• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura. Daerah ini dipilih karena mempunyai produktifitas sagu dan pemanfaatannya yang paling baik dibandingkan daerah lainnya di Jayapura dan wilayah ini paling terancam oleh konversi lahan ke penggunaan non pertanian karena berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Jayapura (Lampiran Gambar 1 dan 2). Penelitian ini (survei lapang) dilaksanakan selama 6 bulan pada bulan September 2010 sampai Februari 2011. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian bersumber dari data primer dan data sekunder berupa data tabular dan data spasial. Data primer berupa data spasial yang diperoleh dari survei dan wawancara yakni sebaran sagu, tegakan, kerapatan dan jenis sagu, produktifitas serta pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Data sekunder berupa data tabular yang diperoleh dari instansi pemerintah dan hasil-hasil penelitian terkait berupa data jumlah penduduk dan konsumsi sagu. Selengkapnya data yang diperlukan, cara memperoleh dan keluarannya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Data yang diperlukan dan cara memperolehnya

Sumber Jenis Data Cara memperoleh

Primer

Sebaran sagu, penggunaan lahan

Digitasi citra GeoEye 2010 dari Google Earth dan hasil survei Tegakan, kerapatan dan

jenis tanaman sagu Petak pengamatan

Pemanfaatan tanaman

sagu, produksi, jenis sagu Wawancara dengan penduduk

Sekunder

Peta RTRW dan batas

administrasi Bapeda

Peta tutupan lahan

Kabupaten Jayapura Dinas Kehutanan

Jumlah penduduk, dan konsumsi sagu

BPS, Dinas Ketahanan Pangan dan laporan hasil-hasil penelitian

24

Prosedur Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 3 tahap yakni 1). persiapan, 2) survei dan (3) analisis data

1. Persiapan

Kegiatan tahap persiapan terdiri atas: a) studi literatur dan pengumpulan data sekunder serta b) penyusunan peta lahan bervegetasi sagu

a. Studi literatur dan pengumpulan data sekunder

Studi literatur atau studi pustaka yang dilakukan berkaitan dengan sagu yakni habitat sagu, fungsi sagu secara ekonomi, ekologi dan budaya, konsep pengelolaan sagu, kajian dilakukan melalui buku terkait, jurnal, artikel, penelusuran melalui internet. Pengumpulan data sekunder berupa data tabular dan spasial. Data tabular dari laporan hasil-hasil penelitian dan laporan dari instansi pemerintah (BPS, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Bappeda) meliputi data produksi sagu, konsumsi sagu, budidaya tanaman sagu, data penduduk sedangkan data spasial berupa peta tutupan lahan, RePPProT dan peta administrasi untuk membatasi areal penelitian. b. Pemetaan sebaran sagu

Pemetaan sebaran sagu adalah pemetaan lahan-lahan bervegetasi sagu, diperlukan saat pengamatan (survei) potensi tegakan sagu. Lahan bervegetasi sagu diidentifikasi lebih lanjut dengan pengecekan lapang. Pencarian lahan bervegetasi melalui informasi hasil-hasil penelitian atau laporan serta dari informasi letak areal hutan sagu dari sebagai sumber di dinas-dinas terkait dan masyarakat setempat dan mengambil titik GPSnya. Setelah diperoleh lokasi letak hutan sagu lalu disiapkan citra GeoEye dari Google Earth untuk melihat sebaranya (Gambar 5). Interpretasi citra GeoEye dengan metode on screen yakni mendelineasi pola-pola sebaran sagu yang ada secara visual secara online.

Gambar 5. Alur pemetaan sebaran sagu

Peta lahan sebaran sagu menjadi peta lapang tentang sebaran tanaman sagu untuk rencanakan lokasi petak pengamatan saat survei tegakan tanaman sagu dilakukan.

2. Survei

Survei terdiri dari: a) pengamatan keragaman tanaman sagu, dan b) wawancara responden.

a) Pengamatan keragaman tanaman sagu

Pengamatan keragaman tanaman sagu dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan dan kerapatan tanaman sagu berdasarkan peta lahan sebaran sagu (yang dibuat pada tahap persiapan). Setiap sebaran sagu dibuat 4 petak pengamatan berukuran 15 m x 15 m. Penempatan petak pengamatan mewakili keragaman sagu yang ada dengan pertimbangan kemudahan dijangkau. Data yang dikumpulkan meliputi tipe sagu (dusun sagu, atau dusun sagu campuran), potensi tegakan (tegakan siap panen), kerapatan (rumpun), jenis sagu dan deskripsi kondisi lingkungan tumbuh. b) Wawancara responden

Wawancara dilakukan untuk mengetahui sebaran jenis sagu dan pemanfaatan hutan sagu oleh masyarakat sekitar lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi jenis pemanfaatan dan intensitas pemanfaatannya. Untuk memudahkan dalam menentukan intensitas pemanfaatan dibuat kelas pemanfaatan (Tabel 6). Pemilihan responden berasal dari kampung yang berada di kawasan tanaman sagu. Data tersebut diperoleh melalui wawancara terhadap responden yang ditemui di kampung maupun di lahan sagu.

Studi literatur Informasi masyarakat/dinas Pengecekan lapang / penentuan lokasi Sebaran sagu Interpretasi dari Citra GeoEye

Wawancara juga dilakukan untuk memastikan penyebaran tipe sagu yang ada di lapang sesuai pengetahuan masyarakat dengan bantuan peta lahan sebaran sagu. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mendelineasi sebaran tipe sagu selain dari pengamatan lapang (titik GPS) dan analisis visual citra.

Tabel 6. Kelas intensitas pemanfaatan hutan sagu

Kelas Kriteria

Sangat Tinggi : Jika lebih dari 75 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu

Tinggi : Jika sebesar 51-75 % jumlah penduduk memanfaatkan

hutan sagu

Menengah : Jika sebesar 26-50 % jumlah penduduk memanfaatkan

hutan sagu

Rendah : Jika sebesar 1-25 % jumlah penduduk memanfaatkan

hutan sagu

Sangat Rendah : Jika tidak terdapat penduduk yang memanfaatkan hutan sagu

Sumber: Modifikasi dari Genting Oil Kasuri (2009) 3. Analisis Data

Analisis data meliputi: a) pemetaan kawasan sagu; b) proyeksi kebutuhan lahan sagu; c) pemetaan arahan pengembangan pertanian pangan sagu; dan d) identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan KP2B

a. Pemetaan kawasan sagu

Pemetaan kawasan sagu diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang lahan-lahan sagu khususnya yang telah berproduksi (dimanfaatkan) untuk menghasilkan pangan sagu. Dilakukan dengan mendetailkan peta sebaran sagu yang dibuat pada tahapan sebelumnya (tahap persiapan) dengan data hasil survei dengan memasukkan data atribut tentang tipe sebaran sagu, rumpun, tegakan siap panen dan pemanfaatan (Gambar 6). Pemetaan tipe sebaran sagu mengacu klasifikasi tipe sebaran sagu oleh Matanubun et al. (2008), yakni dusun sagu, dusun sagu campuran, hutan sagu, hutan sagu campuran dan rawa sagu. Dusun sagu merupakan hutan sagu yang telah dimanfaatkan atau dikelola oleh masyarakat. Rawa sagu adalah rawa permanen yang ditumbuhi sagu. Hutan sagu adalah hamparan hutan yang ditumbuhi sagu (sagu 80 – 100 %) dan diselingi pohon hutan lainnya. Hutan sagu

Input data tegakan dan rumpun Hasil survei dan Informasi masyarakat

Tipe sebaran sagu Sebaran sagu

Interpretasi dari Citra GeoEye

Pemanfaatan sagu

Peta administrasi

Input data Intensitas pemanfaatan

Kawasan sagu

campuran merupakan hutan sagu (sagu 30 – 80 %) yang diantaranya terdapat beberapa jenis-jenis pohon lainnya menyebar dalam jumlah yang tidak terlalu banyak.

Dari tipe sebaran sagu diinput data atribut jumlah tegakan siap panen dan jumlah rumpun. Untuk informasi pemanfaatan dibuat dengan menumpangsusunkan peta tipe sebaran sagu dengan peta administrasi kampung. Dari hasil tumpangsusun tersebut menjadi dasar untuk mengisi data atribut pemanfaatan setiap kampung yang memiliki lahan sagu.

Gambar 6. Alur pembuatan peta kawasan sagu

b. Proyeksi kebutuhan lahan sagu

Proyeksi kebutuhan lahan sagu digunakan untuk mengetahui kebutuhan lahan sagu dalam wilayah tertentu dan dalam jangka waktu pula. Analisis ini akan digunakan sebagai dasar dalam menyusun LP2B. Jangka waktu yang digunakan adalah tahunan hingga 20 tahun akan datang sesuai dengan penyusunan RTRW. Untuk menentukan luasan lahan sagu disusun skenario luasan berdasarkan asumsi jumlah penduduk, tingkat konsumsi dan produktifitas sagu untuk tingkat lokasi penelitian dan kontribusi di tingkat lebih tinggi yakni Kabupaten dan Propinsi Papua (Gambar 7).

Gambar 7. Alur Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu Jumlah penduduk (Y)

Perhitungan proyeksi jumlah penduduk menggunakan persamaan regresi dengan mencari model terbaik (nilai R tertinggi). Persamaan regresi menggunakan trend penduduk masa yang lalu untuk memperkirakan jumlah penduduk masa yang akan datang. Model yang digunakan adalah model linear dikarenakan berdasarkan data BPS (2000-2009) pertambahan penduduk akan bertambah sebesar jumlah absolut yang sama/tetap (β) atau rata-rata pertambahan penduduk sama.

Pt =α + βT

Dimana : Pt = penduduk pada tahun proyeksi t α = intercept (penduduk pada tahun dasar) β = koefisien ( rata-rata pertambahan penduduk) T = periode waktu proyeksi

Kebutuhan konsumsi sagu (KKS)

Kebutuhan konsumsi sagu adalah perkalian dari konsumsi sagu (tepung sagu) perkapita dengan jumlah penduduk pada tahun tertentu

Proyeksi pertumbuhan penduduk Proyeksi kebutuhan pangan sagu PPH Proyeksi kebutuhan

pangan sagu aktual

Proyeksi kebutuhan

luas lahan sagu Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu Asumsi

Produktifitas sagu

KS= KS * Yt

Dimana : KKS = Kebutuhan konsumsi sagu (Kg) KS = Konsumsi sagu (kg/kapita/tahun) Yt = Jumlah penduduk tahun ke-t (jiwa)

KS atau konsumsi sagu perkapita menggunakan data persediaan pangan dalam bentuk jumlah pangan perkapita pertahun dihitung dengan membagi jumlah pangan yang tersedia dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan. Perhitungan KS mengunakan 2 (dua) asumsi yakni konsumsi aktual dan konsumsi ideal/harapan.

Estimasi kebutuhan konsumsi sagu aktual berdasarkan permintaan waktu yang lalu bertujuan untuk menyediakan sesuai kecenderungan permintaan berdasarkan selera konsumen. Data untuk proyeksi konsumsi aktual digunakan dari Neraca Bahan Makanan (NBM) Kabupaten Jayapura 4 tahun terakhir (2002-2005) berdasarkan yang naik rata-rata 0,06 %. Konsumsi ideal/harapan adalah pemenuhan kebutuhan pangan yang dikonsumsi seimbang diantara jenis pangan yang dikonsumsi. Data yang gunakan berdasarkan skor dari penetapan pola pangan harapan (PPH) yakni 15,11 kg/kap/tahun.

Kebutuhan Luas lahan Sagu (KLS)

Kebutuhan luas lahan sagu adalah jumlah penduduk dikali kebutuhan konsumsi sagu terhadap produktifitas sagu.

KLS = KKS/ PS

Dimana : KLS = Kebutuhan Luas lahan Sagu (ha) KKS = Kebutuhan konsumsi sagu (Kg/tahun) PS = Produktifitas Sagu (kg/ha/tahun)

Produktifitas sagu diperoleh asumsi hasil pati sagu yang dipanen penduduk tiap tegakan siap panen (hasil wawancara) dikalikan dengan jumlah tegakan siap panen per hektar (hasil survei tegakan).

c. Pemetaan ketersediaan lahan sagu (arahan pengembangan pertanian pangan sagu)

Penyusunan peta ketersediaan lahan sagu untuk mengetahui dimana lokasi yang sesuai berdasarkan aspek fisik dan spasial untuk pengembangan pertanian pangan termasuk lahan yang bervegetasi sagu maupun yang tidak bervegetasi sagu. Pembuatan peta tersebut menggunakan software ArcGIS 9.3 dilakukan dengan mengoverlay peta kesesuaian lahan, peta RTRW dan peta penggunaan lahan (Gambar 8 dan Tabel 7).

Identifikasi kesesuaian lahan sagu (termasuk lahan bervegetasi sagu) dilakukan dengan proses tumpangtindih (overlay) terhadap peta-peta tematik yang ada yaitu: peta kemiringan lereng, peta kedalam air tanah tanah dan peta ketinggian tempat (Gambar 6) untuk mendapatkan lahan yang sesuai untuk sagu. Langkah-langkah penyusunan data spasial lahan sagu potensial berdasarkan studi literatur melalui pendekatan dari berbagai sumber karena belum tersedianya kriteria baku penilaian kesesuaian lahan sagu. Kriteria tempat tumbuh sagu menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) yakni ketinggian idealnya <400 m dpl walaupun dapat tumbuh hingga 700 m dpl. Sagu tumbuh di antara tanah-tanah mineral dan gambut yang berada di dataran rawa, pasang surut, dataran banjir, cekungan dan lembah sungai. Hampir semua jenis tanah ditumbuhi sagu dengan syarat kedalaman air tanah < 100 cm atau tidak tergenang permanen. Oleh karena itu, tempat tumbuh sagu sangat ditentukan oleh kedalaman air tanah bukan jenis tanah. Kedalaman air tanah diperoleh dari peta landsystem. Terkait dengan kedalaman air tanah tersebut maka tempat tumbuh sagu diasumsikan pada kemiringan lereng < 2 %.

Berdasarkan hal di atas dibuat kelas kesesuaian dengan tumpangtindih peta kemiringan lereng, ketinggian tempat, kedalaman air tanah yang klasifikasikan menjadi sesuai dan tidak sesuai.

- Peta kemiringan lereng diperoleh dari Citra Aster Gdem diklasifikasikan menjadi dua yakni sesuai: 0-2 % dan tidak sesuai >2 %

- Peta ketinggian tempat dari Citra Aster Gdem diklasifikasikan menjadi 2 ketinggian tempat yakni sesuai: 0 - 400 m dpl dan tidak sesuai > 400 m dpl.

Ketersediaan lahan RTRW

Penggunaan lahan

Arahan pengembangan Ketinggian

tempat Kedalaman air tanah

Kesesuaian lahan sagu Kemiringan lereng

- Dari peta landsystem diekstrak kedalaman air tanah dan diklasifikasikan menjadi 2 yakni sesuai: < 100 cm dan tidak sesuai > 100 cm.

Gambar 8. Alur pemetaan ketersediaan lahan

Tabel 7. Penentuan arahan pengembangan

Kesesuaian

lahan RTRW

Penggunaan

lahan Kategori

Sesuai Kawasan budidaya

pertanian (campuran dan budidaya) Hutan, semak, lahan pertanian, lahan terbuka Lahan tersedia

Sesuai Kawasan budidaya

pertanian (campuran dan budidaya) Areal terbangun (pemukiman, bandara) Tidak tersedia Sesuai dan tidak sesuai

Kawasan budidaya non pertanian (pemukiman, industri,

pertambangan) dan kawasan lindung (hutan lindung dan sempadan danau) Hutan, semak, lahan pertanian, lahan terbuka, areal terbangun (pemukiman, bandara) Bukan arahan

Peta kesesuaian lahan dioverlay dengan peta RTRW untuk mendapatkan peta arahan pengunaan lahan. Peta arahan penggunaan lahan menginformasikan tentang keberadaan lahan-lahan sesuai yang di kawasan lindung dan budidaya. Setelah itu, peta arahan pengembangan dioverlay lagi peta penggunaan lahan untuk mendapatkan peta ketersediaan lahan. Peta penggunaan lahan dibuat dengan mendelineasi penggunaan/tutupan lahan di lokasi penelitian secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Peta ketersediaan lahan menginformasikan penggunaannya lahan-lahan arahan pengembangan saat ini.

d. Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan KP2B

Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam PP No 1 tahun 20011 Pasal 2 huruf a meliputi: Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B). LCP2B adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. LCP2B ditetapkan dari peta ketersediaan lahan dari lahan sagu yang belum memproduksi pangan sagu. LP2B adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan yang akan menjadi LP2B ditetapkan dari lahan pertanian pangan yang telah ada (aktual) dan berproduksi. Konsep pemetaan LCP2B dan LP2B dilakukan dengan pengoverlay peta kawasan sagu dan peta arahan pengembangan dengan teknik Union (Gambar 9) lalu dipisahkan sesuai kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B (Tabel 8).

Gambar 9. Konsep pemetaan LP2B dan LCP2B Tabel 8. Kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B

Peta Arahan

pengembangan Peta Tipe Sagu Status

Ketersediaan lahan

Dusun sagu LP2B

dusun sagu campuran, hutan sagu, hutan sagu campuran

LCP2B

Jika lahan produksi yang tersedia lebih luas dibandingkan kebutuhan lahan pangan sagu hasil proyeksi untuk jadi LP2B perlu dibuat urutan prioritas pemilihan lebih lanjut. Metode identifikasi urutan prioritas dibuat dengan indeks terbobot dihitung dengan teknik indeks overlay. Indeks terbobot dibangun berdasarkan pada tiap layer memiliki bobot (weight) dan tiap kelas di layer memiliki nilai (skor) sesuai dengan hasil pengamatan lapang. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun seperti ditampilkan Tabel 9. Peta ketersediaan lahan Peta kawasan sagu Union

Lahan produksi Lahan belum

produksi LP2B Proyeksi kebutuhan lahan LCP2B

Tabel 9. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun

No Kriteria Skor setelah

standarisasi

Faktor Bobot

Keterangan

1 Rumpun 0,15 Total skor telah

distandarisasi dan bobot berkisar 0-1 Harapan 0,33 Kehiran 0,60 Sosiri 0,48 Maribu 1,00

2 Pohon siap tebang 0,30

Harapan 0,83 Kehiran 1,00 Sosiri 0,83 Maribu 0,92 3 jenis sagu 0,05 Harapan 0,30 Kehiran 1,00 Sosiri 0,52 Maribu 0,70 4 Pemanfaatan 0,50 Sangat Tinggi 1,00 Tinggi 0,80 Menengah 0,60 Rendah 0,40 Sangat Rendah 0,20

Tahap pertama yakni penetapan layer-layer yang akan di overlay lalu layer-layer tersebut distandarisasi. Standarisasi dilakukan untuk mendapatkan nilai bersama antar layer karena nilai dari masing-masing layer berbeda-beda. Dalam hal ini standar dinilai dari perbedaan nilai maksimum dan minimum, sehingga nilainya berkisar dari 0 – 1 atau dengan persamaan:

X’ij = (xij)/xjmax

Dimana : X’ij = Nilai yang distandarisasi (xij) = Nilai ke I kriteria ke j xjmax = Nilai tertinggi kriteria ke j

Setelah standarisasi, dilakukan penetapan bobot untuk setiap layer. Pembobotan ini dibangun secara logika karena belum ada data mengenai pengaruh antar kriteria tersebut. Pemanfaatan mempunyai bobot lebih tinggi dibandingkan kriteria lain karena lahan sagu yang tidak dimanfaatkan tidak punya arti dibandingkan dimanfaatkan. Setelah itu, bobot tegakan siap panen lebih tinggi dibandingkan rumpun dan jenis karena tanpa tegakan

siap panen tidak dapat menghasilkan pati sagu. Bobot rumpun lebih tinggi dibandingkan jenis karena tiap rumpun akan menghasilkan tegakan siap panen.

Setelah pembobotan dilakukan overlay. Hasil overlay ini diurutkan dari nilai tertinggi hingga nilai terendah. Urutan pemilihan lebih lanjut LP2B dimulai dari urutan terbaik dari hasil overlay layer-layer tersebut hingga sesuai dengan kebutuhan lahan hasil proyeksi.

KP2B adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Pemetaan KP2B dilakukan berdasarkan hasil pemetaan LP2B dan LCP2B ditambah dengan unsur penunjang. Unsur penunjang yang dimaksud adalah sarana prasarana untuk menunjang aktivitas produksi pangan sagu yang telah ada dilokasi LP2B dan LCP2B. Peta sarana prasarana dibuat dengan mendelineasi sarana prasarana secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Konsep pemetaan KP2B seperti tersaji pada Gambar 10.

Gambar 10. Konsep pemetaan KP2B Peta saran

prasarana

Union

KP2B

Dokumen terkait