• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia Modern,

Culture and politic in Indonesia, An essay on man, T h e interpretation of cultures, The religion of java, Chicago: Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat jawa,

Kebudayaan Jawa,

Sosiologi Suatu Analisa Sistem Sosial, Penerjemah: Sahat Simamora,

Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi

Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa,

Essays in Sociology, Translt: H.H. Gerth an C. Wright Mills,

Pendahuluan

Awal abad XX, gerakan perubahan-p e r ub a h a n t e la h b e r la n g su ng d i K a s u n a n a n , t e r u t a m a p e r u b a h a n paradigma politik dari perspektif tradisional menuju perspektif partisipasi massa. Sunan Paku Buwana (PB) X menyadari bahwa perubahan paradigma p o l i t i k a m a t p e n t i n g u n t u k mempertahankan eksistensi politik

Kasunanan. yang

ditandatangani raja-raja sebelumnya,

termasuk 1893 yang dia

tandatangani mempersempit ruang gerak p o l i t i k , b a h k a n U n d a n g - U n d a n g Desentralisasi (UUD) 1903 yang diberlakukan memaksa hanya berkuasa di lingkungan istana saja. Kenyataan itu mendorong Sunan memainkan simbol

politik yang sifatnya (eling

l a n w a s p a d a ) d a n

(membangkitkan kembali) yang ditujukan untuk menumbuhkan kekuatan rakyat, b a i k d a l a m s e g i p e n d i d i k a n , perekonomian, sosial, maupun politik. Sementara itu dalam bidang politik Sunan Verklaring-verklaring verklaring recollection re a w a k e n i n g 1 2 *)

Program Studi Pendidikan Sejarah S1 dan S2, serta Program Studi S2 Kesehatan Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta.

1 Isi 1893 yang ditandatangani mencakup: (1) perbaikan pengadilan, kepolisian, dan penyelesaian menurut hukum; (2) daerah terselip atau ; (3) ganti kerugian dari pemerintah; (4) pemungutan pajak baru; (5) penyewaan tanah kepada orang-orang Eropa; (6) kerja wajib bagi penduduk yang tinggal di daerah yang disewa oleh pengusaha asing; (7) seremoni pada pesta dan kesempatan lain. Lihat Darsiti Soeratman, , (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000), pp. 51-59. Sementara itu diberlakukan UUD 1903 adalah untuk mewujudkan tuntutan pengusaha Belanda agar tanah-tanah direorganisasi agraria untuk perluasan perkebunan, dan peradilan ( masjid dan kabupaten) diambilalih pemerintah untuk menjadi keamanan. Di samping itu dengan adanya otonomi, pengusaha Belanda mempunyai hak bicara dalam proses pembuatan kebijakan ekonomi dan politik di Hindia Belanda. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto,

, (Malang: Bayumedia, 2005), pp. 4-17; George D. Larson, , (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), pp. 30-40; Takashi Shiraishi,

, a.b. Hilmar Farid, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).

2 Dalam bidang pendidikan didirikan Madrasah Mamba'ul Ulum (1905), HIS Kasatryan (1914), HIS Parmadi Putri (1914), Taman Kanak-Kanak Parmadi Siwi (1914), lembaga , dan Paheman Radya Pustaka (1910). Bidang ekonomi, mendirikan Bank Bandhalumaksa untuk membantu , dan yang membutuhkan modal pengembangan usaha; membangun Pasar

Verklaring

enclave

Kehidupan dunia Keraton Surakarta 1830-1939 lungguh

surambi surambi

Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda

Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Kasunanan, 1912-1942

Zaman Bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa, 1912-1926

Rijksstudiefond sentana abdi kawula dalem

Abstract

Kata kunc

This article tried to analyze political thinking of the kratons' elites in the twentieth century. The political thinking of Sunan Paku Buwana (PB) X was to restored his power that disappeared by penetration of Dutch colonial. The Sunan's strategy to restored the power was (1) changed political paradigm from the traditional perspective to political mass; (2) built schools, markets, bank, hospital, gardens, mosques; and give migrant skills; (3) supported local party that was Sarekat Islam and Boedi Oetomo. But, blunder diplomacy took PB XI that was surrender to the Japanese troops, and PB XII tried to return to the traditional political paradigm and formed 'swapraja' government in Surakarta. That blunder policy to be opposite of the nasionalist perspective.

Gedhe Hardjonegoro (1930) dengan arsitektur modern yang dikerjakan Herman Thomas Karsten (1884-1945), membangun Jembatan Jurug (1913), Bacem (1915), dan Mojo untuk menghubungkan jalur perekonomian Kota Surakarta dengan Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo. Bidang kesehatan, membangun Rumah Sakit Panti Rogo (Rumah Sakit Kadipolo) dan Apotik Pantihusada yang dikelola Dinas Kesehatan Keraton Kasunanan (Kridha Nirmolo). Dalam bidang sosial mendirikan rumah Wangkoeng untuk memberi keterampilan membuat alat-alat rumah tangga kepada buruh migran berasal dari pedesaan, dan Taman Hiburan Rakyat Sriwedari (1902). Lihat Wangsa Leksana, , (Surakarta: Sasana Pustaka, 1939), pp. 16-37; lihat pula Asnawi Hadisiswaja, , (Surakarta: Poesaka Soerakarta & Islam Radja, 1939), pp. 9-15; Paku Buwana X, alih aksara Moelyono S., (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1981); Karno Sontoprodjo,

[ .] , (Surakarta: tanpa penerbit, 1990).

3 Besarnya perhatian PB X kepada Tirtoadhisoerjo karena keberhasilan membongkar sengkongkol Residen Madiun J.J. Donner. Lihat Ong Hok Ham, “The Inscrutable and the Paranoid: An Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair”, in Ruth T. McVey (ed.),

, (New Haven: Yale University Press, 1978), pp. 112-157; lihat pula Pramoedya Ananta Toer, , (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), pp. 48-49.

4 Ketika Residen J.J. Donner menurunkan Brotodiningrat dari jabatan bupati Madiun merupakan persengkongkolan antara Residen J.J. Donner, Patih Mangoen Atmodjo, dan Kepala Kejaksaan Madiun, Adipoetro. Laporan J.J. Donner kepada Gubernur Jenderal Rooseboom, pada tanggal, 29 November 1902, menyatakan bahwa Brotodiningrat adalah pemimpin sejumlah kerusuhan di dalam dan di luar Karesidenan Madiun. Bahkan jaringan kerusuhan yang dipimpinnya meliputi seluruh Jawa, mulai dari Banten hingga Banyuwangi. Laporan Residen Madiun mengakibatkan Bupati Madiun dihadapkan ke pengadilan tanpa saksi-saksi. Adanya kejanggalan proses peradilan mendorong Tirtoadhisoerjo melakukan investigasi jurnalistik, dan hasilnya dimuat dalam surat kabar , dalam rubrik “Dreyfusiana”. Tulisan Tirtoadhisoerjo menimbulkan kegemparan, dan Gubernur Jenderal meminta kepada Christian Snouck Hurgronje untuk melakukan penelitian terhadap laporan-laporan Donner. Namun surat-surat Donner tidak ditemukan, dan Brotodiningrat terlanjur dihukum dalam pembuangan. Tidak ditemukannya surat Donner, mendorong Snouck Hurgronje memrovokasi bahwa Tirtoadhisoerjo: (1) tidak lulus STOVIA karena cacat watak dan tidak berbakat; (2) penghasut dan koruptor, bahkan abangnya RM. Said (jaksa) tidak mau tahu

Biwadha Nata Soerakarta Adiningrat Srikarongron,

Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoe Boewana Ke-X sic 1893-1939

Southeast Asia Transitions: Approaches through Social Histtory

Sang Pemula

Pembrita Betawi membangun komunikasi dan jejaring

dengan priyayi protagonis dan komunitas epistemik (tokoh dan pengusaha Islam) yang dilakukan melalui perjalanan atau perlawatan politik ke berbagai daerah Nusantara. Komunikasi politik sering dilakukan sendiri, dan kadangkala melalui seorang utusan. Perlawatan tersamar dan bermuatan politik ini berhasil menumbuhkan dinamika politik lokal, tetapi pada sisi lain menimbulkan ketegangan antara Sunan dan Residen Surakarta.

Perlawatan politik ke Banten, April 1902, mengutus R.M.Ng. Prodjo Sapoetro untuk men yampaika n pesa n da n cinderamata kepada Tirtoadhisoerjo. Cinderamata berupa kain batik dan destar, sedangkan pesan lisannya adalah meminta kesediaan Tirtoadhisoerjo untuk mengelola mingguan berbahasa Jawa,

, yang sedang menghadapi

kesulitan manajemen. terbit

pada 1855 hingga 1932, dan merupakan mingguan yang berafiliasi dengan Kasunanan. Cinderamata batik dan destar adalah simbol politik, yang bermakna ingin memulihkan harga diri sebagai bangsa Jawa, serta menggunakan Islam sebagai kekuatan penyangganya. Melalui cinderamata dan pesan, PB X hendak me n g gu g a h d a n me n gu n gk a p ka n kenyataan ekonomi, politik, dan sosial kepada Tirtoadhisoe rjo. Ta waran

mengelola dimaksudkan

bersedia menuangkan pemikiran politik p a d a m i n g g u a n t e r s e b u t u n t u k membentuk pendapat umum serta membangkitkan kesadaran terhadap hak dan keadilan. Kesadaran ini sama halnya dengan menyalakan keberanian melawan kebijakan kolonial. incognito Bromartani Bromartani Bromartani 3 4

tentangnya. Lihat Pramoedya Ananta Toer, ., pp. 48-54. 5 ., pp. 159-172.

6 George D. Larson, ., p. 41. 7 ., pp. 66-69.

8 Soedarmono, M. Hari Mulyadi & Abrahan Setiyadi, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial 'Wong Solo' dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta, (Surakarta, LPTP, 1999), p. 23; Cf.

Rosihan Anwar, , (Jakarta: Buku Kompas, 2007), p.

121.

9 Masjid yang dikunjungi PB X meliputi: (1) masjid-masjid di sekitar Kota Surakarta yang menjadi wilayah Kasunanan; (2) masjid di kawasan Bekonang, Kabupaten Sukoharjo; (3) masjid di kawasan Kalioso, Karanganyar; dan (4) masjid di kawasan Banyudono, Boyolali. Pada umumnya, Sunan mengunjungi masjid-masjid di kawasan pedesaan. Hal ini merupakan upaya membangun komunitas epistemik di pedesaan. Basis massa ini penting artinya, karena kemapanan pamor dan kebesarannya akan terjaga di kawasan itu. Bahkan ketika kereta api yang membawanya ke Yogyakarta, dan berhenti sejenak di Stasiun Klaten, masyarakat sekitar berdesak-desakan untuk menyaksikan dan memberi penghormatan.

10 Robert N. Bellah, , a.b. Rudy Harisyah Alam,

(Jakarta: Paramadina, 2000), p. 10.

op. cit Ibid

op. cit Ibid

Semua Berawal Dengan Keteladanan: Catatan Kritis

Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama Komunikasi simbolik antara Sunan

dan Tirtoadhisoerjo menuai hasil berdirinya SDI Surakarta yang secara yuridis cabang SDI Bogor. Organisasi ini didirikan Tirto dan Samanhudi, dan dalam perkembangannya SDI berubah menjadi SI. A.P.E. Korver berpendapat bahwa berdirinya SI merupakan sikap antipati pengusaha muslim terhadap kaum bangsawan. Kelemahan A.P.E Korver tidak melihat adanya perbedaan antara

bangsawan (pendukung

pergerakan kebangsaan) dan

(pendukung Belanda). Pemikiran antipati pengusaha Muslim perlu ditempatkan kepada priyayi pangreh praja yang

mempertahankan . Dukungan

PB X terhadap organisasi pergerakan dapat dilihat diizinkannya P. Hangabehi dan RMA. Woerjaningrat (putera dan menantu) menjadi anggota kehormatan dan pelindung SI. Dalam perlawatan Sunan dipandang pendiri SI. Persepsi ini menguntung SI, sehingga dikatakan sinergi priyayi

masyarakat memasuki dunia politik.

S e l a i n d u k u n g a n t e r h a d a p organisasi politik, Sunan menembus basis massa akar rumput melalui bantuan ke

masjid-masjid. Dua hal yang hendak dicitrakan, yakni citra kharisma dan citra agama. Perlawatan politik ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera Selatan, Bali, dan Sumbawa merupakan strategi membangun citra kharisma.

Kharisma adalah tampilan kualitas individu untuk menempatkan individu sebagai otoritas simbolik yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat, dan citra kharisma itu muncul ketika individu diakui keberadaannya oleh kelompok-kelompok sosial. Kunjungan ke masjid u n t u k m e m b e r i b a n t u a n , d a n mereproduksi identitas Islam. Identitas itu untuk: (1) menilai kegagalan negara kolonial, (2) memperluas jejaring sosial dan politik guna mempertebal rasa kebersamaan, (3) memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kehidupan sosial maupun politik. Yang menggelitik adalah mengapa pengganti PB X tidak mampu meneruskan pemikiran politiknya?.

Gejala-gejala kemunduran atau disorientasi pemikiran politik di lingkungan istana sudah tampak sejak kesehatan Sunan merosot. Sejak berusia

5 6 7 8 10 protagonis status quo status quo

protagonis dan Muslim telah memacu

Me mu d a rn ya K ew i ba w aa n El i t Kasunanan

11 Karno Sontoprodjo, ., pp. 113-114. 12 Asnawi Hadisiswaja, , pp. 3-4. 13 , pp. 4-5.

14 Lihat Ruth McVey, “The Beamtenstaat in Indonesia”, in Benedict Anderson & Audrey Kahin

(ed.), , Interim Report Publication

No. 62, (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, 1982), pp. 84-91; Cf. Mohammad Hatta, “Masyarakat Kolonial dan Cita-Cita Demokrasi Sosial”, dalam Herbert Feith & Lance Castle (ed.), , a.b. Mien Yubhaar, , (Jakarta: LP3ES, 1988), pp. 8-9;

Cf. Zuly Qodir, , (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2007), pp. 71-75.

15 Kuntowijoyo, , (Yogyakarta: Ombak, 2004), p. 19.

op. cit op. cit. Ibid

Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate

Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965

Islam Syariat vis a vis Negara: Ideologi Gerakan Politik di Indonesia Raja, Priyayi, dan Kawula

16 Merle C. Ricklefs, “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”, dalam , Vol. I, No. 56, 1998, pp. 469-482; lihat pula M.C. Ricklefs,

, (Honolulu: Allen & Unwin, and University of Hawai'i Press, 1998), pp. xvii-xix; Cf. Abdurrahman Mas'ud,

, (Yogyakarta: LKiS, 2004), pp. 55-58.

Archipel The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II

Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi

32 tahun Sunan sudah mengidap penyakit ginjal, dan tidak berusaha menekuni hidup sehat, sehingga penyakit yang diidap makin menggerogoti organ tubuhnya. Pada usia 70 tahun Sunan tidak mampu melakukan perlawatan politik. Dua bulan sebelum wafat penyakit Sunan makin pa ra h. Do kter k er aton, D r. R. Moehammad Saleh, serta dokter Belanda, Prof. Dr. Siegenbeek van Heukelom dan Dr. Block, menunggui Sunan di pesanggrahan Paras, Boyolali, hingga wafat pada tanggal 20 Februari 1939, jam 07.30.

Pa da d a sa r ny a , d iso r ie nta s i pemikiran politik yang melanda putera-putera Sunan seiring dengan makin kuat tekanan politik kolonial yang diwujudkan d a l a m s i s t e m p o l i t i k tahun 1920-an h i n g g a 1 9 3 0 - a n . R u t h M c Ve y

memandang bahwa sebagai

'

'. Maksudnya, birokrasi negara kolonial diurusi pegawai pemerintah k o l o n i a l , b a i k p a d a b i r o k r a s i m a u p u n , yang didukung oleh Dinas Polisi Rahasia Belanda yang

berfungsi memapankan birokrasi serta mengisolasi pergerakan politik. Sistem ini memandulkan politik elit istana, dan berakibat PB XI dan PB XII tidak piawai bermain politik seperti halnya PB X.

Ada tiga persoalan yang mendorong disorientasi politik di lingkungan istana,

yakni: sejak tahun 1936

kesehatan PB X makin menurun. Usia 70 tahun terlalu berat untuk melakukan kegiatan politik, baik menghadapi kekuatan kolonial yang menggerogoti otoritas kekuasaan maupun nasionalis garis keras yang menyangsikan visi p o l i t i k . S e c a r a s i m b o l i k P B X berkehendak menyatukan kekuatan Islam dan nasionalis. Sinergi dua kekuatan politik itu mengikuti gaya politik Sultan Agung (SA) dalam menghimpun legitimasi politik dan menggalang kekuatan massa. Sinergi dua kekuatan politik dipandang dapat mengatasi persoalan sosio-budaya, sosio-ekonomi, dan sosio-politik yang d ih ada pi masyarakat. PB X mentransformasikan dalam perlawatan politik yang secara simbolik menyuarakan sinergi Islam, Jawa, dan nasionalis. Perlawatan politik terakhir adalah mengunjungi Buitenzorg

11 1 2 13 15 16 beamtenstaatantara beamtenstaat

the state as efficient bureaucratic machine

B i n n e n l a n d s b e s t u u r Inlandschbestuur

Pertama,

17 George D. Larson, ., p. 223.

18 PB XI berkuasa pada 1939-1944 menyerah secara nista kepada pejabat-pejabat pendudukan Jepang di Surakarta. Sikap politik ini bertolak belakang dengan sikap ayahandanya. Lihat John Pemberton,

, a.b. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), p. 155. 19 George D. Larson, ., pp. 292-293.

20 Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken, “Pendahuluan”, dalam Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.), , a.b. YOI, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), pp. 1-15.

21 Clifford Geertz, , (London: Hutchinson, 1975), pp. 259-269.

op. cit

Jawa: On the Subject of Java op. cit

Politik Lokal di Indonesia The Interpretation of Culture 22 Ibid., pp. 277-285.

(Bogor), Batavia, dan Lampung, pada bulan Januari hingga awal bulan Februari 1935.

P u t e r a m a h k o t a , P. Hangabehi, tidak memiliki visi politik. Kegiatannya dalam dunia politik didorong oleh P. Hadiwidjojo dan RMA. Woerjaningrat. Residen A.J.W. Harloff (1918-1922) memandang putera mahkota sebagai sosok yang tidak memiliki visi politik. Pandangan ini selaras dengan pemikiran Hoesein Djajadiningrat bahwa hampir semua pangeran (putera raja) tidak punya visi politik, hanya Koesoemojoedo dan Soerjohamidjojo yang mampu memahami politik lokal.

Keterlibatan dua pureta Sunan d a l a m p o l i t i k l o k a l b e r s a m a Wo e r j a n i n g r a t ( m e n a n t u S u n a n ) mengakibatkan provokasi-provokasi politik yang dilakukan Residen Harloff b a h w a K o e s o e m o j o e d o d a n Woerjaningrat menghasut sunan untuk melawan Belanda di Surakarta. Kegiatan politik praktis yang dilakukan sebagian b e s a r p u t e r a S u n a n m e n d o r o n g pemerintah memilih Hangabehi sebagai putera mahkota. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa Hangabehi tidak memiliki visi politik, patuh dan tunduk, serta 'berserah diri' kepada pemerintah Belanda.

PB X sejak semula kurang setuju

pengangkatan Hangabehi sebagai putera m a h k o t a , d a n l e b i h m e m i l i h Koesoemojoedo. Dalam pandangan Van Wijk dan Sollewijn Gelpke bahwa Koesoemojoedo berkepribadian yang sulit dipahami, dan pemikiran politiknya cenderung ke kiri, yakni sosialisme. Kepiawaian Koesoemojoedo berpolitik, d a n s i m p a t i S u n a n k e p a d a n y a menimbulkan persaingan internal yang t i d a k m e n g u n t u n g k a n , m e m i c u kemandulan politik, dan munculnya friksi dalam istana yang berpengaruh terhadap politik lokal Surakarta.

Ikatan dan sinergi politik yang dirintis PB X melalui 'perlawatan politik' menjadi tidak berarti, karena persaingan memacu faksi politik yang melemahkan politik Kasunanan. Munculnya faksi politik merupakan kendala serius terhadap politik sipil yang diproyeksikan untuk meraih 'kesepadanan' antara pribumi dan penguasa kolonial. Jalan terbaik untuk mempercepat 'kesepadanan' adalah mewujudkan 'revolusi integratif' yang berperan menjembatani pemikiran 'lama' yang berpijak pada primordialisme, serta mengganti dengan pemikiran 'baru' yang berpijak pada persatuan dan kesatuan.

pada tahun 1915, Residen F.P. Sollewijn Gelpke menetapkan keputusan bahwa RA. Djojonagoro

17 18 19 20 21 22 K e d u a , Ketiga,

23 Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930

24 op. cit

25 Ibid

Hans van Miert,

, a.b. Sudewo Satiman, (Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV, 2003), pp. 255-322, 349-396, 416-529. George D. Larson, ., pp. 126-130. ., pp. 36-39. d i t u n j u k s e b a g a i p a t i h R A A . Sosrodiningrat (1889-1915). Sebelum m e n d u d u k i j a b a t a n p a t i h , R A . Djojonagoro adalah Bupati Nayoko, dan D joj on a go ro pu te r a pa tih RA A . Sosrodiningrat. Penunjukkan secara sepihak menimbulkan ketidakpuasan kerabat keraton, mengingat peran Djojonagoro tidak sepadan dengan Wo e r j a n i n g r a t . Wo e r j a n i n g r a t , Koesoemojoedo, dan Soerjohamidjojo adalah elit keraton yang paling aktif dalam politik pergerakan, meskipun pejabat Belanda memandang ketiga elit itu sosok yang paling licik dan berambisi.

Penunjukkan RA. Djojonagoro memungkinkan pemerintah kolonial Belanda melanjutkan praktek politik yang menempatkan birokrasi kepatihan dalam bayang-bayang kolonial, dan praktek politik ini mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap aktivis-aktivis politik pergerakan. Menurut Larson pejabat kepatihan yang dipilih peme rintah ad alah pe ja bat ya ng berkepribadian lemah, mengabaikan kepentingan Kasunanan dan masyarakat.

Setelah PB X wafat digantikan putera mahkota, bergelar PB XI (1939-1944). Perubahan kekuasaan justru mengendurkan peran politik Kasunanan dalam pergerakan kebangsaan, karena PB XI 'menjauhkan diri' dari percaturan politik lokal. Ketika masih berstatus sebagai putera mahkota, PB XI aktif dalam organisasi pergerakan, dan

menjabat sebagai ketua (kehormatan) SI. Sebaliknya setelah naik tahta, PB XI tidak mampu meletakkan kekuasaan pada spektrum sosial (kemasyarakatan). Secara simbolik tidak dapat mencari titik temu penampilan politik istana dalam pergerakan kebangsaan. Sikap ini bertolak belakang dengan visi politik PB X. Sunan mampu mendirikan berbagai sarana untuk memberdayakan masyarakat, di antaranya adalah lembaga pendidikan, ekonomi, pelayanan kesehatan, sosial, hiburan, dan mendukung organisasi politik SI dan BO di Surakarta. Interaksi PB X dengan lembaga pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik dapat diamati pada bagan di bawah ini

Struktur Interaksi Paku Buwana X, Pendidikan, dan Pergerakan Kebangsaan

Bagan di atas menunjukkan bahwa PB X merupakan tokoh yang memiliki ruang politik dan berpeluang menoreh sejarah. Torehan sejarah tidak diletakkan pada konteks kolaborasi dengan kolonial

2 3 24 25 Pergerakan Kebangsaan Madrasah dan Sekolah Umum di Kasunanan Pengembangan Struktur Ekonomi Masyarakat Struktur Peluang Politik

Pemikiran Politik Pergerakan

Politik Simbolis PB X

26 James L. Guth & John C. Green, “Arti Penting Agama: Konsep Inti ?”, dalam David C. Leege & Lyman A. Kellstedt (eds.), , a.b. Debbie A. Lubis & A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: YOI, 2006), pp. 253-266.

27 James S. Coleman mengemukakan bahwa meluasnya nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat dapat memacu mereka merenungkan kembali keburukan dan kelemahan kebijakan kolonial, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesejahteraan dan kebebasan berekspresi. Lihat James S. Coleman, , a.b. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowatie & Siwi Purwandari, (Bandung: Nusa Media, 2008), pp. 565-570.

Agama dalam Politik Amerika

Dasar-Dasar Teori Sosial

dalam mempertahankan kekuasaan, tetapi merekonstruksi 'batin' kemanusiaan untuk mendorong mobilitas vertikal kelompok Islam pinggiran. Diberlakukan politik etis pada 1902, membumbuhkan inspirasi mendirikan lembaga pendidikan Islam dan umum (Madrasah Mamba'ul Ulum, HIS Kasatryan, dan HIS Pamardi Putri) yang secara struktural membuka peluang politik bagi kelompok Islam pinggiran. Pendirian lembaga pendidikan, baik madrasah maupun sekolah umum, yang mendapat dukungan elit politik keraton ditafsirkan sebagai tindakan politis untuk mendekonstruksi politik, yakni dari paradigma politik tradisional menuju paradigma politik partisipasi massa. Konsekuensi perubahan tersebut adalah keharusan memberikan dukungan simbolik terhadap organisasi ekonomi (SDI) dan organisasi politik (SI dan BO) yang tumbuh di Surakarta. Pada sisi lain, tindakan itu memperkuat akses ekonomi rakyat turut pula memperkuat politik partisipasi massa. Akses ekonomi rakyat meliputi pembangunan ruang publik (Taman Sriwedari), jembatan Jurug, Bacem, dan Mojo, mendirikan bank, rumah sakit dan apotik, serta membangun Pasar Gedhe Hardjonagoro.

Berdirinya lembaga pendidikan Islam yang diakui pemerintah Belanda justru memacu kelompok politik pinggiran memperkuat nilai-nilai

keislaman untuk dijadikan landasan orientasi politik. Dengan demikian rakyat terdorong melakukan gerakan politik perlawanan, dan menarik legitimasi yang pernah disalurkan kepada pemerintah kolonial.

P e m b e r d a y a a n k e l a s s o s i a l m e n e n g a h - b a w a h d a l a m b i d a n g pendidikan dan ekonomi, berimbas pada pemberian legitimasi politik terhadap elit istana (Sunan dan kerabat istana). Pendirian madrasah yang 'diskenario' oleh Pengulu Tapsiranom dan Kiai Idris ( P e s a n t r e n J a m s a r e n ) m e m a c u persinggungan wacana politik, karena kebijakan politik etis dan Undang-Undang Desentralisasi 1903 yang diberlakukan merupakan struktur yuridis terbukanya peluang politik. Dengan demikian pendidikan, struktur ekonomi, peluang politik, dan persinggungan wacana politik menghadirkan tuntutan ' k e s e p a d a n a n p o l i t i k ' , y a n g membangkitkan perlawanan.

Perubahan tragis terjadi setelah PB X wafat, mengingat para penggantinya tidak mampu melanjutkan struktur peluang politik. Struktur peluang politik dan wacana politik pergerakan adalah simbol perlawanan terhadap kolonial Belanda. PB XI yang hanya berkuasa sekitar 5 tahun lebih suka menahan diri, d a n t u n d u k k e p a d a P e m e r i n t a h Pendudukan Jepang di Surakarta.

26

28 John Pemberton, ., pp. 155-156.

29 Yang dimaksud dengan keselarasan politik adalah berinisiatif memberi dukungan simbolik terhadap organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan. Lihat Ahmad Fuad Fanani,

, (Jakarta: Buku Kompas, 2004), pp. 139-140. ., p. 140.

31 James S. Coleman, .

33 Hasan Hanafi, “Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan, Sebuah Pendekatan Islam”, dalam Kamdani (peny.),

, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), pp. 15-17.

34 George D. Larson, ., pp. 113-288; lihat pula Hans van Miert, , pp. 186-460.

op. cit

Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif

30 Ibid

loc. Cit 32 Ibid.

Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal

op. cit op. cit.

Sementara itu, PB XII (1944-2005) terperosok pada kesalahan diplomasi sepanjang masa revolusi kemerdekaan. Kedua raja tidak mampu melakukan sinergi asosiasif dengan kekuatan sosial maupun politik, sehingga muncul kemacetan kesinambungan politik antara istana dan kaum nasionalis. Visi politik PB XII semu dan sesaat, serta tidak berusaha menciptakan keselarasan politik. Dalam sejarah Kasunanan hanya b e b e r a p a r a j a y a n g m a m p u memperjuangkan substansi Islam, khususnya memberdayakan bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.

Pada sistem ketatanegaraan Hindia Belanda, supra sistem berada di tangan , sedangkan pada t i n g k a t l o k a l b e r a d a d i t a n g a n . Sistem ketatanegaraan itu jelas memandulkan otoritas kekuasaan kerajaan tradisional. Dengan struktur itu, kebijakan apapun yang ditempuh kerajaan-kerajaan tradisional tidak berpengaruh terhadap kehidupan rakyat, mes ki kebija ka n yan g ditempu h menciderai hati rakyat. Berpijak pada struktur semacam ini rakyat tidak dapat m e n a r i k l e g i t i m a s i p o l i t i k a t a u menjatuhkan kekuasaan raja-raja tradisional, sebaliknya rakyat harus menarik legitimasi politik yang pernah

disalurkan kepada pemerintah Hindia Belanda, karena pemerintah itu yang mengelola sistem ketatanegaraan Hindia Belanda.

Dalam perspektif politik Islam, penarikan legitimasi politik yang disalurkan kepada pemerintah Hindia Belanda merupakan kewajiban Muslim guna menegakkan kehormatan dan harga diri, mendorong kemandirian lingkungan

sosial ( ), berswasembada

( ), serta mempertahankan

diri ( ). Tindakan politik PB

XI dan PB XII justru menimbulkan sinergi negatif dengan tokoh-tokoh pergerakan, baik yang berda di dalam istana maupun di luar istana. Keterlibatan putera dan menantu PB X [Koesoemojoedo, Soerjomihardjo, dan Woerjaningrat] dalam politik pergerakan diasumsikan PB XI dan PB XII merupakan kegiatan pribadi. Tiga aristokrat itu sangat aktif dalam organisasi politik, baik di SI, BO, Politiek Econimische Bond (PEB), Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), Jong Java, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), m a u p u n P a r t a i I n d o n e s i a R a y a (Parindra).

Dalam pandangan sejarah, kegiatan politik tiga aristokrat itu justru mewakili institusi Kasunanan. Dengan demikian

28 29 30 Binnenlandsbestuur Inlandschbestuur self-reliance self-sufficiency self-defence 31 32 33 34

35 Ahmad Fuad Fanani, 36 Atmakusumah (peny.), , (Jakarta: Gramedia, 1982), p. 53.

loc. Cit.

Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengk Buwana

Dokumen terkait