total keseluruhan Rp. 32.117.784.180, dan penerimaan pajak ini meningkat sebesar 64,3 persen di banding tahun sebelumnya sebesar Rp. 20.810.713.117. (http://www.jaktim.beritajakarta.com/)

Berdasarkan data tentang Usaha Sarana Pariwisata (USP) di Jakarta Timur pada tahun 2007 untuk jenis usaha restoran atau rumah makan terdapat 231 nama usaha. Rumah makan tersebut dikelompokkan menurut klasifikasinya yaitu A, B, C, dan D. Standar klasifikasi menggunakan skala usaha berdasarkan nilai total investasi, jumlah kursi yang menyatakan kapasitas pelanggan (tamu) yang mampu ditampung, dan jumlah karyawan yang dipekerjakan, juga mengenai kelayakan fasilitas yang dimiliki.

Penelitian ini terfokus pada usaha Rumah Makan Tradisional kelas C (selanjutnya disebut dengan RMT kelas C) karena termasuk pada kelompok usaha kecil yang penuh dengan resiko. Rumah makan tradisional kelas C, sesuai dengan jenis usaha kecil lain terbukti memiliki kontribusi yang cukup besar di bidang pembangunan sosial-ekonomi di berbagai negara, di antaranya yaitu: 1) membuka lapangan kerja yang luas dan bersifat fleksibel baik bagi laki-laki maupun perempuan, untuk segala umur, dan penuh waktu, maupun paruh waktu; 2) banyak produk baru yang bisa dikembangkan; dan 3) membuka peluang bagi orang yang memiliki obsesi kuat, tekad besar, dan pekerja keras untuk menjadi pemimpin untuk usahanya.

Beberapa faktor penyebab kegagalan usaha kecil menurut Puspopranoto (2006) antara lain yaitu: (1) Akibat kebiasaan buruk atau kesehatan kurang baik; (2) Kehilangan pasar; (3) Kurangnya pengalaman manajerial; dan (4) Lemahnya

4

daya saing dan lokasi kurang baik. Faktor ini juga yang menyebabkan keberadaan rumah makan tradisional semakin terdesak oleh restoran modern jenis fast food waralaba baik lokal maupun asing. Meski ukuran restoran waralaba tersebut ukurannya lebih kecil dari restoran tradisional, namun indutri jenis ini lebih mengutamakan profesionalisme dengan menjunjung mutu dan citra produk serta kualitas pelayanan.

Kunci keberhasilan menurut Rakhmawati (2003) antara lain restoran fast food modern tunduk pada peraturan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan frenchise-nya di kantor pusat, seperti ketetapan : standar mutu produk, standar manajemen, standar pemasaran, standar lay-out dan standar desain, dan standar kerja karyawan. Jika semuanya dipenuhi maka dapat diperoleh izin franchising.

Berbagai pembinaan maupun pendampingan bagi industri usaha sarana pariwisata telah dilakukan oleh kantor Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur dan telah menjadi agenda kegiatan setiap tahunnya. Terakhir kali pada bulan Juli 2007 kegiatan sosialisasi Sapta Pesona diikuti oleh 100 pengusaha dan pengelola industri pariwisata di wilayah Jakarta Timur, seperti pengelola akomodasi/hotel, rumah makan/restoran, griya pijat, bioskop, salon dan bola sodok. Kegiatan sosialisasi ini selain sebagai bentuk pembinaan juga untuk meningkatkan pelayanan dari para pengelola industri pariwisata di Jakarta Timur.

Berhasil-tidaknya usaha restoran atau rumah makan merupakan tanggungjawab pengelola (manajer), maka diperlukan pengalaman usaha, kemampuan berwirausaha, dan keterampilan manajerial. Tidak hanya itu pengelola rumah makan tradisional perlu pula mengadopsi program sadar wisata dan konsep Sapta Pesona.

Masalah Penelitian

Penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur ini diharapkan mampu menjawab masalah tentang :

1. Apakah program Sapta Pesona sudah menjadi komitmen budaya bagi pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur?

2. Ciri-ciri apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur? 3. Bagaimana strategi percepatan adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola

rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur?

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur yaitu: 1. Mengetahui tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah

makan tradisional kelas C di Jakarta Timur.

2. Menganalisis ciri-ciri yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur. 3. Bahan rumusan untuk meningkatkan penerimaan nilai-nilai Sapta Pesona oleh

Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur, dan ditampilkan dalam bentuk tindakan nyata.

Manfaat Penelitian

Penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur diharapkan berguna bagi semua pihak yang terkait, antara lain:

1. Ikut berpartisipasi menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan dan pengembangan di bidang industri pariwisata.

2. Memberikan informasi guna menerbitkan standarisasi pelayanan bagi rumah makan dalam upaya mewujudkan budaya layanan prima.

3. Memotivasi pengusaha tradisional mengembangkan usaha rumah makan dalam upaya meningkatkan citra dan daya saing pariwisata nasional.

Batasan Istilah

Tingkat Adopsi

Untuk mendefinisikan adopsi tidak lepas dengan istilah inovasi, karena bila orang sebagai individu atau kelompok masyarakat mempunyai sikap menerima inovasi, berarti orang atau kelompok masyarakat itu telah mengadopsi inovasi

6

tersebut. Dalam hal ini inovasi merupakan suatu ide atau gagasan yang dianggap baru oleh perorangan atau unit kelompok yang mengadopsinya. Sedangkan adopsi merupakan suatu keputusan untuk menggunakan inovasi sebagai suatu pilihan terbaik.

Inovasi mempunyai tiga komponen, yaitu (1) ide atau gagasan, (2) metode atau praktek, dan (3) produk (barang dan jasa). Untuk dapat disebut inovasi, ketiga komponen tersebut harus mempunyai sifat

Pengelola

Pimpinan dalam suatu organisasi atau perusahaan yang bertanggungjawab atas kinerja dari satu atau lebih anggota atau stafnya disebut sebagai manajer atau pengelola. Pengelola melaksanakan fungsi manajemen, yaitu melaksanakan suatu proses yang melibatkan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang dilakukan untuk mencapai sasaran perusahaan. Pengelola yang bergerak dalam bisnis rumah makan atau restoran, agar lebih produktif dan bekerja efisien mutlak memerlukan pengalaman usaha, kemampuan wirausaha, dan keterampilan manajerial.

Rumah Makan Tradisional Kelas C

Rumah makan suatu usaha yang menyediakan jasa pelayanan makan dan minum bagi pelanggannya, sebagai salah satu unit usaha sarana pariwisata (USP) yang ijin operasionalnya dari pemerintah terkait dan kewajibannya membayar retribusi (pajak) dikelompokkan berdasarkan nilai investasi, kelengkapan fasilitas dan sistim pelayanan yang diberikan. Rumah makan kelas C adalah tergolong sebagai perusahaan kecil. Pengertian perusahaan kecil mengacu pada ciri-ciri manajemen berdiri sendiri, investasi modal terbatas baik dari sisi keuangan maupun jumlah tenaga kerja, daerah operasinya lokal, dan ukuran secara keseluruhan relatif kecil.

Rumah makan tradisional terdiri dari 2 (dua) karakteristik, yaitu positif dan negatif. Karakter positif menggambarkan bahwa rumah makan tradisional selain menyajikan hidangan ciri khas suatu daerah, juga suasana dengan nuansa desain dan dekor maupun ciri khas pelayanan didominasi oleh etnik budaya. Sedangkan karakter negatif rumah makan tradisional yang dikelola dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan yang dimilikinya jauh dari sentuhan modern dengan ciri khas konvensional yaitu lebih mengutamakan keunggulan produk daripada kualitas pelayanan.

TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Makan Tradisional

Restoran termasuk industri pariwisata dalam kelompok usaha penyediaan

makanan dan minuman. Pada pengembangan usahanya dapat menyediakan fasilitas

dan atraksi rekreasi dan hiburan serta fasilitas lainnya. Jenis restoran antara lain

seperti restoran, café, coffee shop, kantin, dan kafetaria (Perda Provinsi DKI Jakarta

Nomor 10 Tahun 2004).

Dalam konteks pengembangan pariwisata, usaha restoran memiliki beberapa

peran penting antara lain yaitu: (1) penyedia jasa layanan kebutuhan makan dan

minum bagi wisatawan; (2) meningkatkan lama tinggal wisatawan sebagai dampak

pelayanan yang memuaskan; (3) sebagai pendukung sumber informasi memperlancar

perjalanan wisatawan; (4) memberikan jaminan keamanan, ketertiban, kebersihan,

kesejukan, keindahan, keramah-tamahan, dan kenangan bagi pengunjung

(wisatawan); (5) menyediakan peluang kerja bagi masyarakat yang membutuhkan;

dan (6) kebutuhan tenaga profesional dan kompeten turut mempengaruhi keberadaan

dan peningkatan jumlah lembaga pendidikan dan pelatihan bidang restoran.

Keputusan Menteri Keuangan RI tentang Uraian Klasifikasi Lapangan Usaha

Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum mengklasifikasikan restoran

dan rumah makan menjadi 4 kelompok, berdasarkan kelasnya yang tertinggi yaitu: (a)

Restoran Talam Kencana; (b) Restoran Talam Selaka; (c) Restoran Talam Gangsa;

dan (d) Restoran Non-talam. Peringkat klasifikasi restoran diurut berdasarkan kriteria

berikut:

(1) Penggunaan sebagian atau seluruh bangunan, dengan sifat bangunan yang

permanen atau non-permanen;

(2) Kepemilikan dapur pengolahan dan tempat penyajian pada bangunan yang sama;

(3) Kelengkapan peralatan dan fasilitas proses pembuatan dan penyimpanan; dan

(4) Ijin kelayakan operasional dari instansi yang membinanya dan mengeluarkan

Restoran Non-talam disebut juga sebagai rumah makan, yaitu restoran yang

belum mendapatkan surat keputusan sebagai yang berklasifikasi talam. Restoran

Non-Talam terbagi lagi menjadi 3 (tiga) kelas yaitu (1) Rumah Makan Kelas A; (2)

Rumah Makan Kelas B; dan (3) Rumah Makan Kelas C. Kelas tersebut dibedakan

menurut kapasitas meja/kursi tamu, dan jumlah karyawanya.

Tradisional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) adalah sikap dan

cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat

kebiasaan yang ada secara turun temurun. Dalam konteks rumah makan memiliki 2

cara tinjau berbeda, yaitu dari sisi positif dan negatif. Rumah makan tradisional

(RMT) jika ditinjau dari sisi positif yaitu suatu bentuk usaha yang menjual hidangan

(menu makanan dan minuman) khas suatu daerah, lengkap dengan suasana baik

dekorasi eksterior maupun interior, seragam karyawan, latar belakang musik atau

hiburan dan keramah-tamahan sebagai ciri dari daerah tersebut. Selanjutnya konsep

dengan unsur etnik tersebut yang menjadi kebanggaan bagi pengunjungnya, atau

sebagai daya tarik bagi wisatawan yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru.

Hal-hal tersebut yang memiliki nilai jual dari rumah makan tradisional. Rumah makan

tradisional berdasarkan sudut pandang negatif yaitu rumah makan yang dikelola

secara konvensional, dengan pengelola cenderung bersikap, cara pikir dan cara

bertindak yang tidak sesuai dengan tuntutan masa kini (modern).

Perbedaan pengelolaan antara bisnis tradisional dengan bisnis modern yaitu:

(1) Pebisnis tradisional cenderung berorientasi pada penjualan, fokus pada nilai

produk, kontak pelanggan tidak berkesinambungan, dan komitmen pada mutu hanya

bagi staf produksi; sedangkan (2) Pebisnis modern berorientasi untuk

mempertahankan pelanggan, fokus pada nilai pelayanan, kontak pelanggan

berkesinambungan, dan komitmen mutu berlaku bagi seluruh staf (Kotler, 2002).

Perbedaan bisnis tradisional dan modern ditambahkan Nickel (2005) yaitu:

(1) Bisnis Tradisional memuaskan pelanggan, orientasi laba dan produk, dan

cenderung menerapkan etika reaktif, dan fokus pada masalah manajerial, sedangkan

(2) Bisnis Modern sudah pada taraf mempesonakan pelanggan, orientasi laba,

pelanggan dan stakeholder, dan fokus pada kepentingan pelanggan.

10

Karakteristik RMT Kelas C

Rumah makan tradisional kelas C (selanjutnya disingkat RMT Kelas C)

merupakan bidang usaha sarana pariwisata (USP) pada kelompok usaha kecil dan

menengah, berdasarkan aturan instansi pemerintah terkait yaitu:

(1) Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan pada industri rumah tangga dengan

jumlah pekerja 1

The Dun & Bradstreet Corporation (Puspopranoto, 2006) mengidentifikasi

faktor-faktor penyebab kegagalan usaha kecil antara lain yaitu: (1) Kelalaian (akibat

kebiasaan buruk atau kesehatan kurang baik); (2) Faktor ekonomis (kehilangan

pasar); (3) Pengalaman (tidak cakap, kurangnya pengalaman manajerial); dan (4)

Penjualan (lemah daya saing, kesulitan persediaan, lokasi kurang baik).

Hasil riset Parsa (2005), salah satu unsur sukses dipengaruhi pengetahuan para

pengelola melalui pendidikan lanjutan tentang pemasaran dan lokakarya. Suatu

lingkungan yang mendukung profesionalisme akan menumbuhkan produktivitas lebih

baik. Unsur-unsur penyebab kegagalan bisnis rumah makan yaitu: (1) Kurangnya

pengalaman dalam berbisnis dan rendahnya pengetahuan pengelolaan restoran; (2)

Ketidakmampuan untuk memelihara standard operasional, terlalu banyak masalah

dalam layanan, serta rendahnya standard kebersihan dan kesehatan; dan (3) Untuk

rumah makan yang bernuansa etnis (tradisional), hilangnya keaslian berakibat

hilangnya integritas konseptual.

Peran dan Tugas Pengelola

Peran pengelola atau manajer secara konkret dikemukakan Puspopranoto

(2006) sebagai berikut: (1) Orang dalam organisasi yang bertanggung jawab atas

kinerja dari satu atau lebih orang lain; (2) Orang yang tugasnya menggunakan sumber

daya material seperti informasi, teknologi, bahan baku, fasilitas, dan uang untuk

memproduksi barang dan jasa yang dapat ditawarkan organisasi (perusahaan) kepada

para pelanggan; dan (3) Tugas setiap manajer terkait dengan satu tanggung jawab

utama, yaitu membantu organisasi dalam mencapai kinerja tinggi melalui

pemanfaatan semua sumber daya, baik tenaga manusia maupun material.

Tugas-tugas di dalam organisasi menurut Fuad (2000) dapat dibedakan

berdasarkan tiga tingkatan manajemen yaitu: (1) Manajemen Tertinggi (Top

Management), bertugas mengembangkan rencana-rencana yang luas dan

melakukan pengambilan keputusan strategis. (2) Manajemen Menengah (Middle

Management), tanggung jawab yang harus dilaksanakan para manajer tingkat ini

12

adalah mengembangkan rencana-rencana operasi untuk melaksanakan semua rencana

yang telah disusun manajemen puncak. (3) Manajemen Pelaksana (Operating

Management), bertanggung jawab untuk melaksanakan semua rencana yang telah

dibuat manajemen menengah serta bertugas untuk mengawasi para pekerja dalam

menjalankan pekerjaan sehari-hari. Manajer pelaksana sering pula disebut

pengawas atau penyelia tingkat pertama (First line supervisor).

Hal yang dikerjakan manajer menurut Nickels (Puspopranoto 2006) yaitu:

(1) Merencanakan; menetapkan sasaran organisasi, menyusun strategi guna mencapai

sasaran, menentukan sumber daya yang dibutuhkan, menetapkan standar yang

tepat.

(2) Mengorganisasikan; (a) mengalokasikan sumber daya dan pemberian tugas,

(b) menetapkan prosedur untuk mencapai sasaran dan menyiapkan struktur

organisasi yang menunjukkan garis kewenangan/tanggung jawab, (c) merekrut,

menyeleksi, melatih, dan mengembangkan karyawan, (d) menempatkan

karyawan di tempat di mana mereka sangat efektif.

(3) Memimpin/mengarahkan; memandu dan memotivasi karyawan untuk bekerja

secara efektif merealisasikan sasaran dan tujuan organisasi.

(4) Mengendalikan; mengukur kinerja dibandingkan tujuan perusahaan, memantau

kinerja relatif terhadap standar, memberi penghargaan atas kinerja yang menonjol,

dan mengambil tindakan korektif sesuai dengan kebutuhan.

Ciri Pribadi

Ciri pribadi yaitu segala sesuatu yang melekat pada diri seseorang yang sifatnya

khas untuk setiap orang. Ciri pribadi muncul karena terjadinya proses alam seperti:

usia, persepsi terhadap sesuatu, motivasi, maupun proses yang sengaja diciptakan

untuk meningkatkan kualitas diri, seperti: tingkat pendidikan, intensitas komunikasi,

frekuensi mencari inforniasi. Ciri pribadi mempengaruhi seseorang dalam

memberikan respon terhadap stimuli yang diterimanya, dan akan mengubah

perilakunya.

Lionberger (1960) menyatakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi cepat

lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, pola

hubungan dan kekosmopolitan, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap

perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan diagnosisme (sistem

kepercayaan yang tertutup).

Soekartawi (1988) menjelaskan terdapat 11 peubah yang mempengaruhi proses

difusi dan adopsi inovasi yaitu: usia, pendidikan, keberanian mengambil resiko, pola

hubungan, sikap terhadap perubahan, pendapatan usaha tani, luas usaha tani, status

pemilikan tanah, prestise masyarakat, sumber informasi yang digunakan dan jenis

inovasi.

Pengaruh ciri pribadi terhadap perubahan perilaku, dikemukakan pada paragraf

tersebut, menunjukkan bahwa ciri pribadi mutlak dipertimbangkan dalam

program-program penyuluhan. Ciri pribadi yang melekat pada diri seseorang, baik yang

muncul dari kawasan kepribadiannya maupun yang dimiliki karena status dan

peranannya, akan memunculkan kekuatan atau dorongan untuk bertindak terutama

yang menguntungkan dirinya.

Usia

Usia mempengaruhi kecepatan perubahan perilaku, karena usia akan

mempengaruhi kemampuan fisik dan kemampuan fikir. Orang yang lebih tua

cenderung kurang responsif terhadap ide-ide baru. Padmowihardjo (1978)

menyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk belajar berkembang secara gradual,

sejalan dengan meningkatnya usia. Akan tetapi setelah mencapai usia tertentu akan

berkurang secara gradual pula, dan sangat nyata pada usia 55-60 tahun. Sementara itu

Vener dan Davidson (Lunandi, 1986) menyatakan bahwa dengan bertambahnya

usia secara fisiologis terdapat perubahan daya penglihatan dan pendengaran yang

dapat menurunkan tingkat efektivitas belajar orang dewasa. Klausmeijer dan

Goodwin (1966) mengemukakan bahwa ada pengaruh usia terhadap minat seseorang

terhadap macam pekerjaan tertentu sehingga usia seseorang juga akan berpengaruh

terhadap motivasinya untuk belajar.

14

Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Padmowihardjo (1994)

mengatakan usia bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan

oleh usia adalah faktor fisiologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan

seseorang berhubungan dengan usia. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan

kematangan otak, organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua

adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Selanjutnya

Wiraatmadja (1990) mengemukakan bahwa usia petani akan mempengaruhi

penerimaan petani terhadap hal-hal baru.

Seseorang yang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan

kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan

orang yang sudah berumur memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi

sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya (Bird, 1989).

Pendidikan

Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya

pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas

pengetahuannya. Pengaruh pendidikan terhadap perubahan perilaku, hasil penelitian

Maryani (1995), menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi lebih mudah

untuk menerima informasi dan berkemampuan menganalisis masalah yang

dihadapinya.

Pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang, sehingga

memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku (Winkel, 1991).

Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan

merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan.

Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu

pengetahuan yang dimiliki seseorang.

Russel (1993) mengatakan bahwa pendidikan senantiasa mempunyai dua

sasaran, yaitu pengajaran dan pelatihan perilaku yang lebih baik. Salam (1997)

mengemukakan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha yang disadari

untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di

dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Tichenor et al., (Padi,

2005) mengemukakan bahwa kenaikan pendidikan formal menunjukkan suatu

perluasan dan penganekaragaman ruang kehidupan, jumlah kelompok referensi yang

lebih besar, keterampilan dan kesadaran ilmu pengetahuan dan masalah umumnya

lainnya yang lebih besar serta lebih luasnya dedahan pada isi media tentang lingkup

masalah.

Pendidikan diartikan sebagai rangkaian proses belajar-mengajar yang

menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan menjadi urutan pertama dalam

menentukan tingkat keinovatifan seseorang, demikian pendapat Rogers dan

Shoemaker (1971). Menurut Slamet (1975) tingkat pendidikan warga belajar akan

mempengaruhi pemahamannya terhadap sesuatu yang akan dipelajari. Artinya, hasil

belajar yang diperoleh dari proses belajar (proses pendidikan) akan membuat warga

belajar mampu melihat hubungan yang nyata antara berbagai fenomena yang

dihadapi. Selain itu, hasil belajar yang pernah diperoleh warga belajar dari pendidikan

yang pernah diikutinya akan mempengaruhi semangatnya untuk belajar.

Pengalaman Usaha

Pengalaman berusaha merujuk pada jumlah tahun lamanya seorang pengelola

berbisnis rumah makan. Pengalaman berusaha yang lebih lama dapat menumbuhkan

motivasi yang lebih kuat untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan. Pengalaman

seseorang bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Pengalaman dapat diukur

secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang dalam bidang usaha; serta

pengalaman yang bersifat kualitatif. Konsekuensi masa depan ditentukan oleh

pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang

terhadap yang lain. (Bandura, 1986)

Hal ini sependapat dengan Stanton (1978) bahwa motivasi untuk berbuat

tergantung dari pengalamannya, sebab pengalaman akan menentukan minat dan

kebutuhan yang dirasakan. Dalam proses belajar-mengajar, pengalaman juga

16

memiliki peran penting. Klausmeijer dan Goodwin (1966) menyatakan bahwa

pengalaman masa lampau akan mempengaruhi efisiensi belajar karena menurut

Dokumen terkait