• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lokasi

Lokasi penelitian terletak di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Desa Situgede terletak pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut.

Lahan pengamatan terbagai menjadi dua bagian yaitu bagian selatan merupakan lahan pertanian organik 5 ton/ha dan 10 ton/ha, sedangkan sebelah utara merupakan lahan pertanian input rendah dan konvensional (Lampiran 1).

Lingkungan sekitar lahan pertanian organik di sebelah selatan berbatasan dengan hutan kecil dan sungai, sebelah utara aliran air dan jalan umum, sebelah barat berbatasan dengan tanaman padi, talas, kolam ikan dan rumah penduduk,

sebelah timur berbatasan dan rumah penduduk. Pada lahan input rendah dan konvensional di sebelah selatan berbatasan dengan jalan umum dan pemukiman penduduk, sebelah utara dengan rumah penduduk dan tanaman bengkuang, sebelah barat dengan aliran air, tanaman padi dan rumah penduduk, dan sebelah timur dengan aliran air dan tanaman padi.

Data perkembangan curah hujan yang terjadi selama pengamatan disajikan pada lampiran 2.

Luas dan Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

Selama pengamatan ditemukan berbagai jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi baik di lahan sawah dengan sistem pengelolaan konvensional, input rendah maupun organik . Di antara hama dan penyakit yang ditemukan, penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar pelepah daun padi tampaknya mempunyai kontribusi dalam menurunkan produksi padi, dan oleh karenanya diamati lebih rinci dalam penelitian ini.

Penggerek Batang Padi

Serangan penggerek batang pada tanaman padi fase vegetatif menyebabkan pucuk tanaman mati akibat aktivitas makan larva dalam batang. Gejala pada fase ini dikenal dengan istilah sundep. Bagian pucuk anakan yang terserang berwarna kuning, kemudian kering dan mati. Tanaman padi yang terserang pada fase generatif, malai tegak dan berwarna putih karena hampa disebut beluk. Selama pengamatan, jenis penggerek batang padi yang paling banyak dijumpai adalah penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae)(Gambar 2).

Gambar 2 Gejala tanaman padi yang terserang penggerek batang pad i: (a) sundep, (b) beluk dan (c) larva penggerek batang padi.

Luas serangan penggerek batang padi di lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik pada dua musim tanam meningkat pada pengamatan 6 sampai 9 MST dan tidak terjadi peningkatan sampai 11 MST (Gambar 3, Lampiran 3 dan 4). Luas serangan relatif tinggi pada sistem budi daya pertanian organik (5 ton/ha dan 10 ton/ha). Hal ini tampaknya karena pada pertanian organik terhadap hama tidak dilakukan aplikasi insektisida sintetik, seperti pada sistem budi daya konvensional dan input rendah yang dilakukan penaburan Furadan 3 G pada tanaman yang terserang setiap musim tanam.

Pengendalian dengan bahan kimia sintetik selain dapat menurunkan populasi hama, juga dapat menurunkan populasi parasitoid dan predator dalam jumlah yang sebanding, keadaan tersebut menguntungkan bagi perkembangan hama. Parasitoid

a b

telur Tetrastichus schoenobii (Hymenoptera: Eulophid ae), Telenomus rowani (Hymenoptera: Scelionidae) dan Trichogramma javanicum (Hymenoptera: Trichogrammatidae) merupakan faktor biotik utama dalam mengatur populasi penggerek batang padi pada populasi tinggi. Selain parasitoid, predator Cyrthorhinus lividipennis (Hemiptera: Miridae) dapat menurunkan populasi penggerek batang padi (Wigenasantana 1982). Berkurangnya populasi parasit dan predator karena kelangkaan inang dapat menimbulkan pengaruh yang besar. Keadaan tersebut menunjukkan ketidakseimbangan antara hama dengan musuh alami sehingga hama dapat berkembang pesat dan menimbulkan kerugian ekonomi. Bahan kimia sintetik dalam program pengendalian hama digunakan bila cara pengendalian yang lain yang telah direncanakan gagal sehingga perlu tindakan alternatif terakhir (Wigenasantana 1982).

0 10 20 30 40 50 6 7 8 9 10 11 Luas serangan (%) 0 10 20 30 40 50 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Minggu setelah tanam

Gambar 3 Perkembangan luas serangan penggerek batang padi pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya

Intensitas serangan hama penggerek batang padi tertinggi juga terjadi pada pertanian organik, sedangkan yang terendah pada konvensional dan input rendah (Gambar 4, Lampiran 5 dan 6). Intensitas serangan yang relatif tinggi ini dapat

(a)

Tanaman (2000) bahwa pengendalian sudah harus dilakukan bila serangan penggerek batang padi telah mencapai 10-15%, pengendalian dilakukan hanya pada tanaman-tanaman yang terserang.

0 5 10 15 6 7 8 9 10 11 Intensitas serangan (%) 0 5 10 15 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Minggu setelah tanam

Gambar 4 Perkembangan intensitas serangan penggerek batang padi pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya

Dari kedua musim tanam menunjukkan serangan penggerek batang padi pada MT I relatif lebih tinggi dibandingkan MT II, hal ini diduga karena perbedaan musim. Pada MT I (musim hujan), kelembaban relatif lebih tinggi dari MT II. Menurut Khan dan Murthy (1955 dalam Wigenasantana 1982) bahwa tidak terdapat korelasi positif antara hujan dengan populasi hama, tetapi terdapat korelasi positif antara kelembaban dengan populasi.

Tungro

Tungro ditularkan oleh wereng hijau, Nephotettix sp. (Hemiptera: Cicadellidae). Rumpun padi yang terinfeksi virus tungro akan tampak kerdil dan anakannya sedikit, daun-daunnya menjadi kuning sampai kuning oranye dan

(a)

kecoklatan mulai dari ujung daun yang muda sampai daun tua (Gambar 5). Tanaman yang terinfeksi pada masa pembibitan dan vegetatif dapat hidup sampai fase pemasakan bulir tetapi masa pembungaan terlambat, malai menjadi kecil dan tidak sempurna. Hal ini menyebabkan panen terlambat dan produksi menjadi rendah.

Gambar 5 Gejala penyakit tungro pada tanaman padi

Luas serangan tungro pada dua musim tanam meningkat pada setiap pengamatan dan tidak mengalami pertambahan pada pengamatan menjelang panen. Serangan tertinggi tungro terdapat pada pertanian organik 5 ton/ha dan terendah pada sistem budidaya konvensional (Gambar 6, Lampiran 7 dan 8). Perbedaan luas serangan antara keempat perlakuan berkaitan dengan kelimpahan wereng hijau. Dari hasil penangkapan dengan jaring serangga ditemukan populasi wereng hijau tertinggi pada pertanian organik 5 ton/ha, yaitu 144 individu pada MT I dan 98 individu pada MT II pada pengamatan 6 HST, sedangkan pada konvensional dan input rendah populasi wereng hijau yang ditemukan lebih rendah. Tingginya luas serangan penyakit tungro mungkin berhubungan dengan meningkatnya populasi

0 10 20 30 6 7 8 9 10 11 Luas serangan (%) 0 10 20 30 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Minggu setelah tanam

Gambar 6 Perkembangan luas serangan tungro pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya

wereng hijau sehingga keberadaan inokulum dilapang meningkat yang memungkinkan bagi vektor untuk mengakuisisi virus tungro dan menjadi infektif. Menurut Chiykowski (1981) bahwa proporsi vektor infektif di lapangan sangat menentukan tingkat serangan penyakit yang ditularkan oleh wereng hijau.

Tanaman padi yang terserang penyakit tungro akan menjadi kerdil dan pengurangan jumlah anakan. Bulir menjadi berukuran kecil-kecil dan hampa, pembentukan bunga sering terhambat, sehingga mempengaruhi terhadap penurunan produksi padi. Kerugian yang ditimbulkan penyakit tungro cukup besar, karena menyebabkan kehilangan hasil sekitar 20-90% pada sembilan varietas padi rentan yang terinfeksi (Waterworth dan Hadidi 2000).

Kresek

Penyakit kresek (Xanthomonas camprestris pv oryzae) dapat menginfeksi tanaman padi mulai dari pembibitan sampai tanaman tua. Gejala nampak pada daun berupa bercak kuning sampai putih berawal dari garis lembam berair pada tepi helaian daun (Gambar 7). Bercak bisa mulai pada salah satu atau kedua tepi daun, atau setiap bagian helain daun rusak, dan berkembang hingga seluruh daun.

(a)

Gambar 7

Gambar 7 Gejala penyakit kresek pada tanaman padi

Intensitas serangan kresek pada dua musim tanam umumnya lebih tinggi pada sistem budi daya input rendah (Gambar 8, Lampiran 9 dan 10 ). Hal ini diduga dipengaruhi oleh kelembaban yang tinggi yang mendukung perkembangan penyakit kresek. Jumlah anakan padi lebih banyak pada sistem budi daya input rendah dibandingkan dengan pertanian organik dan konvensional.

0 10 20 30 40 6 7 8 9 10 11 Intensitas serangan (%) 0 10 20 30 40 4 5 6 7 8 9 10 11 Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10 Minggu setelah tanam

(a)

Jumlah anakan tanaman padi pada sistem budi daya input rendah adalah 20 anakan/rumpun dan tinggi tanaman 96 cm. Dengan jumlah anakan yang banyak dan tanaman yang tidak terlalu tinggi, memungkinkan bakteri dapat menyebar lebih cepat melalui percikan air, hujan atau penyiangan saat daun basah. Bakteri masuk ke dalam jaringan tanaman melalui lubang alami seperti stomata dan hidatoda serta luka, yang kemudian berkembang dalam ruang antar sel (Sinclair dan Backman 1989; Semangun 1990). Iklim mikro di sekitar tanaman sangat berperan dalam perkembangan penyakit kresek tersebut.

Pada pertanian organik , intensitas serangan kresek lebih rendah. Hal ini diduga karena adanya aktivitas agens antagonis. Hal ini sesuai dengan laporan Wibowo et al. (2002) bahwa P. fluorescen yang berada pada bagian tajuk tanaman (filosfer) padi mampu menekan laju infeksi patogen X. campestris pv. oryza. Hal tersebut disebabkan oleh kompetisi atau kolonisasi pada habitat yang sama.

Bercak Cercospora

Gejala serangan bercak bergaris (Cercospora oryzae) berupa garis terputus- putus berwarna kekuningan kemudian menjadi coklat kemerahan pada helaian daun (Gambar 9). Bercak pada awalnya sedikit, bila kelembaban tinggi dapat menutupi seluruh permukaan daun.

Serangan penyakit bercak cercospora pada kedua musim tanam mulai terjadi pada fase vegetatif (6 MST) dan terus meningkat sampai pengamatan ke-10, dengan intensitas serangan tertinggi pada pertanian organik 10 t/ha (Gambar 10, Lampiran 11 dan 12). 0 10 20 30 40 6 7 8 9 10 11 Intensitas serangan (%) 0 10 20 30 40 5 6 7 8 9 10 11 Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10 Minggu setelah tanam

Gambar 10 Perkembangan intensitas serangan bercak cercospora pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya

Serangan patogen penyakit ini terlihat semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Semangun (1990) bahwa daun tua tanaman padi lebih rentan terhadap penyakit bercak cercospora dibandingkan dengan daun yang muda. Pada tanaman yang muda unsur hara akan lebih difokuskan untuk pembentukan daun, sehingga daun muda lebih kuat terhadap serangan penyakit cercospora. Meningkatnya serangan pada daun tua kemungkinan disebabkan pengaruh unsur hara yang mulai berkurang pada daun, karena unsur hara diutamakan untuk pembentukan malai dan pengisian malai. Penyakit bercak cercospora dapat menjadi masalah karena ketimpangan hara, seper ti kekurangan dan kelebihan pupuk nitrogen (Semangun, 1990). Intensitas serangan penyakit ini dipengaruhi juga oleh kelembaban, dimana keadaan teduh dan gelap meningkatkan perkembangan bercak.

(a)

Hawar Pelepah Daun

Rhyzoctonia solani, sebagai penyebab penyakit hawar pelepah daun padi, dapat menginfeksi pelepah daun dan batang tanaman padi. Gejala hawar terlihat pada batang padi di atas permukaan air dan pada daun terdapat bercak-bercak keabu-abuan berbentuk oval memanjang, dapat meluas ke seluruh bagian daun dan sampai daun bendera (Gambar 11). Serangan pada tanaman stadia pengisian malai, menyebabkan proses pengisian malai tidak sempurna dan gabah menjadi hampa sehingga menurunkan produksi padi.

Gambar 11 Gejala penyakit hawar pelepah daun pada tanaman padi

Perkembangan penyakit hawar pelepah daun tampak lebih tinggi pada sistem budi daya konvensional dibandingkan dengan pertanian organik dan input rendah. Penyakit mulai berkembang sejak 6 sampai 10 MST (Gambar 12, Lampiran 13 dan 14).

0 5 10 15 20 25 6 7 8 9 10 11 Intensitas serangan (%) 0 5 10 15 20 25 6 7 8 9 10 11 Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10 Minggu setelah tanam

Gambar 12 Perkembangan intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya

Rend ahnya tingkat serangan penyakit hawar daun pada pertanian organik diduga karena adanya aktivitas mikroorganisme pada kompos yang berpotensi sebagai agens antagonis. Berdasarkan pengamatan mikroorganisme di daun dan tanah tanaman padi, ditemukan bakteri Pseudomonas kelompok fluorescen (2 x 1010 coloni forming unit/g) dan bakteri tahan panas (2 x 1010 cfu/g sampai 38 x 1010 cfu/g dan 849 x 105 cfu/g sampai 154 x 105 cfu/g), serta cendawan Trichoderma sp. (0,8 x 105 cfu/g). Jhonson dan Curl (1972) serta Bulluck dan Ristaino (2002) menyatakan bahwa R. solani sebagai patogen tular tanah dapat tertekan pertumbuhannya dengan adanya penambahan kompos. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan Huang dan Benson (2002) bahwa Pseudomonas spp. dan Bacillus spp. telah teridentifikasi sebagai agens pengendali hayati yang efektif untuk beberapa penyakit yang disebabkan cendawan R. solani. Pada bahan organik yang belum terdekomposisi Trichoderma spp. bersifat sebagai saprofit, tetapi setelah bahan organik mengalami pengomposan Trichoderma spp. menjadi bersifat hiperparasit terhadap R. solani (Hoitink et al. 1996).

(b) (a)

Keanekaragaman Spesies dan Peranan Arthropoda Kelimpahan Arthropoda

Hasil pengamatan artropoda dengan menggunakan jaring serangga dan lubang jebakan pada lahan persawahan organik 5 ton/ha, organik 10 ton/ha, konvensional dan input rendah pada MT I diperoleh 49.789 individu serangga yang terdiri dari 12 ordo, 93 famili dan 148 spesies. Pada MT II diperoleh 44.600 individu serangga yang terdiri dari 10 ordo, 89 famili dan 126 spesies. Perbedaan jumlah yang ditemukan antara MT I dan MT II kemungkinan disebabkan keadaan cuaca saat pengambilan sampel. Banyaknya famili dan individu tiap ordo dapat dilihat pada Lampiran 15.

Persentase kelimpahan individu setiap ordo serangga pada kedua musim tanam yang diperoleh dengan menggunakan jaring serangga menunjukkan kelimpahan individu terbesar terdapat pada ordo Thysanoptera pada lahan persawahan input rendah dan konvensional, ordo Diptera pada lahan persawahan organik 5 ton/ha dan 10 ton/ha, sedangkan ordo Hemiptera pada keempat lahan sawah menunjukkan kelimpahan yang relatif sama tinggi (Tabel 2).

Tabel 2 Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan jaring serangga pada beberapa sistem budidaya

Serangga thrips (Thysanoptera) mulai muncul pada pertanaman padi berumur 5 MST, dengan populasi tertinggi terjadi pada saat tanaman berada pada fase

MT I MT II Ordo Konven- sional Input rendah Organik 5 Organik 10 Konven- Sional Input rendah Organik 5 Organik 10 Odonata 0,21 0,58 0,48 0,07 0,31 0,49 0,99 1,51 Mantodea 0,00 0,00 0,01 0,02 0,00 0,00 0,05 0,16 Orthopter a 7,45 8,94 4,74 5,44 7,25 3,70 3,11 5,72 Hemiptera 16,43 21,18 20,46 20,27 31,22 20,39 31,83 29,46 Thysanoptera 52,21 56,49 32,16 36,02 35,67 47,86 8,10 29,24 Coleoptera 1,90 1,42 3,58 3,59 5,14 4,38 7,70 1,73 Lepidoptera 0,83 1,10 0,47 0,52 0,54 1,23 2,47 1,69 Diptera 15,34 4,22 26,93 25,34 14,69 15,67 36,16 22,06 Hymenoptera 2,91 3,00 6,47 4,77 3,49 3,24 4,31 4,21 Collembola 0,06 0,00 0,01 0,07 0,00 0,00 0,00 0,00 Arachnida 2,66 3,00 4,63 3,89 1,69 3,02 5,28 4,23 Acarina 0,00 0,06 0,07 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

pengisian malai dan kemudian menurun menjelang panen . Kelimpahan ordo ini pada sistem pertanian input rendah dan konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian organik, diduga karena lokasi kedua lahan tersebut berdekatan dengan lahan persawahan lain dengan umur tanaman yang beragam, sedangkan lahan organik dibatas i jalan, perumahan, tanaman talas dan hutan. Metcalf dan Luckmann (1982) menyatakan bahwa kelompok yang mula-mula mengadakan kolonisasi adalah serangga yang mudah terbawa angin seperti wereng, thrips dan aphids. Serangan hama thrips ini sangat jarang dilaporkan pada pertanaman padi. Tetapi serangan hama Trips oryzae (Baliothrips biformis) (Thysanoptera: Thripidae) pada tanaman muda menyebabkan daun menggulung dan berwarna kuning sampai kemerahan , pertumbuhan bibit terhambat dan pada tanaman dewasa dapat mengurangi pengisian malai (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2006). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Koswanudin dan Koesbiantoro (2000) yang menyatakan bahwa trips sudah muncul pada pertanaman padi berumur 2 MST, dengan serangan tertinggi pada tanaman muda dan menurun pada waktu menjelang panen. Munculnya serangga trips karena adanya pertanaman padi yang terus menerus selama tiga musim tanam, sehingga terjadi perpindahan dari tanaman inang lain seperti gulma ke pertanaman padi. Serangan hama Thrips ini secara tidak langsung menimbulkan kerugian terhadap hasil panen. Serangan cukup berat dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan akan memperpanjang umur tanaman sehingga menunda waktu panen.

Tingginya kelimpahan serangga ordo Hemiptera diantaranya disebabkan banyak ditemukannya serangga famili Alydidae. Serangga famili ini merupakan hama yang menyerang bulir padi pada fase nimfa maupun imago. Pertanaman padi yang terus menerus dapat meningkatkan populasi hama tersebut. Apabila ditemukan 5 ekor/ 9 rumpun dapat mengurangi hasil sampai 15% (Suharto dan Damardjati 1988). Munculnya serangga hama ini di keempat sistem budidaya padi kemungkinan karena ekosistem pertanaman padi di daerah tersebut mengikuti pola padi-padi-padi. Selain itu, hal lain yang mendukung kelimpahan hama ini tinggi antara lain adalah tersedianya tanaman inang utama, waktu tanam yang tidak serempak, penggunaan pestisida yang tidak bijaksana di luar areal pengamatan , dan iklim yang mendukung perkembangan serangan hama. Usaha pengendalian yang

dilakukan petani di Desa Situgede terhadap hama walang sangit atau Leptocorisa oratorius F. (Hemiptera: Alydidae), yaitu dengan tehnik pengendalian secara spesifik lokasi dengan menyebarkan cairan perasan kulit bawang putih pada pertanaman padi. Tehnik pengendalian secara tradisonal ini terlihat dapat menurunkan populasi walang sangit tersebut.

Kelimpahan arthropoda pada MT I dari pengumpulan menggunakan lubang jebakan menunjukkan bahwa persentase kelimpahan tertinggi terdapat pada ordo Collembola pada lahan persawahan input rendah (Tabel 3). Pada MT II, ordo Collembola ini menunjukkan nilai tertinggi pada keempat sistem budi daya padi. Lebih tingginya kelimpahan Collembola pada lahan input rendah (MT I) dan konvensional (MT II) diduga karena struktur lahan di pematang sawah tempat peletakan lubang jebakan pada kedua lahan kemungkinan mengandung bahan organik dan kelembaban yang lebih tinggi yang sesuai untuk kehidupan arthropoda ini. Pengamatan menunjukkan bahwa struktur lahan pematang sawah input rendah dan konvensional banyak ditumbuhi berbagai jenis rumput-rumputan dengan kelembaban tanah di tempat ini rela tif lebih tinggi dan terletak dekat dengan saluran air. Dengan banyaknya vegetasi rumput dan dekat saluran air, memungkinkan pematang sawah tersebut banyak mengandung serasah rumput dan kelembaban tanahnya lebih tinggi yang merupakan tempat sesuai untuk perkembangan Collembola. Menurut Suhardjono (2000) bahwa Collembola dapat ditemukan di hampir semua macam habitat dan keadaan vegetasi. Ditemukannya Collembola pada habitat tepian lahan sawah di Situgede menunjukkan kondisi lahan yang banyak mengandung bahan organik. Suhardjono (1992) lebih lanjut menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti pH, kandungan bahan organik dan suhu dapat mempengaru hi keberadaan Collembola.

Ordo yang menempati peringkat ke-dua pada pengumpulan dengan jaring serangga dan lubang jebakan adalah Diptera (Tabel 2 dan 3). Pada kedua musim tanam dan kedua perangkap kelimpahan serangga Diptera relatif tinggi pada lahan pertanian organik 5 dan 10 ton/ha. Kelimpahan serangga Diptera lebih tinggi pada lahan sistem pertanian organik dibandingkan dengan sistem pertanian input rendah dan konvensional. Hal ini diduga karena lahan organik diberi perlakuan pupuk bokashi yang terdiri dari kompos dan pupuk kandang yang mengandung bahan organik lebih banyak. Kondisi lahan seperti ini sesuai bagi perkembangan serangga

Tabel 3 Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan lubangjebakan pada beberapa sistem budidaya

MT I MT II Ordo Konven- sional Input rendah Organik 5 Organik 10 Konven- sional Input rendah Organik 5 Organik 10 Odonata 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,01 Mantodea 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Orthoptera 0,61 0,88 0,60 0,81 0,23 1,17 0,24 0,30 Hemiptera 1,26 1,59 0,57 0,55 0,64 6,03 1,18 2,39 Thysanoptera 0,03 0,21 0,04 0,26 0,03 0,26 0,04 0,07 Coleoptera 0,78 1,09 0,26 0,53 0,41 6,16 0,74 0,92 Diptera 44,13 1,51 53,65 59,59 6,78 16,62 33,46 18,93 Hymenoptera 18,57 12,29 14,71 17,14 1,29 3,95 13,54 2,26 Collembola 33,36 80,67 28,97 16,35 89,85 63,59 50,13 74,23 Arachnida 1,21 1,72 1,21 4,76 0,71 2,17 0,54 0,81 Acarina 0,05 0,04 0,00 0,00 0,06 0,04 0,13 0,07

Diptera yang termasuk sebagai serangga saprofag. Odum (1971) menyatakan bahwa serangga saprofag dapat membantu menguraikan bahan organik dan hasil uraian tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Tingginya kelimpahan serangga saprofag pada lahan pinggiran dan lahan sawah pertanian organik dapat merupakan mangsa utama dan alternatif bagi serangga fitofag dan musuh alami, terutama predator. Dengan demikian, terdekomposisinya serasah/bahan organik, dan pelestarian gulma berguna dapat menyebabkan meningkatnya populasi predator, parasitoid dan serangga berguna lainnya dan tanaman utama mendapat unsur hara tambahan. Hal lain yang menyebabkan ordo Diptera kelimpahannya relatif tinggi kemungkinan karena faktor ekosistem padi sawah yang merupakan ekosistem berair. Menurut Daly et al. (1978), mengemukakan bahwa yang mendominasi serangga akuatik adalah larva Diptera.

Keanekaragaman Spesies

Keanekaragaman arthropoda pada lahan sistem konvensional, input rendah dan pertanian organik ditunjukkan pada Tabel 4. Kelimpahan arthropoda tertinggi terdapat pada lahan konvensional pada MT I dan MT II yaitu 13.090 dan 16.438 individu. Kekayaan spesies tertinggi terdapat pada MT I dan MT II adalah pada lahan pertanian organik 5 ton/ha. Keanekaragaman dan sebaran spesies arthropoda tertinggi pada kedua MT terdapat pada lahan pertanian organik 5 ton/ha. Lahan

pertanian organik 5 ton/ha dan 10 ton/ha memiliki jumlah ordo terbanyak pada kedua MT dibandingkan pada lahan konvensional dan input rendah.

Tabel 4 Jumlah ordo, famili, spesies dan individu arthropoda, indeks keaneka- ragaman shannon-wienner (H’) dan evenness (E) pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya

MT I MT II Jumlah/ Indeks Konven- sional Input rendah Organik 5 Organik 10 Konven- sional Input rendah Organik 5 Organik 10 Ordo 11 11 12 12 11 11 12 12 Famili 79 80 90 90 74 78 80 75 Spesies 156 157 173 171 145 149 159 162 Individu 13.090 12.258 12.551 11.890 16.438 5.513 11.295 11.354 H’ 2,986 3,088 3,490 3,309 1,441 2,194 2,586 2,334 E 0,618 0,641 0,705 0,672 0,310 0,397 0,545 0,495

Jenis dan Peranan

Komposisi dan peranan arthropoda dari spesies yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 13. Pada MT I lahan pertanian organik 5 ton/ha memperlihatkan keseimbangan komposisi arthropoda yaitu dari 173 spesies yang teridentifikasi, 45,98% fitofag, 7,07% parasitoid, 17,67% predator dan 29,28% hewan lain. Untuk MT II keseimbangan komposisi arthropoda juga pada lahan pertanian organik 5 ton/ha yaitu dari 159 spesies yang teridentifikasi, 18,89% fitofag, 3,03% parasitoid, 9,79% predator, dan 69% serangga lain.

Pada MT II lahan konvensional pengurai dan serangga lain memperlihatkan nilai yang tinggi (76,88%). Komposisi arthropoda pada lahan konvensional tersebut mempunyai komposisi yang tidak merata antara fitofag, musuh alami dan pengurai dan serangga lain. Hal ini menunjukkan ekologi yang relatif kurang sehat, karena komposisi didominasi oleh fitofag serta pengurai dan serangga lain.

Menurut Triwidodo (2003) bahwa kondisi ekologi lahan relatif ’sehat’ bila komposisi peran arthropoda dengan perimbangan yang relatif baik, yaitu jika hama relatif lebih sedikit dibandingkan musuh alami dan serangga lain. Dengan demikian, pada pertanian organik tanpa penggunaan insektisida menunjukkan keseimbangan komposisi peran arthropoda, sehingga kondisi ekologi lahan dapat dikatakan sudah relatif stabil, tetapi tetap harus dilakukan pemantauan secara terus menerus.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Persentase peranan arthropoda

Fitofag Parasitoid Predator

Pengurai & serangga lain

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10

Gambar 13 Komposisi arthropoda berdasarkan peranannya pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya

Kondisi ekosistem tanaman padi bersifat tidak stabil, sehingga sewaktu -waktu dapat terjadi peningkatan populasi hama dan populasi musuh alami tidak mampu mengimbangi perkembangan hama yang sangat cepat (Laba et al. 2000).

Serangga fitofag terdiri atas ordo Hemiptera, Orthoptera, Lepidoptera, Coleoptera, Diptera dan Thysanoptera (Lampiran 16). Serangga musuh alami (parasitoid dan predator) sebagian besar termasuk ordo Hymenoptera, Coleoptera, dan Diptera. Parasitoid yang potensial pada pertanaman padi adalah dari famili Braconidae, Trichogrammatidae, Eulophidae, Scelionidae, Mymaridae, Eupelmidae, Ichneumonidae dan Encyrtidae (Hymenoptera), Ceratopogonidae dan Tachinidae (Diptera). Predator yang mendominasi lahan adalah famili Coccinellidae, Carabidae dan Staphylinidae (Coleoptera), Coenagrionidae (Odonata), Mantidae (Mantodea),

Dokumen terkait