• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Kategori serangan penyakit ... Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan jaring serangga pada beberapa sistem budidaya ... Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan lubang jebakan pada beberapa sistem budidaya ... Jumlah ordo, famili, spesies dan individu arthropoda, indeks keanekaragaman shannon-wienner (H’) dan evenness (E) pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Kerapatan koloni bakteri dan cendawan di filosfer dan rhizosfer pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Jumlah koloni, spesies, indeks shannon-wienner (H’) dan evenness (E) pada musim tanam ke-dua ... Analisis usahatani pada dua musim tanam pada beberapa sistem budidaya ... 13 28 31 32 35 36 37

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. 2. 3. 4.

Bagan pengambilan sub petak contoh tanaman padi pada satu perlakuan ... Gejala tanaman padi yang terserang penggerek batang padi: sundep, beluk dan larva penggerek batang padi ... Perkembangan luas serangan penggerek batang padi pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Perkembangan intensitas serangan penggerek batang padi pada

12

18

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Gejala penyakit tungro pada tanaman padi ... Perkembangan luas serangan tungro pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Gejala penyakit kresek pada tanaman padi ... Perkembangan intensitas serangan kresek pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Gejala penyakit cercospora pada tanaman pad i ... Perkembangan intensitas serangan bercak cercospora pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Gejala penyakit hawar pelepah daun pada tanaman padi ... Perkembangan intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ... Komposisi arthropoda berdasarkan peranannya pada beberapa pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya ...

20 21 22 23 23 24 25 26 27 33

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. 2. 3. 4. 5.

Bagan lokasi penelitian di Desa Situgede ... Curah hujan dari bulan Januari – Agustus 2005 ... Luas serangan penggerek batang padi pada MT I pada beberapa sistem budidaya ... Luas serangan penggerek batang padi pada MT II pada beberapa sistem budidaya ... Intensitas serangan penggerek batang padi pada MT I pada

50 51

51

6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

Intensitas serangan penggerek batang padi pada MT II pada beberapa sistem budidaya ... Luas serangan tungro pada MT I pada beberapa sistem budidaya ... Luas serangan tungro pada MT II pada beberapa sistem budi daya ... Intensitas serangan kresek pada MT I pada beberapa sistem budi daya ... Intensitas serangan kresek pada MT II pada beberapa sistem budidaya ... Intensitas serangan bercak cercospora padi pada MT I pada beberapa sistem budidaya ... Intensitas serangan bercak cercospora padi pada MT II pada beberapa sistem budidaya ... Intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT I pada beberapa sistem budidaya ... Intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT II pada beberapa sistem budidaya ... Jumlah individu dan spesies tiap ordo dan famili serangga yang diperoleh dengan jaring serangga dan lubang jebakan pada beberapa sistem budidaya ... Peranan beberapa ordo dan famili arthropoda yang ditemukan pada beberapa sistem budidaya ...

52 52 52 52 53 53 53 53 54 55 57

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan pertanian tradisional d i Indonesia pada awalnya merupakan pertanian organik yang hanya bergantung pada sumber daya lahan dengan cara melakukan daur ulang limbah sisa panen sebagai pupuk. Sistem pertanian tradis ional tersebut tidak mampu memenuhi permintaan akan hasil pertanian terutama pangan yang terus meningkat seiring deng an meningkatnya jumlah penduduk. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem tradisional ini mulai

ditinggalkan oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan sintetik diterapkan di bidang pertanian (Deptan 2005).

Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik merupakan komponen utama dalam teknologi intensifikasi pertanian yang diterapkan pada saat ini untuk memaksimalkan produksi beras dan palawija (jagung, kacang -kacangan dan umbi- umbian). Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang terus menerus ternyata dapat menimbulkan efek samping yang kurang menguntungkan seperti kemunduran kualitas lingkungan dan pengurangan stabilitas produksi oleh munculnya hama dan penyakit baru, senyawa beracun pada tanaman (residu), menurunnya kesuburan tanah dan meningkatnya biaya sarana produksi (Deptan 2005).

Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat aplikasi kimia sintetik di bidang pertanian, menyadarkan masyarakat untuk mendapatkan produk pertanian yang aman untuk kesehatan (food safety) dan bersahabat dengan lingkungan (environmental friendly). Perubahan gaya hidup kembali ke alam (back to nature) menyebabkan permintaan produk pertanian organik di dunia tumbuh 20% per tahun. Data Word Trade Organization (WTO) menunjukkan dalam tahun 2000-2004 perdagangan produk pert anian organik telah mencapai 17,5 milyar dollar AS dan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 100 milyar dollar AS (Darmadjati 2005).

Teknologi budi daya berkembang untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang disebut sistem input rendah. Pada sistem pertanian ini aplikasi pestisida sintetik tidak dilakukan bila tidak ada serangan hama. Sistem budidaya input rendah ini banyak diterapkan perusahaan yang produknya disebut dengan produk pertanian aman (safe agricultural products) atau di Vietnam dikenal sebagai produk pertanian hijau (green agricultural product) (Dadang 2005). Sistem input rendah ini dianggap sebagai transisi untuk mencapai sistem pertanian organik murni karena sulit untuk mengubah sistem pertanian input tinggi dengan hanya mengandalkan daur ulang sisa panen atau organik lainnya. Efisiensi pen ggunaan pupuk anorganik dengan menggunakan mikroorganisme mendukung upaya penghematan biaya pemupukan .

Aplikasi pupuk anorganik yang dikombinasikan dengan sebagian dosis pupuk organik yaitu 75% pupuk anorganik dan 25% pupuk organik dapat meningkatkan

produksi sebesar 17 sampai 25% (Goenadi et al. 1998 dalam MAPORINA 2005). Menurut Ar-Riza et al. (2000), pemberian bahan organik dapat mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik pada lahan padi gogo, yaitu pemberian pupuk nitrogen 90 kg/ha yang dikombinasikan dengan pupuk kandang dapat meningkatkan hasil antara 133,8 sampai 183%.

Teknologi pertanian organik merupakan sistem usahatani spesifik lokasi yang diterapkan berdasarkan interaksi tanah, tanaman, ternak, manusia, ekosistem dan lingkungan. Pertanian organik menggunakan sebanyak mungkin bahan organik sebagai sumber hara dan sebagai bahan yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan organik yang digunakan bersumber antara lain dari pupuk kandang dan limbah pertanian (kompos) dan dibuat dengan memanfaatkan mikroba yang dapat berfungsi melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (IP2TP 2000).

Berbagai informasi tentang bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan hasil telah banyak dilaporkan. Penelitian Saragih et al. (2000) menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik yang berasal dari jerami tanaman yang baru dipanen seperti jerami padi, jerami kedelai, sekam padi atau abu sekam untuk pertanaman padi di lahan lebak dapat meningkatkan hasil sebesar 0,69 sampai 1,98 t/ha atau meningkat 19 sampai 54,7%. Pada musim tanam II pertanaman kacang hijau yang diberi kompos jerami dapat meningkatkan hasil menjadi 204% dan bila d iberi bahan bokashi maka hasilnya dapat meningkatkan menjadi 177%. Bila pada bahan bokashi tersebut diinokulasikan Effective Microorganism (EM)4 maka meningkatkan hasil menjadi 177%, sedangkan bila bahan bokashi diinokulasi Trichoderma sp. serta Azotobacter sp. maka hasilnya dapat meningkat menjadi 257% (Santosa dan Widati 2000).

Pengaruh pemberian kompos pada tanaman tomat dapat menurunkan serangan antraknosa sebesar 9 sampai 12,9%, sehingga meningkatkan produksi sebesar 16 dan 33% (Abbasi et al. 2002). Penggunaan bahan organik dari bahan sisa penggilingan kertas dengan rotasi tanaman tomat, buncis dan ketimun, dapat menurunkan penyakit rebah kecambah, bercak coklat, antraknosa (masing-masing 1,5%) dan meningkatkan hasil 10,2 ton/ha pada buncis, sedangkan pada ketimun penyakit bercak daun menurun sampai 14 sampai 16% dan rebah kecambah (Pythium spp.) 1,65 % (Stone et al. 2003). Menurut Rangarajan dan Aram (2000) bahwa tanah kompos dapat menurunkan serangan Pythium ultimum antara 67%

sampai 81% dan Rhizoctonia solani antara 86% sampai 91% pada tanaman sayuran. Petani Bantul menggunakan campuran kotoran sapi basah, jerami dan dedaunan yang diaduk pada lahan sawah dengan dibajak dan dapat meningkatkan hasil padi menjadi 5,5 ton/ha. Petani tersebut juga membuat sendiri bahan untuk pengendali hama dan penyakit dari tumbuhan dan kotoran hewan (Tambunan 2005). Untuk mengoptimalkan sifat kompos dalam pengendalian perlu diperhatikan karakteristik kompos, pengelolaan, aplikasi dan sistem pertanian yang diterapkan.

Penerapan pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui proses pemupukan, tidak menggunakan bahan penunjang anorganik dengan penerapan teknologi budidaya yang baik seperti pemilihan bibit berkualitas, pupuk berimbang, penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) dan pengaturan pola tanam (Deptan 2005). Penelitian yang menggambarkan keberhasilan pertanian organik dalam memperoleh produk yang berkualitas dan stabil dalam jangka panjang telah banyak di lakukan, namun informasi mengenai perkembangan hama dan penyak it tanaman padi serta keanekaragaman arthropoda dan mikroorganisme pada lahan pertanian organik masih sangat terbatas.

Tujuan

1. Membandingkan perkembangan hama dan penyakit pada tanaman padi pada lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik.

2. Mengetahui keanekaragaman arthropoda pada lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik.

3. Mengetahui keanekaragaman mikroorganisme pada lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik .

Hipotesis

1. Perkembangan hama dan penyakit tanaman padi relatif sama pada pertanian organik, konvensional dan input rendah.

2. Kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda pada pertanian organik relatif lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi luas serangan hama.

3. Kelimpahan dan keanekaragaman mikroorganisme pada pertanian organik relatif lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi intensitas perkembangan penyakit.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menyediakan informasi mengenai kelayakan s istem pertanian organik ditinjau dari perkembangan hama dan penyakit, keanekaragaman arthropoda dan mikroorganisme serta analisis usahataninya.

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem B udidaya Konvensional, Input Rendah dan Organik

Sistem budidaya konvensional sangat tergantung pada input kimia (pupuk anorganik dan pestisida), benih hibrida, mekanisasi dan irigasi. Penerapan sistem pertanian konvensional mampu meningkatkan produksi pertanian, contohnya produksi gandum di India menjadi tiga kali lipat dalam waktu 20 tahun, di Kolumbia produksi padi meningkat sampai dua kali lipat selama 5 tahun, dan di Indonesia mampu berswasembada pangan (beras) pada tahun 1984. Namun demikian, penerapan teknologi ini diiringi pula dengan terjadinya peningkatan

serangan organisme penganggu tanaman (OPT), yang jumlahnya mencapai populasi yang membahayakan. Penggunaan insektisida telah menyebabkan terjadinya resistensi, timbulnya hama sekunder, musnahnya musuh alami dan terjadinya pencemaran lingkungan , juga dapat membahayakan kehidupan manusia, baik petani maupun konsumen (Deptan 2005).

Berkembangnya sistem pertanian input rendah merupakan teknik pertanian berkelanjutan dengan masukan sarana produksi rendah, melalui penguasaan teknologi budi daya yang baik, seperti bibit berkualitas, pemupukan berimbang, penerapan PHT dan pengaturan jarak tanam (Deptan 2005). Sistem pertanian ini menggunakan pestisida dan pupuk dalam jumlah yang rendah dan aplikasi pestisida dilakukan hanya pada tanaman yang terserang OPT. Sistem input rendah mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia, dengan memaksimalkan daur ulang dan meminimalkan kerusakan lingkungan. Tujuan sistem input rendah adalah untuk memaksimalkan produksi jangka pendek serta mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang (Reijntjes et al. 1992).

Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan . Transisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan peng ambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayaan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani dalam proses transisi (Reijntjes et al. 1992).

Sistem pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui proses pemupukan dan dalam pelaksanaannya tidak menggunakan bahan penunjang lain yang anorganik. Sistem ini menitikberatkan pada pertanaman polikultur, rotasi tanaman, pemanfaatan sisa tanaman, penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau, pengolahan tanah yang tepat serta pengendalian hama dan penyakit secara hayati. Kondisi pertanian polikultur mempunyai ekosistem yang kompleks dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Produktiv itas pertanian organik juga sebanding

dengan pertanian yang menggunakan zat-zat kimia sintetis sebagai pupuk ataupun pestisida (Sitanggang 1993).

Tanaman tomat dan jagung pada sistem organik dan input rendah dengan mengurangi pestisida sampai 50% memberi respon pada keberadaan arthropoda, patogen dan nematoda. Walaupun demikian, penggunaan pestisida ini tidak mempengaruhi hasil dan dapat mengurangi biaya pengelolaan hama dan menurunkan dampak lingkungan (Clark et al. 1998).

Pertumbuhan padi pada pertanian alami lebih toleran terhadap kerusakan yang disebabkan oleh Oulema oryzae (Coleoptera: Chrysomelidae), dan dapat meningkatkan hasil padi dibandingkan dengan padi yang ditanam pada lahan sistem konvensional. Pada pertanaman padi di lahan konvensional, adanya kerusakan yang disebabkan o leh hama O. oryzae tersebut dapat menyebabkan tanaman padi lebih peka terhadap patogen, sehingga intensitas penyakit menjadi tinggi dan kehilangan hasil lebih besar (Andow dan Hidaka 1998).

Proteks i tanaman pada pertania n organik umumnya dilakukan melalui pengelolaan terhadap lingkungan sehingga tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama dan patogen. Pada pertanian organik dilakukan kegiatan yaitu pemantauan terhadap hama dan penyakit, rotasi tanaman dan mengurangi pengolahan tanah. Pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan agens hayati dan pestisida botani (Bruggen dan Termorshuizen 2005).

Pertanian organik secara ekonomis sangat menguntungkan dan secara ekologis dapat menjaga kelestarian lingkungan. Dilihat dari segi sosial tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat serta secara teknik mudah untuk diterapkan oleh petani (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993).

Keanekaragaman Hayati

Keanakeragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumberdaya hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran pada ekosistem, spesies dan genetik (Watson et al. 1995). Menurut Primack et al. (1998) bahwa keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkat pengertian, yaitu tingkat spesies, komunitas dan ekosistem.

Aspek-aspek yang diamati dalam rangka menganalisis keanekaragaman hayati antara lain adalah jumlah spesies, kelimpahan, peny ebaran, dominasi, variasi spesies di dalam suatu habitat dan ekosistem (Magurran 1988). Keanekaragaman habitat merupakan jumlah spesies di dalam suatu habitat atau lahan pertanian (Rice 1992) dan terjadi interaksi antara spesies tersebut (Primack et al. 1998). Menurut Ludwig dan Reynold (1988) bahwa keanekaragaman alfa dapat dikelompokkan menjadi dua komponen yang berbeda, yaitu jumlah total spesies dan kemerataan spesies. Indeks yang menggabungkan kedua komponen tersebut menjadi satu nilai tunggal yang disebut indeks keanekaragaman. Peubah-peubah yang disatukan menjadi suatu nilai tunggal adalah jumlah spesies, kelimpahan relatif spesies dan kemerataan. Dengan demikian prosedur penghitungan keanekaragaman meliputi indeks kekayaan (richness indices), indeks keanekaragaman (diversity indices) dan indeks kemerataan (evenness indices) (Ludwig dan Reynold 1988; Magurran 1988). Indeks kekayaan spesies meng- gambarkan ukuran jumlah spesies pada suatu habitat atau komunitas. Banyaknya indeks yang dapat digunakan untuk menghitung kekayaan spesies antara lain Indeks Margalef, Menhinick dan Hulbert (Ludwig dan Reynolds

1988; Magurran 1988). Indeks keanekaragaman merupakan ukuran

keanekaragaman yang ditetapkan berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap spesies yang diamati (Ludwig dan Reynold 1988), sedangkan Magurran (1988) menyatakan sebagai kelimpahan spesies (spesies abundance). Indeks keanekaragaman yang telah dikenal antara lain adalah Indeks Berger-Parker dan Indeks Shannon-Wienner.

Potensi Mikroorganisme sebagai Agens Pengendali

Apabila ada dua jenis mikroorganisme dalam satu tempat maka yang akan terjadi adalah interaksi yang berperan dalam suatu proses untuk mencapai keseimbangan biologi. Beberapa hasil interaksi kedua mikroorganisme tersebut diantaranya adalah merangsang atau menghambat pertumbuhan kedua mikroorganisme, merangsang atau menghambat pertumbuhan spora rehat,

dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman yang menjadi inangnya. Mikroorganisme yang berpotensi sebagai agens antagonis berasal dari berbagai divisi antara lain: bakteri, cendawan, virus maupun mikrofauna predator seperti nematoda, protozoa dan lain -lain. Agens antagonis yang ideal menurut Baker dan Cook (1974), harus memenuhi syarat yang meliputi: 1) tersedia dan berkembang di rhizosfer dan filosfer dalam upaya mencegah infeksi, 2) mampu memproduksi substrat, zat antibiotik beracun yang efektif pada konsentarsi yang rendah apabila diaplikasikan di lapangan dan tidak mudah terdegradasi dengan cepat, 3) antibiotik yang dihasilkan oleh satu agens antagonis harus mampu merangsang perkembangan antagonisme lain, 4) antibiotik yang dihasilkan tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman inang, 5) mampu beradaptasi pada kisaran inang yang luas dan dapat diproduksi secara masal untuk diperdagangkan, 6) spora perkecambahan harus muncul cepat atau setidaknya lebih cepat dari pertumbuhan patogen, 7) antagonis harus mampu beradaptasi dari pada patogen terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim. Secara alami di tajuk tanaman (filosfer) dan di dalam tanah (rhizosfer) terdapat beberapa mikroorganisme yang berpotensi mengendalikan patogen cendawan dan bakteri.

Pseudomonas kelompok fluorescens selain terdapat di dalam tanah juga relatif tinggi kerapatannya pada permukaan daun. Agens antagonis kelompok ini telah dikembangkan untuk skala laboratorium dan telah dipasarkan sebagai agens biokontrol, misalnya P. fluorescen A506 yang dijual dengan nama dagang BlightBanTM A506 untuk mengendalikan Erwinia amylovora penyebab fire blight pada apel dan pear (Tjahjono 2000). Bakteri kelompok ini dicirikan oleh adanya pigmen berwarna hijau kuning yang digunakan untuk iden tifikasi serta klasifikasi. P. fluorescen diantaranya memiliki sifat mampu mendominasi pemanfaatan eksudat yang dikeluarkan oleh akar, berkembang biak dengan cepat dan mampu mengkolonisasi daerah perakaran (Schippers et al. 1987).

Bakteri antagonis yang pertama diproduksi secara massal dan dikembangkan sebagai agens biokontrol dan telah dipasarkan di Cina, Rusia, USA dan Meksiko pada tahun 1980 adalah Bacillus sp. (Tjahjono 2000). Keunggulan Bacillus jika dibandingkan dengan bakteri antagonis lain adalah mampu menghasilkan endospora yang tahan terhadap suhu tinggi dan rendah, pH ekstrim, pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan yang lama.

Selain bakteri, kelompok mikroorganisme yang juga memiliki potensi sebagai agens biokontrol adalah cendawan. Salah satunya adalah Trichoderma sp. yang merupakan cendawan saprofit yang hidup dalam tanah, yang umumnya sudah digunakan untuk mengendalikan cendawan patogen, tetapi akhir-akhir ini dicoba untuk mengendalikan bakteri patogen (Cook dan Baker 1983). Cendawan Trichoderma sp. dapat mengkoloni sklerotia Rhizoctonia solani (Tronsmo 1996). Paath (1988) melaporkan bahwa hifa Trichoderma sp. bersifat antagonistik terhadap perkembangan bakteri Pseudomonas solanacearum isolat tembakau dan tomat secara in-vitro.

Konsep PHT dalam Pertanian Organik

Beberapa kebijakan pemerintah yang menunjang pengendalian hama terpadu (PHT) telah dikeluarkan sejak beberapa dekade yang lalu sangat mendukung dalam pelaksanaan pertanian organik. Kebijakan pemerintah dalam usaha pengendalian hama terpadu (PHT) dituangkan dalam REPELITA III tahun 1979/1980 – 1983/1984, yaitu Inpres no. 3 tahun 1986 tentang pelarangan penggunaan 57 formulasi pestisida untuk tanaman padi. Selain itu terdapat Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman yang dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Kebijakan pemerintah lainnya yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan mentargetkan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dengan tersedianya pangan secara cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Karena itu pengembangan pertanian organik merupakan salah satu pilihan dalam menunjang ketahanan pangan lokal (local food security) (Sumarsono 2005). Kebijakan pemerintah tersebut selain digunakan untuk mengamankan produksi juga untuk mengamankan faktor-faktor lingkungan dalam menciptakan pertanian berkelanjutan, aman terhadap pelaksana dan konsumen (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993).

Pelaksanaan program pengembangan pertanian organik telah dimulai tahun 2001 dengan “Go Organic 2010“ dengan misi “meningkatkan kualitas hidup

berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan“ (Darmadjati 2005).

Usaha-usaha untuk menciptakan pertanian berkelanjutan di atas menghadapi berbagai kendala, terutama dalam ekosistem pertanian (agro ekosistem) yang umumnya rentan terhadap kerusakan oleh OPT dan bencana peledakan OPT. Hal ini disebabkan kurangnya keanekaragaman spesies tanaman, spesies serangga atau patogen dan perubahan yang tiba-tiba karena cuaca dan perlakuan petani, tidak seperti halnya dengan ekosistem alami (natural ecosystem) (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Pengendalian hama terpadu merupakan cara pengelolaan pertanian dengan setiap keputusan dan tindakan bertujuan meminimalisasi serangan OPT, sehingga mengurangi bahaya terhadap manusia, tanaman dan lingkungan. Sistem PHT memanfaatkan semua teknik dan metode (biologi, genetis, mekanis, fisik dan kimia) dengan cara seharmoni mungkin, untuk mempertahankan populasi hama berada di bawah tingkat yang merugikan secara ekonomis, serta mengurangi biaya perlindungan apabila pengendalian OPT dilakukan dengan pengendalian hayati (Deptan 2005). Dalam sistem pertanian organik, musuh alami berperan dalam menekan laju pertumbuhan hama dan mengatur keseimbangan populasi hama, sehingga konsep PHT yang dipraktekkan dalam sistem pertanian organik searah dengan pem bangunan berkelanjutan. Proses penyadaran pentingnya pertanian organik tidak dapat berjalan dalam waktu singkat, harus difasilitasi dengan berbagai kebijakan seperti jaminan pemasaran . Stabilitas harga diupayakan tidak hanya terbatas pada pengelolaan pasar, tetapi peningkatkan kualitas gabah melalui pembangunan lumbung modern (ware house system). Proses sosialisasi dapat berjalan dengan cepat apabila didukung dengan fasilitas, dana dan sumber daya manusianya.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Identifikasi arthropoda dan mikroorgansime dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Januari 2006.

Persiapan Lahan

Lahan yang digunakan untuk penelitian adalah lahan pertama seluas 2.400 m² yang digunakan untuk budidaya tanaman padi secar a konvensional dan input rendah serta lahan ke-dua seluas 5.857 m² yang digunakan untuk budidaya tanaman padi secara organik. Pengolahan lahan dilakukan dengan pembajakan oleh kerbau. Selanjutnya dilakukan proses penghalusan tanah dengan menggunakan cangkul dan garu. Untuk mempercepat proses penghalusan tanah dilakukan pengairan.

Penanaman Padi

Benih padi yang digunakan adalah varietas Cisantana yang berasal dari Balai Benih Padi di Muara, Bogor. Benih dikecambahkan dengan cara direndam dalam air selama sehari. Selanjutnya benih yang sudah berkecambah ditebarkan pada lahan pesemaian yang sudah diolah dalam kondisi berlumpur (tidak tergenang air).

Dokumen terkait