Ambarwati DO. 2005. Hubungan Penggunaan Lahan dan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara Kota Cibinong Kabupaten Bogor. (Laporan Praktik Lapang). Departemen Geofisika dan Meteorologi. Fakultas MIPA. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Apsari J. 2007. Upaya Mengatasi Fenomena Urban Heat Island (Studi Kasus: DKI Jakarta). [Skripsi]. Program Studi Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Arnold HF. 1980. Trees in Urban Design. New York: Von Nostrand reinhold Co Inc.
Booth NK. 1983. Basic Elements of Landscape Architecture Design. Illionis: Waveland Press Inc.
Branch MC. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif (Terjemahan). Yogyakarta: Erlangga.
Carpenter PL, Walker TD, Lanphear FO. 1975. Plant In The Landscape. San Fransisco: W. H. Freeman and Co.
Crowe S. 1981. Garden Design. London: Packard Publ. Ltd.
Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Bogor. 1991. Toponimi Bogor. http://www.cikalbogor.20m.com/catalog.html. [24 Februari 2008].
Direktorat Bina Marga. 1991. Pemeliharaan Rutin Tanaman Jalan. http://www.pu.go.id/ditjen_prasarana%20wil/referensi/nspm/petunjuk17.p df. [21 Februari 2008].
Feriadi H, Frick H. 2008. Atap Bertanaman Ekologis dan Fungsional. Yogyakarta: Kanisius.
Frick H, Mulyani TH. 2006. Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Kanisius.
Frick H, Suskiyatno FXB. 2007. Dasar-Dasar Arsitektur Ekologis. Yogyakarta: Kanisius.
Gold SM. 1980. Recreation Planing and Design. New York: Mc Graw-Hill Co.
Handayani S. 2010. Lansekap dalam Arsitektur.
http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTU R/196609301997032-SRI_HANDAYANI/Bahan_Ajar_Mata_Kuliah_ Ars Lansekap_2.pdf. [15 April 2011].
Hardjasoemantri K. 2000. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Haries CW, Dines NT. 1988. Time-Saver Standards for Landsape Architecture. New York: Mc Graw-Hill Book Co.
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Pedoman Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan. Departemen Dalam Negeri. Jakarta.
Johnston J, Newton J. 1996. Building: A guide for using plants on roofs, walls, and pavements. Illionis: American Hydrotech Inc.
Karyono TH. 2001. Wujud Kota Tropis di Indonesia: Suatu Pendekatan Iklim, Lingkungan, dan Energi. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur 29(2): 41-146. Lynch K. 1981. Site Planing. Masschussetts: The M. I. T. Press Inc.
Marbun BN. 1990. Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prosfek. Yogyakarta: Erlangga.
Marsh WM. 1991. Landscape Planing, Environtmental Aplication. Canada: John Wiley&Sons.
Nurisjah S, Pramukanto Q. 1995. Penuntun Praktikum Perencanaan Lanskap. Bogor: Program Studi Arsitektur Lanskap Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian IPB. (Tidak Dipublikasikan).
Nurisjah S. 2007. Penuntun Praktikum Perencanaan Lanskap. Bogor: Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB. (tidak Dipublikasikan).
Porteus JD. 1977. Environment and Behavior. California: Addison-Wesley Inc.
Pramukanto Q. 2006. Taman Atap, “Stepping Stone” Hijau Jejaring Ekologi Kota. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/02/metro/1789613. htm. [15 April 2011].
Reid WG. 1993. From Concept to Form. New York: Van Nostrand Reinhold.
Sasmita DF. 2009. Arahan Penataan Ruang Terbuka Hijau pada Koridor jalan Jenderal Sudirman Kota Singkawang. (Skripsi). Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota. Fakultas Teknik. Semarang: Universitas Diponegoro.
Simonds JO. 1983. Landscape Architecture. New York: Mc Graw-Hill Book Co.
Simonds JO. 1994. Garden Cities 21. New York: Mc Graw-Hill.
Sukaton A, Jimmy S, dan Bambang S. 2004. Panduan Rancang Bangun. Jakarta: Dinas Pertamanan Jakarta Pusat.
Sulistiyantara B. 2002. Sistem dan Bentuk Ruang Terbuka Hijau Kota. Prosiding Pelatihan Ruang Terbuka Hijau. Studio arsitektur Lanskap Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Thabrani, S. 2007. AutoCAD 2007 & 3D Studio Max Untuk Arsitektur. Jakarta: Mediakita.
U.S. Environmental Protection Agency (EPA). 2006. Heat Island Effect. http://www.epa.gov/ heatisland. [15 April 2011]
Van Dyke S. 1990. From Line to Design. New York: Van Nostrand Reinhold.
Van der Ryn S, Cowan S. 1996. Ecological Design. Washington, D.C: Island Press.
Voogt JA. 2004. Urban Heat Islands: Hotter Cities.
http://www.actionbioscience.org/environment/voogt.html. [15 April 2011].
Lampiran 26
Hitungan Kelayakan Beban pada Bangunan Masjid Berdasarkan Dimensi Kolom
Pada perhitungan beban kolom diambil pada salah satu kolom yang dianggap memikul beban yang besar
Tebal Plat = 56, 44 cm
Tinggi kolom pada setiap tingkat : lantai dasar = 450 cm
Lantai 1 = 500 cm Lantai 2 = 400 cm
A. Data Perencanaan Bobot Mati
1. Luas daerah yang dipikul satu kolom = 34,78 m2
2. Tebal pelat = 0,56 m
3. Massa jenis pelat = 2.400 kg/m3
4. Beban penggantung = 7 kg/m2
5. Beban plafon = 11 kg/m2
6. Massa jenis balok = 2.400 kg/m3
7. Beban spesi 3 cm = 21 kg/m2
8. Massa jenis ubin 2 cm = 2.400 kg/m3
9. Beban dinding setengah bata = 250 kg/m2
10.Massa jenis balok anak = 2.400 kg/m3
11.Beban plumbing irigasi = 10 kg/m2
12.Beban sanitasi = 20 kg/m2
13.Ukuran balok induk memanjang = 30 x 40 cm
14.Ukuran balok induk melintang 9 m = 50 x 70 cm
15.Tebal spesi = 3 cm
16.Ukuran balok anak melintang bentang 9 m = 40 x 50 cm
Lampiran 26 (Lanjutan)
B. Bobot Mati Material Beton Lantai 1 dan Lantai 2
Rumus yang digunakan untuk menghitung bobot material beton adalah
∑ Mb = Mb1 + Mb2 + Mb3+……..Mbn Mbx = L x t x ρ x n
Dengan Mbx = Bobot material dari bahan beton (kg) L = Luas daerah yang dipikul (m2) t = Panjang pelat (m)
ρ = Bobot jenis beton (kg/m3)
n = Jumlah material yang digunakan
∑ Mb = Total bobot material dari bahan beton (kg) Bobot Mati Beton Lantai 1 dan Lantai 2
Nama Material (L) m2 (t) m (ρ) kg/m3 (n) (Mbx) kg Pelat 34,78 0,56 2400 2 93.488,64
Balok induk melintang 1 0.135 2,5 2400 4 3.240
Balok induk melintang 2 0.35 4,25 2400 2 7.140
Balok induk memanjang 0.12 2,25 2400 2 1.296
Balok anak melintang 0.2 4,25 2400 4 8.160
Balok anak melintang 0.06 2,5 2400 4 1.440
Bobot ubin 34.78 0,02 2400 2 3.338,88
∑ Mb = 118.103,52 C. Bobot Mati Material Selain Beton Pada Lantai 1 dan 2
Rumus yang digunakan menghitung bobot material selain beton adalah
∑Mm = Mm1 + Mm2 + Mm3 +………Mmn Mmx = L x Mx
Lampiran 26 (Lanjutan)
dengan ∑Mm = Total bobot material dari bahan selain beton (kg)
Mmx = Bobot material (kg)
ρx = Bobot jenis material (kg/m2) L = Luas material (m2)
Bobot Mati Material Selain Beton pada Lantai 1 dan lantai 2
Nama Material (L) m2 (ρx) kg/m2 (Mmx) kg Plafon 69,56 11 765,16 Penggantung 69,56 7 486,92 Plumbing 15,67 10 156,7 Spesi 1,043 21 43,82 Bobot tembok setengah bata 45 250 11.250 ∑Mm = 12.702,6 Bobot mati total lantai 1 dan 2 (∑Mbm1)
∑Mbm1 = ∑Mbx + ∑Mm
= 118.103,52 kg + 12.702,6 kg = 130.806,12
D. Lantai Atap Data perencanaan
1. Luas daerah yang dipikul satu kolom = 34,78 m2
Lampiran 26 (Lanjutan)
3. Massa jenis pelat = 2400 kg/m3
4. Bobot penggantung = 7 kg/m2
5. Bobot plafon = 11 kg/m2
6. Bobot jenis balok = 2400 kg/m3
7. Bobot spesi = 21 kg/m2
8. Bobot aspal = 14 kg/m2
9. Ukuran balok induk memanjang = 30 x 45 cm
10.Ukuran balok induk melintang bentang 4,5 m = 30 x 40 cm 11.Ukuran balok induk melintang bentang 9 m = 50 x 70 cm 12.Ukuran balok anak melintang bentang 9 m = 40 x 50 cm 13.Ukuran balok anak memanjang bentang 5 m = 20 x 30 cm
14.Massa jenis aspal = 1400 kg/m3
Bobot Mati Material Beton pada Lantai Atap
Nama Material (L) m2 (t) m (ρ) kg/m3 (n) (Mbx) kg Pelat 34,78 0,56 2400 1 46.744,32
Balok induk memanjang 0.135 2,5 2400 2 1.620
Balok induk melintang 2 0.35 4,25 2400 1 3.570
Balok induk memanjang 0.12 2,25 2400 1 648
Balok anak melintang 0.2 0,75 2400 2 720
Balok anak melintang 0.06 2,5 2400 2 720
Aspal cair 34.78 0,02 1400 1 973.84
∑ Mb = 54.996,2
Lampiran 26 (Lanjutan)
E. Bobot Mati Material Selain Beton Pada lantai atap
Rumus yang digunakan menghitung bobot material selain beton adalah :
∑Mm = Mm1 + Mm2 + Mm3 +………Mmn Mmx = L x Mx
dengan ∑Mm = Total bobot material dari bahan selain beton (kg)
Mmx = Bobot material (kg)
ρx = Bobot jenis material (kg/m2) L = Luas material (m2)
Bobot Mati Material Selain Beton pada Lantai Atap
Nama Material (L) m2 (ρx) kg/m2 (Mmx) kg Plafon 34,78 11 382,58 Penggantung 34,78 7 243,46 Plumbing 16,72 10 167,2 Spesi 1,043 21 21,90 Aspal 0.7 1400 980 ∑Mm = 1.795,14 Bobot mati total pada atap (∑Mbm2) = ∑Mbx + ∑Mm
54.996,2 kg + 1.795,14 kg = 56.791,34 kg F. Bobot Vertical Landscape
Data Perencanaan
1. Massa jenis pasir non organik (ρpn) = 2650 kg/m3
2. Massa jenis bahan organic (ρbo) = 670 kg/m3
3. Volum planter box untuk Bouhinia kockkiana (vb) = 0,1144 m3 4. Jumlah planter box untuk Bouhinia kockkiana (nb) = 154
Lampiran 26 (Lanjutan)
6. Jumlah planter box untuk Thunbergia sp. (nt) = 154 7. Volume media tanam untuk Bouhinia kockkiana (Vmb)
vb x nb = 0,1144 m3 x 154 = 17,62 m3
8. Volume media tanam untuk Thunbergia sp. (Vmt) vt x nt = 0,06125 m3 x 154 = 9,4325 m3
9. Luas media tanam untuk rumput (Lmr) = 298,69 m2
10.Tebal media tanam rumput (Tmr) = 0.3 m
11.Volume media tanam untuk rumput (Vmr)
Lmr x Tmr = 298,69 m2 x 0,3 m = 89,6 m3 12.Volum planter box untuk Phoenix robelinii (vp) = 0,43 m3 13.Jumlah planter box untuk Phoenix robelinii (np) = 8 14. Volume media tanam untuk Phoenix robelinii (Vmp)
Vp x np = 0,43 m3 x 8 pohon = 3,44 m3
Volume total media tanam (∑Vt) = Vmb + Vmt + Vmr + Vmp
= 17,62 m3 + 9,4325 m3 + 89,6 m3 + 3,44 m3 = 120 m3
15.Massa jenis beton (ρb) = 2400 kg/m3 16.Jumlah sekat beton besar (nsb) = 154 17.Volume sekat beton besar (Vsb) = 0,02125 m3 18.Bobot sekat beton besar (Msb)
ρb x Vsb = 2400 kg/m3 x 0,02125 m3 = 51 kg 19.Total bobot sekat beton besar (∑Msb)
nsb x Msb = 154 x 51 = 7854 kg
20.Volume sekat beton kecil (Vsk) = 0,013125 m3 21.Jumlah sekat beton kecil (nsk) = 154
22.Bobot sekat beton besar (Msk)
ρb x Vsk = 2400 kg/m3 x 0,013125 m3 = 31,5 kg 23.Total bobot sekat beton kecil (∑Msk)
nsk x Msk = 154 x 31,5 kg = 4851kg 24.Bobot versicell (Mv) = 2,5 kg/m2
Lampiran 26 (Lanjutan)
25.Luas area penggunaan versicell (Lv) = 476,78 m2 26.Bobot total vercicell (∑Mv)
Mv x Lv = 2,5 kg/m2 x 476,78 m2 = 191,94 kg 27.Volume bak beton untuk pohon (Vp) = 0,146 m3 28.Jumlah bak beton untuk pohon (np) = 8
29.Bobot bak beton untuk pohon (Mp) ρb x Vp = 2400 kg/m3
x 0,146 m3 = 350,4 kg 30.Bobot total bak beton untuk pohon (∑Mp)
np x Mp = 8 x 350,4 kg = 2803,2 kg
31.Jumlah tanaman Thunbergia sp (nt) = 154 polibag 32.Bobot Thunbergia sp (Mt) = 3 kg/ polibag 33.Bobot total Thunbergia sp ( ∑Mt)
nt x Mt = 154 polibag x 3 kg/ polibag = 462 kg 34.Jumlah tanaman Bouhinia kockkiana (nb) = 154 polibag 35.Bobot Bouhinia kockkiana (Mb) = 4 kg/ polibag 36.Bobot total Bouhinia kockkiana (∑Mb)
nb x Mb = 4 kg/ polibag x 154 polibag = 616 kg 37.Jumlah Phoenix robelinii (npr) = 8 pohon 38.Bobot Phoenix robelinii (Mpr) = 20 kg/ pohon 39.Bobot total Phoenix robelinii (∑Mpr)
npr x Mpr = 20 kg/ pohon x 8 pohon = 160 kg
40.Bobot rumput (Mr) = 3 kg/m2
41.Bobot total rumput (∑Mr)
Mr x Lmr = 3 kg/m2 x 298,7 m2 = 896,1 kg
Untuk menghitung bobot media tanam untuk keperluan taman atap digunakan rumus Mmt = Mpa + Mbo
Mpa= 60% x ∑Vt x ρpn Mbo= 40% x ∑Vt x ρbo
Dengan Mmt = bobot media tanam (kg) Mpa = bobot pasir nonorganik (kg)
Lampiran 26 (Lanjutan)
Mbo = bobot bahan organik (kg) ∑Vt = volume total media tanam (m3)
ρpn = Masa jenis pasir nonorganik (2.650 kg/m3) ρbo = Masa jenis bahan organik (670 kg/m3) 42.Bobot pasir (Mpa) = 60% x 120 m3 x 2650 kg/m3
= 190.800 kg
43.Bobot bahan organik (Mbo) = 40% x 120 m3 x 670 kg/m3 = 32.160 kg
Total bobot untuk vertical landscape (∑Mvl)
∑Mvl= ∑Msb + ∑Msk + ∑Mv +∑Mp + ∑Mt +∑Mb + ∑Mpr +∑Mr +Mpa + Mbo = 7.854 kg + 4.851kg + 191,94 kg + 2.803,2 kg + 462 kg + 616 kg + 160 kg + 896,1 kg + 190.800 kg + 32.160 kg = 240.793,84 kg
Maka total bobot atap (Mta) = ∑Mbm + ∑Mvl
= 56.791,34 kg + 240.793,84 kg = 297.585,18 kg
G. Bobot Hidup
1. Atap : 34,78 x 100 kg/m2 = 3478 kg
2. Lantai : 34,78 x 250 kg/m2 x 2 lantai = 16875 kg Beban hidup total = 20.868 kg
Koefisien reduksi beban hidup : 0,90 Jadi, total beban untuk beban hidup (LL) :
LL=0,90 x 20868 kg = 18781,2
H. Pengukuran Kelayakan Kekuatan Kolom Menahan Beban Bobot lantai 1 dan lantai 2
W1,2 = (1,2 x ∑Mbm1) + (1.6 x (LL)
W1,2 =(1,2x130.806,12 kg )+(1,6 x 18.781,2 kg) W1,2 = 156.976.34 kg + 30.049.92 kg = 187.026,26 kg
Lampiran 26 (Lanjutan) Bobot lantai 1 W1 = 187.026,26 kg / 2 = 93.513,13 Bobot lantai 2 W2 = 93.513,13 Bobot atap W atap = (1,2 x Mta) + (1,6 x 3.478 kg) W atap = (1,2 x 297.585,18 kg) + (1,6 x 3.478 kg) W atap = 357.102,217 kg + 5.564,8 kg W atap = 362.667 kg
Jadi berat total yang digunakan adalah U = 1.4 x DL
dengan U = kuat perlu
DL = total beban mati dari tiap lantai U1 = 1,4 x (130.806,12 kg + 297.585,18 kg) = 599.747,82 kg
U2 = (1,2 x DL) + (1,6 x LL) + (0,5 x A) (SNI 03-2847-2002 Psl.11.2.(5))
Dengan U = kuat perlu
Dl = total beban mati setiap lantai LL = total beban hidup dari setiap lantai A = beban atap
U2 = (1,2 x(130.806,12 kg + 297.585,18 kg) + (1,6 x 18781,2) + ( 0.5 x 3.478) = 545.858,48
U1 > U2
sehingga beban yang digunakan untuk menghitung kolom adalah U = 599.747,82 kg
Untuk komponen struktur dengan tulangan spiral maupun sengkang ikat,
maka ф = 0,7, tetapi ф tersebut hanya memperhitungkan akibat gaya aksial saja. Maka agar kolom juga mampu menahan gaya momen diambil ф = 0,3
Mutu beton yang digunakan : 35 Mpa = 350 kg/ cm2 ( 1 Mpa = 10kg/cm2) Dimensi :
Lampiran 26 (Lanjutan)
sehingga
b2 = cm2 b = 75,6 cm b ≈ 76 cm
Dimensi kolom minimum yang dapat digunakan adalah 76/76 cm
Diketahui bahwa dimensi kolom dalam rencana perancangan masjid adalah 85/85 cm
Simpulan : Vertical landscape dapat diterapkan pada masjid karena dimensi kolom pada masjid lebih besar dibandingkan dengan dimensi kolom minimum.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meningkatnya pembangunan yang pesat khususnya di perkotaan, selain memberikan dampak positif dari segi perekonomian, juga memberikan dampak negatif, yaitu penurunan kualitas lingkungan di perkotaan. Pembangunan fisik kota cenderung mengarah pada dominasi struktur bangunan sehingga seringkali menggeser ruang terbuka hijau (RTH).
Aktivitas manusia pada pembangunan, perekonomian, sosial, dan politik dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Buruknya kualitas lingkungan hidup di perkotaan berakibat pula pada penurunan kualitas hidup masyarakat perkotaan dan sering mengakibatkan berbagai bencana yang berakibat jatuhnya korban jiwa seperti banjir, pohon dan reklame yang tumbang, kadar karbondioksida yang tinggi pada udara yang dihirup, serta pemanasan global dalam skala yang lebih luas.
Daerah perkotaan pada umumnya mempunyai suhu udara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah perdesaan. Fenomena ini seringkali dinamakan fenomena pulau pemanasan perkotaan (urban heat island (UHI)). Efek pemanasan perkotaan ini terutama disebabkan oleh proses penyerapan radiasi panas matahari oleh gedung atau bahan bangunan lainnya yang terdapat di area perkotaan dan juga dipengaruhi oleh proses radiasi baliknya ke lingkungan sekelilingnya. Perkotaan juga biasanya mempunyai vegetasi tanaman yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan daerah tepian kota, sebagai hasilnya proses pendinginan dengan cara penguapan (evaporatif cooling) juga lebih sedikit di daerah perkotaan. Semua faktor di atas turut membawa pengaruh pada efek pulau pemanasan perkotaan.
Naiknya suhu udara diperburuk oleh adanya pencemaran udara (polusi) yang dapat menyebabkan terjadinya lingkungan yang tidak sehat, yang tidak hanya merusak keseimbangan alam, tetapi juga sangat membahayakan kesehatan manusia sebagai penghuni kota. Di sisi lain, perkotaan sering miskin penghijauan dan keanekaragaman hayati (bio-diversity), tetapi dengan konsep desain ekoarsitektur pada fisik bangunan, kekurangan tersebut dapat diatasi sebagian. Kebijakan untuk mendirikan ruang terbuka hijau secara khusus dengan menggeser
struktur bangunanan yang sudah ada juga akan menimbulkan konsekuensi tersendiri yang membuat hal tersebut sulit untuk dilakukan.
Untuk mengatasi permasalahan lingkungan perkotaan tersebut diperlukan adanya solusi pembangunan yang sejalan atau bersinergi antara kebutuhan pembangunan di perkotaan dengan kelestarian lingkungan kota itu sendiri. Solusi tersebut meliputi aturan pemerintah yang tegas mengenai kebijakan tata ruang perkotaan dan desain fisik bangunan yang mampu meningkatkan kualitas lingkungan sehingga antara kebutuhan pembangunan dan kelestarian lingkungan tidak saling mengalahkan satu dengan lainnya.
Desain fisik bangunan dengan konsep ekoarsitektur adalah salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Dalam hal ini, Masjid Raya Bogor menjadi contoh desain bangunan dengan konsep ekoarsitektur. Tidak hanya manusia saja yang dapat menikmati bangunan dengan konsep ekoarsitektur, tetapi konsep ekoarsitektur pada bangunan dapat meningkatkan kekayaan alam dengan memberi ruang hidup satwa di perkotaan yang terancam punah di pedesaan, yaitu burung yang mengeram dan sebagainya. Dengan semakin besarnya kesadaran masyarakat mengenai perlunya menjaga kelestarian alam agar tidak menimbulkan bencana di kemudian hari, desain bangunan dengan konsep ekoarsitektur telah menjadi sebuah kecenderungan (trend) dalam bidang arsitektur untuk mengatasi berbagai isu lingkungan belakangan ini.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan merancang Kompleks Masjid Raya Bogor menjadi suatu kawasan yang berbasis ekoarsitektur sebagai kawasan hijau yang selaras antara kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan dengan bangunan masjidnya yang menjadi objek utama sebagai landmark daerah Baranangsiang, Bogor. Melalui pengaturan tata ruang, perencanaan, aktivitas beribadat, aktivitas rekreasi, jaringan sirkulasi, penataan tata hijau, serta pengadaan fasilitas pendukung, diharapkan konsep rancangan ekoarsitektur pada Masjid Raya Bogor dapat menjadi acuan dalam pembanguan pada bangunan lainnya, khususnya bangunan di perkotaan, guna mengurangi berbagai dampak negatif yang merugikan lingkungan yang mengganggu ekosistem perkotaan.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pihak-pihak berikut:
1) pemerintah Kota Bogor yang akan melakukan pembangunan dan pengembangan areal Kompleks Masjid Raya Bogor;
2) perusahaan kontraktor dalam menyediakan sarana dan membangun Masjid Raya Bogor;
3) peneliti dan masyarakat agar mempertimbangkan rancangan Kompleks Masjid Raya Bogor sebagai desain acuan lanskap dan bangunan ditinjau dari sisi ekoarsitektur di kota Bogor dan kota besar lainnya.
1.4 Kerangka Pikir
Penyusunan kerangka pikir dibuat berdasarkan teori ilmiah dan variabel yang akan diteliti, kerangka pikir dibuat dalam bentuk bagan yang disusun secara sistematis dan logis sebagai acuan dalam penyusunan skripsi.
Variabel yang diteliti berupa kondisi dan permasalahan pada tapak yang harus dibuat solusinya. Pada Kompleks Masjid Raya Bogor variabel yang diteliti adalah kondisi fisik bangunan, kondisi lanskap, dan aspek sosial. Variabel-variabel ini didapatkan berdasarkan survei tapak, dan konsep ekoarsitektur menjadi teori pendukung dalam penyusunan skripsi ini. Gambar 1 memperlihatkan kerangka pikir tersebut.
`
Gambar 1 Kerangka Pikir Lanskap Masjid Raya Bogor
Kondisi Fisik Bangunan Karakter Arsitektur Bangunan Aspek Sosial 1. Land Use 2. Intensitas Pengunjung Kondisi Lanskap
1. Tata Guna Lahan 2. Iklim
3. Kondisi Fisik 4. Tata Hijau
5. Kualitas Lingkungan
Prinsip Ekoarsitektur 1. Sinergi dengan Alam
2. Efisien dalam Penggunaan Energi 3. Kelestarian Lingkungan
4. Teknologi Tepat Guna
Analisis
Sintesis
Konsep Ekoarsitektur
Desain Taman Masjid Raya Bogor untuk Mendukung Ekoarsitektur
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Desain dan Perancangan
Van Dyke (1990) mengemukakan bahwa desain atau perancangan merupakan suatu bentuk pemecahan masalah dengan beberapa tahapan dan mengacu pada ide-ide desain yang direncanakan. Desain yang baik harus dapat memecahkan masalah dengan konsep yang baik dan merupakan hasil dari proses yang saling berhubungan dari tahapan desain. Selain itu, desain juga berfungsi untuk mengambil keputusan yang berorientasi pada kepentingan masa yang akan datang, serta menciptakan hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, yang bersifat dinamis, berkelanjutan, dan fleksibel.
Perancangan adalah sebuah proses kreatif yang mengintegrasikan aspek teknologi, sosial, ekonomi, dan biologi, serta efek psikologis dan fisik yang ditimbulkan dari bentuk, bahan, warna, ruang, dan hasil pemikiran yang saling berhubungan (Simonds, 1983). Lebih lanjut dikemukakan bahwa perancangan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, antara lain perancangan dapat mengakomodasi sarana yang kuno dengan yang baru. Perancangan merupakan kombinasi ilmu dan seni yang berfokus pada penggabungan manusia dengan aktivitas di ruang luar (Booth, 1983).
2.2 Kota dan Permasalahannya
Kota adalah pusat dari suatu daerah karena kota merupakan pusat informasi dan infrastruktur yang terdapat di perkotaan lebih lengkap daripada di pedesaan sehingga banyak masyarakat yang lebih memilih untuk tinggal di kota daripada di desa. Hal ini merupakan penyebab semakin bertambahnya jumlah penduduk di perkotaan yang mengakibatkan permukiman di perkotaan semakin padat. Definisi kota berdasarkan Pasal 1 Permendagri No. 2 Tahun 1987 adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan (Hardjasoemantri, 2000).
Menurut Apsari (2007), kota memiliki berbagai komponen yang terdiri dari komponen yang secara fisik terlihat dan yang tidak dapat terlihat. Komponen
yang secara fisik terlihat, antara lain, adalah berupa bangunan dan infrastruktur lainnya, sedangkan komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Karakteristik masyarakat yang terdapat di kota adalah heterogen, bertingkat-tingkat, dan secara umum memiliki kecenderungan individual dan materialistis yang tinggi.
Menurut Karyono (2001), kota-kota besar di Indonesia menghadapi permasalahan suhu yang tinggi. Suhu yang tinggi di kota-kota besar tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor alami dan faktor sosial. Faktor alami tersebut, antara lain, bangunan-bangunan tinggi di kota-kota besar yang menghalangi kecepatan angin dan radiasi sinar matahari akibat minimnya jumlah pepohonan di kota-kota besar, sedangkan faktor sosial, antara lain, peningkatan aktivitas manusia yang sangat mempengaruhi peningkatan suhu kota dan dibukanya lahan-lahan alami bervegetasi menjadi lahan terbangun. Faktor sosial lainnya, yaitu jumlah penduduk, penggunaan bahan bakar fosil dan listrik, jumlah kendaraan bermotor, jumlah bangunan, serta permukiman yang relatif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Saat ini bangunan-bangunan dirancang sedemikian rupa dan diperkeras, tetapi tanpa cukup diberi peneduh pohon sehingga tidak akan nyaman tanpa pengkondisian udara. Kondisi tersebut mengakibatkan peningkatan suhu udara kota yang semula sudah tinggi akibat pemanasan aspal, beton, serta pembuangan panas oleh mesin-mesin pengkondisian udara itu sendiri. Selain itu, suhu udara kian bertambah panas akibat kendaraan bermotor yang menggunakan AC. Persoalan tersebut kemudian terakumulasi sehingga kebergantungan manusia yang tinggal di kota pada penggunaan energi semakin tinggi (Karyono, 2001).
2.3 Pengertian Ekologi dan Desain Ekoarsitektur
Istilah “ekologi” pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haeckel, ahli ilmu hewan pada tahun 1869 sebagai ilmu interaksi antara segala jenis makhluk hidup dan lingkungannya. Arti kata bahasa Yunani oikos adalah rumah tangga atau cara bertempat tinggal, dan logos bersifat ilmu atau ilmiah. Jadi, ekologi berarti ilmu tentang rumah atau tempat tinggal makhluk hidup. Ekologi juga dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya (Frick dan Suskiyatno, 2007).
Selanjutnya menurut Frick dan Suskiyatno (2007), persoalan tentang wawasan lingkungan pada masa ini berkembang pada rasa tanggung jawab terhadap lingkungan hidup dan mendorong kedudukan ekologi dari segi akademis menjadi perhatian umum. Hal ini mengakibatkan ekologi di samping menjadi bidang keilmuan, juga ilmu lingkungan yang mengandung pengetahuan dan pengalaman kebutuhan masyarakat di bidang ekonomi dan politik.
Arsitektur sebagai ilmu teknik dialihkan kepada arsitektur kemanusiaan yang memperhitungkan juga keselarasan dengan alam maupun kepentingan manusia penghuninya. Pembangunan rumah atau tempat tinggal sebagai kebutuhan kehidupan manusia dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungan alamnya dinamakan ekoarsitektur atau arsitektur ekologis (Frick dan Suskiyatno, 2007).
Desain ekoarsitektur adalah desain yang memperkuat hubungan alam dan budaya manusia. Desain ekoarsitektur berhubungan dengan arsitektur dalam hal dengan permasalahan struktur, bentuk, dan estetika serta segi teknik sipil dalam hal keamanan dan efisiensi. Aspek tersebut kemudian diolah menurut desain ekoarsitektur, untuk kelangsungannya dalam jangka panjang demi kelestarian lingkungan dan makhluk hidup (Van der Ryn dan Cowan, 1996). Dengan kata lain, desain ekoarsitektur adalah setiap bentuk desain yang meminimalkan dampak yang merusak lingkungan dengan mengintegrasikan diri dengan proses-proses hidup.
2.4 Atap Bertanaman sebagai Bagian dari Desain Ekoarsitektur
Perkembangan pembangunan fisik yang pesat di perkotaan telah menyebabkan perubahan wajah kota menjadi semakin kaku, tetapi secara manusiawi manusia yang tinggal di dalamnya tetap mempunyai keinginan untuk senantiasa berdekatan dengan alam (Branch, 1995). Menurut Ambarwati (2005), dengan menghadirkan suasana alami di lingkungan sekitar tempat tinggal atau kerja, manusia akan senantiasa didorong berdekatan dengan alam sehingga akan tercipta kondisi yang nyaman di lingkungan tempat tinggal atau kerja tersebut.