• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anonim, 1979. Pedoman bercocok tanam palawija dan sagu. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta.

[Bappeda] Bappeda Kabupaten Jayapura. 2010. Laporan Akhir Rencana Detail Tata Ruang BWK A dan BWK B. Jayapura.

[BBKP] Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua. 2007. Neraca Bahan Makanan Provinsi Papua. Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua, Jayapura.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Neraca Bahan Makanan Kabupaten Jayapura tahun 2009. Badan Pusat Statistik kabupaten Jayapura. Jayapura

___________________. 2010. Jayapura dalam angka 2010. Badan Pusat Statistik kabupaten Jayapura. Jayapura

___________________. 2010. Papua dalam angka 2010. Badan Pusat Statistik Propinsi Papua. Jayapura

Bintoro, H. M. H. 2008. Bercocok tanam sagu. IPB Press

Bintoro, H. M.H. 1999. Pemberdayaan tanaman sagu sebagai penghasil bahan pangan alternatif dan bahan baku agroindustri yang potensial dalam rangka ketahanan pangan nasional. Orasi ilmiah guru besar tetap ilmu tanaman perkebunan fakultas pertanian institute pertanian bogor. Bogor, 11 september 1999.

Christina, Dwi R. 2011. Indentifikasi Lahan Potensial Untuk Mendukung Usulan Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

FAO-RAPA. 1989. Report of the regional expert consultation of the asian network for food and nutrition on nutrition and urbanization, Bangkok.

Flach M. 1995. Research priorities for sago palm development in Indonesia and Sarawak: an agenda for research. ISHS Acta Horticulturae International Sago Symposium. http://www.actahort.org/books/389.

Genting Oil Kasuri. 2009. Analisis Dasar lingkungan Blok Kasuri PSC di Kabupaten Fak-fak dan Bintuni. Laporan akhir. Kerjasama BP Migas dan Unipa Manokwari.

GeoEye. 2011. http://www.geoeye.com. [10 Maret 2011]

Haryanto, B dan P. Pangloli. 1998. Sagu manfaat dan kegunaannya. BPPT Jakarta.

Kanro, M. Z, Aser Rouw, A. Widjono, Syamsuddin, Amisnaipa, dan Atekan. 2003. Tanaman sagu dan pemanfaatannya Di propinsi papua. Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003.

Karafir, Y.P .2007. Model Pengembangan Sagu di Papua. Prosiding Lokakarya Pengembangan sagu di Indonesia. Batam 25-26 Juli 2007. Hlm 25-49. Matanubun H, Santoso B, Abdullah Y, Bachri S, Darmawanto S, Yoga. 2008.

Studi Kelayakan Pengembangan Perkebunan dan Industri Sagu di Distrik Kais, Inanwatan dan Kokoda Kabupaten Sorong Selatan. Universitas Negeri Papua. Manokwari.

Matanubun H, Santoso B, Nauw M, Rochani A, Palit MAP, Irbayanti DN and Kurniawan A. 2005. Feasibility study of the natural sago forest for the establishment of the commercial sago palm plantation at Kaureh District, Jayapura, Papua, Indonesia. Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Spciety for the Promotion Science.

Miftahorrochman dan H. Novirianto. 2003. Jenis-jenis sagu potensial di sentani, Irian jaya. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado. 6 oktober 2003. Notohadiprawiro, T dan Louhenapessy, J.E. 1992. Potensi sagu dalam

penganekaragaman bahan pangan poko ditinjau dari persyaratan lahan. Prosiding Simposium Sagu Nasional. Ambon 12-13 Oktober 1992.

[Perda Kabupaten Jayapura No 26/2007] Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu. Jayapura.

[Perda Kabupaten Jayapura No 21/2009] Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jayapura Tahun 2008-2028. Jayapura.

Rauf A. W dan Martina S. L. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal sebagai Sumber Pangan Alternatif Di Papua. Laporan Hasil Penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua.

Rusli, Y. 2007. Pengembangan Sagu di Indonesia: Strategi, potensi dan penyebarannya.. Prosiding Lokakarya Pengembangan sagu di Indonesia. Batam 25-26 Juli 2007. Hlm 14-24

Rustiadi, E dan Reti Wurgensi. 2007. Pengembangan lahan pertanian pangan abadi dalam prespektif ketahanan pangan. Semiloka kebijakan pengembangan lahan pertanian pangan abadi, medan.

Santoso, B. 2010. Potensi Pengembangan Sagu sebagai Hasil Hutan Non Kayu di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sagu. Bogor, 14 Oktober 2010. Hlm 23-29.

[SIL] Summer Insitute of Linguistics. 2004. Peta Sebaran Bahasa. Jayapura. Sofyan Ritung, W Supriatna, A Hidayat. 2007. Kriteria Biofisik untuk penetapan

Lahan Pertanian Abadi dalam Mencegah Konversi Lahan Pertanian, Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Lampung. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Bogor: BBPPSLP – Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian. Hlm 311-322.

Sofyan Ritung, A Hidayat, Wahyunto. 2008. Penyusunan Peta lahan abadi 15 juta hektar lahan sawah dan 15 juta hektar lahan kering dan Reforma Agraria. Laporan akhir penelitian. Bogor: BBPPSLP – Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian.

Susanto. 1986. Penginderaan Jauh (jilid 1). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Syamson, A. Buana. 2011. Identifikasi Potensi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) untuk Penyusunan RTRW Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[PTFI] PT. Freeport Indonesia .2010. Pembangunan Dusun Sagu Tanam sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Suku Kamoro di Kabupaten Mimika, Papua. Prosiding Lokakarya Nasional Sagu. Bogor, 14 Oktober 2010. [UU No 26/2007] Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang

[UU No 41/2009] Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Widjono, A., R. Aser, dan Amisnaipa. 2000. Identifikasi, karakterisasi, dan koleksi jenis-jenis sagu. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Sistem Usaha Tani

Lampiran 1.

Gambar 1. Awal mula konversi lahan sagu (pohon sagu ditebang)

Gambar 1. Konversi lahan sagu kepenggunaan lainnya (untuk jalan, pemukiman)

Lampiran 2. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di lokasi penelitian tahun 2011 – 2030 Tahun Penduduk Jumlah

(jiwa)

Konsumsi per kapita Total Kebutuhan Kebutuhan luas

Data luas lahan (ha) Sisa Lahan *) Skenario 1 (kg/kap/th) *) Skenario 2 (kg/kap/th) *) Skenario 1 (ton) *) Skenario 2 (ton) Produktivitas tetap *) Skenario 1 (ha) *) Skenario 2 (ha) *) Skenario 1 (ha) *) Skenario 2 (ha) 1 2011 71822 18,64 15,11 1338,96 1085,24 8,80 152,2 123,3 1164,6 1012,4 1041,3 2 2012 74810 18,88 15,11 1412,37 1130,38 8,80 160,5 128,5 1164,6 1004,1 1036,1 3 2013 77922 19,12 15,11 1489,81 1177,41 8,80 169,3 133,8 1164,6 995,3 1030,8 4 2014 81164 19,36 15,11 1571,49 1226,39 8,80 178,6 139,4 1164,6 986,0 1025,2 5 2015 84540 19,61 15,11 1657,65 1277,40 8,80 188,4 145,2 1164,6 976,2 1019,4 6 2016 88057 19,86 15,11 1748,54 1330,54 8,80 198,7 151,2 1164,6 965,9 1013,4 7 2017 91720 20,11 15,11 1844,41 1385,89 8,80 209,6 157,5 1164,6 955,0 1007,1 8 2018 95536 20,36 15,11 1945,53 1443,55 8,80 221,1 164,0 1164,6 943,5 1000,6 9 2019 99510 20,62 15,11 2052,20 1503,60 8,80 233,2 170,9 1164,6 931,4 993,7 10 2020 103650 20,88 15,11 2164,72 1566,15 8,80 246,0 178,0 1164,6 918,6 986,6 11 2021 107962 21,15 15,11 2283,41 1631,30 8,80 259,5 185,4 1164,6 905,1 979,2 12 2022 112453 21,42 15,11 2408,61 1699,16 8,80 273,7 193,1 1164,6 890,9 971,5 13 2023 117131 21,69 15,11 2540,67 1769,85 8,80 288,7 201,1 1164,6 875,9 963,5 14 2024 122003 21,97 15,11 2679,97 1843,47 8,80 304,5 209,5 1164,6 860,1 955,1 15 2025 127079 22,25 15,11 2826,91 1920,16 8,80 321,2 218,2 1164,6 843,4 946,4 16 2026 132365 22,53 15,11 2981,90 2000,04 8,80 338,9 227,3 1164,6 825,7 937,3 17 2027 137872 22,81 15,11 3145,39 2083,24 8,80 357,4 236,7 1164,6 807,2 927,9 18 2028 143607 23,10 15,11 3317,85 2169,90 8,80 377,0 246,6 1164,6 787,6 918,0 19 2029 149581 23,40 15,11 3499,76 2260,17 8,80 397,7 256,8 1164,6 766,9 907,8 20 2030 155804 23,69 15,11 3691,65 2354,19 8,80 419,5 267,5 1164,6 745,1 897,1

Asumsi-asumsi dalam perhitungan proyeksi kebutuhan lahan sagu di lokasi penelitian (1) Proyeksi jumlah penduduk menggunakan tahun dasar 2009

(2) Asumsi pertambahan penduduk 4,16 % per tahun (konstan) dari jumlah penduduk tahun 2000-2009 (4) Asumsi produktivitas Sagu Budidaya 8,8 ton per ha pertahun

(5) Asumsi laju konversi tidak diperhitungkan

Lampiran 3. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di Kabupaten Jayapura tahun 2011 – 2030 Tahun Penduduk Jumlah

(jiwa)

Konsumsi per kapita Total Kebutuhan Kebutuhan luas

Data luas lahan (ha) Sisa Lahan *) Skenario 1 (kg/kap/th) *) Skenario 2 (kg/kap/th) *) Skenario 1 (ton) *) Skenario 2 (ton) Produktivitas tetap *) Skenario 1 (ha) *) Skenario 2 (ha) *) Skenario 1 (ha) *) Skenario 2 (ha) 1 2011 128798 18,64 15,11 2401,12 1946,13 8,80 272,9 221,2 1164,6 891,7 943,4 2 2012 134156 18,88 15,11 2532,77 2027,09 8,80 287,8 230,4 1164,6 876,8 934,2 3 2013 139736 19,12 15,11 2671,64 2111,42 8,80 303,6 239,9 1164,6 861,0 924,7 4 2014 145549 19,36 15,11 2818,12 2199,25 8,80 320,2 249,9 1164,6 844,4 914,7 5 2015 151604 19,61 15,11 2972,63 2290,74 8,80 337,8 260,3 1164,6 826,8 904,3 6 2016 157911 19,86 15,11 3135,62 2386,04 8,80 356,3 271,1 1164,6 808,3 893,5 7 2017 164480 20,11 15,11 3307,54 2485,29 8,80 375,9 282,4 1164,6 788,7 882,2 8 2018 171322 20,36 15,11 3488,89 2588,68 8,80 396,5 294,2 1164,6 768,1 870,4 9 2019 178449 20,62 15,11 3680,18 2696,37 8,80 418,2 306,4 1164,6 746,4 858,2 10 2020 185873 20,88 15,11 3881,95 2808,54 8,80 441,1 319,2 1164,6 723,5 845,4 11 2021 193605 21,15 15,11 4094,80 2925,38 8,80 465,3 332,4 1164,6 699,3 832,2 12 2022 201659 21,42 15,11 4319,31 3047,07 8,80 490,8 346,3 1164,6 673,8 818,3 13 2023 210048 21,69 15,11 4556,13 3173,83 8,80 517,7 360,7 1164,6 646,9 803,9 14 2024 218786 21,97 15,11 4805,93 3305,86 8,80 546,1 375,7 1164,6 618,5 788,9 15 2025 227888 22,25 15,11 5069,43 3443,39 8,80 576,1 391,3 1164,6 588,5 773,3 16 2026 237368 22,53 15,11 5347,38 3586,63 8,80 607,7 407,6 1164,6 556,9 757,0 17 2027 247242 22,81 15,11 5640,57 3735,83 8,80 641,0 424,5 1164,6 523,6 740,1 18 2028 257528 23,10 15,11 5949,83 3891,24 8,80 676,1 442,2 1164,6 488,5 722,4 19 2029 268241 23,40 15,11 6276,05 4053,12 8,80 713,2 460,6 1164,6 451,4 704,0 20 2030 279400 23,69 15,11 6620,16 4221,73 8,80 752,3 479,7 1164,6 412,3 684,9

Asumsi-asumsi dalam perhitungan proyeksi kebutuhan lahan sagu di Kabupaten Jayapura (1) Proyeksi jumlah penduduk menggunakan tahun dasar 2009

(2) Asumsi pertambahan penduduk 4,16 % per tahun (konstan) dari jumlah penduduk tahun 2000-009 (4) Asumsi produktivitas Sagu Budidaya 8,8 ton per ha pertahun

(5) Asumsi laju konversi tidak diperhitungkan

ABSTRACT

SAMSUL BACHRI. Identification of Sago Land and Potential of Sustainable Sago Utilization in the Jayapura regency. Under direction of D. P. TEJO BASKORO, BABA BARUS and BOEDI TJAHJONO.

Sago is one important alternative food diversification. Determination sago land as a sustainable food farming land needs to consider sago food needs, distribution, productivity and level of sago utilization. The purposes of this study are (1)To identify the food needs of local sago, (2)To identify of distribution and utilization of sago forest as other its utilization by people, and (3) To develop scenarios to determine the sago forest area that deserve to be recommended as sustainable agricultural food carried out in Jayapura Papua Province. The result showed there are four of vegetated sago area of 2909.8 ha of sago which is comprised of the Harapan area, Kehiran, Sosiri and Maribu. Types of sago based on habitat and cultivation consists of sago cultivation areas (dusun sagu), sago natural forest, sago swamps, and the sago mixture. Types of sago based on morphology diversity just on dusun sagu area while in other areas only forest sago (mano/manino). The highest productivity is the Kehiran region with clump density 711 clump/ha and 133 stands ready for harvest/ha. Use type of sago utilization is same for all areas only on the intensity of their use are different. Requirement sago land for the consumption of sago in location of research and contribution to the Jayapura regency is sufficient from of sago land existing. 950.1 ha of sago cultivation areas for LP2B plan, especially development on the fringes of Sentani Lake. 1.508,3 ha of potential sago land for LCP2B plan other than those already proposed for plan of LP2B areas. KP2B includes LP2B, LCP2B, sago swamps and supporting elements of an area of 2.458,4 ha.

RINGKASAN

SAMSUL BACHRI. Identifikasi Lahan Sagu dan Potensi Pemanfaatannya secara Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. Dibimbing oleh D. P. TEJO BASKORO, BABA BARUS and BOEDI TJAHJONO.

Sagu merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan yang penting. Lahan sagu yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan perlu mempertimbangkan kebutuhan pangan sagu, sebaran, produktifitas dan tingkat pemanfaatan sagu. Tujuan yang ingin dicapai adalah (1) Mengindentifikasi kebutuhan pangan sagu daerah; (2) Mengindentifikasi sebaran hutan sagu dan keragamannya serta pemanfaatan masyarakat; dan (3) Menyusun skenario untuk menentukan luasan hutan sagu yang layak untuk direkomendasikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Ditemukan empat daerah bervegetasi sagu berupa hamparan dengan total luas 2909,8 ha terdiri dari daerah Harapan, Kehiran, Sosiri dan Maribu. Berdasarkan klasifikasi tipe ekosistem sagu ditemukan areal dusun sagu, hutan sagu alam, rawa sagu, dan campuran sagu. Secara alami, semua fase pertumbuhan tipe tegakan sagu ditemukan pada semua tipe ekosistem areal sagu di setiap sebaran sagu kecuali rawa sagu dan dusun sagu yang telah dijual. Keragaman jenis-jenis sagu hanya pada areal sagu dusun sedangkan pada areal lain hanya sagu hutan (mano/manino). Produktifitas tertinggi pada kawasan Kehiran dengan jumlah 133 tegakan siap panen pada kerapatan 711 rumpun. Jenis pemanfaatan hutan sama hanya pada intensitas pemanfaatannya saja yang berbeda. Kecenderungan tingkat pemanfaatan hutan sagu oleh penduduk semakin berkurang dengan semakin dekatnya letak kampung dengan pusat kota

.

Kebutuhan lahan sagu untuk konsumsi sagu hingga 2030 di lokasi penelitian hanya terpakai 36,0 persen untuk konsumsi aktual (skenario 1) dan 23,0 persen untuk konsumsi ideal (skenario 2). Masih terdapat kelebihan lahan seluas 745,1 ha dari sisa lahan untuk konsumsi aktual dan 897,1 ha dari sisa lahan untuk konsumsi aktual. Kelebihan lahan sagu dapat digunakan untuk kontribusi pangan sagu di tingkat Kabupaten Jayapura. Kontribusi yang dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu di tingkat Kabupaten Jayapura masih mencukupi bahkan masih ada surplus lahan 412,3 ha (35,4 persen) untuk skenario 1 dan 684,9 ha (58,8 persen) untuk skenario 2.

Hasil penilaian kesesuaian lahan sagu diperoleh lahan yang sesuai untuk sagu sebesar 10,9 persen dari luas lokasi penelitian atau seluas 11.967,5 ha termasuk lahan bervegetasi sagu. Berdasarkan keberadaannya di RTRW diperoleh bahwa lahan sesuai untuk sagu berada kawasan lindung 523,1 ha (4,4 %) dan kawasan budidaya 11.422,0 ha (95,6 %). Melihat besarnya luas lahan yang ada di kawasan budidaya melebihi kebutuhan lahan sagu untuk pangan yang telah diproyeksikan, maka pemilihan lahan untuk pengembangan sagu cukup pada kawasan budidaya. Setelah dikurangi lahan terbangun diperoleh lahan yang dapat tersedia pada kawasan budidaya yang dapat dijadikan sebagai arahan pemanfaatan sagu seluas 8.463,2 ha. Pemanfaatan awal lahan sesuai arahan pengembangan sagu lebih baik memilih lahan yang sudah ada vegetasi sagu, terutama pada lahan sagu yang telah dikelola oleh masyarakat untuk dikembangkan dengan intensifikasi.

LP2B dipilih dari dusun sagu yang berada di kawasan budidaya dan campuran seluas 950,1 ha. Urutan prioritas pengembangan lahan-lahan dusun umumnya berada di pinggiran danau sentani yang cukup jauh dari pusat pemerintahan sehingga tidak mudah terkonversi ke penggunaan lainnya. Selain letaknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan, lahan sagu yang berada dipinggiran danau mempunyai peran yang penting sebagai penyangga danau sentani selain pertimbangan keragaman sagunya.

LCP2B diusulkan hanya dari lahan potensial bervegetasi sagu seluas 1.508,3 ha karena ketersediaan lahan sagu yang ada (usulan LP2B) telah melebihi proyeksi kebutuhan dan juga untuk menyediakan ruang bagi kebutuhan lahan untuk penggunaan lainnya. KP2B mencakup LP2B, LCP2B, rawa sagu dan unsur penunjang seluas 2.458,4 ha. pengelolaan KP2B dibagi menjadi 5 yang menyebar sesuai batas distrik yang mencakup 2 kepemilikan hak ulayat tanah adat. Unsur penunjang meliputi jalan, sumber air, dermaga dan tempat pengelolaan sagu.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Proses pembangunan yang dilakukan menuntut adanya sistem ketahanan pangan nasional yang lebih baik. Upaya ketahanan pangan ini bertujuan untuk dapat mempertahankan stabilitas ketersediaan pangan untuk kebutuhan secara nasional yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Di sisi lain, terdapat permasalahan degradasi lingkungan serta alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain sehingga diperlukan kebijakan tentang adanya lahan pangan yang bersifat abadi.

Masalah penyediaan lahan pertanian skala nasional berkaitan erat dengan kapasitas produksi pangan yang ditentukan oleh luas lahan produksi, produktifitas lahan, tingkat kebutuhan konsumsi pangan (ketergantungan pada beras), laju luasan konversi, dan jumlah penduduk. Berdasarkan proyeksi konsumsi pangan penduduk hingga tahun 2030 di Indonesia dibutuhkan penambahan lahan sawah hingga 9,666 juta hektar (Rustiadi dan Wurgensi, 2007). Mengingat besarnya angka tersebut maka perlu dilakukan orientasi produksi pangan lain yang tidak tergantung hanya pangan beras sehingga dibutuhkan adanya diversifikasi pangan lainnya. Selain untuk pangan, Sagu merupakan komoditas yang potensial menjadi bahan pangan baku industri pangan, industri kimia dan obat-obatan, industri tekstil, industri pakan, dan penghasil energi.

Sagu merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan yang penting diperhatikan selain sebagai bahan baku industri. Menurut BBKP Papua (2007) dibandingkan dengan tanaman pangan lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah produktifitasnya yang tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/hektar/tahun setara dengan tebu dan lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang (10-15 ton/hektar/tahun). Sagu juga merupakan tanaman tahunan dengan sekali tanam akan tetap berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun. Lebih lanjut menurut Hutapea (1990) dalam Rusli (2007) sagu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi (85,9 g/100 g) lebih tinggi dibandingkan dengan beras (80,4 g/100 g) atau jagung (71,7 g/100 g), ubi kayu (23,7 g/100 g) maupun kentang (16,3 g/100 g).

Sebagian besar areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami. Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per

tahun. Konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar 210 ton atau baru 4-5 persen dari potensi produksi. Salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi sagu terbesar, bahkan terluas di seluruh dunia adalah Papua yang memiliki luas lahan sagu sekitar 771.716 hektar atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional (BBKP Papua, 2007).

Selain banyak ditemukan di Papua, sagu telah lama dikenal dan menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Hutan sagu mempunyai arti penting sebagai sumber makanan dan juga kebutuhan lainnya sebagai bagian dari budaya misalnya adalah untuk upacara adat, bahkan di beberapa tempat hutan sagu dijadikan tempat keramat secara budaya. Pemanfaatan sagu untuk diolah secara umum masih bersifat subsisten dan hasil olahan berupa tepung sagu umumnya digunakan sebagai bahan makanan dan sebagian kecil dijual. Hasil lain dari hutan sagu yakni ulat sagu dan jamur sagu juga banyak digunakan sebagai sumber protein nabati. Selain itu, hutan sagu juga sebagai tempat berburu dan mencari ikan dan ada bagian-bagian dari pohon sagu yang digunakan sebagai bahan bangunan rumah.

Berkaitan dengan ketahanan pangan nasional, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah untuk menyediakan lahan pertanian dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Dengan adanya undang-undang ini kiranya perhatian terhadap lahan hutan sagu saat sekarang perlu ditingkatkan. Bukan saja sagu sebagai sumber alternatif pangan yang mempunyai potensi tinggi tetapi juga sebagai wadah kehidupan sosial-budaya masyarakat dan ada kecenderungan terjadinya konversi lahan sagu ke penggunaan lain. Selain untuk bahan pangan pokok, pemanfaatan sagu terbesar saat ini untuk bahan baku industri pangan, industri kimia dan obat-obatan, industri tekstil, industri pakan, dan penghasil energi.

Kabupaten Jayapura merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua yang memiliki lahan sagu. Beberapa kajian yang telah dilakukan (Miftahorochman dan Novirianto, 2003; Rauf dan Martina, 2009) menunjukkan bahwa lahan sagu di Kabupaten Jayapura merupakan lahan sagu yang paling baik produktifitasnya dan paling beragam jenis sagu terutama yang ada di pinggiran Danau Sentani namun keberadaannya saat ini yang memprihatikan.

Pusat pemerintahan yang berada di Sentani sebagai Ibukota Kabupaten Jayapura menyebabkan banyak lahan-lahan sagu ada sekitar Danau Sentani berubah menjadi lahan terbangun dan lahan pertanian. Lahan-lahan sagu yang berada di daerah datar menjadi pilihan untuk aktifitas pembangunan seperti perumahan, jalan, perkantoran dan pembukaan lahan pertanian. Walaupun telah dikeluarkannya peraturan daerah (Perda) Kabupaten Jayapura Nomor 3 tahun 2000 tentang pelestarian kawasan sagu. Kurangnya sosialisasi dan lemahnya pengawasan serta belum ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Jayapura menjadi penyebab masih sering lahan sagu digunakan untuk aktivitas pembangunan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 diharapkan lahan pangan sagu yang ada dapat dilindungi dengan menetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan dimasukkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Jayapura.

Perumusan Masalah

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menerapkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan terutama pada lahan pangan budidaya. Penelitian Christina (2011) pada lahan sawah di Propinsi Jawa Barat dengan pembobotan pada 2 model (pesimis dan optimis) menggunakan peta kesesuaian lahan, status irigasi, intensitas penanaman, penggunaan/tutupan lahan dan kawasan hutan. Syamson (2011) pada lahan sawah di Kabupaten Barru mengindentifikasi KP2B berdasarkan 3 skenario berdasarkan batas administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal. Kajian yang telah ada hanya dilakukan pada lahan sawah sedangkan pada lahan pangan lainnya belum pernah dilakukan termasuk pada lahan pangan sagu. Penetapan lahan pangan sagu untuk menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak dapat dilakukan seperti yang telah dilakukan pada lahan pangan budidaya (sawah). Hal ini karena lahan pangan sagu di Papua sebagian besar merupakan hutan sagu, belum menjadi sumber ekonomi dan bagian dari sosial budaya masyarakat.

Pada lahan pangan sagu berupa hutan sagu, aspek ekologi dan ekonomi tidak sepenting aspek sosial. Secara ekologi, sagu yang ada adalah hutan sagu yang tumbuh alami dan telah membentuk habitat sendiri sehingga tidak perlu pengamatan secara langsung (primer) untuk evaluasi kesesuaian lahan. Sagu masih dimanfaatkan secara subsisten dan belum dibudidayakan sebagai sumber

pendapatan sehingga secara ekonomi belum jadi perhatian. Keterkaitan atau ketergantungan masyarakat terhadap hutan sagu dalam kehidupan sehari-hari sangat kuat. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup (pangan dan papan), sagu telah merupakan bagian dari budaya masyarakat Papua seperti dalam upacara adat sebagai bagian dari mas kawin untuk pernikahan dan di beberapa tempat hutan sagu dianggap keramat.

Lahan pangan sagu yang akan ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan perlu mempertimbangkan kebutuhan pangan sagu, sebaran, produktifitas dan tingkat pemanfaatan sagu seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 untuk ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B). Oleh karenanya, perlu mengetahui kebutuhan sagu dan pertumbuhan penduduk pada skala wilayah dan waktu tertentu menjadi skenario untuk menyusun luasan hutan sagu. Analisis mengenai sebaran hutan sagu serta keragaman tegakan dan kerapatan sehingga dapat diketahui produktifitasnya serta dayadukung lahan agar tetap lestari. Pemilihan lahan sagu yang akan ditetapkan menjadi lahan pangan pertanian berkelanjutan perlu mempertimbangkan pemanfaatan sagu yang selama ini telah ada dimasyarakat yang tinggal disekitar hutan sagu agar tidak terganggu. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dijadikan dasar adalah:

1. Berapa luas lahan sagu yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu ?

2. Di mana saja lahan-lahan sagu berada dan bagaimana keragamannya?. bagaimana pemanfaatan dan ketergantungan masyarakat (sebagai sumber: pangan, pendapatan, tempat berburu, papan dan adat) terhadap hutan sagu. 3. Berapa luas dan dimana hutan sagu yang dapat direkomendasikan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B).

Tujuan penelitian

Berdasarkan perumusan tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

2. Mengindentifikasi sebaran hutan sagu dan keragamannya (tegakan dan kerapatan) serta pemanfaatan masyarakat (sebagai sumber pangan, sumber pendapatan, tempat berburu, sumber papan dan adat) terhadap hutan sagu. 3. Menyusun skenario untuk menentukan luasan lahan sagu yang layak untuk

direkomendasikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B).

Manfaat penelitian

1. Sebagai arahan dalam pengusulan lahan sagu yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan.

2. Sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan perencanaan tata ruang. 3. Sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan yang terkait dengan

ketahanan pangan daerah dan potensi pemanfaatan sagu untuk kebutuhan industri.

Kerangka Pemikiran

Tempat tumbuh sagu alam (hutan sagu) yang tipikal pada tempat tertentu, mengakibatkan penyebarannya terbatas seperti di pinggiran sungai, danau, pantai dan rawa. Tempat tumbuh sagu sangat rentan kerusakan dibandingkan dengan tempat tumbuh tanaman lain dan tidak dapat atau sulit diperbaiki sehingga diperlukan kehati-hatian dalam penggunaannya. Konversi lahan sagu kepenggunaan lain menyebabkan lahan sagu berupa lahan bergambut yang ada di sekitarnya mengalami penurunan permukaan air dan dapat terjadi intrusi air laut. Hal ini karena konversi lahan sagu ke penggunaan lain menyebabkan lahan tersebut lebih kering (permukaan air tanah menjadi lebih dalam) sehingga mempengaruhi kandungan air tanah lahan sagu yang ada disekitar lahan sagu yang terkonversi terutama lahan sagu bergambut.

Dokumen terkait