TINGKAT ADOPSI PROGRAM SAPTA PESONA OLEH
PENGELOLA RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C
DI JAKARTA TIMUR
AYAT TAUFIK AREVIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona oleh Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C di Jakarta Timur, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Ayat Taufik Arevin
ABSTRACT
AREVIN, AYAT TAUFIK. 2009. Adoption Level of Sapta Pesona (Seven Amazing) Program by the Traditional Restaurant Managers of C-class in East Jakarta. Under direction of BASITA G. SUGIHEN as the chairman of supervisory team and SITI AMANAH as a member.
The sectors of transportation, telecommunication, tourism development raised since of 1980th, have been able to overcome the social problems and economics in the ASEAN countries. Tourism development represents Indonesian pledge in the effort of accelerating economics growth. Sapta Pesona is one of the programs to promote tourism development. Sapta Pesona (the Seven Amazed Program) consists of safety, cleanliness, orderliness, comfort, beauty, hospitality, and enhancing memories. The success of Sapta Pesona program will positively contribute to the tourism businesses that are majority managed by low medium levels of restaurant businesses. The study was focused on management of C-class restaurants. Management of C-class restaurants still ran in very traditional strategy. The aims of this study were (1) to learn the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program, (2) to identify the factors related to the participation of the managers in adoption, and (3) to find out strategic to improve participation of the managers in adoption Sapta Pesona program. The research method used was survey, supported by participatory observation technique. The populations of the study were 63 restaurants managers at the east of Jakarta. The data collection was carried out from February until September 2008. The data analysis used was correlation test of Rank Spearman. The results showed that (1) the participation of traditional restaurant managers were of medium level, (2) the personal characters (age, experience, level of educations and communication intensity) were positively related to the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program, (3) the business characters were closely related to the participatory level of the traditional restaurant managers in adoption Sapta Pesona program.
Pengelola Rumah Makan Tradisional Kelas C Jakarta Timur. Dibimbing oleh BASITA G. SUGIHEN sebagai Ketua Komisi dan SITI AMANAH sebagai Anggota Komisi.
Pariwisata menjadi salah satu industri terbesar di dunia yang prospektif dan kompetitif. Upaya pembangunan pariwisata ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan citra pariwisata suatu wilayah. Indonesia masih jauh tertinggal, dibandingkan dengan negara Asia lainnya, dalam merebut kunjungan wisata internasional. Indonesia juga belum mampu menjadikan pariwisata sebagai primadona dalam menghasilkan devisa bagi negara ini. Jika tidak segera berbenah, mungkin kita hanya akan menjadi penonton dalam persaingan global yang semakin ketat.
Salah satu item pajak daerah yang akan digenjot Pemprov DKI Jakarta untuk mendongkrak penerimaan asli daerah (PAD) sebagaimana ditargetkan rencana jangka menengah daerah 2007-2012 yaitu pajak hotel dan restoran (Bisnis Indonesia, 8 April 2008). Perolehan PAD kota Jakarta Timur pada tahun 2005 dari industri pariwisata total sebesar Rp. 32.117.784.180, masing dari penerimaan pajak hotel sebesar Rp. 7.109.812.177, pajak restoran Rp. 19.536.992.658 dan pajak hiburan Rp. 5.470.979.345 (http://www.jaktim.beritajakarta.com/). Hal ini membuktikan bahwa rumah makan atau restoran salah satu sarana usaha pariwisata yang memiliki potensi.
Sapta Pesona merupakan salah satu program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar mampu berpartisipasi dalam pembangunan di bidang pariwisata. Unsur-unsur Sapta Pesona yaitu: (1) aman, (2) tertib, (3) bersih, (4) sejuk, (5) indah, (6) ramah-tamah, dan (7) kenangan. Sapta Pesona merupakan kunci sukses bagi semua kegiatan bisnis di bidang pariwisata. Salah satu upaya peningkatan mutu atau citra rumah makan tradsional yaitu perlunya pengelola rumah makan mengadopsi dan menerapkan unsur-unsur dalam program Sapta Pesona.
Kondisi dan cara pengelolaan rumah makan tradisional (RMT) kelas C di Jakarta Timur masih sangat sederhana baik dari sisi manajemen SDM, metode pengolahan, teknik pelayanan, dan pemeliharaan sarana dan prasarana yang dimiliki. Akibatnya mereka tidak mampu memenuhi kepuasan pelanggan dan rendah dalam kemampuan berkompetisi, sehingga berimbas pada kemajuan usahanya.
Populasi penelitian adalah 63 responden (pengelola RMT kelas C), dan pengumpulan data dilakukan secara sensus kepada 63 responden tersebut. Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari responden dan informan penelitian, melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, serta untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank Spearman.
Tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola RMT kelas C di Jakarta Timur termasuk kategori sedang. Ciri pribadi yang penting diperhatikan untuk mempercepat kemampuan adopsi pengelola RMT kelas C yaitu usia, tingkat pendidikan, pengalaman usaha, dan intensitas komunikasi. Sedangkan ciri lingkungan usaha yang menjadi pertimbangan yaitu kebijakan Pemda, skala usaha, modal tenaga kerja, sarana usaha, prasarana usaha, lokasi usaha, dan kompetitor.
Strategi mempercepat adopsi dapat dilakukan dengan meningkatkan interaksi penyuluh dengan pengelola RMT kelas C; penyuluh dan petugas suku dinas pariwisata hendaknya memotivasi pengelola RMT kelas C supaya terlibat aktif dalam kelompok usaha sejenis dan mendorong pengembangan kelompoknya sebagai wadah komunikasi antar pengelola tentang program-program yang dibutuhkan dan yang ditawarkan oleh pemerintah.
Ó Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
TINGKAT ADOPSI PROGRAM SAPTA PESONA OLEH
PENGELOLA RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C
DI JAKARTA TIMUR
AYAT TAUFIK AREVIN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Ayat Taufik Arevin
NIM : I 352060031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. Ketua
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
DAFTAR TABEL ... .. xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Masalah Penelitian ... 4
Tujuan Penelitian ... 5
Manfaat Penelitan ... 5
Batasan Istilah ... 5
TINJAUAN PUSTAKA Rumah Makan Tradisional ... 8
Peran dan Tugas Pengelola ... 11
Ciri Pribadi ... 12
Ciri Lingkungan Usaha ... 19
Adopsi Inovasi ... 29
Program Sapta Pesona ... 32
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir ... 36
Hipotesis Penelitian ... 46
METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel ... 47
Rancangan Penelitian ... 47
Definisi Operasional ... 48
Instrumentasi ... .... 56
Pengumpulan Data ... 57
Analisis Data ... 59
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian... 60
Ciri Pribadi Pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur... 62
Ciri Lingkungan Usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur... . 70
Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C... 77
Hubungan Ciri Pribadi dan Ciri Lingkungan Usaha dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C... 81
Strategi Percepatan Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C Jakarta Timur... 85
KESIMPULAN DAN SARAN... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 94
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kelompok dan Populasi RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 47
2. Peubah, Indikator, dan Skala Data ... 52
3. Deskripsi Ciri Pribadi RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 63
4. Deskripsi Ciri Lingkungan Usaha RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 71
5. Skor Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 77
6. Persepsi Pengelola RMT Kelas C terhadap Program Sapta Pesona ... 80
7. Nilai Koefisien Korelasi (rs) antara Ciri Pribadi dengan Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona ... 82
Halaman
1. Tahapan Proses Adopsi Inovasi ... 31
2. Proses Introduksi, Adopsi dan Inovasi dari Asal Sumbernya ... 38
3. Proses Adopsi dan Difusi Sapta Pesona ... 41
4. Kerangka Berpikir Tingkat Adopsi Program Sapta Pesona Pengelola
RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lembar Pedoman Pengumpulan Data ... 99
2. Daftar Usaha Sarana Pariwisata (USP) Jakarta Timur Tahun 2007 Jenis Usaha Rumah Makan/Restoran ... 110
3. Peta Sebaran Potensi RMT Kelas C di Jakarta Timur ... 111
4. Kuesioner Penelitian ... 112
5. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman ... 121
Perkembangan pembangunan sektor transportasi, telekomunikasi dan pariwisata semakin pesat sejak digulirkan sejak era 1980-an, telah mampu mengatasi masalah ekonomi dan sosial di negara-negara ASEAN. Ketiga sektor tersebut merupakan bagian dari strategi pembangunan ekonomi berkelanjutan, searah dengan pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas utama di negara-negara berkembang. Maka diperkirakan akan menjadi sektor andalan agar Asia mampu berkompetisi di dalam era globalisasi.
Pariwisata menjadi salah satu industri terbesar di dunia yang prospektif dan kompetitif. Industri ini mampu menjadi sumber devisa di berbagai negara, Singapura, Malaysia, Hongkong, Thailand, Jepang, Hawaii, dan lainnya. Bahkan di Kepulauan Karibia, Bahama, dan Fiji menjadikan pariwisata sebagai penyumbang terbesar dalam penciptaan pendapatan masyarakat dan Negara. Perkembangan industri pariwisata cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini, menurut catatan World Tourism Organization (WTO), pada tahun 2002 tercatat 700 juta orang melakukan perjalanan wisata internasional, dan pada tahun 2005 tercatat lebih dari 850 juta. Dari angka tersebut lebih dari 25 persen tersebar di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Di Asia Tenggara, Indonesia masih jauh tertinggal dari Thailand, Singapura, dan Malaysia dalam merebut kunjungan wisata internasional. Indonesia juga belum mampu menjadikan pariwisata sebagai primadona dalam menghasilkan devisa bagi negara ini. Jika tidak segera berbenah, mungkin kita hanya akan menjadi penonton dalam persaingan global yang semakin ketat.
Pembangunan pariwisata di Indonesia mengaplikasikan tiga paradigma utama, yaitu: (1) meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (2) mewujudkan keadilan sosial, melestarikan serta memperkokoh jatidiri,
kemandirian bangsa, memperkaya kepribadian, mempertahankan nilai-nilai
2
sarana pariwisata jenis hotel dan restoran sangat memberikan kontribusi dalam partisipasi pembangunan di wilayah DKI Jakarta.
Kota Jakarta Timur dalam program pengembangannya, dipersiapkan sebagai kota wisata belanja dengan menggali berbagai hal yang dapat dijadikan potensi obyek wisata, meningkatkan jumlah dan jenis atraksi wisata, mempermudah birokrasi perizinan usaha dan industri penunjang pariwisata, serta meningkatkan SDM. Dampak strategi tersebut sektor pariwisata pada tahun 2005 pemerintah kota Jakarta Timur berhasil mendapatkan penerimaan masing-masing dari pajak hotel sebesar Rp. 7.109.812.177, pajak restoran Rp. 19.536.992.658 dan pajak hiburan Rp. 5.470.979.345. Total keseluruhan Rp. 32.117.784.180, dan penerimaan pajak ini meningkat sebesar 64,3 persen di banding tahun sebelumnya sebesar Rp. 20.810.713.117. (http://www.jaktim.beritajakarta.com/)
Berdasarkan data tentang Usaha Sarana Pariwisata (USP) di Jakarta Timur pada tahun 2007 untuk jenis usaha restoran atau rumah makan terdapat 231 nama usaha. Rumah makan tersebut dikelompokkan menurut klasifikasinya yaitu A, B, C, dan D. Standar klasifikasi menggunakan skala usaha berdasarkan nilai total investasi, jumlah kursi yang menyatakan kapasitas pelanggan (tamu) yang mampu ditampung, dan jumlah karyawan yang dipekerjakan, juga mengenai kelayakan fasilitas yang dimiliki.
Penelitian ini terfokus pada usaha Rumah Makan Tradisional kelas C (selanjutnya disebut dengan RMT kelas C) karena termasuk pada kelompok usaha kecil yang penuh dengan resiko. Rumah makan tradisional kelas C, sesuai dengan jenis usaha kecil lain terbukti memiliki kontribusi yang cukup besar di bidang pembangunan sosial-ekonomi di berbagai negara, di antaranya yaitu: 1) membuka lapangan kerja yang luas dan bersifat fleksibel baik bagi laki-laki maupun perempuan, untuk segala umur, dan penuh waktu, maupun paruh waktu; 2) banyak produk baru yang bisa dikembangkan; dan 3) membuka peluang bagi orang yang memiliki obsesi kuat, tekad besar, dan pekerja keras untuk menjadi pemimpin untuk usahanya.
4
daya saing dan lokasi kurang baik. Faktor ini juga yang menyebabkan keberadaan rumah makan tradisional semakin terdesak oleh restoran modern jenis fast food waralaba baik lokal maupun asing. Meski ukuran restoran waralaba tersebut ukurannya lebih kecil dari restoran tradisional, namun indutri jenis ini lebih mengutamakan profesionalisme dengan menjunjung mutu dan citra produk serta kualitas pelayanan.
Kunci keberhasilan menurut Rakhmawati (2003) antara lain restoran fast food modern tunduk pada peraturan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan
frenchise-nya di kantor pusat, seperti ketetapan : standar mutu produk, standar manajemen, standar pemasaran, standar lay-out dan standar desain, dan standar kerja karyawan. Jika semuanya dipenuhi maka dapat diperoleh izin franchising.
Berbagai pembinaan maupun pendampingan bagi industri usaha sarana pariwisata telah dilakukan oleh kantor Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur dan telah menjadi agenda kegiatan setiap tahunnya. Terakhir kali pada bulan Juli 2007 kegiatan sosialisasi Sapta Pesona diikuti oleh 100 pengusaha dan pengelola industri pariwisata di wilayah Jakarta Timur, seperti pengelola akomodasi/hotel, rumah makan/restoran, griya pijat, bioskop, salon dan bola sodok. Kegiatan sosialisasi ini selain sebagai bentuk pembinaan juga untuk meningkatkan pelayanan dari para pengelola industri pariwisata di Jakarta Timur.
Berhasil-tidaknya usaha restoran atau rumah makan merupakan tanggungjawab pengelola (manajer), maka diperlukan pengalaman usaha, kemampuan berwirausaha, dan keterampilan manajerial. Tidak hanya itu pengelola rumah makan tradisional perlu pula mengadopsi program sadar wisata dan konsep Sapta Pesona.
Masalah Penelitian
Penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur ini diharapkan mampu menjawab masalah tentang :
2. Ciri-ciri apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur? 3. Bagaimana strategi percepatan adopsi program Sapta Pesona oleh pengelola
rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur?
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur yaitu: 1. Mengetahui tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah
makan tradisional kelas C di Jakarta Timur.
2. Menganalisis ciri-ciri yang berhubungan dengan tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur. 3. Bahan rumusan untuk meningkatkan penerimaan nilai-nilai Sapta Pesona oleh
Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur, dan ditampilkan dalam bentuk tindakan nyata.
Manfaat Penelitian
Penelitian tingkat adopsi program Sapta Pesona oleh Pengelola rumah makan tradisional kelas C di Jakarta Timur diharapkan berguna bagi semua pihak yang terkait, antara lain:
1. Ikut berpartisipasi menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan dan pengembangan di bidang industri pariwisata.
2. Memberikan informasi guna menerbitkan standarisasi pelayanan bagi rumah makan dalam upaya mewujudkan budaya layanan prima.
3. Memotivasi pengusaha tradisional mengembangkan usaha rumah makan dalam upaya meningkatkan citra dan daya saing pariwisata nasional.
Batasan Istilah Tingkat Adopsi
6
tersebut. Dalam hal ini inovasi merupakan suatu ide atau gagasan yang dianggap baru oleh perorangan atau unit kelompok yang mengadopsinya. Sedangkan adopsi merupakan suatu keputusan untuk menggunakan inovasi sebagai suatu pilihan terbaik.
Pengelola
Pimpinan dalam suatu organisasi atau perusahaan yang bertanggungjawab atas kinerja dari satu atau lebih anggota atau stafnya disebut sebagai manajer atau pengelola. Pengelola melaksanakan fungsi manajemen, yaitu melaksanakan suatu proses yang melibatkan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian yang dilakukan untuk mencapai sasaran perusahaan. Pengelola yang bergerak dalam bisnis rumah makan atau restoran, agar lebih produktif dan bekerja efisien mutlak memerlukan pengalaman usaha, kemampuan wirausaha, dan keterampilan manajerial.
Rumah Makan Tradisional Kelas C
Rumah makan suatu usaha yang menyediakan jasa pelayanan makan dan minum bagi pelanggannya, sebagai salah satu unit usaha sarana pariwisata (USP) yang ijin operasionalnya dari pemerintah terkait dan kewajibannya membayar retribusi (pajak) dikelompokkan berdasarkan nilai investasi, kelengkapan fasilitas dan sistim pelayanan yang diberikan. Rumah makan kelas C adalah tergolong sebagai perusahaan kecil. Pengertian perusahaan kecil mengacu pada ciri-ciri manajemen berdiri sendiri, investasi modal terbatas baik dari sisi keuangan maupun jumlah tenaga kerja, daerah operasinya lokal, dan ukuran secara keseluruhan relatif kecil.
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Makan Tradisional
Restoran termasuk industri pariwisata dalam kelompok usaha penyediaan
makanan dan minuman. Pada pengembangan usahanya dapat menyediakan fasilitas
dan atraksi rekreasi dan hiburan serta fasilitas lainnya. Jenis restoran antara lain
seperti restoran,
café
,
coffee
shop
, kantin, dan kafetaria (Perda Provinsi DKI Jakarta
Nomor 10 Tahun 2004).
Dalam konteks pengembangan pariwisata, usaha restoran memiliki beberapa
peran penting antara lain yaitu: (1) penyedia jasa layanan kebutuhan makan dan
minum bagi wisatawan; (2) meningkatkan lama tinggal wisatawan sebagai dampak
pelayanan yang memuaskan; (3) sebagai pendukung sumber informasi memperlancar
perjalanan wisatawan; (4) memberikan jaminan keamanan, ketertiban, kebersihan,
kesejukan, keindahan, keramah-tamahan, dan kenangan bagi pengunjung
(wisatawan); (5) menyediakan peluang kerja bagi masyarakat yang membutuhkan;
dan (6) kebutuhan tenaga profesional dan kompeten turut mempengaruhi keberadaan
dan peningkatan jumlah lembaga pendidikan dan pelatihan bidang restoran.
Keputusan Menteri Keuangan RI tentang Uraian Klasifikasi Lapangan Usaha
Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum mengklasifikasikan restoran
dan rumah makan menjadi 4 kelompok, berdasarkan kelasnya yang tertinggi yaitu: (a)
Restoran Talam Kencana; (b) Restoran Talam Selaka; (c) Restoran Talam Gangsa;
dan (d) Restoran Non-talam. Peringkat klasifikasi restoran diurut berdasarkan kriteria
berikut:
(1)
Penggunaan sebagian atau seluruh bangunan, dengan sifat bangunan yang
permanen atau non-permanen;
(2)
Kepemilikan dapur pengolahan dan tempat penyajian pada bangunan yang sama;
(3)
Kelengkapan peralatan dan fasilitas proses pembuatan dan penyimpanan; dan
(4)
Ijin kelayakan operasional dari instansi yang membinanya dan mengeluarkan
Restoran Non-talam disebut juga sebagai rumah makan, yaitu restoran yang
belum mendapatkan surat keputusan sebagai yang berklasifikasi talam. Restoran
Non-Talam terbagi lagi menjadi 3 (tiga) kelas yaitu (1) Rumah Makan Kelas A; (2)
Rumah Makan Kelas B; dan (3) Rumah Makan Kelas C. Kelas tersebut dibedakan
menurut kapasitas meja/kursi tamu, dan jumlah karyawanya.
Tradisional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) adalah sikap dan
cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat
kebiasaan yang ada secara turun temurun. Dalam konteks rumah makan memiliki 2
cara tinjau berbeda, yaitu dari sisi positif dan negatif. Rumah makan tradisional
(RMT) jika ditinjau dari sisi positif yaitu suatu bentuk usaha yang menjual hidangan
(menu makanan dan minuman) khas suatu daerah, lengkap dengan suasana baik
dekorasi eksterior maupun interior, seragam karyawan, latar belakang musik atau
hiburan dan keramah-tamahan sebagai ciri dari daerah tersebut. Selanjutnya konsep
dengan unsur etnik tersebut yang menjadi kebanggaan bagi pengunjungnya, atau
sebagai daya tarik bagi wisatawan yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru.
Hal-hal tersebut yang memiliki nilai jual dari rumah makan tradisional. Rumah makan
tradisional berdasarkan sudut pandang negatif yaitu rumah makan yang dikelola
secara konvensional, dengan pengelola cenderung bersikap, cara pikir dan cara
bertindak yang tidak sesuai dengan tuntutan masa kini (modern).
Perbedaan pengelolaan antara bisnis tradisional dengan bisnis modern yaitu:
(1) Pebisnis tradisional cenderung berorientasi pada penjualan, fokus pada nilai
produk, kontak pelanggan tidak berkesinambungan, dan komitmen pada mutu hanya
bagi staf produksi; sedangkan (2) Pebisnis modern berorientasi untuk
mempertahankan pelanggan, fokus pada nilai pelayanan, kontak pelanggan
berkesinambungan, dan komitmen mutu berlaku bagi seluruh staf (Kotler, 2002).
10
Karakteristik RMT Kelas C
Rumah makan tradisional kelas C (selanjutnya disingkat RMT Kelas C)
merupakan bidang usaha sarana pariwisata (USP) pada kelompok usaha kecil dan
menengah, berdasarkan aturan instansi pemerintah terkait yaitu:
The Dun & Bradstreet Corporation
(Puspopranoto, 2006) mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab kegagalan usaha kecil antara lain yaitu: (1) Kelalaian (akibat
kebiasaan buruk atau kesehatan kurang baik); (2) Faktor ekonomis (kehilangan
pasar); (3) Pengalaman (tidak cakap, kurangnya pengalaman manajerial); dan (4)
Penjualan (lemah daya saing, kesulitan persediaan, lokasi kurang baik).
Hasil riset Parsa (2005), salah satu unsur sukses dipengaruhi pengetahuan para
pengelola melalui pendidikan lanjutan tentang pemasaran dan lokakarya. Suatu
lingkungan yang mendukung profesionalisme akan menumbuhkan produktivitas lebih
baik. Unsur-unsur penyebab kegagalan bisnis rumah makan yaitu: (1) Kurangnya
pengalaman dalam berbisnis dan rendahnya pengetahuan pengelolaan restoran; (2)
Ketidakmampuan untuk memelihara standard operasional, terlalu banyak masalah
dalam layanan, serta rendahnya standard kebersihan dan kesehatan; dan (3) Untuk
rumah makan yang bernuansa etnis (tradisional), hilangnya keaslian berakibat
hilangnya integritas konseptual.
Peran dan Tugas Pengelola
Peran pengelola atau manajer secara konkret dikemukakan Puspopranoto
(2006) sebagai berikut: (1) Orang dalam organisasi yang bertanggung jawab atas
kinerja dari satu atau lebih orang lain; (2) Orang yang tugasnya menggunakan sumber
daya material seperti informasi, teknologi, bahan baku, fasilitas, dan uang untuk
memproduksi barang dan jasa yang dapat ditawarkan organisasi (perusahaan) kepada
para pelanggan; dan (3) Tugas setiap manajer terkait dengan satu tanggung jawab
utama, yaitu membantu organisasi dalam mencapai kinerja tinggi melalui
pemanfaatan semua sumber daya, baik tenaga manusia maupun material.
12
adalah mengembangkan rencana-rencana operasi untuk melaksanakan semua rencana
yang telah disusun manajemen puncak. (3) Manajemen Pelaksana
(Operating
Management)
, bertanggung jawab untuk melaksanakan semua rencana yang telah
dibuat manajemen menengah serta bertugas untuk mengawasi para pekerja dalam
menjalankan pekerjaan sehari-hari. Manajer pelaksana sering pula disebut
pengawas atau penyelia tingkat pertama
(First line supervisor).
Hal yang dikerjakan manajer menurut Nickels (Puspopranoto 2006) yaitu:
(1)
Merencanakan; menetapkan sasaran organisasi, menyusun strategi guna mencapai
sasaran, menentukan sumber daya yang dibutuhkan, menetapkan standar yang
tepat.
(2)
Mengorganisasikan; (a) mengalokasikan sumber daya dan pemberian tugas,
(b) menetapkan prosedur untuk mencapai sasaran dan menyiapkan struktur
organisasi yang menunjukkan garis kewenangan/tanggung jawab, (c) merekrut,
menyeleksi, melatih, dan mengembangkan karyawan, (d) menempatkan
karyawan di tempat di mana mereka sangat efektif.
(3)
Memimpin/mengarahkan; memandu dan memotivasi karyawan untuk bekerja
secara efektif merealisasikan sasaran dan tujuan organisasi.
(4)
Mengendalikan; mengukur kinerja dibandingkan tujuan perusahaan, memantau
kinerja relatif terhadap standar, memberi penghargaan atas kinerja yang menonjol,
dan mengambil tindakan korektif sesuai dengan kebutuhan.
Ciri Pribadi
Lionberger (1960) menyatakan faktor-faktor internal yang mempengaruhi cepat
lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, pola
hubungan dan kekosmopolitan, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap
perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan diagnosisme (sistem
kepercayaan yang tertutup).
Soekartawi (1988) menjelaskan terdapat 11 peubah yang mempengaruhi proses
difusi dan adopsi inovasi yaitu: usia, pendidikan, keberanian mengambil resiko, pola
hubungan, sikap terhadap perubahan, pendapatan usaha tani, luas usaha tani, status
pemilikan tanah, prestise masyarakat, sumber informasi yang digunakan dan jenis
inovasi.
Pengaruh ciri pribadi terhadap perubahan perilaku, dikemukakan pada paragraf
tersebut, menunjukkan bahwa ciri pribadi mutlak dipertimbangkan dalam
program-program penyuluhan. Ciri pribadi yang melekat pada diri seseorang, baik yang
muncul dari kawasan kepribadiannya maupun yang dimiliki karena status dan
peranannya, akan memunculkan kekuatan atau dorongan untuk bertindak terutama
yang menguntungkan dirinya.
Usia
14
Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Padmowihardjo (1994)
mengatakan usia bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan
oleh usia adalah faktor fisiologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan
seseorang berhubungan dengan usia. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan
kematangan otak, organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua
adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Selanjutnya
Wiraatmadja (1990) mengemukakan bahwa usia petani akan mempengaruhi
penerimaan petani terhadap hal-hal baru.
Seseorang yang muda usia mungkin memiliki pengalaman dan pendidikan
kurang, tetapi memiliki energi atau semangat untuk mencoba usahanya; sedangkan
orang yang sudah berumur memiliki pengalaman dan pendidikan lebih tinggi
sehingga menentukan keberhasilan dalam usahanya (Bird, 1989).
Pendidikan
Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya
pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas
pengetahuannya. Pengaruh pendidikan terhadap perubahan perilaku, hasil penelitian
Maryani (1995), menunjukkan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi lebih mudah
untuk menerima informasi dan berkemampuan menganalisis masalah yang
dihadapinya.
Pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang, sehingga
memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku (Winkel, 1991).
Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan
merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan.
Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu
pengetahuan yang dimiliki seseorang.
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di
dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Tichenor
et al
., (Padi,
2005)
mengemukakan bahwa kenaikan pendidikan formal menunjukkan suatu
perluasan dan penganekaragaman ruang kehidupan, jumlah kelompok referensi yang
lebih besar, keterampilan dan kesadaran ilmu pengetahuan dan masalah umumnya
lainnya yang lebih besar serta lebih luasnya dedahan pada isi media tentang lingkup
masalah.
Pendidikan diartikan sebagai rangkaian proses belajar-mengajar yang
menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan menjadi urutan pertama dalam
menentukan tingkat keinovatifan seseorang, demikian pendapat Rogers dan
Shoemaker (1971). Menurut Slamet (1975) tingkat pendidikan warga belajar akan
mempengaruhi pemahamannya terhadap sesuatu yang akan dipelajari. Artinya, hasil
belajar yang diperoleh dari proses belajar (proses pendidikan) akan membuat warga
belajar mampu melihat hubungan yang nyata antara berbagai fenomena yang
dihadapi. Selain itu, hasil belajar yang pernah diperoleh warga belajar dari pendidikan
yang pernah diikutinya akan mempengaruhi semangatnya untuk belajar.
Pengalaman Usaha
Pengalaman berusaha merujuk pada jumlah tahun lamanya seorang pengelola
berbisnis rumah makan. Pengalaman berusaha yang lebih lama dapat menumbuhkan
motivasi yang lebih kuat untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan. Pengalaman
seseorang bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Pengalaman dapat diukur
secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang dalam bidang usaha; serta
pengalaman yang bersifat kualitatif. Konsekuensi masa depan ditentukan oleh
pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang
terhadap yang lain. (Bandura, 1986)
16
memiliki peran penting. Klausmeijer dan Goodwin (1966) menyatakan bahwa
pengalaman masa lampau akan mempengaruhi efisiensi belajar karena menurut
Havelock (1969) pengalaman masa lampau yang telah dimiliki seseorang akan
mempengaruhi kecenderungannya merasa memerlukan dan siap untuk menerima
pengetahuan pengetahuan baru. Pengalaman seseorang juga akan memberikan
kontribusi terhadap minat dan harapannya untuk belajar lebih banyak (Dahama and
Bhatnagar, 1980). Pemahaman terhadap pengalaman merupakan awal dan proses
belajar karena pengalaman akan dapat mengarahkan perhatian warga belajar kepada
minat, kebutuhan dan masalah masalah yang dihadapi.
Intensitas Komunikasi
Soekartawi (1988) menyatakan bahwa jumlah sumber informasi yang
digunakan oleh seseorang berhubungan positif dengan tingkat penerapan dan
penyebaran inovasi. Aktifitas mencari informasi adalah salah satu peubah komunikasi
yang berhubungan positif dengan tingkat penerapan inovasi (Van den Ban and
Hawkins, 1988). Perilaku pencarian informasi berhubungan dengan tingkat
pendidikan. Orang-orang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari isi informasi
melalui media cetak, demikian pendapat Schramm (1973).
Kajian berbagai hasil penelitian dan pendapat para ahli menunjukkan bahwa
intensitas komunikasi menentukan kecepatan perubahan perilaku. Pengelola rumah
makan melalui aktivitas komunikasi aktif dan komunikasi pasif akan lebih cepat
mengubah perilaku bisnisnya. Aktifitas komunikasi aktif artinya pengelola rumah
makan sengaja mencari informasi tentang cara atau strategi menjalankan bisnisnya,
sedangkan komunikasi pasif artinya pengelola rumah makan sekedar menerima
informasi tentang bisnis restoran dari pihak lain.
Keanggotaan kelompok
(1995) adalah dua atau lebih orang yang berhimpun atas dasar kesamaan, berinteraksi
melalui pola atau struktur tertentu guna mencapai tujuan bersama, dalam kurun waktu
yang relatif panjang.
Sherip (Bahraini, 1984) mengartikan kelompok sebagai suatu kesatuan sosial
yang terdiri atas dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang
cukup intensif dan teratur, sehingga diantara individu sudah terdapat pembagian
tugas, struktur, dan norma-norma tertentu, yang khas bagi kesatuan sosial tersebut.
Hare (Bahraini, 1984) suatu kelompok bisa berbentuk asosiasi, yaitu organisasi yang
dibentuk oleh dan untuk pekerja yang berfungsi mewakili para pekerja dari satu atau
beberapa perusahaan saja yang bertujuan meningkatkan profesionalisme atau
kesejahteraan pekerja. Dalam kelompok terjadi interaksi antara anggota satu dan
anggota lainnya, mempunyai tujuan yang menjadi pedoman gerak kelompok dan
anggota, membentuk norma yang mengatur ikatan dan aktivitas anggota, serta
mengembangkan peranan dan jaringan ikatan perorangan dalam kelompok.
Menurut Slamet (1995) kelompok mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1)
terdiri dan individu-individu, (2) saling ketergantungan antara individu, (3) partisipasi
yang terus menerus dan individu, (4) mandiri atau mengarahkan diri sendiri, (5)
selektif dalam hal anggota, tujuan dan kegiatan, serta, (6) memiliki keragaman yang
terbatas. Soekartawi (1988) juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi proses adopsi adalah interaksi antar individu, interaksi
individu-individu dengan kelompok-kelompok masyarakat.
Keberanian Mengendalikan Resiko
18
Secara umum menurut Fuad (2000) pengertian wiraswastawan menunjuk
kepada pribadi tertentu yang secara kualitatif lebih dari kebanyakan manusia pada
umumnya, yaitu pribadi yang memiliki kemampuan untuk: (a) Berdiri di atas
kekuatan sendiri dalam mengambil keputusan dan menetapkan tujuan;
(b) Memperkenalkan fungsi faktor produksi baru, merespon secara kreatif dan
inovatif; (c) Belajar dari pengalaman (mawas diri), memiliki semangat bersaing dan
berprestasi yang kuat; (d) Menguasai berbagai pengetahuan; ketrampilan dalam
menyusun, menjalankan, dan mencapai tujuan organisasi usaha.
Hendro (2006), setiap wirausahawan (
entrepreuneur
) yang sukses memiliki
empat unsur pokok yaitu:
(1)
Kemampuan (hubungannya dengan
IQ
dan
skill
) dalam membaca peluang,
berinovasi, mengelola, dan menjual;
(2)
Keberanian (hubungannya dengan
emotional quotient
dan mental) dalam
mengatasi ketakutannya, mengendalikan resiko, dan untuk keluar dari zona
kenyamanan;
(3)
Keteguhan hati (hubungannya dengan motivasi diri):
persistence
(ulet), pantang
menyerah,
determinasi
(teguh akan keyakinannya), dan kekuatan akan pikiran
(
power of mind)
bahwa anda juga bisa; dan
(4)
Kreatifitas yang menelurkan sebuah inspirasi sebagai cikal bakal ide untuk
menemukan peluang berdasarkan intuisi (hubungannya dengan pengalaman).
Keterampilan Teknis
Fuad (2000) memberikan tiga keterampilan yang perlu dikuasai oleh manajer
berdasarkan tingkatan manajemen yaitu: (1) Manajemen Puncak membutuhkan
ketrampilan bersifat konseptual
(Conceptual Skills),
(2) Manajemen Menengah dituntut
memiliki ketrampilan bersifat manajerial
(Managerial Skills),
dan
(3) Manajemen
Pelaksana sebagai pengawas atau penyelia tingkat pertama
(First line supervisor)
membutuhkan ketrampilan bersifat teknik
(Technical Skills).
(tiga) macam keterampilan manajer yaitu: (1) Keterampilan teknis adalah
kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknik-teknik dari suatu
bidang tertentu; (2) Keterampilan manusiawi adalah kemampuan untuk interaksi
dengan orang lain dalam memahami dan memotivasi serta mendorong orang lain baik
sebagai individu atau kelompok; dan (3) Keterampilan konseptual adalah kemampuan
mental para manajer untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh
kepentingan dan kegiatan organisasi sehingga organisasi dapat dilihat sebagai suatu
kesatuan yang utuh.
Ketiga kemampuan dan keterampilan tersebut sama pentingnya, namun
kepentingan itu sangat tergantung kepada kedudukan manajer itu dalam tingkat
organisasi. Komposisi teknis lebih besar untuk manajer rendah dan kemampuan
konsepsional lebih utama bagi manajer tingkat atas, karena harus mengambil putusan
yang berpengaruh luas dan berjangka waktu yang panjang.
Ciri Lingkungan Usaha
Schoell (1993) menyatakan faktor-faktor yang menunjukkan kekuatan utama
dari perusahaan kecil adalah: (1) Fleksibilitas lebih besar. Perusahaan kecil
cenderung lebih dapat menyesuaikan rencana dengan sangat cepat dalam
merespon perubahan lingkungan; (2) Lebih banyak perhatian secara pribadi terhadap
pelanggan dan karyawan; dan (3) Biaya tetap lebih rendah. Biaya personalia lebih
hemat, hal ini memungkinkan untuk menjual produknya pada harga lebih rendah. 4)
Motivasi pemilik lebih besar, pemilik usaha kecil memiliki perusahaannya sendiri
maka hal ini memotivasinya untuk bekerja lebih keras.
20
Kebijakan Pemda
Kebijakan pembangunan pariwisata bertujuan, memperluas kesempatan kerja,
berusaha, meningkatkan devisa negara, memperkenalkan alam dan lingkungan
Indonesia. Adapun pengembangan dan pembinaannya, lewat penataran, penyuluhan
dalam rangka sosialisasi peraturan perundangan di bidang kepariwisataan.
Menyelenggarakan kursus keterampilan industri kecil. Kerjasama dengan pihak
swasta terkait.
Sejak diterapkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 mengenai pembagian
wewenang antara sistem dan organisasi pemerintah pusat dan daerah, maka peran
pemerintah daerah semakin besar dalam mengurus ketatalaksanaan administrasi
pemerintahan wilayahnya. Sehubungan dengan hal tersebut Peraturan Daerah (Perda)
Propinsi DKI Jakarta Nomor 10 tahun 2004 tentang Kepariwisataan, merupakan salah
satu kebijakan Pemda. Peraturan yang terkait dengan kegiatan operasional usaha
penunjang pariwisata, khususnya usaha rumah makan, yaitu:
(1)
Pasal 9; mengatur tentang Dinas Pariwisata melakukan pembinaan terhadap
industri pariwisata melalui peningkatan standar kualitas pelayanan dan
peningkatan daya saing usaha pariwisata, sebagai upaya mewujudkan iklim usaha
yang kondusif.
(2)
Pasal 16; Setiap industri pariwisata, wajib melakukan upaya pelestarian
lingkungan melalui AMDAL.
(3)
Pasal 24; setiap industri pariwisata harus memperoleh ISUP (Izin Usaha
Sementara Usaha Pariwisata) dari Kepala Dinas Pariwisata, sebagai syarat Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) dan untuk menyusun dokumen Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) serta Izin Tetap Usaha Pariwisata (ITUP).
(5)
Pasal 32; Setiap tenaga kerja pariwisata wajib memiliki Sertifikat Profesi
Kepariwisataan sebagai lisensi kekaryaan berdasarkan profesi/jabatan di
bidangnya masing-masing.
(6)
Pasal 35; tentang kewajiban dan larangan di antaranya tentang kewajiban untuk:
-
menjamin dan bertanggung jawab terhadap keamanan, keselamatan,
ketertiban dan kenyamanan;
-
memelihara kebersihan, keindahan dan kesehatan lokasi kegiatan;
-
memberikan kesempatan kepada karyawan untuk melaksanakan ibadah;
-
menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja;
-
membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan tentang larangan di
antaranya menggunakan tenaga kerja di bawah umur.
(7)
Pasal 40; aturan tentang usaha penyediaan makanan dan minuman, terdiri dari
restoran, bar, pusat jajan, jasa boga, dan bakeri harus disertifikasi halal oleh
lembaga yang berkompeten. Tanda sertifikasi diletakkan pada tempat yang mudah
dibaca oleh konsumen.
(8)
Pasal 41; Dinas Pariwisata melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
kepariwisataan.
(9)
Pasal 42 Dinas Pariwisata melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
kepariwisataan
Skala Usaha
Skala usaha dapat diukur dengan melihat luas areal yang diusahakan oleh
petani atau satuan ternak yang dimiliki peternak. skala usaha dapat dilihat dari
keuntungan yang diperoleh dengan cara menjabarkan berbagai prasyarat teknis
maupun ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap keuntungan tersebut.
(Soedjana, 2007)
22
kriteria sebagai berikut: 1) Industri skala usaha kecil, 2) Industri skala menengah, dan
3) Industri skala usaha besar (Prawirosentono, 2002).
Dari waktu ke waktu, karena nilai uang yang selalu makin turun,
menyebabkan kriteria usaha berdasarkan modal yang ditanamkan sering
berubah-ubah. Pengertian usaha kecil tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1995, yang
menyebutkan bahwa usaha kecil adalah usaha dengan kekayaan bersih paling banyak
Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dengan hasil
penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000.
BPS memberikan batasan jumlah tenaga kerja dalam menentukan skala usaha
terutama di sektor industri, yaitu industri kerajinan rumah tangga (IKRT) dengan 1-4
pekerja, dan industri kecil (IK) dengan 5-19 pekerja termasuk pemiliknya.3
Departemen Perindustrian dan Perdagangan juga memberikan batasan yang sama
dalam membagi skala usaha, yaitu industri dagang mikro (1- 4 pekerja), industri
dagang kecil (5-19 pekerja), dan industri dagang menengah (20-99 pekerja).
Skala usaha dalam suatu sistem usaha rumah makan dapat juga diukur dengan
berbagai cara, antara lain dari nilai investasi, biaya tetap, biaya variabel, total omzet
penjualan, luas areal rumah makan, dan jumlah kursi yang menggambarkan kapasitas
tamu yang mampu di tampung.
Modal Keuangan
Permodalan dan bentuk usaha industri pariwisata sebagaimana di maksud
dalam Pasal 7 Perda DKI Jakarta No. 10 tahun 2004 adalah sebagai berikut:
(a)
seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Republik Indonesia dapat
berbentuk Badan Hukum atau usaha perseorangan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku;
(b)
modal patungan antara Warga Negara Republik Indonesia dan Warga Negara
Asing, bentuk usahanya harus Perseroan Terbatas;
Modal merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan usaha rumah
makan tradisional. Tanpa adanya modal, pemilik RMT Kelas C akan sulit
mengembangkan usaha yang dilakukannya. Dalam pengertian ekonomi, (Hernanto,
1993) mengatakan bahwa modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama
dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan
barang-barang baru yakni produksi pertanian.
Berdasarkan sumbernya, menurut (Hernanto, 1993) modal dapat dibedakan
menjadi: (1) milik sendiri, (2) pinjaman atau kredit; (a) kredit bank, dan (b) dari
pelepas uang/tetangga/famili dan lain-lain, (3) warisan, (4) dari usaha lain, dan (5)
kontrak sewa. Modal sendiri, pemilik RMT bebas menggunakan. Modal yang berasal
dari kredit yang milik orang lain tentunya ada persyaratan.
Persyaratan dapat diartikan pembebanan yang menyangkut waktu
pengambilan maupun jumlah serta angsurannya. Untuk modal yang berasal dari
warisan, tergantung dari pemberi. Sumber modal dari luar usaha RMT dimaksud bila
pemilik RMT memiliki usaha dari luar usaha RMT yang cukup besar. Modal dari
kontrak sewa diatur menurut jangka waktu tertentu sampai peminjam dapat
mengembalikan.
Ketersediaan modal mempengaruhi kemampuan pemilik RMT Kelas C dalam
upaya mengembangkan usaha rumah makan tradisionalnya, karena berpengaruh pada
produktivitas hasil usaha secara optimal. Dengan demikian, keterbatasan modal usaha
RMT Kelas C berhubungan dengan kompetensi pemilik RMT Kelas C dalam
mengelola usaha rumah makannya.
Modal Tenaga Keja
24
nilai-nilai sosial, warisan sejarah, dan teknologi; sumber daya manusia berupa,
kesiapan, kompetensi, komitmen dan peran serta masyarakat.
Modal tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam
melaksanakan kegiatan usaha RMT, bahkan kekurangan tenaga kerja dapat
mengakibatkan turunnya produksi. Pekerja dengan tingkat keahlian tertentu memiliki
status lebih tinggi daripada pekerja tanpa keahlian (Boserup, 1984). Perbedaan status
(karena perbedaan keahlian, keterampilan dan latihan yang dimiliki seseorang), yang
menurut Belante dan Jackson (1983) disebut sebagai modal tenaga keja (human
capital) termasuk pula ukuran sampai batas mana masyarakat menilai keahlian,
keterampilan dan latihan tersebut.
Pendidikan dan latihan menurut Simanjuntak (Tjiptoherijanto, 1982)
merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengembangan sumber daya
manusia. Pendidikan dan latihan di satu pihak dapat meningkatkan produktifitas
kerja, sedangkan di pihak lain merupakan indikator tingkat kemiskinan masyarakat
bilamana suatu negara memiliki sejumlah besar penduduk buta hurup dan
berpendidikan rendah.
Sarana Usaha
Sarana kepariwisataan (
tourism superstructure
) adalah perusahaan-perusahan
yang memberikan pelayanan langsung kepada wisatawan, baik secara langsung
maupun tidak, dan kehidupan usahanya banyak bergantung pada kedatangan para
wisatawan tersebut.
Yoeti (1996) membagi tiga bagian penting dari sarana kepariwisataan, yaitu:
sarana pokok, sarana pelengkap, dan sarana penunjang. Sarana pokok kepariwisataan
yaitu agen perjalalanan, perusahaan angkutan, hotel, restoran, obyek dan atraksi
wisata. Perusahaan tersebut merupakan fasilitas minimal yang harus ada pada daerah
tujuan wisata (DTW). Jika salah satu tidak ada, dapat dikatakan perjalanan wisata
tidak berjalan seperti diharapkan.
wisatawan melainkan bagi masyarakat setempat. Perusahaan termasuk ini yaitu; toko
pakaian dan perhiasan, toko kelontong,
photostudio
, usaha binatu, cukur rambut,
salon kecantikan dan lainnya. Sedangkan sarana penunjang kepariwisataan seperti
niteclub, steambath, casinos,
dan lain-lain.
Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat/media dalam
mencapai maksud atau tujuan. Sarana rumah makan mencakup perabotan dan
peralatan yang diperlukan sebagai kelengkapan setiap gedung/ruangan dalam
menjalankan fungsinya untuk meningkatkan mutu dan relevansi hasil produk dan
layanannya. Berdasarkan jenisnya sarana rumah makan dibagi dalam 4 (empat)
kelompok yaitu:
(1)
Sarana pengolahan, mencakup: (a) sarana untuk melaksanakan proses persiapan,
seperti pisau pemotong, alat bantu dan wadah (b) peralatan memasak, sesuai
tugas/kegiatan para juru masak di dapur (c) peralatan penyajian hidangan. (c)
peralatan penyimpanan bahan segar dan makanan siap saji.
(2)
Sarana pelayanan mencakup: (a) furniture seperti meja, kursi, almari persediaan
alat; (b) lenan (jenis kain) seperti taplak meja, serbet tamu, dan serbet kerja.
(3)
Peralatan makan dan minum tamu seperti piring, gelas, cangkir, sendok, garpu,
dan pisau makan.
(4)
Sarana penunjang seperti seragam karyawan dan asesoris kerjanya.
Manajemen sarana yang profesional merupakan suatu keharusan, dimulai
dengan adanya rencana strategik, rencana tahunan, rencana operasional yang
diterjemahkan dalam rencana kerja anggaran tahunan yang disepakati bersama.
Kemudian didukung oleh unit pengelola yang handal yang memiliki program
perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan serta pengendaliannya.
26
sarana perlu dinventarisir dan didokumentasikan dengan baik, dipelihara dan
dimanfaatkan secara efektif, efisien dan terintegrasi.
Prasarana Usaha
Prasarana (
infrastructures
) adalah semua fasilitas yang dapat memungkinkan
proses perekonomian berjalan dengan lancar dan dalam upaya memudahkan manusia
untuk memenuhi kebutuhannya. Kreck (Yoeti, 1996) membagi prasarana atas dua
bagian yang penting yaitu (1) Prasarana Perekonomian (
economic infrastructure
),
terdiri atas pengangkutan (
transportation
), prasarana komunikasi (
communication
infrastructure
), sistim instalasi (
utilities
), dan sistem perbankan; dan (2). Prasarana
Sosial, terdiri atas sistim pendidikan, pelayanan kesehatan, faktor keamanan, dan
petugas pelayanan. Sedangkan Wahab (Yoeti, 1996) membagi menjadi tiga prasarana
yaitu: (1) Prasarana umum, bertujuan untuk membantu kelancaran roda
perekonomian; (2) Prasarana kebutuhan masyarakat banyak; dan (3) Prasarana
kepariwisataan.
Perbedaan antara pasarana kepariwisataan dengan sarana kepariwisataan adalah
semua fasilitas yang memungkinkan agar sarana kepariwisataan dapat hidup dan
berkembang serta dapat memberikan pelayanan pada wisatawan untuk memenuhi
kebutuhan mereka yang beraneka ragam (Yoeti, 1996). Restoran atau rumah makan
agar dapat melayani tamu-tamunya dengan baik dan lancar, membutuhkan (a)
instalasi tenaga listrik, instalasi air, gas, dan sumber energi lainnya; (b) alat
transportasi; (c) distributor bahan dan peralatan; (d) tenaga
maintenance
, yang
merawat dan memperbaiki peralatan/mesin; (e) tenaga pelayanan kesehatan,
keamanan, dan pendidikan; (f) sistim telekomunikasi; dan (g) sistem perbankan dan
moneter.
(2) Prasarana umum berupa air, penampungan sampah, saluran limbah, listrik,
instalasi gas/BBM, peralatan pemadam kebakaran, lahan parkir dan taman.
Pembangunan maupun pengembangan prasarana rumah makan ini mengacu
pada
masterplan
rumah makan, sehingga misi, tujuan dan suasana rumah makan yang
diharapkan dapat tercapai. Demikian pula pada kegiatan pengadaan, pengoperasian,
perawatan dan perbaikan alat sangat diperlukan agar peralatan dapat dioperasikan
dengan baik.
Lokasi Usaha
28
Kompetitor
Setiap perusahaan akan memiliki dan berhadapan dengan banyak kompetitor
(pesaing). Konsep pemasaran menyatakan bahwa agar berhasil sebuah perusahaan
harus memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumennya lebih baik daripada para
pesaingnya. Para pemasar harus berusaha keras untuk tidak saja menyesuaikan diri
dengan kebutuhan pelanggan sasaran. Mereka juga harus menyesuaikan diri dengan
strategi perusahaan lain yang melayani pasar sasaran yang sama. Perusahaan harus
memperoleh keunggulan strategis dengan cara memposisikan produknya secara
mantap dalam benak konsumen.
Tidak ada strategi bersaing yang cocok (pas) bagi semua perusahaan, karena
masing-masing perusahaan perlu mempertimbangkan ukuran dan posisi di dalam
industrinya dalam hubungannya dengan pesaing. Perusahaan besar yang dominan
dalam sebuah industri dapat menggunakan strategi tertentu yang tidak mungkin
dilakukan oleh perusahaan kecil. Tetapi perusahaan kecil pun dapat memilih strategi
yang memberikan keunggulan tertentu. Sebagai contoh, sebuah restoran waralaba
besar dapat memanfaatkan daya belinya untuk beriklan secara nasional. Biaya yang
besar ditanggung bersama oleh ratusan atau ribuan restoran. Tetapi restoran yang
kecilpun mampu dengan cepat menyesuaikan diri terhadap kecenderungan setempat,
dan dapat menawarkan menu yang lebih bervariasi karena tidak perlu
meng-khawatirkan standar menu untuk ribuan restoran. Maka perusahaan besar dan kecil
harus mencari strategi pemasaran yang memberikan keunggulan spesifik dalam
menghadapi pesaing yang beroperasi di pasar masing-masing (Kotler, 2002).
adalah semua perusahaan yang bersaing untuk memperoleh uang dari pelanggan yang
sama.
Perusahaan dapat memperoleh keunggulan bersaing yang kuat melalui
pene-rimaan dan pelatihan kompetensi karyawannya secara lebih baik dibandingkan
pesaingnya, misalnya dalam hal kesopanan santun, menciptakan semangat kerja pada
para karyawan, pelayanan konsumen secara konsisten dan cermat, untuk memahami
pelanggan, berkomunikasi secara jelas dengan pelanggan, dan menanggapi secara
cepat permintaan dan masalah pelanggan.
Adopsi Inovasi
Inovasi
Havelock (Syafruddin, 2003) menyatakan bahwa inovasi merupakan segala
perubahan yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh masyarakat yang
mengalaminya. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa inovasi adalah suatu ide,
perilaku, produk, informasi, dan pratek-praktek baru yang belum banyak diketahui,
diterima, dan digunakan/diterapkan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam
suatu lokalitas tertentu, yang mendorong terjadi perubahan-perubahan disegala aspek
kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap individu/warga
masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Samsudin (Syafruddin, 2003) inovasi adalah sesuatu yang baru yang
disampaikan kepada masyarakat lebih baik dan lebih menguntungkan dari hal-hal
sebelumnya. Selain itu Depari (1995) menyatakan bahwa inovasi adalah gagasan,
tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Adopsi
30
(3)
Tahap keputusan (
decision
), terjadi ketika individu atau pembuat keputusan
lainnya dalam situasi menentukan pilihan menerima atau menolak inovasi;
(4)
Tahap implementasi (
implementation
), terjadi ketika individu atau pembuat
keputusan lainnya membuat keputusan mengunakan inovasi;
(5)
Tahap konfirmasi (
confirmation
), terjadi ketika individu atau pembuat keputusan
mencoba memperkuat keputusan inovasi atau menarik keputusan inovasi,
mungkin akan menolak keputusan sebelumnya jika dihadapkan pada informasi
yang bertentangan dengan inovasi yang telah diterapkan atau pernah ditolak.
Untuk mempermudah dalam memahami proses adopsi inovasi dapat dilihat
pada gambar berikut:
[image:46.612.105.546.308.487.2]Gambar 1. Tahapan Proses Adopsi Inovasi
Faktor-Faktor Mempengaruhi Adopsi Inovasi
Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi inovasi. Suparlan (Syafruddin, 2003) menyatakan bahwa
adopsi inovasi dipengaruhi oleh (a) tidak bertentangan dengan pola kebudayaan yang
telah ada, (b) struktur sosial masyarakat dan pranata sosial, dan (c) persepsi
masyarakat terhadap inovasi. Menurut Deptan (2001), bahwa kecepatan proses adopsi
dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri-ciri pribadi, sosial, budaya dan
lingkungan serta sumber informasi. Di lain pihak Lionberger dan Gwin (1993)
Inovasi
Kesadaran
(
awareness
)
Minat
(
interest
)
Penilaian
(
evaluation
)
Mencoba
(
trial
)
Penolakan
(
rejection
)
Konfirmasi
(
confirmation
)
Menerapkan
(
adoption
)
32
mengelompokkan faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi antara lain, variabel
internal (personal), variabel eksternal (situasional) dan variabel kelembagaan
(pendukung).
Adopsi inovasi di usaha kecil menengah (UKM) didorong oleh persepsi
manfaat, sumber daya yang meliputi kecukupan dana untuk mengadopsi dan
dukungan terhadap pengembangan diri karyawan, kesiapan dukungan sistem yang
meliputi pengertian dan pemahaman pemilik/pengelola terhadap suatu inovasi.
Inovasi dapat mempengaruhi strategi perusahaan, kecukupan staff, dan kecukupan
infrastruktur, pasar yang meliputi tuntutan pelanggan dan pengaruh terhadap
kompetitor (persaingan). Faktor infrastruktur diwakili oleh biaya bahan, serta vendor
dan konsultan yang meliputi kemudahan memperoleh jasa konsultan dan kecukupan
bantuan konsultan. Faktor lembaga perbankan tentang kecukupan dukungan
keuangan dan kecukupan dukungan non keuangan dari pemerintah berupaa regulasi,
kebijakan, dan pembinaan.
Program Sapta Pesona
Program Sapta Pesona merupakan salah satu inovasi, yang didefinisikan
sebagai sebuah konsep yang menggambarkan
partisipasi dan dukungan masyarakat
dalam mendorong terwujudnya iklim yang kondusif pengembangan kepariwisataan di
suatu wilayah/tempat. Partisipasi dan dukungan masyarakat tersebut terkait dengan
penciptaan
kondisi yang mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya industri
pariwisata, antara lain unsur keamanan, kebersihan
,
ketertiban, kenyamanan,
keindahan, keramahan, dan unsur kenangan.
kebersihan, keamanan, sampai mempersiapkan hal terkecil berupa kenangan yang
bisa dibawa pulang. Program VIY 1991 dianggap sukses. Pada 1990, jumlah wisman
yang semula 2,18 juta, meningkat menjadi 2,57 juta pada 1991. Kenaikan itu
dianggap istimewa karena saat itu banyak negara disibukkan dengan Perang Teluk.
Maka, VIY diperpanjang 10 tahun dalam sebuah program bernama Dekade
Kunjungan Wisata Indonesia (Dekuni) yang berlaku mulai 1992 hingga 2000.
Tahun ini dimulai program
Visit Indonesia Year
2008 yang diluncurkan
bertepatan dengan momentum 100 tahun kebangkitan nasional. Menteri Pariwisata
dan Kebudayaan Jero Wacik optimistis tercapainya target 7 juta wisman dan US$6,4
miliar devisa dari sektor pariwisata. Beberapa target yang dikemukakan, seperti Bali
1,5 juta wisman, Sumatra Barat 1 juta, Jakarta 1,6 juta, dan Jawa Barat 600 ribu. Dari
empat daerah itu saja, jelasnya, sudah tercapai 4,7 juta wisatawan asing.
Penjabaran Konsep Sapta Pesona
Program Sapta Pesona bertujuan untuk menyadarkan warga masyarakat untuk
bangkit, dan berpartisipasi aktif dalam sektor pariwisata. Partisipasi semua warga
masyarakat diarahkan pada kemampuan memiliki kesadaran wisata, kesadaran
tentang lingkungannya, kesadaran sebagai tuan rumah, kesadaran akan seni budaya,
kesadaran akan hukum dan kesadaran akan berwisata. Melalui partisipasi aktif
anggota masyarakat sesuai dengan seluruh aspek sapta pesona, diharapkan dapat
menciptakan kondisi kawasan wisata yang aman, bersih
,
tertib, nyaman, indah,
ramah, dan memenuhi unsur kenangan.
Agar masyarakat dapat berperan aktif sesuai dengan tujuan yang diharapkan
maka perlu disusun strategi untuk memudahkan mereka mengadopsi. Penjabaran
Sapta Pesona seperti tercantum pada Panduan Sadar Wisata yang dapat disesuaikan
dengan lingkungan usaha rumah makan seperti berikut di bawah ini.
Aman (Keamanan),
bertujuan menciptakan lingkungan yang aman bagi
34
pengutil; (2) Membantu memberi informasi kepada wisatawan; (3) Menjaga
lingkungan yang bebas dari bahaya penyakit menular; dan (4) Meminimalkan resiko
kecelakaan dalam penggunaan fasilitas publik.
Tertib (Ketertiban),
bertujuan
menciptakan lingkungan yang tertib bagi
berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu memberikan layanan teratur
dan efektif bagi wisatawan. Bentuk aksi: (1) Mewujudkan budaya antri; (2)
Memelihara lingkungan dengan menaati peraturan yang berlaku; (3) Disiplin
waktu/tepat waktu; dan (4) Semua sisi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat
menunjukkan keteraturan yang tinggi.
Bersih (Kebersihan),
bertujuan: menciptakan lingkungan yang bersih bagi
berlangsungnya kegiatan kepariwisataan yang mampu memberikan layanan higienis
bagi wisatawan. Bentuk aksi: (1) Tidak membuang sampah/limbah sembarangan;
(2) Turut menjaga kebersihan sarana dan lingkungan obyek dan daya tarik wisata;
(3) Menyiapkan sajian makanan dan minuman yang higienis; (4) Menyiapkan
perlengkapan penyajian makanan dan minuman yang bersih; dan (5) Pakaian dan
penampilan petugas bersih dan rapi
dan serasi serta menjaga karakter kelokalan; dan (3) Menjaga keindahan vegetasi,
tanaman hias dan peneduh sebagai elemen estetika lingkungan yang bersifat natural.
Ramah (Keramah-tamahan),
bertujuan: menciptakan lingkungan yang ramah
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka BerpikirPrinsip Pembangunan Pariwisata
Pembangunan pariwisata harus mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan agar masyarakat mampu berperan serta secara aktif untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Usaha pariwisata harus mengedepankan kepentingan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengambil bagian dalam pengelolaan sumber daya dan obyek wisata atau daerah tujuan wisata. Menuruti kode etik pariwisata dunia, bahwa dalam pembangunan bidang pariwisata perlu untuk memiliki keterkaitan dengan pengaturan pelestarian lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat setempat, perencanaan berorientasi pada perlindungan sumber daya alam dan budaya, hak asasi manusia, hak dan kewajiban para pelaku pariwisata, pelestarian warisan budaya dan globalisasi.
Partisipasi Pengelola RMT
Masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan memiliki peran strategis tidak saja sebagai penerima manfaat, namun sekaligus menjadi pelaku yang mendorong keberhasilan pengembangan kepariwisataan. Keberhasilan pengembangan pariwisata perlu iklim yang kondusif dalam bentuk dukungan dan partisipasi masyarakat melalui peningkatan sadar wisata.
Sadar wisata didefinisikan sebagai sebuah konsep yang menggambarkan partisipasi dan dukungan masyarakat dalam mendorong terwujudnya iklim yang kondusif pengembangan kepariwisataan di suatu wilayah/tempat. Partisipasi dan dukungan masyarakat tersebut terkait dengan penciptaan kondisi yang mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata, antara lain unsur keamanan, kebersihan, ketertiban, kenyamanan, keindahan, keramahan dan unsur kenangan (Sapta Pesona). Sadar wisata sebagai bentuk komitmen strategis dalam pengembangan pariwisata harus mengakar, dipahami dan disikapi secara tepat dan konkret dikalangan masyarakat. Tiap produk pariwisata harus mengandung Sapta Pesona sebagai tolok ukur peningkatan kualitas produk pariwisata.
Untuk wilayah DKI Jakarta, jasa akomodasi yaitu hotel dan rumah makan merupakan sarana pendukung pembangunan sektor pariwisata yang cukup potensial. Selain dapat mencipatakan situasi nyaman dan aman bagi pengunjung (tamu), karena hotel dan rumah makan mempunyai peran cukup penting dalam pembangunan pariwisata untuk menarik pengunjung selain sektor lainnya. Kontribusi sektor kuliner terutama restoran dalam memberikan sumbangan bagi peningkatan pendapatan asli daerah juga cukup tinggi.
38
wirausaha, dan keterampilan manajerial bagi pengelola yang terkadang sekaligus pemilik usaha rumah makan tradisional. Maka penelitian ini ingin mengetahui tingkat adopsi pengelola rumah makan tradisional (RMT) kelas C untuk menjadikan Sapta Pesona sebagai komitmen budaya bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam bisnis yang dijalaninya.
Adopsi, Kategori dan Klasifikasinya
[image:53.612.99.516.318.664.2]Rogers (Hanafi, 1986) pada dasarnya adopsi merupakan proses yang terjadi di dalam diri seseorang ketika menghadapi suatu inovasi, sebelum mengadopsi inovasi mereka memerlukan waktu untuk berfikir lebih rasional, jika inovasi tersebut dapat memberikan suatu harapan, maka dengan sendirinya secara bertahap mereka akan mengadopsi teknologi tersebut secara utuh. Slamet (1987) menyatakan bahwa penyuluhan bertujuan untuk merubah perilaku petani yaitu perwujudan dari bertambahnya pengetahuan, perubahan sikap, keterampilan, dan dapat meningkatkan tingkat adopsinya dalam suatu kegiatan.
Gambar 2. Proses Introduksi, Adopsi, dan Difusi Inovasi dari Asal Sumbernya
Inovator Early Laggard
Adopter
Early Majority
Late Majority
Sumber Inovasi (Sudin Pariwisata):
- Teknologi
- Kelembagaan
- Kebijakan
Berikut kategori adopter berikut ciri-cirinya yang disarikan dari Wiriaatmadja (1978), Rogers (1983), dan Mardikanto (1993) yaitu:
(1)Pelopor (innovator); sebagai mereka yang langsung mencoba menerapkan inovasi sebelum yang lainnya bahkan sebelum direkomendasikan penyuluh, berusia setengah baya (40-an), memiliki lahan usaha luas, usah