• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman KATA PENGANTAR………... i DAFTAR ISI ………….………... ii DAFTAR TABEL……..………... iv DAFTAR GAMBAR………. vi

DAFTAR LAMPIRAN……….………. vii

I. PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 3 1.3. Tujuan Penelitian... 6 1.4. Manfaat Penelitian... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA... 8 2.1. Konsep Kemiskinan... 8 2.2. Konsep Indikator kemiskinan... 10 2.3. Strategi Penanggulangan Kemiskinan... 13 2.4 Pembangunan Perdesaan sebagai Upaya Penanggulangan

Kemiskinan... 14 2.4 Pendekatan Pengentasan Kemiskinan di Tingkat Petani

melalui Pengembangan Komoditas Perkebunan... 20 2.6 Teori Basis Ekonomi... 22 2.7 Pola Pemasaran Komoditi Perkebunan... 22 2.8 Ikhtisar... 26

III. METODE KAJIAN……... 27 3.1 Kerangka Pemikiran... 28 3.2 Lokasi Kajian... 29 3.3 Metode Pengumpulan Data... 29 3.4 Metode Pengolahan dan Analisis yang digunakan... 30 3.4.1 Analisis Location Quotient (LQ)... 30 3.4.2 Analisis Kelayakan Finansial ... 31 3.5 Metode Perancangan Program... 33

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN MUNA ... 34 4.1 Letak Geografis dan Kondisi Alam... 34 4.2 Wilayah Administrasi dan Demografi... 36 4.3 Kemiskinan Kabupaten Muna ... 38 4.4 Pendidikan dan Kesehatan... 40 4.5 Penguasaan Lahan dan Potensi Pengembangan

Komoditi Perkebunan... 42

V. ANALISA DAN PEMBAHASAN... 44 5.1 Kondisi Kemiskinan di Tingkat Petani Kabupaten Muna... 44 5.1.1 Ketergantungan Terhadap Usahatani ... 45

5.2 Komoditas Perkebunan Unggulan Masing-Masing Kecamatan yang berperan dalam Meningkatkan Perekonomian

Perdesaan di Kabupaten Muna... ... 51 5.2.1 Analisis Basis Ekonomi : Luas Areal dan Hasil Produksi 52 5.2.2 Analisis Kelayakan Finansial ... 55 5.2.2.1 Analisis Finansial Usahatani Kelapa ... 55 5.2.2.2 Analisis Finansial Usahatani Kopi ... 57 5.2.2.3 Analisis Finansial Usahatani Jambu Mete ... 58 5.2.2.4 Analisis Finansial Usahatani Kemiri ... 59 5.2.2.5 Analisis Finansial Usahatani Coklat/Kakao ... 60 5.3 Pola Pemasaran Komoditi Perkebunan di Kabupaten Muna... 62 5.4.1 Saluran Pemasaran dan Harga Komoditi Kelapa... 62 5.4.2 Saluran Pemasaran dan Harga Komoditi Kopi... 63 5.4.3 Saluran Pemasaran dan Harga Komoditi Jambu Mete.... 65 5.4.4 Saluran Pemasaran dan Harga Komoditi Kemiri... 66 5.4.5 Saluran Pemasaran dan Harga Komoditi Coklat/Kakao.. 68 5.4 Pengembangan Komoditi Perkebunan tiap Kecamatan ... 70 5.5 Ikhtisar... 85

VI. RANCANGAN PROGRAM STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI TINGKAT PETANI MELALUI PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN...

87

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90 7.1 Kesimpulan... 90 7.2 Saran... 91

DAFTAR PUSTAKA 92

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Muna, Tahun 2004 – 2006.. 2

2. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian Pokok Keluarga

Miskin di Kabupaten Muna, Tahun 2006 ... 3

3. Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan di Kabupaten

Muna, Tahun 2002-2006 ... 4

4. Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan ... 29

5. Kontribusi Sektoral di Kabupaten Muna, Tahun 2002-2006... 36

6. Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Tiap-Tiap Kecamatan se Kabupaten Muna, Tahun 2002-2006 ... 37

7. Jumlah Kepala Rumahtangga Miskin Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Muna, Tahun 2006 ... 39

8. Jumlah Fasilitas Pendidikan di Kabupaten Muna, Tahun 2006... 40

9. Fasilitas dan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Muna, Tahun 2006... 41

10. Penggunaan Lahan di Kabupaten Muna, tahun 2006... 42

11. Luas Areal dan Produksi Komoditi Perkebunan per Kecamatan di Kabupaten Muna, Tahun 2006 ... 43

12. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Pokok Kepala Rumahtangga Miskin Kabupten Muna, Tahun 2006 ... 45

13. Jumlah Rumahtangga Tani Miskin Pengguna Lahan Pertanian di Kabupaten Muna, Tahun 2006 ... 47

14. Jumlah Rumahtangga Miskin Menurut Pendidikan di Kabupaten Muna, Tahun 2006... 49

15. Indeks Location Quotient Berdasarkan Produksi Unit Usaha Tanaman Perkebunan di Kabupaten Muna ... 52

16. Indeks Location Quotient Berdasarkan Luas Areal Komoditas

Perkebunan di Kabupaten Muna ... 54

17. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Perkebunan di

Kabupaten Muna ... 55

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 28 2. Peta Kabupaten Muna ... 35 3. Saluran Pemasaran Komoditi Kelapa ... 62 4. Saluran Pemasaran Komoditi Kopi ... 63 5. Saluran Pemasaran Komoditi Jambu Mete ... 65 6. Saluran Pemasaran Komoditi Kemiri ... 67 7. Saluran Pemasaran Komoditi Coklat/Kakao ... 68 8. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Tongkuno ... 70 9. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Parigi... 71 10. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Bone ... 71 11. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kabawo... 72 12. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kabangka... 72 13. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Tikep... 73 14. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Maginti... 73 15. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Tiworo Tengah ... 74 16. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Lawa ... 74 17. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Sawerigadi... 75 18. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Barangka... 75 19. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kusambi... 76 20. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kontunaga... 76 21. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

22. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Katobu... 77 23. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Lohia... 78 24. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Duruka ... 78 25. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Batalaiworu ... 79 26. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Napabalano ... 79 27. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Lasalepa ... 80 28. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Wakorsel... 80 29. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Pasir Putih... 81 30. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Bonegunu... 81 31. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kambowa... 82 32. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Wakorumba... 82 33. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Maligano... 83 34. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kulisusu... 83 35. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kulisusu Barat... 84 36. Hubungan Location Quotient (LQ) dan Net B/C

di Kecamatan Kulisusu Utara... 84

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Analisis Finansial Usahatani Komoditi Kelapa ... 2. Hasil Analisis Finansial Usahatani Komoditi Kopi ... 3. Hasil Analisis Finansial Usahatani Komoditi Jambu Mete ... 4. Hasil Analisis Finansial Usahatani Komoditi Kemiri ... 5. Hasil Analisis Finansial Usahatani Komoditi Coklat/Kakao ...

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, merupakan akibat langsung dari kebijakan ekonomi yang terlalu berpihak pada pertumbuhan ekonomi dengan mengedepankan ekonomi konglomerat dalam sistem ekonomi kapitalistik. Sistem ekonomi kapitalistik tersebut menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan efisien, tetapi mengabaikan pemerataan dan keadilan.

Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 sejak awal tahun 2001, telah terjadi impilikasi terhadap perkembangan daerah, terutama dengan kewenangan luas untuk mengelola potensi sumberdaya yang tersedia semaksimal mungkin sebagai upaya dalam memprioritaskan pembangunan daerah yang berbasis pada pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak, peningkatan pendapatan daerah (PAD) serta berwawasan lingkungan.

Pembangunan daerah Kabupaten Muna merupakan bagian integrasi dari pembangunan nasional dan pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Tenggara yang dilaksanakan sendiri, oleh dan untuk rakyat bersama-sama dengan pemerintah yang pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tidak mengabaikan aspek pemerataan ataupun aspek pertumbuhan yang berkeadilan.

Strategi pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan telah melahirkan banyak kelemahan, diantaranya adalah terjadinya kesenjangan dalam berbagai sektor pembangunan, seperti halnya pada sektor ekonomi, industri yang berkembang hanyalah industri yang berskala besar dan menengah yang berpusat di wilayah perkotaan. Kesenjangan ini pada akhirnya melahirkan urbanisasi dan perubahan struktur dalam perekonomian masyarakat. Program-program yang dibuat lebih banyak berpihak pada kelompok-kelompok usaha besar dengan berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan sebagai stimulasi pertumbuhan ekonomi.

lebih berat. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk miskin secara nasional termasuk di Kabupaten Muna.

Kabupaten Muna merupakan salah satu kabupaten tertinggal yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi relatif rendah (0,1%) dan tingkat potensi pengembangan yang sangat rendah. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Muna merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan 12 Kabupaten lainnya yang ada di Sulawesi Tenggara. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Muna dapat dilihat pada Tabel. 1

Tabel. 1 Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Muna, Tahun 2004 – 2006

Tahun Total Penduduk (jiwa) Total Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin 2004 2005 2006 297.550 300.498 304.753 157.639 159.289 168.431 52,97 53,01 55,27 Sumber : BPS Kabupaten Muna (2006)

Pada Tabel 1 jumlah kemiskinan di Kabupaten Muna tahun 2006 sebanyak 168.431 jiwa atau 55,27 persen dari total penduduk sebanyak 304.753 jiwa yang tersebar di 29 kecamatan, 254 desa, 39 kelurahan dan satu unit permukinan transmigrasi. Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin sebanyak 159.289 jiwa atau 53,01 persen dari jumlah penduduk sebanyak 300.498 jiwa. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin mencapai 157.639 jiwa atau 52,97 persen. Dengan demikian jumlah kemiskinan di Kabupaten Muna mengalami peningkatan sebesar 1,74 persen dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006.

Meningkatnya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Muna, menuntut pemerintah daerah untuk segera menanggulangi kemiskinan tersebut. Kabupaten Muna merupakan daerah dengan potensi sumberdaya alam yang sangat besar. Letak geografis yang strategis, kondisi tanah subur dan iklim yang memungkinkan untuk pendayagunaan lahan sepanjang tahun, merupakan modal utama untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Akan tetapi hingga saat ini potensi yang besar tersebut belum secara penuh dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kemakmuran bagi masyarakat.

Sektor pertanian Kabupaten Muna memiliki potensi penting sebagai salah satu subyek pelaku ekonomi ditandai dengan 74,20 persen penduduk Kabupaten Muna bermatapencaharian sebagai petani. Kemajuan dan kemakmuran di suatu wilayah dapat dicirikan melalui kemakmuran petaninya. Tingginya tingkat kemiskinan di suatu wilayah digambarkan oleh banyaknya rumahtangga tani miskin di daerah tersebut. Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh petani pada umumnya adalah: ketidakberdayaan, kemiskinan, rendahnya pendidikan dan rentan terhadap gejolak perekonomian. Kondisi tersebut mengakibatkan beban sosial ekonomi masyarakat petani yang harus ditanggung begitu besar sehingga kemiskinan terus meningkat.

1.2 Perumusan Masalah

Secara umum, sebagian besar keluarga miskin bertempat tinggal di perdesaan. Pada Tahun 2006 hasil pemetaan yang dilakukan di Kabupaten Muna oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Muna, sebanyak 74,20 persen dari jumlah keluarga miskin Kabupaten Muna memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pola penyebaran penduduk miskin Kabupaten Muna menurut mata pencaharian pokok keluarga miskin dapat disajikan pada Tabel 2.

Tabel. 2 Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian Pokok Keluarga Miskin di Kabupaten Muna, Tahun 2006

No Jenis Pekerjaan Jumlah Penduduk (KK) Presentase 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 Petani Nelayan Buruh Pengrajin Peternak Tukang Batu Jasa Angkutan Jasa Perdagangan Tukang Kayu Tidak bekerja 27.871 2.208 1.720 263 43 209 598 320 404 3.927 74,20 5,88 4,58 0,70 0,11 0,56 1,59 0,85 1,08 10,45 Sumber : BPS Kabupaten Muna (2006)

Pada Tabel 2 mata pencaharian pokok keluarga miskin Kabupaten Muna sebagai petani lebih banyak jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya, yaitu sebesar 27.871 KK atau 74,20 persen disusul pekerjaan pokok

1.720 KK atau 4,58 persen. Sedangkan pekerjaan pokok yang paling sedikit diminati oleh keluarga miskin Kabupaten Muna adalah peternak sebanyak 43 KK atau 0,11 persen dari seluruh jumlah keluarga miskin.

Mengingat kemiskinan lebih banyak dialami oleh rumahtangga tani, maka upaya-upaya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Muna dapat dilakukan dengan melakukan pembangunan dengan sasaran utama peningkatan kesejahteraan petani. Potensi sumberdaya alam berupa produksi perkebunan yang menjadi andalan di Kabupaten Muna, harus dioptimalkan guna meningkatkan kesejahteraan petani. Bagaimana kondisi kemiskinan di tingkat petani di Kabupaten Muna?

Kabupaten Muna merupakan salah satu daerah penghasil produk-produk perkebunan di Sulawesi Tenggara yang seluruhnya merupakan usaha pertanian rakyat dengan jenis tanaman yang beraneka ragam. Kabupaten Muna merupakan penghasil komoditi jambu mete terbesar di Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2006 produksi jambu mete mencapai 12.426,1 ton, sementara itu produksi coklat mencapai 3.010,3 ton. Tanaman perkebunan yang cukup menonjol selain jambu mete dan coklat/kakao adalah komoditi kelapa, kopi dan kemiri. Produksi komoditi kelapa sebanyak 6.398,3 ton dan produksi kopi sebanyak 317,9 ton serta komoditi kemiri sebanyak 310,4 ton. Komoditi perkebunan dengan pergembangan luas areal dan jumlah produksi yang seluruhnya merupakan usaha perkebunan rakyat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel. 3 Luas Areal dan Produksi Komoditi Perkebunan di Kabupaten Muna, Tahun 2002 – 2006

Tahun No Jenis Komoditi

2002 2003 2004 2005 2006

I Luas Tanaman (Ha)

1 Kelapa 8.575,4 8.623,7 8.520,0 8.488,0 8.528.0 2 Kopi 968,4 964,8 999,5 984,5 996,2 3 Jambu Mete 38.692,0 38.720,0 36.575 39.116,0 39.226,0 4 Kemiri 339,8 360,0 375,2 376,6 401,6 5 Coklot/Cacao 6.272,6 6.348,0 6.470,5 7.271,6 7.511,0 II Produksi (Ton) 1 Kelapa 4.937,6 5.145,8 5.130,8 6.368,8 6.398,3 2 Kopi 332,3 291,8 302,8 304 317,9 3 Jambu Mete 7.015,9 9.272,8 9.682 11.662,00 12.426,1 4 Kemiri 126,9 275,8 259,7 298,5 310,4 5 Coklot/Cacao 2.865,8 2505 2.590,5 2.884,8 3.010,3 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Muna, 2006

Melihat begitu besarnya potensi subsektor perkebunan di Kabupaten Muna, maka produk-produk tanaman perkebunan dapat menjadi andalan besar untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejateraan masyarakat setempat. Produk-poduk tanaman perkebunan petani perdesaan di Kabupaten Muna selain merupakan mata pencaharian utama masyarakat juga sebagai penyediaan lapangan kerja serta sumber peningkatan pendapatan. Oleh karena itu pada kajian ini ingin mengetahui komoditas perkebunan yang merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Muna agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat ?

Kemiskinan di wilayah perdesaan menjadi masalah utama pembangunan perdesaan di Kabupaten Muna. Berbagai program pembangunan perdesaan masih bersifat parsial, sehingga masih belum dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat perdesaan secara signifikan. Pada Tahun 1994, pemerintah pusat meluncurkan program khusus untuk menanggulangi kemiskinan dengan Inpres Desa Tertinggal (IDT), meskipun daerah-daerah belum siap. Pelaksanaan di Kabupaten Muna dimulai tahun 1994 hingga 1999. Program IDT bertujuan mengurangi jumlah penduduk miskin di desa-desa tertinggal melalui usaha yang dilakukan oleh kelompok masyarakat (pokmas) melalui dana bergulir. Sasaran penurunan jumlah penduduk miskin tidak tercapai karena (1) anggota pokmas tidak tepat sasaran, (2) kegiatan yang dilakukan pokmas banyak yang salah sasaran, (3) dana yang digunakan untuk keperluan konsumtif, (4) pendampingan tidak berjalan.

Pada tahun 1995-1999 pemerintah pusat melaksanakan Program Penunjang Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dengan sasaran program ini meliputi pembangunan prasarana desa (jalan, jembatan, air bersih dan tempat mandi cuci kakus). Program ini terus dilanjutkan sampai tahun anggaran 2001 melalui APBD Kabupaten Muna di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Kebanyakan prasarana yang dibangun bukan prasarana untuk kelancaran kegiatan ekonomi tetapi prasarana yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia.

Program Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras untuk masyarakat miskin yang selanjutnya disebut raskin, mulai dilaksanakan di Kabupaten Muna pada tahun 2000 dan masih berlanjut sampai sekarang. Program ini hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi keluarga miskin, tidak untuk

meningkatkan pendapatan keluarga miskin sehingga dampaknya terhadap penurunan jumlah keluarga miskin tidak ada.

Pada Tahun 2004, pemerintah pusat meluncurkan program khusus untuk menanggulangi kemiskinan diperkotaan dengan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan masih berlanjut sampai sekarang. Program ini hanya ditujukan pada keluarga miskin di perkotaan sementara kemiskinan llebih banyak berada diperdesaan. Pengelolaan program-program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Muna baru pada tahap memenuhi kebutuhan dasar yang bersifat penanggulangan kemiskinan sementara, sehingga tidak menurunkan jumlah kemiskinan terutama diperdesaan. Pemahaman terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat perdesaan dan produk utama wilayah tersebut menjadi bekal bagi penyusunan program pembangunan perdesaan yang terintegrasi. Oleh karena itu kajian atau analisis program pembangunan yang relevan untuk mengurangi kemiskinan perlu dilakukan. Hal ini mencakup penentuan jenis komoditas perkebunan yang akan dikembangkan pada setiap kecamatan, yang berperan dalam penyusunan rancangan strategi dan program pengentasan kemiskinan di tingkat petani untuk dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di Kabupaten Muna ?

1.3 Tujuan Penelitian.

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi kondisi rumahtangga tani miskin di Kabupaten Muna.

2. Menganalisis komoditas-komoditas unggulan di masing-masing kecamatan yang berperan dalam meningkatkan perekonomian di Kabupaten Muna 3. Menyusun rancangan strategi program pengentasan kemiskinan ditingkat

petani di Kabupaten Muna

1.4 Manfaat Penelitian.

Manfaat dari kajian Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Muna adalah :

1. Manfaat Bagi Pemerintah Daerah

Memberi masukan kepada pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan/program pembangunan perdesaan bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa dalam menanggulangi kemiskinan

2. Manfaat bagi penulis

Menambah wawasan dan pengalaman penelitian khususnya kajian mengenai pengentasan kemiskinan melalui pengembangan komoditi unggulan pertanian dan menyusun masukan-masukan bagi pemerintah daerah dimana penulis bekerja, untuk turut memajukan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Muna.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kemiskinan

Besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu pada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut absolut (Tambunan, 2003). Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Badan Pusat Statistik, 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa diperkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibatnya jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefenisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana pendapatan seseorang berada dibawah garis kemiskinan, yaitu besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan dan non pangan (sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar). Berdasarkan indikator internasional seperti terdefenisi miskin dalam kategori

Millenium Development Goals (MDGs) adalah warga miskin yang berpendapatan dibawah satu dolar AS setiap harinya. Kemudian Asian Development menggunakan dasar garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia sebesar US$ 2 perkapita per hari, setelah dikonversi kedalam rupiah menjadi sekitar Rp 540.000 per bulan.

Menurut Nurkse (1953), ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan struktural. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan struktural terjadi karena lembaga-lembaga yang ada dimasyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, sehingga mereka tetap miskin. Pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada tertumbuhan perbandingan dengan pemerataan pembangunan. Pembangunan yang terlampau bertumpu pada pertumbuhan menyebabkan ketidak merataan meningkat. Pertumbuhan

Akumulasi kapital hanya akan dimiliki oleh mereka yang memiliki kekayaan yang banyak. Akibatnya didalam pembangunan yang terlampau bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, pemilik modal lebih diuntungkan di bandingkan orang miskin.

Nurkse (1953), mengemukakan bahwa berbagai persoalan kemiskinan penduduk dapat disimak dari berbagai aspek : sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasn informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan faktor produksi, upah rendah, daya tawar petani rendah, rendahnya tingkat tabungan dan lemahnya mengantisipasi peluang-peluang kesempatan berusaha yang ada. Dari aspek psikologi, kemiskinan terjadi terutama akibat rasa rendah dari, fatalisme, malas dan rasa terisolir. Dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan.

Nurkse (1953), menjelaskan bahwa kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian : kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum : pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup diatas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.

Sajogyo (1987), mengungkapkan bahwa kemiskinan merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada dibawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang cukup bekerja dan hidup sehat didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. Sayogyo dalam menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita. Konsumsi beras untuk perkotaan dan perdesaan masing-masing ditentukan sebesar 360 kg dan 240 kg per kapita per tahun.

pertumbuhan output (produktivitas), tingkat upah neto, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, jenis pekerjaan yang tersedia, inflasi, pajak dan subtitusi, investasi, alokasi serta kualitas sumberdaya alam, penggunaan teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, kondisi fisik, hingga politik, bencana alam dan peperangan. Kalau diamati sebagai faktor tersebut juga mempengaruhi satu sama lain. Misalnya tingkat pajak yang tinggi membut tingkat upah neto rendah dan ini bisa mengurangi motivasi kerja dari pekerja yang bersangkutan hingga produktivitasnya menurun. Produktivitas menurun dapat mengakibatkan tingkat upah netonya berkurang, dan seterusnya. Dalam hal ini tidak mudah untuk memastikan apakah karena pajak naik atau produktivitasnya yang menurun membuat pekerja tersebut menjadi miskin karena upah netonya menjadi rendah.

2.2 Indikator Kemiskinan

Sajogyo (1987), mengungkapkan bahwa salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah headcount index, yaitu menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi dari populasi. Meskipun

headcount index ini sangat bermanfaat, namun sering dikritik karena mengabaikan jumlah penduduk yang berada digaris kemiskinan.

Kemiskinan dapat ditunjukan oleh dua indikator. Pertama, Human Poverty Indekx (HPI), yang dilihat dari angka daya hidup (< 40 tahun), tingkat pendidikan dasar yang diukur berdasarkan persentase penduduk dewasa yang buta huruf dan hilangnya hak pendidikan perempuan, kriteria ekonomi. Kedua, kemiskinan dilihat dari sisi ekonomi, sosial, politik dan fisik, yakni rendahnya pendapatan, hilangnya sumberdaya material, hilangnya kesempatan, hak berpendapat, ketidakberdayaan kekuasaan, dan ketidakmampuan mengelola aset.

Kuncoro (1997), mengatakan bahwa salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah Headcount Index, yaitu menghitung jumlah orang miskin seperti proporsi dari populasi. Meskipun Headcount Index ini sangat bermanfaat, namun sering dikritik karena mengabaikan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan.

Jika dilihat dari sisi ekonomi, sampai saat ini BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan. Komoditas pangan terpilih terdiri dari 52 macam,

sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa.

Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Seperti menurut Indonesia Nutrition Network (INN) Tahun 2003 adalah Rp 96.956 untuk perkotaan dan Rp 72.780 untuk perdesaan. Kemudian Menteri Sosial menyebutkan berdasarkan indikator BPS garis kemiskinan yang diterapkan adalah penduduknya adalah penduduk yang memiliki penghasilan dibawah Rp 150.000 per bulan. Bahkan Bappenas