• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahkamah Agung Republik Indonesia

DALAM EKSEPSI

Menimbang, bahwa dalam eksepsi, Turut Tergugat telah mengajukan eksepsi terkait kompetensi absolut dan relatif yaitu bahwa Pengadilan Negeri Banjarbaru tidak berwenang mengadili perkara a quo, dan terhadap hal tersebut Majelis Hakim telah memutus dengan putusan sela pada pokoknya menolak eksepsi dari Tergugat tersebut, menyatakan Pengadilan Negeri berwenang mengadili dan memutus perkara a quo atau dengan kata lain melanjutkan perkara hingga putusan akhir;

Menimbang, bahwa Turut Tergugat telah mengajukan eksepsi gugatan kabur (Obscuure Libel) dengan alasan sebagai berikut:

- Adanya kekaburan ukuran luas objek sengketa, yaitu dimana tanah Penggugat disebutkan luasnya adalah 10.500 m2 (SKT Nomor : 303/SHMT/KLTB/1982 An. Rudy S.Suherman, sedangkan tanah Tergugat luasnya 7.425 m2 (SHM Nomor : 9206 atas nama Sakirun);

- Adanya kekaburan batas-batas objek sengketa dimana Penggugat dalam gugatan a quo sebelah Utara dengan tanah Burhan, Sebelah Selatan dengan tanah Sakin Auri, Sebelah Timur dengan tanah Imis S., dan Sebelah Utara dengan Tanah Sukandi, sedangkan tanah Tergugat berdasarkan Surat Ukur Nomor : 142/LTBS/2009, tanggal 2 Juli 2009, Sebelah Utara dengan Amat Salim, Sebelah Selatan dengan tanah Sakirun, Sebelah Timur dengan tanah Sofyanus Sauri, Sebelah Barat dengan Tanah Bambang Wahyudi;

- Penggugat di dalam gugatan a quo tidak menyebut dengan jelas batas-batas, dan ukuran tanah Surat Keterangan Hak Milik Tanah (SKT) Nomor : 303/SHMT/KLTB/1982 An. Rudy S.Suherman;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 45, Putusan Nomor 43/Pdt.G/2019/PN Bjb

Menimbang, bahwa terhadap eksepsi Turut Tergugat tersebut, menurut Majelis Hakim sudah seyogyanya untuk ditolak oleh karena terkait dengan ukuran dan/atau luasan maupun batas-batas tanah yang dimilik Penggugat sebagaimana pula didalilkan tumpang tindih dengan Tergugat adalah telah diuraikan dengan jelas, bahwa terkait dengan objek sengketa juga telah dilakukan sidang Pemeriksaan Setempat pada hari Jum’at, tanggal 24Januari 2020 dimana diperoleh fakta salah satunya adalah terkait dengan keberadaan objek sengketa;

Menimbang, bahwa adapun terkait dengan perbedaan ukuran objek sengketa dan batas-batasnya tidak sesuai dengan ukuran dan batas-batas tanah yang didalilkan milik Tergugat, adalah perlu dibuktikan lebih lanjut sehingga sudah merupakan materi dari pokok perkara karena bisa jadi/dimungkinkan juga justru Tergugat lah yang salah terkait dengan hal tersebut;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka eksepsi Turut Tergugat tidaklah beralaskan hukum dan patut untuk ditolak;

Menimbang, bahwa eksepsi Turut Tergugat selanjutnya adalah eksepsi terkait daluwarsa yaitu bahwa gugatan a quo telah bertentangan dengan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, putusan MA RI No.210 K/Sip/1955 Tgl.10-1-1957, No.329 K/Sip/1957 Tgl.24-9-1958, No.361 K/Sip/1958 Tgl.26-11-1958 dan No.70 K/Sip/1959 Tgl.7-3-1959, Yurisprudensi Pengadilan Tinggi Banjarmasin dalam perkara No.53/Pdt/2008/PT.BJM tanggal 09 Oktober 2008, dan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.70/Pdt.G/2007/PN.Bjm tanggal 12 September 2007 dimana pada pokoknya ketentuan hukum dan kaidah-kaidah Yurisprudensi di Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dipahami sebagai aturan yang bersifat memaksa (dwingenrecht) bukan aturan yang mengatur (unvullenrecht), pandangan umum yang tidak terbantahkan (notoir feiten) sehingga telah patut secara hukum bahwagugatan Penggugat haruslah ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijke Verklaard);

Menimbang, bahwa terhadap eksepsi daluwarsa sebagaimana di atas tersebut, dalam praktek di persidangan, tidak selalu putusan-putusan pengadilan baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi berpegang teguh pada ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim in cassu tidak sependapat terhadap kesimpulan dari Turut Tergugat dimana dikatakan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dipahami sebagai aturan yang bersifat

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 46, Putusan Nomor 43/Pdt.G/2019/PN Bjb

memaksa (dwingenrecht) bukan aturan yang mengatur (unvullenrecht) dan merupakan pandangan umum yang tidak terbantahkan (notoir feiten), karena penerapan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut tidak boleh diterapkan secara kaku, hal mana bila diterapkan secara kaku maka berarti dengan selesainya pendaftaran tanah (penyertifikatan tanah) atas nama penerima hak kemudian telah terdaftar lebih dari 5 tahunsejak sertifikat terbit tidak ada yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan bersangkutan, maka bila ada pemegang hakyang sebenarnya baru muncul kemudian setelah 5 tahun terbit maka pemegang hak (sebenarnya) itu mutatis mutandis akan kehilangan haknya, atau tidak dapat menuntut, atau mengajukan gugatan lagi kepada penerima sertifikat (penerima hak);

Menimbang, bahwa Majelis Hakim memahami bahwa ketentuan sebagaimana Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah suatu bentuk perlindungan hukum terhadap penerima hak (penerima sertifikat), namun menurut Majelis Hakim, prinsip itikad baik lah yang menjadi penentu bisa tidaknya gugatan itu diajukan meski sudah lewat waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat karena jika ketentuan ini diberlakukan secara kaku, sehingga gugatan tak dapat lagi diajukan setelah lewatnya waktu 5 tahun, maka itikad baik dari pemegang hak terakhir – yang juga dipersyaratkan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, juga menjadi tak lagi dapat diuji oleh Hakim. Itikad baik pemegang hak terakhir (pemegang besit) seharusnya dipersyaratkan kalau itu terkait lewatnya waktu untuk perolehan hak (jadi akan diuji pada waktu pihak tersebut mempertahankan penguasaan bendanya dari gugatan pemilik), bukan hapusnya hak untuk menggugat.

Menimbang, bahwa dalam praktiknya, mekanisme daluwarsa (5 tahun) ternyata memang tidak berdiri sendiri, tetapi tetap dipadukan dengan persyaratan adanya itikad baik. Bagaimanapun, jika penerbitan sertifikat mengandung unsur “permainan” dan/ atau “keganjilan” misalnya, tidak ada pengukuran sebelumnya, atau terdapat beberapa surat dengan perbedaan ukuran luas – padahal kesemua surat tersebut menunjuk pada obyek tanah yang sama), maka daluwarsa gugatan dianggap tidak berlaku (Putusan MARI No. 237 K/Pdt/2014) atau dengan kata lain tanah dimaksud bukan milik sebenarnya dari penerima hak maka daluawarsa tidak berlaku;

Menimbang, bahwa dalam Putusan MARI No. 237 K/Pdt/2014 terkait ketentuan mengenai daluwarsanya gugatan setelah 5 tahun sejak terbitnya sertifikat yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Halaman 47, Putusan Nomor 43/Pdt.G/2019/PN Bjb

Nomor 24 Tahun 1997 diuji dalam kasus ini dimana Hakim menganggap mekanisme daluwarsa tidak berdiri sendiri, tetapi tetap mempersyaratkan adanya itikad baik, dalam putusan ini, apabila ternyata ditemukan adanya “keganjilan” dalam penerbitannya, maka ketentuan mengenai daluwarsa gugatan dikesampingkan oleh Hakim;

Menimbang, bahwa berdasarkan pada hal tersebut maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa meskipun terdapat ketentuan yang membatasi bahwa gugatan atas hak atas tanah terdaftar hanya dapat diajukan dalam jangka waktu lima tahun, namun jangka waktu ini pada prakteknya tidak mengikat. Karena, ketentuan daluwarsa ini tidak berdiri sendiri, melainkan mempersyaratkan adanya itikad baik pemegang sertifikat yang harus dipertimbangkan dan ditetapkan oleh Hakim, disamping sertifikat harus diterbitkan secara sah dan tanah dikuasai secara nyata oleh pemegang sertifikat;

Menimbang, dengan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka terhadap eksepsi daluwarsa sudah seyogyanya ditolak, dan perlu kiranya Majelis Hakim untuk memeriksa pokok perkara ini untuk menilai apakah ada itikad baik atau tidak dari penerima hak (Tergugat) dan pemberi hak (Kantor BPN Kota Banjarbaru);

Dokumen terkait