• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abrams GD. 1994. Gangguan sirkulasi. Di dalam Price SA, Wilson LM, editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm: 93-95.

Alifuddin M, Priyono A, Nurfatimah A. 2002. Inventarisasi parasit pada ikan hias yang dilalulintaskan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Jurnal Akuakultur Indonesia 1(3): 123-127.

Anonim. 2012. Gupi. [terhubung berkala]. http://id.wikipedia.org/wiki/Gupi.[26 Agustus 2012].

Anshary H. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis Student Center Learning (SCL) Mata Kuliah Parasitologi Ikan. Makassar: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Hlm: 27-50.

Areechon N, Chansue N, Ponpornpisit A. 2001. Systemic granulomatosis in guppies Poecilia reticulata. Kasetsart Journal (Natural Science) 35: 456- 459.

Aryanto H. 1997. Dinamika Populasi Ikan Guppy (Poecilia reticulata Peters). [skripsi]. Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Diponegoro. Hlm: 6-9.

Astrofsky KM, Schech JM, Sheppard BJ, Obenschain CA, Chin AM, Kacergis MC, Laver ER, Bartholomew JL, Fox JG. 2002. High mortality due to Tetrahymena sp. infection in laboratory-maintained zebrafish (Brachydanio rerio). Comparative Medicine 52(4): 363-367.

Azad IS, Al-Marzouk A, almatar S, Al-Gharabally H. 2007. Scuticociliatosis- associated mortalities and histopathology of natural infection in cultured

23 silver pomfret (Pampus argentus Euphrasen) in Kuwait. Aquaculture 262: 202-210.

Bacha WJ, Bacha LM. 2000. Color Atlas of Veterinary Histology Second Edition. United States: Lippincott Williams & Wilkins. Hal.: 1-3.

Bancroft J, Stevens A. 1990. Theory and Practice of Histological Techniques. New York: Churchill livingstone. Hlm: 1.

Barton BA, Iwama GK. 1991. Physiological changes in fish from stress in aquaculture with emphasis on the response and effects of corticosteroids. Annual Review of Fish Diseases 1: 3–26.

Basson L, van As J. 2006. Trichodinidae and other Ciliophorans (Phylum ciliopora). Di dalam Woo PTK, editor. Fish Diseases and Disorders Volume 1 : Protozoan and Metazoan Infections Second Edition. UK: CABI. Hlm: 175-179.

Bonga SEW. 2011. Hormone response to stress. Di dalam Farrell AP, editor. Encyclopedia of Fish Physiology: From Genome To Environtment. UK: Elsevier Inc. Hlm: 1515-1519.

Bruno DW, Nowak B, Elliott G. 2006. Guide to the identification of fish protozoan and metazoan parasites in stained tissue sections. Diseases of Aquatic Organism 70: 1-36.

Bharati VR, Khan RN, Kalavati C, Ramam AV. 2001. Protozoan colonization on artificial substrates in relation to water quality in a tropical Indian Harbour. Journal of Environtmental Sciences 13: 143–147.

Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology Second Edition. United States of America: Iowa State University Pr. Hlm: 29-31, 91-93.

Gustiano R, Prihadi TR, Kusrini E. 2008. Survai potensi, distribusi sumber daya, dan usaha ikan hias air tawar di beberapa sentra produksi. Media Akuakultur 3(1): 77-80.

Hoffman GL, Lando M, Camper JE, Coats DW, Stookey L, Burek JD. 1975. A disease of freshwater fishes caused by Tetrahymena corlissi Thompson, 1955 and key for identification of holotrich ciliates of freshwater fishes. Journal of Parasitology 61 (2): 217-223.

Imai S, Tsurimaki S, Goto E, Wakita K, Hatai K. 2000. Tetrahymena infection in guppy, Poecilia reticulata. Fish Pathology 35(2): 67-72.

Jeffri. 2010. Budidaya Ikan Guppy. [terhubung berkala]. http://jeffri022.student.umm.ac.id/2010/02/10/budidaya-ikan-guppy/. [26 Agustus 2012].

Kordi H dan Ghufran KM. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta: Bina Adiaksara. Hlm: 3-25.

Khairuman dan Amri K. 2011. Buku Pintar Budi Daya 15 Ikan konsumsi. Jakarta: Agromedia. Hlm: 4.

Khalil B. 2010. Histopathology of skin of some fishes of family Sciaenidae from Karachi Coast [disertasi]. Karachi: Department of Zoologi Jinnah University for Women Nazimabad Karachi Pakistan.

Kim JH, Hayward CJ, Heo GJ. 2002. Nematode worm infections (Camallanus cotti, Camallanidae) in guppies (Poecilia reticulata) imported to Korea. Aquaculture 205: 231-235.

Kozloff EN. 1990. Invertebrates. Philadelphia: Saunders College Publishing. Hlm:65-69

24

Lawhavinit O, Chukanhom K, Hatai K. 2002. Effect of Tetrahymena on the occurrence of Achlyosis in the guppy. Mycoscience 43: 27-31.

Leibowitz MP, Ariav R, Zilberg D. 2005. Environtmental and physiological conditions affecting Tetrahymena sp. infection in guppy, Poecilia reticulata Peters. Journal of Fish Diseases 28:539-547.

Leibowitz MP, Zilberg D. 2009. Tetrahymena sp. nfection in guppy, Poecilia reticulata Peters: parasite characterization and pathology of infected fish. Journal of Fish Diseases 32:845-855.

Leibowitz MP, Chettri JK, Ofir R, Zilberg D. 2010. Treatment development for systemic Tetrahymena sp. infection in guppy, Poecilia reticulata Peters. Journal of Fish Diseases 33:473-480.

Monks N. 2012. Guppy Disease (Tetrahymena). [terhubung berkala]. http://www.fishchannel.com. [26 Agustus 2012].

Noga EJ. 2010. Fish Disease : Diagnosis and Treatment Second Edition. Wiley- Blackwell : Iowa. Hlm: 107-267, 140-141.

Peters. 1859. Poecilia reticulata, Peters “Guppy”. [terhubung berkala]. http://www.fisbase.org/FieldGuide/FieldGuideSummary.cfm?GenusName =Poecilia&SpeciesName=reticulata&pda=&sps=. [29 Agustus 2012]. Satyani D. 2003. Ikan hias air tawar: prospek dan masalah. Warta Penelitian

Perikanan Indonesia 9: 8-13.

Schelkle B, Doetjes R, Cable J. 2011. The salt myth revealed: treatment of Gyrodactylid infections on ornamental guppies, Poecilia reticulata. Aquaculture 311: 74-79.

Stoskopf MK. 1993. Fish Medicine. WB Saunders Company: Philadelphia. Hlm:2-47.

Supriyadi H, A Hardjamulia. 1986. Current of Programs for Health Certification and Quarantine in Indonesia, in Arthur JR 1986. Fish Quarantine and Fish Disease in South and Southeast Asia. 1986. IDRC: Ottawa Kanada. Hlm: 27-29.

Tinangon A. 2010. Hasilkan Rupiah dengan Budidaya Ikan Hias Air Tawar [skripsi]. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Yogyakarta. Hlm: 2-6.

Wildgoose WH. 2007. Buoyancy disorders of ornamental fish: A review of cases seen in veterinary pratice. Fish Veterinary Journal 9:22-37.

Woodmansey EJ. 2007. Intestinal bacteria and ageing. Journal of Applied Microbiology 102: 1178-1186.

25

LAMPIRAN

Lampiran 1

Pembuatan Sediaan Histopatologi

Pembuatan sediaan histopatologi berdasarkan Bacha dan Bacha (2000) pada organ ikan dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :

1. Grossing

Sediaan organ ikan yang sudah direndam dalam larutan Neutral Buffer Formalin (NBF) 10%, kemudian dipotong dengan ketebalan + 3 mm dan potongannya dimasukkan ke dalam kaset jaringan.

2. Dehidrasi

Organ yang ada dalam kaset jaringan dimasukkan ke dalam gelas-gelas mesin autotechnicon untuk dilakukan dehidrasi. Dehidrasi ini dilakukan bertahap dengan menggunakan alkohol yang konsentrasinya bertingkat, dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut 1, alkohol absolut 2. Setelah itu dilakukan proses penjernihan (clearing) dengan memasukkan sediaan ke dalam xylol, dua kali ulangan.

3. Infiltrasi Parafin

Jaringan diinfiltrasi dalam parafin dengan merendamnya dalam parafin cair sebanyak tiga kali ulangan.

4. Penanaman (embedding) dan pencetakan (blok)

Sediaan yang telah diinfiltrasi parafin ditanam dalam cetakan yang telah berisi parafin cair setengah dari dinding cetakan, kemudian setelah mulai membeku ditambahkan lagi dengan parafin cair sampai penuh. Proses ini dilakukan di mesin tissue embedding console (Sakura®). Sediaan tersebut diatur letaknya kemudian diberi label lalu dibekukan dalam lemari es untuk memudahkan pemotongan.

5. Pemotongan

Jaringan dipotong 3-5 µm dengan mikrotom (Spencer®). Hasil potongan diletakkan di atas air hangat untuk mencegah terjadinya lipatan saat dibentangkan. Sediaan dilekatkan di atas gelas objek kemudian dikeringkan di dalam inkubator.

Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)

Pewarnaan HE termasuk dalam jenis pewarnaan ganda (double staining) karena menggunakan 2 jenis zat warna. Pada pewarnaan ganda, umumnya pewarnaan yang digunakan satu bersifat asam dan yang lain bersifat basa. Paduan sifat tersebut menyebabkan bagian-bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik dapat ditonjolkan. Penggunaan pewarna ganda bertujuan agar terjadi kekontrasan antara bagian yang bersifat asidofilik dan basofilik, sehingga pengenalan bagian tertentu dapat lebih cepat dan jelas terlihat.

Pewarnaan HE diawali dengan proses deparafinasi dengan menggunakan xylol dua kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit. Kemudian dilanjutkan dengan proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol absolut, 95%, dan 70%

26

secara berurutan masing-masing selama 2-3 menit. Sediaan kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya sediaan dimasukkan ke dalam 5% sodium tiosulfat 2-3 menit. Sediaan dicuci kembali dalam air mengalir selama 3-5 menit. Sediaan diwarnai dengan pewarna hematoksilin Mayer selama 8 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir, direndam dalam lithium carbonat selama 15-30 detik, kemudian dicuci kembali dalam air mengalir. Sediaan diwarnai dengan pewarna eosin selama 2-3 menit, setelah itu sediaan dicuci dalam air mengalir untuk membersihkan warna eosin yang berlebihan. Selanjutnya sediaan didehidrasi dengan memasukkannya ke dalam alkohol 70%, alkohol 95%, alkohol absolut dua kali ulangan masing-masing selama 2-3 menit, xylol dua kali ulangan masing- masing selama 2 menit. Setelah semuanya selesai, sediaan dikeringkan kemudian ditetesi dengan mounting medium dan ditutup dengan gelas penutup dan siap untuk diperiksa di bawah mikroskop (Bancroft dan Stevens 1990).

Pewarnaan Periodic Acid-Schiff Reaction (PAS)

Proses pewarnaan periodic acid schiff diawali dengan proses deparafinisasi dan rehidrasi seperti pada pewarnaan HE. Pertama, sediaan dioksidasi dalam asam periodik 1% selama 5-10 menit. Kemudian dibilas dengan akuades sebanyak tiga kali masing-masing selama 5 menit. Selanjutnya, sediaan dimasukkan dalam reagen Schiff selama 15-30 menit. Setelah itu, sediaan dibilas dengan air sulfit sebanyak tiga kali masing-masing dua menit. Kemudian dibilas dengan air keran mengalir selama 10-15 menit. Terakhir sediaan dibilas dengan akuades. Jika perlu pewarnaan inti, sediaan dimasukkan ke dalam Hematoksilin, kemudian dibilas dengan air mengalir dan akuades. Setelah proses pewarnaan selesai sediaan didehidrasi seperti pada pewarnaan HE.

27

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kudus pada 22 November 1990. Penulis merupakan putri ke dua dari dua bersaudara dari pasangan Farid Djojopartono dan Farida Hidayah. Penulis mengenyam pendidikan formal di MI Muhammadiyah 1 Kudus (2002), SMP Negeri 2 Kudus (2005), dan SMA Negeri 1 Kudus (2008). Tahun 2008 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) dan Komunitas Musik Seni dan Tari (STERIL) di lingkungan kampus.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dikenal memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup besar, terutama dalam perbendaharaan jenis-jenis ikan. Diperkirakan sekitar 16 % spesies ikan yang ada di dunia hidup di perairan Indonesia. Menurut data, total jumlah jenis ikan yang terdapat di perairan Indonesia mencapai 7000 spesies. Hampir 2000 spesies di antaranya merupakan jenis ikan air tawar (Khairuman dan Amri 2011). Budidaya ikan hias di Indonesia sampai saat ini masih mengalami kendala baik dalam hal pemeliharaan maupun pemasarannya. Masalah umum yang ada pada dunia ikan hias adalah ketidakmampuan memenuhi permintaan pasar yang cukup besar baik dari kuantitas maupun kualitas (Satyani 2003). Dibandingkan dengan ikan konsumsi, peranan pemerintah dalam pengembangan usaha budidaya ikan hias masih terbatas. Berdasarkan survei yang dilakukan, kegiatan budidaya ikan hias masih terkonsentrasi di kota-kota besar dan didominasi tangkapan dari alam (Gustiano et al. 2008).

Keberadaan ikan hias saat ini tidak lagi sebagai hiburan atau hobi semata tetapi telah berkembang menjadi objek yang dimanfaatkan bagi kepentingan dunia pendidikan, penelitian, medis maupun keperluan konservasi alam. Sampai saat ini ikan hias air tawar merupakan salah satu jenis komoditas ekspor nonmigas bidang perikanan yang mampu menyumbang devisa negara yang cukup besar (Gustiano et al. 2008). Usaha budidaya ikan hias merupakan salah satu usaha yang memberikan alternatif sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan petani/pengusaha ikan hias. Peluang usaha dan potensi ekonomis budidaya ikan hias lebih menggiurkan dibandingkan dengan ikan konsumsi. Dengan pola pemeliharaan dan pemberian makanan yang hampir sama dengan ikan konsumsi , budidaya ikan hias mampu menghasilkan pemasukan yang lebih besar. Harga ikan hias yang memiliki bentuk, warna, corak yang indah akan berharga cukup mahal. Hasil budidaya ikan hias lebih menekankan kualitas sehingga bisa dilakukan di lahan sempit dan bisa dilakukan sebagai usaha sampingan (Tinangon 2010).

Begitu banyak agen penyakit yang menyerang spesies ikan hias di Indonesia. Beragam jenis penyakit pada ikan tersebut disebabkan oleh jamur, bakteri, protozoa maupun virus. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh protozoa antara lain: Ichtyophthirius multifilis, Trichodina heterodentata, Tetrahymena sp, dan Cryptocaryon, sedangkan beberapa penyakit yang disebabkan oleh cacing antara lain: Lernaea sp., Argulus sp., Gyrodactylus sp., dan Dactylogyrus sp. (Alifuddin et al. 2002). Penyakit yang disebabkan cendawan adalah Saprolegnia sp., Achlya sp.. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri yaitu Aeromonas sp., Pseudomonas sp., Mycobacteria sp., Columnaris sp., Flexibacter sp., Myxobacteria sp., dan Edwardsiella sp.. Penyakit yang disebabkan oleh virus adalah Infectious pancreatic necrosis, Channel catfish virus, Viral hemorrhagic septicemia, Swim bladder inflammation, dan Koi Herpes Virus (Kordi & Ghufran 2004).

Menurut Supriyadi dan Hardjamulia (1986) untuk negara Indonesia masalah penyakit ikan hanya terbatas menyerang ikan air tawar dan ikan hias, baik penyakit parasit maupun non parasit. Penyakit ikan yang begitu banyak dan perlu penanganan lebih lanjut serta dibutuhkannya tenaga yang ahli di bidangnya

2

termasuk dokter hewan yang memiliki peranan yang besar untuk mengatasi penyakit-penyakit tersebut. Dalam mendukung semuanya itu perlu diterapkannya ilmu patologi untuk dapat mengetahui lebih lanjut penyakitnya serta tata cara penanganan penyakit tersebut. Pemeriksaan patologi pada ikan hias bertujuan untuk mempelajari perubahan patologi anatomi dan histopatologi organ yang dapat disebabkan oleh gangguan infeksius dan non infeksius. Manfaat dari pemeriksaan patologi ini adalah dapat diperoleh informasi mengenai perubahan patologi pada organ-organ ikan hias serta penyebabnya sehingga dapat digunakan untuk strategi penanggulangan penyakit-penyakit pada ikan hias baik yang bersifat infeksius maupun non infeksius.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kasus infeksi protozoa Tetrahymena spp. yang ditemukan, dengan mempelajari morfologi parasit dalam irisan jaringan ikan Guppy (Poecilia reticulata) serta melakukan analisa patogenesa penyakit berdasarkan lesi histopatologi yang ditemukan.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperoleh data mengenai kasus kejadian penyakit yang terjadi pada ikan Guppy (Poecilia reticulata). Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukkan untuk berbagai pihak yang berkaitan dengan kesehatan ikan hias untuk mendukung manajemen pengelolaan budidaya ikan hias

Dokumen terkait